You are on page 1of 8

MACAM-MACAM KERAJAAN DI INDONESIA

1.KERAJAAN MAJAPAHIT

raja: raja PURNAWARMAN

A. Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya
menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut
Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]
B.Berdirinya MAJAPAHIT.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang
bernama Meng Chi[14] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut
dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[14][15] Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas
saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu
Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha,
yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada
Jayakatwang.[16] Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.[16] Raden Wijaya
kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika
pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara
kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[17][18] Saat itu juga merupakan kesempatan
terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus
menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa

Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,


termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan
tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya
Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton.[19] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai
posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[18] Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.
C.Jatuhnya MAJAPAHIT.

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur


melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam
Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 14051406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di
pantai utara Jawa.[26]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis
pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[9]
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang
berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[27] Di
bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat

Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah
taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.

Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha
(bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun
waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan
Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaankerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400
saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan[28]) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah sirna hilanglah
kemakmuran bumi. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah
gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.[29]
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi
[29]
dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha
dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan
ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[30] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan
anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk
menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung
Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam
pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[31] Demak dibawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan
Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia
adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan
bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan
Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[29]
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama
yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda

yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring
mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
2.KERAJAAN SRIWIJAYA

raja:raja BALAPUTRADEWA

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa: ; Thai: atau "r wichy")
adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak
memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari
Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa
Tengah.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilanggemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,
yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] di antaranya
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan
Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi
tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cds dari cole franaise d'Extrme-Orient.[7]
A.Catatan sejarah.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum
nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum
kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih
atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya
disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[11] dan Khmer menyebutnya
Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2]
Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang
kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi
Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman
Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang
menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal,
parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan
manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat
persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini
ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi

pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai
ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[13] yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada
kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan
dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan
candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou
(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti
pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

B.Pembentukkan dan pertumbuhan.

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi
pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas
kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi
untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan
kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini
biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu
setempat.[17][18]
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan
Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para
ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[19]
Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah
menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka
tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa
Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa
Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20]
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan
dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah
timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal

tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.


Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya.
Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri
kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[2] Di akhir
abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa
Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi
bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara
Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama
masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.[2]
C.Budaya.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang
sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya.
Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual
Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah
Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan
tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan
balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur
bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah
digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan
beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran
bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu,
bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di
Kepulauan Nusantara.[24]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda
dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak
membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi
Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi
Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat
dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang[25], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[26], Bidor,
Perak[27] dan Chaiya,[28] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca
ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau

"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan mungkin diilhami oleh


langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9)
3.GOWATALO

raja:SULTAN HASANUDDIN

A.Kesultanan GowaKesultanan Gowa


atau kadang ditulis
Goa
, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari
kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah
kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara
kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki
raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal
dengan erang Makassar !"###$"##%& terhadap 'elanda yang dibantu oleh Kerajaan 'one yang berasal
dari Suku 'ugis dengan rajanya (rung alakka. )api perang ini bukan berati perang antar suku Makassar $
suku 'ugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak 'elanda$'one, ada sekutu
Makassarnya. olitik *i+ide et Impera 'elanda, terbuktisangat ampuh disini. erang Makassar ini adalah
perang terbesar 'elanda yang pernah
B.Sejarah awal.
ada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama
Bate Salapang
!Sembilan 'endera&, yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa )ombolo, -akiung, arang$arang,
*ata, (gangjene, Saumata, 'issei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai ara, baik damai maupun paksaan,
komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. /erita dari pendahulu di Gowa dimulai
oleh )umanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang
yang mendahului datangnya )umanurung, dua orang pertama adalah 'atara Guru dan saudaranya
C.TUMAPA RISIKALLONNAMemerintah pada awal abad ke$"#, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng
!enguasa& Gowa ke$%, bernama )umapa0risi0 Kallonna. ada masa itu salah seorang penjelajah
ortugis berkomentar bahwa 1
daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil
1. *engan melakukan perombakan besar$besaran di kerajaan, )umapa0risi0 Kallonna mengubah daerah
Makassar dari sebuah kon2ederasi antar$komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa.
*ia juga mengatur penyatuan Gowa dan )allo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang
menyatakan bahwa apa saja yang menoba membuat mereka saling melawan !
ampasiewai
& akan mendapat hukuman *ewata. Sebuah perundang$undangan dan aturan$aturan peperangan dibuat,
dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk
mendanaikerajaan. 'egitu dikenangnya raja ini sehingga dalam erita pendahulu Gowa,
masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.

NAMA:AULIYA MARDHIAH N.
KERAJAAN-KERAJAAN DI INDONESIA

You might also like