Professional Documents
Culture Documents
Dokter Pembimbing:
Dr. Aditiyono, SpOG
Disusun Oleh :
Nugroho Rizki Pratomo
G4A013012
G4A013013
G4A013014
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Jurnal
SUBCLINICAL PELVIC INFLAMMATORY DISEASE AND INFERTILITY
Disusun Oleh :
Nugroho Rizki Pratomo
G4A013012
G4A013013
G4A013014
BAB I
PENDAHULAN
Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk infeksi
traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan masyarakat
sosioekonomik rendah (Ngoerah, 2001).
Infertilitas terjadi pada 7 juta wanita subur di USA. Terjadi peningkatan
sebanyak 1 % dari total kelahiran di bantu oleh teknologi reproduksi yaitu fertilisasi
in vitro dan biaya untuk tindakan tersebut sangat mahal yaitu 12.000,00 US dollar.
Dari keseluruhan sekitar 10 % disebabkan oleh infertilitas yang disebabkan oleh
kelainan fungsi tuba. Kelainan tuba merupakan penyebab utama terjadinya infertilitas
pada wanita dan kelainan tersebut didapat oleh akibat PID. The Institute of Medicine
memperkirakan bahwa PID merupakan etiologi dari terjadi infertilitas pada 15 %
wanita USA. Meskipun penjelasan antara PID dan infertilitas dapat dijelaskan tetapi
terdapat wanita yang tidak memiliki riwayat PID tetapi mengalami infertilitas karena
factor kelainan pada tuba. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa inflamasi pada
traktus genitalia atas seperti salphingitis dan endometritis bersifat PID subklinis.
Karena tidak menimbulkan tanda dan gejala yang khas tetapi dapat menyebabkan
infertilitas karena factor tuba (Harold et al, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan
inflamasi pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi,
dan struktur penunjang pelvis. PID merupakan sebuah spektrum infeksi pada
traktus genitalia wanita yang termasuk di dalamnya endometritis, salpingitis,
tuba-ovarian abses, dan peritonitis (Shepherd, 2014).
PID biasanya disebabkan oleh kolonisasi mikroorganisme di
endoserviks yang bergerak ke atas menuju endometrium dan tuba fallopi.
Inflamasi dapat timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus genitalia
(Berek et al, 2007)
2. Epidemiologi
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus
PID terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang
dikeluarkan melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID
membutuhkan rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000
wanita usia 15-44 tahun (Pernoll, 2001). Diperkirakan 100000 wanita menjadi
infertil diakibatkan oleh PID (Shepherd, 2014).
WHO mengalami kesulitan dalam menentukan prevalensi PID akibat
dari beberapa hal termasuk kurangnya pengenalan penyakit oleh pasien,
kesulitan akses untuk merawat pasien, metode subjektif yang digunakan untuk
mendiagnosa, dan kurangnya fasilitas diagnosti pada banyak negara
berkembang, dan sistem kesehatan masyarakat yang sangat luas (Shepherd,
2014).
3. Faktor resiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama
adalah aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada
wanita dengan aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15%
disebabkan karena luka pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.
Resiko juga meningkat berkaitan dengan jumlah pasangan seksual. Wanita
dengan lebih dari 10 pasangan seksual cenderung memiliki peningkatan resiko
sebesar 3 kali lipat (Pernoll, 2001).
Usia muda juga merupakan salah satu faktor resiko yang disebabkan
oleh kurangnya kestabilan hubungan seksual dan mungkin oleh kurangnya
imunitas. Factor resiko lainnya yaitu pemasangan kontrasepsi, etnik, status
postmarital dimana resiko meningkat 3 kali dibanding yang tidak menikah,
infeksi bakterial vaginosis, dan merokok (Pernoll, 2001). Peningkatan resiko
PID ditemukan pada etnik berkulit putih dan pada golongan sosioekonomik
rendah. PID sering muncul pada usia 15-19 tahun dan pada wanita yang
pertama kali berhubungan seksual (Shepherd, 2014).
Pasien yang digolongkan memiliki resiko tinggi untuk PID adalah
wanita berusia dibawah 25 tahun, menstruasi, memiliki pasangan seksual yang
multipel, tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi
prevalensi penyakit menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang
pertama kali berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan resiko
PID 2-3 kali lipat pada 4 bulan pertama setelah pemakaian, namun kemudian
resiko kembali menurun. Wanita yang tidak berhubungan seksual secara aktif
dan telah menjalani sterilisasi tuba, memiliki resiko yang sangat rendah untuk
PID (Shepherd, 2014).
Infeksi saluran genital yang tidak diobati secara adekuat juga
merupakan factor resiko terjadinya PID. Selain itu dilatasi cerviks selama
kelahiran, keguguran atau aborsi juga merupakan factor resiko terjadinya PID.
Kehamilan ektopik dikethaui juga merupakan factor resiko penyakit ini
(Health Promotion England, 2000).
4. Etiologi
N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga menjadi agen etiologi
utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. Keduanya merupakan
bakteri patogen yang sering ditemukan pada penyakit menular seksual. Sekitar
10-20% penyakit menular seksual oleh infeksi N. Gonorrhea dan
C.
riwayat yang jelas mengenai infeksi organ reproduksi bagian atas. Pada
laparotomy atau laparoskopi, pasien mungkin memiliki tanda infeksi tuba
sebelumnya seperti adhesi atau perlengketan, tetapi sebagian besar tampak
normal. Secara internal terdapat lipatan mukosa yang mendatar, hilangnya
silia secara ekstensif dan degenerasi sel epitel sekretorik (Shepherd, 2014).
PID dapat menimbulkan gejala klinis berupa nyeri perut bagian
bawah. dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan. Nyeri diperburuk
oleh gerakan, olahraga, atau koitus. Nyeri dapat juga dirasakan seperti
tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi <7 hari. Sekresi cairan
vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38, mual, dan muntah.
gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam, nyeri punggung
bawah, dan dysuria (Shepherd, 2014).
7. Diagnosis
PID sulit untuk didiagnosis karena memiliki gejala dan tanda
bervariasi mulai dari asismtomatis sampai berat. Menurut CDC, kriteria
diagnostic dari PID ada 3 tingkatan (CDC, 2010):
A. Kriteria minimum (Adanya 1 atau lebih tanda klinis tanpa adanya
diagnostic banding lain)
a. Nyeri goyang serviks
b. Nyeri tekan uterus
c. Nyeri tekan adneksa
B. Kriteria tambahan
a. Suhu oral > 38,3 C
b. Dischrge vagina mukoputulen
c. Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskopik secret
vagina dengan salin
d. Kenaikan LED >15nm/jam
e. Peningkatan Protein Reaktif-C
f. Kultur adanya infeksi N. gonorrhoeae atau C. Trachomatis
C. Kriteria spesifik
a. Biopsi endometrium ditemukan endometritis
b. USG transvaginal atau MRI memperlihatkan adanya penebalan tuba
yang penuh berisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas di panggul
atau kompeks tuba ovarii
c. Laparoskopi dengan hasil yang konsisten dengan PID
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID.
Mengevaluasi
cairan
menginterpretasi
di
kerusakan.
dalam
Pus
abdomen
dilakukan
menunjukkan
adanya
untuk
abses
9.
Pencegahan
preparat
doksisiklin
diberikan
bersamaan
dengan
Regimen B :
C. Terapi Operatif
Pembedahan dilakukan apabila pasien tidak mengalami perbaikan
klinis setelah 72 jam. Laparotomi dilakukan untuk mengatasi kegawat
daruratan sepeti ruptur dari TOA dan abses yang tidak respon terhadap
pengobatan.
11. Prognosis
Dengan terapi adekuat 85% dari seluruh kasus terbukti sukses dan
75% pasien dengan terapi adekuat tidak menimbulkan kekambuhan. Sehingga
prognosis dari PID tergolong baik(Ehrlich, 2012).
12. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada PID (Shepherd,
2014):
Infertilitas
Infertilitas merupakan komplikasi yang paling ditakuti bagi wanita dengan
riwayat PID. Infeksi dan inflamasi yang terjadi dapat menyebabkan
timbulnya scar dan adhesi pada lumen tuba. Selain itu 50% wanita infertil
terjadi PID suklinis dimana wanita tersebut tidak pernah mengalami gejala
ataupun riwayat PID tetapi memiliki scar pada tuba dan memiliki penanda
antibodi C trachomatis. Semakin lama atau sering terserang oleh infeksi
semakin besar pula kemungkinan infertile.
Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik terjadi pada 15-50%
Sedangkan
infertilitas
sekunder
adalah
ketidakmampuan
hipotalamus-hipofisis-ovarium
telah
matang
dan
follicle-
tuba
dan
intrauterus
di
Negara
endemis
dan
dapat
dipertimbangkan.
Kelainan
anatomi
uterus
yang
dapat
malformasi
serviks
uterus,
ketidakteraturan
kavitas
kavitas
endometrial
(miomektomi,
histeroskopi)
dapat
gonococcal
atau
vaginosis
bacterial.
Sehingga
dapat
bagian atas mirip dengan terjadinya infeksi pada traktus genitalia bagian bawah
seperti infeksi gonococcal, servisitis Chlamydia, dan vaginosis bakterial. Pada studi
ini ditemukan bahwa wanita tanpa PID akut, ditemukan 1 dari 4 peserta memiliki
endometritis pada pemeriksaan histology dengan infeksi N gonnorhea atau C
trachomatis dan 1 dari 7 peserta dengan vaginosis bakterial. Peserta dengan
endometritis memiliki karekteristik dan klinis yang mirip dengan PID akut. Meskipun
karakteristik nya mirip dengan kejadian PID akut, tetapi belum dapat diestimasikan
bahwa wanita tersebut pasti akan memiliki gangguan invertilitas. Studi ini ditujukan
untuk mengetahui hubungan PID subklinis dengan meningkatnya resiko infertilitas
pada wanita.
METODE DAN BAHAN
Antara tahun 1998 hingga 2003 studi ini merekrut wanita dengan usia 15 30
tahun dari instalasi rawat jalan di wilayah pittsburgh klinik PMS Alleghany County
health departemen, the adagio health center dan di instalasi rawat jalan RS MageeWomens di Universitas Kedokteran Pittsburgh. Studi ini telah disetujui oleh dewa
peninjau Universitas Pittsburgh. Wanita yang terbukti fertilitasnya dapat masuk dalam
studi ini bila memiliki infeksi genitalia bagian bawah yaitu : simptomatis atau
asimptomatis infeksi serviks oleh gonnorhea atau Chlamydia, servisitis mucopurulen,
atau bakterial vaginosis( terbukti 3 dari 4 kriteria yaitu : discharge vagina homogen,
ph lebih dari 4.5, ditemukan clue sell sebanyak > 20%, tes whiff positif). Wanita yang
memiliki kontak sexual dengan pria yang didiagnosa terinfeksi gonnorhea ,
Chlamydia dan nongonococcal uretritis juga masuk kedalam studi ini sebab wanita
yang mengalami kontak seksual dengan pria dengan uretritis sering mengalami
servisitis. Kriteria ekslusi yaitu wanita dengan tanda dan gejala PID akut, wanita yang
hamil, ligasi tuba/ histerektomi, wanita yang pernah melakukan operasi ginekologi,
selain itu wanita yang sudah diketahui memiliki infertilitas karena factor tuba,
riwayat PID akut, abses pelvis, kehamilan ektopik, rupture appendiks, atau
endometriosis.
Peserta akan di wawancara oleh anggota penitilian dan mengisi kuisioner
tentang informasi demografi, medis, seksual dan riwayat reproduksi termasuk riwayat
Terdapat 671,6 orang per tahun yang di follow up, dengan median lama
follow up 2,1 tahun per peserta (0,4-4,6). Median dari waktu follow up adalah 2,8
tahun pada wanita dengan PID sub klinis (endometritis secara histologis) dan 2,5
tahun pada wanita tanpa PID sub klinis. 146 (47,6%) wanita mengalami hamil dengan
kehamilan intra uterin dan dikategorikan sebagai fertil. 161 (52,4) wanita tidak
mengalami kehamilan intrauterin (160 tidak hamil, 1 dengan kehamilan ektopik).
Rerata kehamilan yang di amati pada wanita ras hitam dan ras putih tidak dibedakan
(23 berbanding 17 per 100 wanita per tahun). Tingkat fertilitas di amati pada usia
yang sama. Wanita yang hamil 3 kali atau lebih, lebih subur dibandingkan dengan
wanita yang baru hamil 1 kali (29 berbanding 18 kehamilan per 100 wanita per tahun,
(HR) 1,6 CI 95% 1,1-2,4). Wanita dengan kebiasaan menggunakan kondom saat
berhubungan seksual serta wanita dengan kontrasepsi hormonal selama follow up
memiliki tingkat kehamilan lebih rendah yaitu 40%. Kehamilan lebih sering terjadi
pada wanita dengan 1 pasangan daripada wanita dengan lebih dari 1 pasangan, tetapi
proporsi wanita pada setiap kelompok yang ingin hamil tidak berbeda (14,8 %
banding 14 %, p=0,8).
Fertilitas antara 120 orang dengan PID sub klinis di bandingkan dengan 187
tanpa PID sub klinis (Tabel 2 dan 3, dan Gambar 1). Kehamilan intra uterin terjadi
pada wanita dengan PID sub klinis sebanyhak 50 per 288,1 wanita per tahun
dibandingkan dengan 96 kehamilan per 383,5 wanita per tahun pada wanita tanpa
PID sub klinis. Kontrasepsi hormonal, penggunaan kondom, pasangan, 3 atau lebih
kehamilan sebelumnya, wanita dengan PID subklinis secara signifikan lebih sedikit
untuk terjadinya kehamilan daripada wanita tanpa PID sub klinis (HR untuk hamil
0,6, CI 95% 0,4-0,8)
kegagalan untuk hamil meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur
dengan alat kontrasepsi maupun tidak selama masa follow up. Pada analisis, HR pada
PID sub klinis dan infertilias tetap tidak berubah (HR 0,6, 95 % CI 0,4-0,9, p<0,02)
Kesuburan pada wanita dengan atau tanpa PID sub klinis di kelopokan
berdasarkan ada tidaknya infeksi cervical oleh N. gonorhoea atau C trachomatis.
Diantara wanita tanpa PID sub klinis, tngkat kehamilan diamati pada wanita yang
terinfeksi oleh kedua bakteri tersebut tidak berpengaruh jika dibandingkan dengan
wanita yang tidak terinfeksi ( 33 dibandingkan 23 per 100 wanita per tahun, HR 1,6,
95% CI 1,02-2,6, P=0,04). Sebaliknya, tingkat kehamilan pada waita dengan PID sub
klinis antara wanita dingan atau tanpa infeksi kedua bakteri tadi lebuh rendah
daripada tingkat kehamilan pada wanita tanpa PID sub klinis (17 banding 23 per 100
wanita per tahun, HR 0,7 , 95% CI 0,5-0,96, p=0,03). Antara wanita dengan PID sub
klinis, ada tidaknya gonorhoe maupun clamidia tidak berdampak pada kemunginan
kehamilan (HR 1,0, 95% CI 0,5-1,9). Vaginosis bacterial, tanpa PID sub klinis, tidak
mempengaruhi tingkat kehamilan.
PEMBAHASAN
Seperti PID akut, dimana sudah dikenal penyebab penting dari kerusakan tuba
fallopi. Hasil ini menunjukkan bahwa PID subklinis berhubungan dengan infertil di
waktu yang akan datang. Dalam penelitian kohort ini, terdapat wanita dengan PID
subklinis dimana kurang dari 40 % dibanding dengan wanita tanpa PID subklinis.
Jumlah dari wanita infertil merupakanhal yang penring, di tahun 2002diperkirakan 2
juta pasangan di Amerika adalah infertil. Kerusakan tuba fallopi merupakan factor
utama infertilitas pada wanita dimana sebagian besar jumlah ini belum melaporkan
adanya keluhan-keluhan klinis PID.hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
infiertilitas ada hubungannya dengan PID dimana tidak perlu adanya gejala-gejala
akut yang menunjukkan wanita tersebut sudah mengalami PID, tapi dengan adanya
PID subklinis saja sudah akan mempengaruhi seseorang menjadi infertile. Mendekati
satu pertiga pasangan yang infertile, penelitian ini menunjukkan masalah yang
penting dimana etiologi dari infertile tersebut belum bisa dijelaskan secara penuh
mengenai infertilitas yang terjadi.
PID merupakan hasil dari ascending infection seperti C trachomatis, N
Gonorrhoae, atau endogenous vaginal microorganism. Setelah terjadi kerusakan pada
tuba fallopi menghasilkan konsekuensi yang serius pada sistem reproduksi, termasuk
infirtilitas akibat factor tuba, kehamilan ektopik, dan nyeri kronik pelvis. Factor tuba
merupakan penyebab umum infertilitas pada wanita di Amerika yang mencari
teknologi reproduksi dalam alternative pemecahannya. Konsekusni finansial yang
diakibatkan dari hl tersebut sangat diperhatikan. Harga dari sebuah vitro fertilitas
cycle sekitar 12.00 doilar, bahkan setelah sukses menmbuahkan kehamilan, biaya
jangka panjang berhubungan dengan in vitro fertilisasi kehamilansetelahnya,
termasuk multiple pregnancy, prematuritas, dan berat badan lahir yang rendah.
Studi retrospektif pada wanita dengan tubal factor infertility secara konsisten
menunjukkan hubungan antara infeksi C trachomatis masa lampau dengan kerusakan
tuba. World Health Organization Task Force on the prevention and Management of
Infertility menyatakan antiklamidia antibody dalam 71 % dari wanita dengan bilateral
tubal occlusion dibandingkan dengan 32 % wanita dengan etiologi infertile yang lain.
Hubunga yang sama juga ditunjukkan dengan infeksi N Gonorrhoeae dan infertilitas
tuba, dengan antibody pili dari N Gonorrhoeae ada dalam 62 % wanita infertile
dengan bilateral tubal occlusion dibandingkan dengan 38 % wanita dengan etiologi
infertile yang lain (P<0,1). Yang penting juga hanya minoritas dari wanita-wanita
tersebut dan yang seropositif C trachomatis atau N Gonorrhoeae sebelumnya
mengalami gejala-gejala akut dari PID. Tingginya rasio dari infeksi C trachomatis
atau N Gonorrhoeae sebelumny, tapi bukan yang sudah mengalami gejala akut PID,
pada wanita dengan infertilitas akibat factor tuba secara kuat menunjukkan besarnya
proporsi dari kerusakan tuba akibat infeksi PID subklinis. Penelitian ini
mendeskripsikan data prospektif yang mengkonfirmasi adanya huibungan antara PID
subklinis kejadian infertilitas di waktu yang akan datang.
Infeksi serviks akibat N Gonorrhoeae atau C Trachomatis yang bukan
merupakan PID subklinis, tidak dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya
infertile. Hanya wanita dengan PID subklinis yang dihubungkan dengan kejadian
infertile, hal ini menunjukkan bahwa sebuah inflamasi pada traktus genital atas
berhubungan dengan infertile. Fertilitas tersebut tidak berkurang pada wanita dengan
clamidia atau gonococcal cervicitis dan mendukung hipotesis bahwa adanya pathogen
di traktus genital bawah tidak menjadikan seseorang menjadi PID ataupun infertile.
Mekanisme dari adanya organism tidak bisa dijelaskan dengan mendetail dan
mungkin berhubungan dengan factor cerviks (seperti adanya antimikroba dari mucus
cerviks), hormonal milieu dan imunitas local. Peningkatan rasio kehamilan pada
wanita yang mengalami infeksi Chlamydia atau gonorrhoeae tapi tidak didapatkannya
endometritis mungkin merefleksikan pentingnya pembersihan dari derviks sebelum
terjangkitnya traktus genital atas menjadi infeksi ataupun kerusakan tuba. Keterkaitan
organism dalam hubungannya dengan infertile, seperti mycoplasma genitalum,
membutuhkan studi lebih lanjut pada wanita yang sudah terdapat gejala klinis
ataupun tidak.
Penyakit menular seksual merupakan penyakit epidemic di Amerika dan lebih
dari satu juta infeksi Chlamydia dan 300.000 infeksi gonococcal dilaporkan oleh
Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2009. Vaginosis bacterial,
merupakan penyebab umum dari kelainan vagina yang dipresentasikan dari 30 persen
wanita subur di Amerika. PID subklinisteridentifikasi lebih dari setengan wanita
dengan gonococcal atau chlamydial cervicitis dan 15-45 persen dari wanita dengan
bacterial vaginosis. Jumlah subclinical PID meningkat seiring dengan adanya infeksi
tersebut, bersamaan dengan meningkatnya resiko infertile. Hal ini menunjukkan
bahwa sejumlah wanita memiliki resiko lebih tinggi terjadi infertile apabila
sebelumya didapatkan pernah mengalami cervicitis atau vaginitis.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah beberapa wanita mungkin sudah ada
dalam keadaan subfertile sebelumnya. Bagaimanapun juga kriteria eksklusi
memperkecil kemungkinan ini dimana wanita dengan kemungkinana pre-existing
tuba factor infertilitas dieksklusi.. kemudian pneleitian kohort ini menginsklusi hanya
wanita yang pernah hamil sebelumnya dimana ini menunjukkan bahwa wanita itu
fertile sebelumnya. Keterbatasan yang lain adalah bahwa fertilitas sebelumnya
didapatkan dengan self-report bukan record preview. Penelitian ini juga menilai
infeksi Chlamydia dan gonorrhoeae saat ini, bukan infeksi berulangyang msudah
mempengaruhi fertilitas subjek. Meskipun hasil ini masih mungkin bias, penelitian ini
sduah menunjukkan 83 persen penyakit yang menular secara seksual. Populasi pada
penelitian ini termasuk wanita dengan atau masih hanya beresiko terinfeksi
BAB III
KESIMPULAN
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada
traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang
pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular
DAFTAR PUSTAKA
Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek & Novaks
Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.