You are on page 1of 33

Presentasi Jurnal

SUBCLINICAL PELVIC INFLAMMATORY DISEASE AND INFERTILITY

Dokter Pembimbing:
Dr. Aditiyono, SpOG

Disusun Oleh :
Nugroho Rizki Pratomo

G4A013012

Fikri Fajrul Falah

G4A013013

Afif Iman Hidayat

G4A013014

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Jurnal
SUBCLINICAL PELVIC INFLAMMATORY DISEASE AND INFERTILITY

Telah disetujui sebagai pemenuhan sarat ujian


kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi
RSUD Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Nugroho Rizki Pratomo

G4A013012

Fikri Fajrul Falah

G4A013013

Afif Iman Hidayat

G4A013014

Purwokerto, Desember 2014


Mengetahui,

dr. Aditiyono, Sp.OG

BAB I
PENDAHULAN
Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk infeksi
traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan masyarakat
sosioekonomik rendah (Ngoerah, 2001).
Infertilitas terjadi pada 7 juta wanita subur di USA. Terjadi peningkatan
sebanyak 1 % dari total kelahiran di bantu oleh teknologi reproduksi yaitu fertilisasi
in vitro dan biaya untuk tindakan tersebut sangat mahal yaitu 12.000,00 US dollar.
Dari keseluruhan sekitar 10 % disebabkan oleh infertilitas yang disebabkan oleh
kelainan fungsi tuba. Kelainan tuba merupakan penyebab utama terjadinya infertilitas
pada wanita dan kelainan tersebut didapat oleh akibat PID. The Institute of Medicine
memperkirakan bahwa PID merupakan etiologi dari terjadi infertilitas pada 15 %
wanita USA. Meskipun penjelasan antara PID dan infertilitas dapat dijelaskan tetapi
terdapat wanita yang tidak memiliki riwayat PID tetapi mengalami infertilitas karena
factor kelainan pada tuba. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa inflamasi pada
traktus genitalia atas seperti salphingitis dan endometritis bersifat PID subklinis.
Karena tidak menimbulkan tanda dan gejala yang khas tetapi dapat menyebabkan
infertilitas karena factor tuba (Harold et al, 2012).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan
inflamasi pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi,
dan struktur penunjang pelvis. PID merupakan sebuah spektrum infeksi pada
traktus genitalia wanita yang termasuk di dalamnya endometritis, salpingitis,
tuba-ovarian abses, dan peritonitis (Shepherd, 2014).
PID biasanya disebabkan oleh kolonisasi mikroorganisme di
endoserviks yang bergerak ke atas menuju endometrium dan tuba fallopi.
Inflamasi dapat timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus genitalia
(Berek et al, 2007)
2. Epidemiologi
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus
PID terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang
dikeluarkan melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID
membutuhkan rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000
wanita usia 15-44 tahun (Pernoll, 2001). Diperkirakan 100000 wanita menjadi
infertil diakibatkan oleh PID (Shepherd, 2014).
WHO mengalami kesulitan dalam menentukan prevalensi PID akibat
dari beberapa hal termasuk kurangnya pengenalan penyakit oleh pasien,
kesulitan akses untuk merawat pasien, metode subjektif yang digunakan untuk
mendiagnosa, dan kurangnya fasilitas diagnosti pada banyak negara
berkembang, dan sistem kesehatan masyarakat yang sangat luas (Shepherd,
2014).

3. Faktor resiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama
adalah aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada
wanita dengan aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15%
disebabkan karena luka pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.
Resiko juga meningkat berkaitan dengan jumlah pasangan seksual. Wanita
dengan lebih dari 10 pasangan seksual cenderung memiliki peningkatan resiko
sebesar 3 kali lipat (Pernoll, 2001).
Usia muda juga merupakan salah satu faktor resiko yang disebabkan
oleh kurangnya kestabilan hubungan seksual dan mungkin oleh kurangnya
imunitas. Factor resiko lainnya yaitu pemasangan kontrasepsi, etnik, status
postmarital dimana resiko meningkat 3 kali dibanding yang tidak menikah,
infeksi bakterial vaginosis, dan merokok (Pernoll, 2001). Peningkatan resiko
PID ditemukan pada etnik berkulit putih dan pada golongan sosioekonomik
rendah. PID sering muncul pada usia 15-19 tahun dan pada wanita yang
pertama kali berhubungan seksual (Shepherd, 2014).
Pasien yang digolongkan memiliki resiko tinggi untuk PID adalah
wanita berusia dibawah 25 tahun, menstruasi, memiliki pasangan seksual yang
multipel, tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi
prevalensi penyakit menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang
pertama kali berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan resiko
PID 2-3 kali lipat pada 4 bulan pertama setelah pemakaian, namun kemudian
resiko kembali menurun. Wanita yang tidak berhubungan seksual secara aktif
dan telah menjalani sterilisasi tuba, memiliki resiko yang sangat rendah untuk
PID (Shepherd, 2014).
Infeksi saluran genital yang tidak diobati secara adekuat juga
merupakan factor resiko terjadinya PID. Selain itu dilatasi cerviks selama
kelahiran, keguguran atau aborsi juga merupakan factor resiko terjadinya PID.
Kehamilan ektopik dikethaui juga merupakan factor resiko penyakit ini
(Health Promotion England, 2000).

4. Etiologi
N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga menjadi agen etiologi
utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. Keduanya merupakan
bakteri patogen yang sering ditemukan pada penyakit menular seksual. Sekitar
10-20% penyakit menular seksual oleh infeksi N. Gonorrhea dan

C.

Trachomatis yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan PID


(Shepherd, 2014).
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga
diduga menjadi agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya
adalah Gardnerella vaginalis, Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus,
Bakteroides, dan mycoplasma genital, serta ureaplasma genital. Patogen
nongenital lain yang dapat menyebabkan PID yaitu haemophilus influenza dan
Haemophilus parainfluenza (Shepherd, 2014).
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan
AKDR. Pada negara yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga
oleh salpingitis granulomatosa yang disebabkan Mycobakterium tuberkulosis
dan Schistosoma (Shepherd, 2014).
5. Patofisiologi
PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan infeksi dari
vagina atau servikal. Pada tahap ini kadang bersifat asimptomatik. Tahap
kedua timbul oleh penyebaran asenden langsung mikroorganisme dari vagina
dan serviks yang kemudian menyebabkan infeksi dan inflamasi pada struktur
yang diserang. Mukosa serviks menyediakan barier fungsional melawan
penyebaran ke atas, namun efek dari barier ini mungkin berkurang akibat
pengaruh perubahan hormonal yang timbul selama ovulasi dan mestruasi.
Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul akibat terapi antibiotik dan
penyakit menular seksual yang dapat mengganggu keseimbangan flora
endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh secara berlebihan
dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi dangan aliran

menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden dari


mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden
akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa
bersama sperma menuju uterus dan tuba (Shepherd, 2014).
Faktor resiko meningkat pada wanita dengan pasangan seksual
multipel, punya riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, pernah PID,
riwayat pelecehan seksual, berhubungan seksual usia muda, dan mengalami
tindakan pembedahan. Usia muda mengalami peningkatan resiko akibat dari
peningkatan permeabilitas mucosal serviks, zona servical ektopi yang lebih
besar, proteksi antibody chlamidya yang masih rendah, dan peningkatan
perilaku beresiko. Prosedur pembedahan dapat menghancurkan barier
servikal, sehingga menjadi predisposisi terjadi infeksi (Shepherd, 2014).
Pada traktus bagian atas, jumlah mikroba dan faktor host memiliki
peranan terhadap derajat inflamasi dan parut yang dihasilkan. Ketika bakteri
memasuki saluran reproduksi, bakteri akan menyerang epitel dan memicu
respon imun. Organ reproduksi menjadi hiperemis dan oedema. Sedangkan
tuba falopi yang terinfeksi akan menghasilkan eksudat purulent. Infeksi tuba
awalnya mempengaruhi mukosa, kemudian akan terbentuk jaringan parut
sebagai respon penyembuhan. Jaringan parut iniah yang akan menghambat
pergerakan ovum menuju urterus (Shepherd, 2014).
Inflamasi dapat meluas ke struktur parametrial, termasuk usus. Infeksi
dapat pula meluas oleh tumpahnya materi purulen dari tuba fallopi atau via
penyebaran limfatik dalam pelvis menyebabkan peritonitis akut atau
perihepatitis akut (Shepherd, 2014).
6. Gejala klinis
PID memiliki gejala klinis yang bervariasi, mulai dari asimtomatis
samapai berat. PID tanpa gejala klinis sering disebut silent PID. Silent PID
bukanlah suatu diagnose klinis. Kondisi ini di presumsikan terjadi akibat lowgrade yang terus menerus tanpa gejala. Meski begitu, silent PID menjadi
penyebab infertilitas pada wanita akibat factor tuba yang kurang memiliki

riwayat yang jelas mengenai infeksi organ reproduksi bagian atas. Pada
laparotomy atau laparoskopi, pasien mungkin memiliki tanda infeksi tuba
sebelumnya seperti adhesi atau perlengketan, tetapi sebagian besar tampak
normal. Secara internal terdapat lipatan mukosa yang mendatar, hilangnya
silia secara ekstensif dan degenerasi sel epitel sekretorik (Shepherd, 2014).
PID dapat menimbulkan gejala klinis berupa nyeri perut bagian
bawah. dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan. Nyeri diperburuk
oleh gerakan, olahraga, atau koitus. Nyeri dapat juga dirasakan seperti
tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi <7 hari. Sekresi cairan
vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38, mual, dan muntah.
gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam, nyeri punggung
bawah, dan dysuria (Shepherd, 2014).
7. Diagnosis
PID sulit untuk didiagnosis karena memiliki gejala dan tanda
bervariasi mulai dari asismtomatis sampai berat. Menurut CDC, kriteria
diagnostic dari PID ada 3 tingkatan (CDC, 2010):
A. Kriteria minimum (Adanya 1 atau lebih tanda klinis tanpa adanya
diagnostic banding lain)
a. Nyeri goyang serviks
b. Nyeri tekan uterus
c. Nyeri tekan adneksa
B. Kriteria tambahan
a. Suhu oral > 38,3 C
b. Dischrge vagina mukoputulen
c. Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskopik secret
vagina dengan salin
d. Kenaikan LED >15nm/jam
e. Peningkatan Protein Reaktif-C
f. Kultur adanya infeksi N. gonorrhoeae atau C. Trachomatis

C. Kriteria spesifik
a. Biopsi endometrium ditemukan endometritis
b. USG transvaginal atau MRI memperlihatkan adanya penebalan tuba
yang penuh berisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas di panggul
atau kompeks tuba ovarii
c. Laparoskopi dengan hasil yang konsisten dengan PID
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID.
Mengevaluasi

cairan

menginterpretasi

di

kerusakan.

dalam
Pus

abdomen

dilakukan

menunjukkan

adanya

untuk
abses

tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Kriteria minimum


pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema dinding tuba,
hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan tuba
dan fimbriae. Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan
ektopik dapat terlihat
8. Diagnosa Differensial
Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah (Shepherd, 2014).:
a. tumor adnexa
b. appendicitis
c. servisitis
d. kista ovarium
e. torsio ovarium
f. aborsi spontan
g. infeksi saluran kemih
h. kehamilan ektopik
i. endometriosis

9.

Pencegahan

Dalam beberapa penelitan disebutkan bahwa dengan mencegah dan


penularan infeksi Chlamydia dapat mengurangi insidensi dari terjadinya PID
(Scholes, 1996).Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut (Workowski, 2010) :
a. Edukasi untuk emngurangi jumlah pasangan seksual, menghindari seks
sebelum menikah, menghindari perilaku seksual yang tidak aman,
menggunakan kondom saat berhubungan dan memberikan pengetahuan
seksual pada remaja.
b. Pasien dengan infeksi Chlamydia dan gonnorhea diharuskan untuk
melakukan pemeriksaan atau kontrol dalam waktu 3- 6 bulan, karena
terdapat kemungkinan reinfeksi 6 bulan saat terapi dilakukan.
c. Wanita dengan PID harus menghentikan hubungan seksual hingga
pengobatan selesai atau menggunakan pengaman saat berhubungan.
d. Pasien yang telah didiagnosa dengan PID atau penyakit menular seksual
harus diterapi hingga tuntas, dan terapi juga dilakukan terhadap
pasangannya untuk mencegah penularan kembali.
e. Semua wanita berusia 25 tahun ke atas harus dilakukan skrinning terhadap
chlamidya tanpa memandang faktor resiko.
10. Penatalaksanaan
Kebanyakan pasien dengan PID diterapi dengan cara rawat jalan,
tetapi pada keadaan tertentu pasien harus rawat inap di rumah sakit karena
(Shepherd,2014) :
a. Diagnosis yang tidak jelas
b. Tampak gambaran abses pelvis pada pemeriksaan ultrasonografi
c. Dalam kehamilan
d. Tidak respon dalam pengobatan rawat jalan
e. Terdapat alergi pada antibiotik yang diberikan untuk dibawa pulang
f. Keadaan PID yang berat

g. Pasein dengan imunodefisiensi(HIV atau terjadi penurunan kadar CD4


dalam tubuh)
h. Tidak terdapat perubahan setelah 72 jam setelah rawat jalan.
Selain pemberian antibiotik diberikan pula terapi untuk mengurangi
gejala yang dirasakan oleh pasien sehingga diperlukan pula pemberian
antiemetic, analgesik, antipiretik, dan pemebrian cairan. Protokol tatalaksana
PID menurut The Centers of Disease Control and Prevention (CDC) adalah
dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Jika terdapat IUD, diharuskan
dilepas. Menurut penelitian terdapat 2 jenis tatalaksana pemberian antibiotik
yaitu bagi pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan, meskipun menurut
beberapa penilitian outcome yang ada tidak jauh berbeda (Shepherd, 2014):
A. Tatalaksana Rawat Inap
Regimen A :

cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam

doksisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam.


Doksisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari, pemberian
preparat dilakukan hingga 24 jam setelah kondisi pasien secara klinis
mengalami perbaikan. Jika terdapat abses tuba ovarian (TOA),
pemberian

preparat

doksisiklin

diberikan

bersamaan

dengan

pemberian metronoidazole atau klindamisin untuk mencegah infeksi


bakteri anaerob.
Regimen B :

Clindamisin 900 mg iv/ 8 jam

Gentamisin 2 mg/kg BB diikuti dengan dosis manitenance 1,5 mg/kg


BB/8 jam. Terapi iv dapat dihentikan 24 jam setelah pasien mengalami
perbaikan secara klinis, dan dilanjutkan pemberian doksisiklin 100 mg
peroral dua kali sehari selama 14. Jika terdapat TOA dikombinasikan
dengan pemberian klindamisin atau metronidazol untuk mencegah
infeksi bakteri anaerob.

B. Tatalaksana Rawat Jalan


Regimen A :

Ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal

Doksisiklin 100 mg oral dua kali sehari selama 14 hari.

Metronidazole 500 mg dua kali sehari selama 14 hari. Diberikan


apabila terdapat vaginitis pada pasien.

Regimen B :

Cefoxitin 2 gr im dosis tunggal diberikan bersamaan dengan


probenecid 1 gr per oral dosis tunggal atau dapat diberikan antibiotic
golongan cephalosporin generasi ketiga (Cefotaxim atau ceftizoxim)

Doksisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari

metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari. Diberikan


apabila terdapat vaginitis pada pasien.

C. Terapi Operatif
Pembedahan dilakukan apabila pasien tidak mengalami perbaikan
klinis setelah 72 jam. Laparotomi dilakukan untuk mengatasi kegawat
daruratan sepeti ruptur dari TOA dan abses yang tidak respon terhadap
pengobatan.

Tabel . Protokol pemberian antibiotik menurut CDC (Berek, 2007)

11. Prognosis
Dengan terapi adekuat 85% dari seluruh kasus terbukti sukses dan
75% pasien dengan terapi adekuat tidak menimbulkan kekambuhan. Sehingga
prognosis dari PID tergolong baik(Ehrlich, 2012).

12. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada PID (Shepherd,
2014):

Nyeri kronis pelvis:


Nyeri kronis pada pelvis terjadi pada 25 % pasien dengan riwayat PID.
Nyeri yang dirasakan berkaitan dengan siklus menstruasi atau apabila
terjadi adhesi dan hidrosalpinx

Infertilitas
Infertilitas merupakan komplikasi yang paling ditakuti bagi wanita dengan
riwayat PID. Infeksi dan inflamasi yang terjadi dapat menyebabkan
timbulnya scar dan adhesi pada lumen tuba. Selain itu 50% wanita infertil
terjadi PID suklinis dimana wanita tersebut tidak pernah mengalami gejala
ataupun riwayat PID tetapi memiliki scar pada tuba dan memiliki penanda
antibodi C trachomatis. Semakin lama atau sering terserang oleh infeksi
semakin besar pula kemungkinan infertile.

Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik terjadi pada 15-50%

wanita denga riwayat

PID.Kehamilan ektopik ini disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada


tuba falopi.

13. Infertilitas pada Wanita


Fertilitas adalah kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil dan
melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilkannya.
Infertilitas merupakan kegagalan untuk hamil setelah setahun melakukan
hubungan seksual tanpa pelindung. Infertilitas dibagi menjadi 2, yaitu

infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer merupakan


ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak setelah
berhubungan seksual secaa teratur selama 1 tahun dan tanpa menggunakan
kontrasepsi.

Sedangkan

infertilitas

sekunder

adalah

ketidakmampuan

pasangan suami istri untuk memperoleh anak lagi setelah berhubungan


seksual secara teratur selama 1 tahun tanpa menggunakan kontrasepsi, dimana
sebelumnya pasangan ini telah mempunyai anak (Shepherd, 2014).
Faktor infertilitas yang berasal dari perempuan dapat dibagi menjadi
beberapa kategori, antara lain (Shepherd, 2014):
a. Faktor Ovulasi
Ovulasi dapat terganggu oleh kelainan dalam hipotalamus,
hipofisis anterior, atau ovarium. Proses ovulasi dimulai sesaat setelah
aksis

hipotalamus-hipofisis-ovarium

telah

matang

dan

follicle-

stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH), yang diatur


oleh gonadotropin-releasing hormone (GnRH), mendapatkan pola sekresi
normal mereka. Dari kelompok folikel yang tersedia setiap bulan, hanya
satu buah oosit yang dipilih dan berkembang ke tahap preovulasi. Selama
perkembangan follikel, sel granulose mensekresikan estradiol (E 2)
dengan jumlah yang terus meningkat, dan menurunkan sekresi FSH.
Kemudian, melalui mekanisme umpan balik positif, E2 menghasilkan
gelombang LH yang memicu proses ovulasi, menginduksi meiosis oleh
oosit, dan merangsang pembentukan korpus luteum dan sekresi
progesterone.

Gangguan ovulasi didefinisikan sebagai perubahan frekuensi dan


durasi siklus menstruasi. Siklus menstruasi yang normal berlangsung
selama 25-35 hari, dengan rata-rata selama 28 hari. Kegagalan berovulasi
adalah masalah infertilitas yang paling sering terjadi. Ketiadaan proses
ovulasi dapat dikaitkan dengna amenore primer, amenore sekunder, atau
oligomenore. Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh defek fungsi
system saraf pusat (CNS), penyakit metabolic, atau defek perifer. Defek
CNS mencakup anovulasi hiperandrogenemik kronik, hiperprolaktinemia
(empty sella, tumor, atau gangguan yang disebabkan oleh obat),
insufisiensi hipotalamus (yang mencakup sindrom kallmann), dan
insufisiensi hipofisis (trauma, tumor, atau kelainan congenital). Penyakit
metabolic yang menyebabkan gangguan ovulasi adalah penyakit tiroid,
penyakit hepar, penyakit ginjal, obesitas, dan kelebihan androgen
(adrenal atau neoplastik). Defek perifer dapat disebabkan oleh disgenesis
gonadal, kegagalan ovarium premature, tumor ovarium.
b. Faktor tuba dan pelvis
Penyakit tuba menjadi penyebab sekitar 15-20% kasus infertilitas
primer. Gangguan pada tuba disebabkan oleh infeksi pada pelvis atau
operasi yang menyebabkan kerusakan jaringan, bekas luka dan
perlekatan. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi tuba dan menyebabkan
oklusi tuba parsial atau total. Karena bagian distal tuba umumnya
terpengaruh, cairan dapat terakumulasi dalam tuba yang dapat
menyebabkan hidrosalfing. Kemampuan fungsional dari tuba falopi

bukan hanya patensi-nya tetapi juga integritas lapisan mukosa atau


endosalfing. Karena kerusakan apapun pada tuba fallopi cenderung
menetap dan perbaikan akan sulit dilakukan.
Gejala seperti nyeri kronis pada pelvis atau dismenorhea dapat
menunjukkan adanya obstruksi tuba atau perlengketan pelvis. Perlekatan
dapat mencegah pergerakan tuba yang normal, pengambilan ovum, dan
pengangkutan telur yang telah difertilisasi kedalam uterus. Berbagai
macam etiologi yang berperan terhadap gangguan tuba, termasuk infeksi
pelvis, endometriosis, dan riwayat operasi pelvis.
Riwayat penyakit peradangan pelvis (PID) kemungkinan besar
dapat menyebabkan kerusakan pada tuba fallopi atau adanya perlekatan
pelvis. Di amerika serikat, penyebab penyakit tuba yang paling sering
adalah infeksi yang disebabkan oleh klamidia trachomatis atau neisseria
gonorrhoeae, sedangkan tuberculosis adalah penyebab umum dari
penyakit

tuba

dan

intrauterus

di

Negara

endemis

dan

dapat

dipertimbankan pada masyarakat imigran. Tetapi, ketiadaan riwayat PID


tidak secara otomatis menghilangkan kemungkinan mengalami gangguan
tuba, karena beberapa pasien yang diketahui mengalami kerusakan tuba
tidak memiliki riwayat PID.
c. Faktor Uterus
Kelainan uterus jarang menyebabkan infertilitas tetapi harus
selalu

dipertimbangkan.

Kelainan

anatomi

uterus

yang

dapat

menyebabkan infertilitas adalah malformasi congenital, mioma, dan

perlekatan intrauterus. Uterus adalah tujuan terakhir embrio dan tempat


dimana janin berkembang hingga dilahirkan. Oleh karena itu uterus dapat
dikaitkan dengan infertilitas primer atau dengan keguguran dan
persalinan premature. Gangguan uterus dapat berupa congenital atau
yang didapatkan. Mereka dapat mempengaruhi endometrium atau
miometrium dan bertanggung jawab terhadap kasus infertilitas sebesar 25%.
Kelainan congenital
Perkembangan duktus mulleri adalah asal dari terbentuknya uterus,
tuba fallopi, serviks, dan bagian atas vagina. Kelainan mullerian antara
lain mulai dari tidak adanya uterus dan vagina (sindrom RokitanskyKuster-Hauser) hingga uterus arkuata dan septum vagina (vertical atau
horizontal).
Malformasi uterus yang paming sering terjadi yang diamati selama 40
tahun terakhir ini adalah kelainan yang disebabkan oleh obat. Mulai
dari akhir 1950-an hingga awal 1970-an, dietilstilbestrol (DES)
digunakan untuk mengobati pasien dengan riwayat abortus habitualis.
Beberapa tahun kemudian, DES diketahui bertanggung jawab sebagai
penyebab

malformasi

serviks

uterus,

ketidakteraturan

kavitas

endometrial (misal, uterus yang berbentuk T), malfungsi tuba fallopi,


ketidakteraturan siklus menstruasi, dan perkembangan sel karsinoma
di vagina.
Kelainan yang didapat

Endometriosis dikaitkan dengan trauma persalinan, dilatasi dan


kuretase, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), atau operasi apapun
dalam

kavitas

endometrial

(miomektomi,

histeroskopi)

dapat

menyebabkan perlekatan intrauterus atau sinekia (yaitu sindrom


asherman), dengan hilangnya sebagian atau keseluruhan kavitas
endometrial.
Secara umum, bukti yang menyatakan bahwa mioma uteri dapat
menurunkan fertilitas relative lemah. Mekanisme infertilitas yang
disebabkan oleh mioma adalah penyumbatan kornu oleh mioma yang
menekan segmen interstitial tuba, disfungsi kontraktilitas uterus yang
mengganggu pengangkutan ovum atau sperma atau implantasi embrio,
dan aliran darah regional yang jelek yang menyebabkan penipisan
endometrial fokal atau ulserasi.
d. Faktor Serviks
Gangguan pada serviks dapat disebabkan oleh stenosis atau
kelainan interaksi mucus dengan sperma. Serviks uterus memainkan
peranan yang penting dalam pengangkutan sperma setelah berhubungan
seksual. Produksi dan karakteristik mucus di serviks berubah berdasarkan
pada konsentrasi estrogen selama fase follicular akhir
e. Endometriosis
Endometriosis ditandai oleh adanya jaringan endometrium di luar
kavum uterus, Tempat yang sering terkena adalah peritoneum pelvis,

ovarium an septum rektovaginal. Hubungan antara endometriosis dan


infertilitas telah diperlihatkan dalam beberapa penelitian, tetapi tidak
pada semua penelitian mengenai subjek ini. Data yang berasal dari
program fertilisasi in vitro (IVF) juga menyatakan menyatakan
penurunan cadangan ovarium, kualitas oosit dan embrio yang buruk dan
gangguan implantasi pada endometriosis yang parah. Cairan peritoneum
yang berasal dari wanita yang menderita endometriosis mengandung
sitokin, faktor pertumbuhan dan makrofag yang telah teraktifasi dalam
kadar yang tinggi terbukti bersifat toksik pada fungsi sperma dan embrio
yang selamat.
BAB II
JURNAL
SUBCLINICAL PELVIC INFLAMMATORY DISEASE AND INFERTILITY
TUJUAN : Menurut laporan angka insidensi dari pelvic inflammatory disease (PID)
menurun tetapi angka dari kejadian infertilitas masih tinggi. Sebagian
besar kejadian PID merujuk pada kejadian infertilitas yang tidak
terdeteksi. PID sering ditemukan pada wanita dengan infeksi chlamidia,
servisitis

gonococcal

atau

vaginosis

bacterial.

Sehingga

dapat

disimpulkan bahwa wanita dengan PID asimptomatis memiliki resiko


untuk terjadi nya infertilitas.
METODE : Metode Penelitian menggunan kohort observasional dengan peserta, 418
wanita dengan atau beresiko terinfeksi gonorrhea,Chlamydia atau
vaginosis bakterial Kriteria ekslusinya adalah wanita dengan PID akut.
Biopsi endometrium dilakukan untuk mengidentifikasi endometritis
( PID subklinis). Setelah itu dilakukan terapi untuk gonnorhea,

Chlamydia, dan vaginosis bakterial untuk selanjutnya di periksa fertilitas


dari peserta.
HASIL

: Terdapat peserta yang hamil saat pengamatan dilakukan, 50 dari 120


wanita ( 42 %) dengan PID subklinis dan 96 dari 187 wanita (51 %)
tanpa disertai dengan PID subklinis. Wanita dengan PID subklinis
menurunkan angka kehamilan sebesar 40 % jika dibandingkan wanita
tanpa PID subklinis (hazard rasio 0.6, 95% konfiden interval 0,40,8).Sehungga pada wanita tanpa PID subklinis tidak terjadi peningkatan
resiko infertilitas.

KESIMPULAN : Wanita dengan PID subklinis dengan meliputi infeksi gonnorhea,


Chlamydia, maupun bakterial vaginosis beresiko untuk terjadinya
infertilitas meskipun telah dilakukan terapi untuk infeksi tersebut.
Infertilitas terjadi pada 7 juta wanita subur di USA. Terjadi peningkatan
sebanyak 1 % dari total kelahiran di bantu oleh teknologi reproduksi yaitu fertilisasi
in vitro dan biaya untuk tindakan tersebut sangat mahal yaitu 12.000,00 US dollar.
Dari keseluruhan sekitar 10 % disebabkan oleh infertilitas yang disebabkan oleh
kelainan fungsi tuba. Kelainan tuba merupakan penyebab utama terjadinya infertilitas
pada wanita dan kelainan tersebut didapat oleh akibat PID. The Institute of Medicine
memperkirakan bahwa PID merupakan etiologi dari terjadi infertilitas pada 15 %
wanita USA. Meskipun penjelasan antara PID dan infertilitas dapat dijelaskan tetapi
terdapat wanita yang tidak memiliki riwayat PID tetapi mengalami infertilitas karena
factor kelainan pada tuba. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa inflamasi pada
traktus genitalia atas seperti salphingitis dan endometritis bersifat PID subklinis.
Karena tidak menimbulkan tanda dan gejala yang khas tetapi dapat menyebabkan
infertilitas karena factor tuba.
Pemeriksaan endometritis secara histology dan laparoskopi menunjukan
hubungan dekat dengan terjadinya PID akut (salphingitis) dan infeksi traktus genitalia
bagian atas. TErdapat studi pada wanita dengan kelainan histopatologi endometrium
tanpa gejala PID akut menunjukan bahwa inflamasi yang terjadi pada traktus genitalia

bagian atas mirip dengan terjadinya infeksi pada traktus genitalia bagian bawah
seperti infeksi gonococcal, servisitis Chlamydia, dan vaginosis bakterial. Pada studi
ini ditemukan bahwa wanita tanpa PID akut, ditemukan 1 dari 4 peserta memiliki
endometritis pada pemeriksaan histology dengan infeksi N gonnorhea atau C
trachomatis dan 1 dari 7 peserta dengan vaginosis bakterial. Peserta dengan
endometritis memiliki karekteristik dan klinis yang mirip dengan PID akut. Meskipun
karakteristik nya mirip dengan kejadian PID akut, tetapi belum dapat diestimasikan
bahwa wanita tersebut pasti akan memiliki gangguan invertilitas. Studi ini ditujukan
untuk mengetahui hubungan PID subklinis dengan meningkatnya resiko infertilitas
pada wanita.
METODE DAN BAHAN
Antara tahun 1998 hingga 2003 studi ini merekrut wanita dengan usia 15 30
tahun dari instalasi rawat jalan di wilayah pittsburgh klinik PMS Alleghany County
health departemen, the adagio health center dan di instalasi rawat jalan RS MageeWomens di Universitas Kedokteran Pittsburgh. Studi ini telah disetujui oleh dewa
peninjau Universitas Pittsburgh. Wanita yang terbukti fertilitasnya dapat masuk dalam
studi ini bila memiliki infeksi genitalia bagian bawah yaitu : simptomatis atau
asimptomatis infeksi serviks oleh gonnorhea atau Chlamydia, servisitis mucopurulen,
atau bakterial vaginosis( terbukti 3 dari 4 kriteria yaitu : discharge vagina homogen,
ph lebih dari 4.5, ditemukan clue sell sebanyak > 20%, tes whiff positif). Wanita yang
memiliki kontak sexual dengan pria yang didiagnosa terinfeksi gonnorhea ,
Chlamydia dan nongonococcal uretritis juga masuk kedalam studi ini sebab wanita
yang mengalami kontak seksual dengan pria dengan uretritis sering mengalami
servisitis. Kriteria ekslusi yaitu wanita dengan tanda dan gejala PID akut, wanita yang
hamil, ligasi tuba/ histerektomi, wanita yang pernah melakukan operasi ginekologi,
selain itu wanita yang sudah diketahui memiliki infertilitas karena factor tuba,
riwayat PID akut, abses pelvis, kehamilan ektopik, rupture appendiks, atau
endometriosis.
Peserta akan di wawancara oleh anggota penitilian dan mengisi kuisioner
tentang informasi demografi, medis, seksual dan riwayat reproduksi termasuk riwayat

kehamilan sebelumnya, aktivitas seksual, dan riwayat KB. Pemeriksaan ginekologi


menyeluruh. Sampel swab vagina diperoleh dari dinding lateral vagina untuk
mengidentifikasi dari vaginosis bakterial. Swab endoservikal diperoleh untuk
mengidentifikasi infeksi gonnorhea dan Chlamydia. Biopsi endometrium dilakukan
setelah membersihkan exoservik dan endoservik dengan povidon iodine. Sebuah alat
untuk mengambil sediaan dari endometrium (Unimar Pipelle de Cornier) melewati
kavum uterus dan mengaspirasi dari jaringan endometrium. Setelah itu sampel
dicampur dengan formalin 10%. Semua peserta penelitian baik servisitis maupun
vaginosis bakterial diterapi dengan pemberian antibiotic single dose dari cefixime
400mg, azithromycin 1g dan metronidazole 2g.
Peserta dihubungi melalui telefon pada jarak 4 bulan. Selama ditelefon peserta
akan ditanya tentang aktivitas sexual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan yang
tak terencana. Kontrasepsi yang efektif meliputi kb hormonal atau penggunaan
kondom pada setiap hubungan seksual. Wawancara melalui telefon terus dilakukan
hingga terjadi kehamilan atau peserta tidak melaporkan kehamilan selama 1 tahun
dari perekrutan atau tidak ada kabar. Peserta yang hamil akan dihubungi dan di
wawancara mengenai informasi tentang kehamilanya. Hasil yang ditargetkan adalah
kehamilan intrauterine.
Sampel dari servik diperiksakan di laborat, Untuk infeksi chlamydia di cek
rantai reaksi polymerase, gonnorhae dengan kultur, Score Nugent 7 atau lebih gram
stain dari cairan vagina ditujukan untuk pemeriksaan vaginosis bakterial. Bagian dari
sampel endometrium yang ditanam pada paraffin diwarnai oleh pewarnaan
hematoxylin eosin dan pewarnaan metal-hijau pyronine dengan latter highlighting
plasma cells. Pemeriksaan patologis dilakukan oleh seorang ahli yang berpengalaman
di studi PID yang tidak mengetahui informasi apa apa mengenai pasien. Pemeriksaan
histologi endometritis ditemukan 1 atau lebih sell plasma per 120x dari jaringan
stroma.
Analisis statistic dengan menggunakan program Stata satatistical 9.1.
perbedaan karakteristik dan pola antara peserta yang hilang dari studi dan yang tidak
hamil di evaluasi dengan Student t test atau fisher test apabila memenuhi syarat.

Model cox propongansi hazard dengan variasi-waktu kovariat digunakan untuk


mengevaluasi factor yang berhubungan dengan peserta yang selama studi menjadi
hamil, dimana kehamilan pertama dilaporkan setelah peserta terdaftar dalam studi.
Metode Efron partial likelihood approximation digunakan mengestimasi dari varians
dan dikalkulasi menggunakan metode Lin dan Wei untuk mengukur dan
menyesuaikan korelasi intraindividual. Variabel yang masuk dalam criteria inklusi
dalam model ini apabila 2 sumbu P value dari model yang belum disesuaikan kurang
dari 0,2. Pemilihan variable yang digunakan dan dipertahankan jika dua sumbu
Pvalue dari Wald X2 statistik tes kurang dari 0.05
HASIL
Terdaftar sebanyak 418 wanita dalam penelitian ini. Dari keseluruhan peserta,
sebanyak 46 (11%) spesimen biopsi endometrium dari peserta tidak cukup untuk
mendiagnosis dan 65 (16%) peserta hilang ketika di lakukan follow up. Dari 111
peserta yang di eklusikan mempunyai tingkat perbandingan gonorrhea, chlamydia
dan vaginosis bacterial dengan kelompok studi, serta memiliki status perkawinan
(peserta kelompok studi sebagian besar belum menikah), status demografi dan
kebiasaan seksual yang sama. Penelitian kohort dari 307 peserta dilakukan follow up
untuk kehamilanya seperti yang di gambaran pada tabel 1. Berdasarkan data yang
terkumpulkan, 55 wanita (18%) teridentifikasi menderita infeksi cervical oleh C.
trachomatis dan 32 wanita (10%) terinfeksi N gonorrhoeae serta 13 wanita (4%)
terinfeksi oleh keduanya. 203 wanita menderita vaginosis bacterial. Penemuan
histologis dari endometritis, sebagai indikasi dari PID sub-klinis ditemukan pada 120
wanita (39%).

Terdapat 671,6 orang per tahun yang di follow up, dengan median lama
follow up 2,1 tahun per peserta (0,4-4,6). Median dari waktu follow up adalah 2,8
tahun pada wanita dengan PID sub klinis (endometritis secara histologis) dan 2,5
tahun pada wanita tanpa PID sub klinis. 146 (47,6%) wanita mengalami hamil dengan
kehamilan intra uterin dan dikategorikan sebagai fertil. 161 (52,4) wanita tidak
mengalami kehamilan intrauterin (160 tidak hamil, 1 dengan kehamilan ektopik).
Rerata kehamilan yang di amati pada wanita ras hitam dan ras putih tidak dibedakan
(23 berbanding 17 per 100 wanita per tahun). Tingkat fertilitas di amati pada usia
yang sama. Wanita yang hamil 3 kali atau lebih, lebih subur dibandingkan dengan
wanita yang baru hamil 1 kali (29 berbanding 18 kehamilan per 100 wanita per tahun,
(HR) 1,6 CI 95% 1,1-2,4). Wanita dengan kebiasaan menggunakan kondom saat
berhubungan seksual serta wanita dengan kontrasepsi hormonal selama follow up
memiliki tingkat kehamilan lebih rendah yaitu 40%. Kehamilan lebih sering terjadi
pada wanita dengan 1 pasangan daripada wanita dengan lebih dari 1 pasangan, tetapi

proporsi wanita pada setiap kelompok yang ingin hamil tidak berbeda (14,8 %
banding 14 %, p=0,8).
Fertilitas antara 120 orang dengan PID sub klinis di bandingkan dengan 187
tanpa PID sub klinis (Tabel 2 dan 3, dan Gambar 1). Kehamilan intra uterin terjadi
pada wanita dengan PID sub klinis sebanyhak 50 per 288,1 wanita per tahun
dibandingkan dengan 96 kehamilan per 383,5 wanita per tahun pada wanita tanpa
PID sub klinis. Kontrasepsi hormonal, penggunaan kondom, pasangan, 3 atau lebih
kehamilan sebelumnya, wanita dengan PID subklinis secara signifikan lebih sedikit
untuk terjadinya kehamilan daripada wanita tanpa PID sub klinis (HR untuk hamil
0,6, CI 95% 0,4-0,8)

Kemudian dilakukan analisis pada kesuburan, dengan membandingkan tingkat


PID sub klinis antara wanita yang hamil dengan yang diamati pada perempuan yang
memenuhi definisi infertile. Infertil di definisikan dengan 2 cara, yang pertama,
menggunakan definisi umum yaitu kegagalan untuk hamil setelah 12 bulan
melakukan hubungan

teratur dengan kontrasepsi maupun tidak, yang kedua,

kegagalan untuk hamil meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur
dengan alat kontrasepsi maupun tidak selama masa follow up. Pada analisis, HR pada
PID sub klinis dan infertilias tetap tidak berubah (HR 0,6, 95 % CI 0,4-0,9, p<0,02)

Kesuburan pada wanita dengan atau tanpa PID sub klinis di kelopokan
berdasarkan ada tidaknya infeksi cervical oleh N. gonorhoea atau C trachomatis.
Diantara wanita tanpa PID sub klinis, tngkat kehamilan diamati pada wanita yang
terinfeksi oleh kedua bakteri tersebut tidak berpengaruh jika dibandingkan dengan
wanita yang tidak terinfeksi ( 33 dibandingkan 23 per 100 wanita per tahun, HR 1,6,
95% CI 1,02-2,6, P=0,04). Sebaliknya, tingkat kehamilan pada waita dengan PID sub
klinis antara wanita dingan atau tanpa infeksi kedua bakteri tadi lebuh rendah
daripada tingkat kehamilan pada wanita tanpa PID sub klinis (17 banding 23 per 100
wanita per tahun, HR 0,7 , 95% CI 0,5-0,96, p=0,03). Antara wanita dengan PID sub
klinis, ada tidaknya gonorhoe maupun clamidia tidak berdampak pada kemunginan
kehamilan (HR 1,0, 95% CI 0,5-1,9). Vaginosis bacterial, tanpa PID sub klinis, tidak
mempengaruhi tingkat kehamilan.

PEMBAHASAN
Seperti PID akut, dimana sudah dikenal penyebab penting dari kerusakan tuba
fallopi. Hasil ini menunjukkan bahwa PID subklinis berhubungan dengan infertil di
waktu yang akan datang. Dalam penelitian kohort ini, terdapat wanita dengan PID
subklinis dimana kurang dari 40 % dibanding dengan wanita tanpa PID subklinis.
Jumlah dari wanita infertil merupakanhal yang penring, di tahun 2002diperkirakan 2
juta pasangan di Amerika adalah infertil. Kerusakan tuba fallopi merupakan factor
utama infertilitas pada wanita dimana sebagian besar jumlah ini belum melaporkan
adanya keluhan-keluhan klinis PID.hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
infiertilitas ada hubungannya dengan PID dimana tidak perlu adanya gejala-gejala
akut yang menunjukkan wanita tersebut sudah mengalami PID, tapi dengan adanya
PID subklinis saja sudah akan mempengaruhi seseorang menjadi infertile. Mendekati
satu pertiga pasangan yang infertile, penelitian ini menunjukkan masalah yang
penting dimana etiologi dari infertile tersebut belum bisa dijelaskan secara penuh
mengenai infertilitas yang terjadi.
PID merupakan hasil dari ascending infection seperti C trachomatis, N
Gonorrhoae, atau endogenous vaginal microorganism. Setelah terjadi kerusakan pada
tuba fallopi menghasilkan konsekuensi yang serius pada sistem reproduksi, termasuk

infirtilitas akibat factor tuba, kehamilan ektopik, dan nyeri kronik pelvis. Factor tuba
merupakan penyebab umum infertilitas pada wanita di Amerika yang mencari
teknologi reproduksi dalam alternative pemecahannya. Konsekusni finansial yang
diakibatkan dari hl tersebut sangat diperhatikan. Harga dari sebuah vitro fertilitas
cycle sekitar 12.00 doilar, bahkan setelah sukses menmbuahkan kehamilan, biaya
jangka panjang berhubungan dengan in vitro fertilisasi kehamilansetelahnya,
termasuk multiple pregnancy, prematuritas, dan berat badan lahir yang rendah.
Studi retrospektif pada wanita dengan tubal factor infertility secara konsisten
menunjukkan hubungan antara infeksi C trachomatis masa lampau dengan kerusakan
tuba. World Health Organization Task Force on the prevention and Management of
Infertility menyatakan antiklamidia antibody dalam 71 % dari wanita dengan bilateral
tubal occlusion dibandingkan dengan 32 % wanita dengan etiologi infertile yang lain.
Hubunga yang sama juga ditunjukkan dengan infeksi N Gonorrhoeae dan infertilitas
tuba, dengan antibody pili dari N Gonorrhoeae ada dalam 62 % wanita infertile
dengan bilateral tubal occlusion dibandingkan dengan 38 % wanita dengan etiologi
infertile yang lain (P<0,1). Yang penting juga hanya minoritas dari wanita-wanita
tersebut dan yang seropositif C trachomatis atau N Gonorrhoeae sebelumnya
mengalami gejala-gejala akut dari PID. Tingginya rasio dari infeksi C trachomatis
atau N Gonorrhoeae sebelumny, tapi bukan yang sudah mengalami gejala akut PID,
pada wanita dengan infertilitas akibat factor tuba secara kuat menunjukkan besarnya
proporsi dari kerusakan tuba akibat infeksi PID subklinis. Penelitian ini
mendeskripsikan data prospektif yang mengkonfirmasi adanya huibungan antara PID
subklinis kejadian infertilitas di waktu yang akan datang.
Infeksi serviks akibat N Gonorrhoeae atau C Trachomatis yang bukan
merupakan PID subklinis, tidak dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya
infertile. Hanya wanita dengan PID subklinis yang dihubungkan dengan kejadian
infertile, hal ini menunjukkan bahwa sebuah inflamasi pada traktus genital atas
berhubungan dengan infertile. Fertilitas tersebut tidak berkurang pada wanita dengan
clamidia atau gonococcal cervicitis dan mendukung hipotesis bahwa adanya pathogen
di traktus genital bawah tidak menjadikan seseorang menjadi PID ataupun infertile.

Mekanisme dari adanya organism tidak bisa dijelaskan dengan mendetail dan
mungkin berhubungan dengan factor cerviks (seperti adanya antimikroba dari mucus
cerviks), hormonal milieu dan imunitas local. Peningkatan rasio kehamilan pada
wanita yang mengalami infeksi Chlamydia atau gonorrhoeae tapi tidak didapatkannya
endometritis mungkin merefleksikan pentingnya pembersihan dari derviks sebelum
terjangkitnya traktus genital atas menjadi infeksi ataupun kerusakan tuba. Keterkaitan
organism dalam hubungannya dengan infertile, seperti mycoplasma genitalum,
membutuhkan studi lebih lanjut pada wanita yang sudah terdapat gejala klinis
ataupun tidak.
Penyakit menular seksual merupakan penyakit epidemic di Amerika dan lebih
dari satu juta infeksi Chlamydia dan 300.000 infeksi gonococcal dilaporkan oleh
Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2009. Vaginosis bacterial,
merupakan penyebab umum dari kelainan vagina yang dipresentasikan dari 30 persen
wanita subur di Amerika. PID subklinisteridentifikasi lebih dari setengan wanita
dengan gonococcal atau chlamydial cervicitis dan 15-45 persen dari wanita dengan
bacterial vaginosis. Jumlah subclinical PID meningkat seiring dengan adanya infeksi
tersebut, bersamaan dengan meningkatnya resiko infertile. Hal ini menunjukkan
bahwa sejumlah wanita memiliki resiko lebih tinggi terjadi infertile apabila
sebelumya didapatkan pernah mengalami cervicitis atau vaginitis.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah beberapa wanita mungkin sudah ada
dalam keadaan subfertile sebelumnya. Bagaimanapun juga kriteria eksklusi
memperkecil kemungkinan ini dimana wanita dengan kemungkinana pre-existing
tuba factor infertilitas dieksklusi.. kemudian pneleitian kohort ini menginsklusi hanya
wanita yang pernah hamil sebelumnya dimana ini menunjukkan bahwa wanita itu
fertile sebelumnya. Keterbatasan yang lain adalah bahwa fertilitas sebelumnya
didapatkan dengan self-report bukan record preview. Penelitian ini juga menilai
infeksi Chlamydia dan gonorrhoeae saat ini, bukan infeksi berulangyang msudah
mempengaruhi fertilitas subjek. Meskipun hasil ini masih mungkin bias, penelitian ini
sduah menunjukkan 83 persen penyakit yang menular secara seksual. Populasi pada
penelitian ini termasuk wanita dengan atau masih hanya beresiko terinfeksi

gonorrhoeae dan Chlamydia atau dengan vaginosis bacterial, dan hasil-hasilnya


mungkin tidak dapat diaplikasikan pada populasi dengan resiko yang lebih rendah
terjangkit infeksi tersebut. Meskipun penelitian ini menemukan bahwa endometritis
meningkatkan infertile, penelitian lain (PEACH) menunjukkan PID akut tidak
berhubungan dengan endometritis dan infertile atau nyeri kronik pelvis. Hal ini butuh
penjelasan-penjelasan lebih lanjut.. kriteria subjek pada penelitian ini dan penelitian
PEACH berbeda. Sebelumnya memakai asimptomatik sedangkan sekarang ini
menggunakan simtomatis PID akut. Kedepannya, karena gejala PID tidak spesifik,
penelitian pada wanita dengan PID akut mungkin memeiliki nyeri kronik pelvis tidak
berhubungan dengan infeksi tapi berhubungan dengan infertilitas.
Hasil ini membuktikan penjelasan yang penting mengenai tuba factor
infertility dan menjelaskan kenapa PID akut tida terjadi sebelumnya pada wanita
dengan infertile terkait factor tuba. Prevalensi yang tinggi dari infeksi cerviks
berhubungan dengan C Trachomatis atau N Gonorrhoeae atau vaginosis bacterial,
bersamaan dengan frekuensi terjadinya subklinis PID pada wanita dengan resiko yang
tinggi terjadinya infertile. Strategi untuk mengontrol penyebaran dari C trachomatis
dan N Gonorrhoeae adalah dengan usaha meningkatkan deteksi awal dan treatmen
terhadap chlamidia dan gonococcal cervicitis dan bacterial vaginosis mungkin
nantinya akan mengurangi terjadinya PID subklinis dan mencegah terjadinya infertile
pada wanita.

BAB III
KESIMPULAN
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada
traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang
pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular

seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. PID disebabkan oleh penyebaran


mikroorganisme secara asenden ke traktus genital atas dari vagina dan seviks.

DAFTAR PUSTAKA

Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek & Novaks
Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.

Department of Health. 2004. Summary and conclusions of CMO's Expert Advisory


Group.London: DoH.
Ehrlich, Steven D. 2012. Pelvic Inflammatory Disease. University of Maryland
Medical
Center.
Diunduh
pada
15
desember
2014
di
http://umm.edu/health/medical/altmed/condition/pelvic-inflammatory-disease
Health Promotion England. 2000. Pelvic Inflamatory Disease (PID). London.
Diunduh dari http://www.unidocs.co.uk/docs/sti/pid.pdf tanggal 14 Desember
2014 pukul 16.00 WIB
Pearce J. 2002 Pelvic inflammatory disease. BMJ ;300:10901.
Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson & Pernolls
handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA : McGrawhill
Companies. tanggal 14 Desember 2014 pukul 16.00 WIB
Scholes D, Stergachis A, Heidrich FE, Andrilla H, Holmes KK, Stamm WE.
Prevention of pelvic inflammatory disease by screening for cervical
chlamydial infection. N Engl J Med. May 23 1996;334(21):1362-6
Shepherd, Suzanne Moore.2014.Pelvic Inflammatory Disease Treatment and
Management. Medscape diunduh pada 15 Desember 2014 di
http://emedicine.medscape.com/article/256448-treatment#a1156
Workowski KA, Berman S. Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2010.
MMWR Recomm Rep. Dec 17 2010;59:1-110

You might also like