You are on page 1of 3

Hyalin Membran Disease (HMD) BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS

KEDOKTERAN 2006 1. Pendahuluan Hyaline Membrane Disease (HMD), juga dikenal sebagai
respiratory distress syndrome (RDS), adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi
prematur, khususnya yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu. (4) Hyaline Membrane Disease
merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua
kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (9) HMD disebut juga
Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi
segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping
hidung, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau
menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologis
ditemukan pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram. (2) Pengenalan surfaktan
eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan klinik dari penyakit dan
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit. (4) Hyaline Membrane Disease (HMD)
Respiratory Distress Syndrome (RDS) 2.1 Definisi HMD disebut juga respiratory distress
syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang
bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas,
(pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan
sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan.
Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas
darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran
kapiler. Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologist
ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air
bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS. (2),(5) 2.2 Insidensi Hyaline
Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Di US, RDS
terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada
neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (9),(8) HMD pada bayi prematur bersifat
primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya
sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada
bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. (9) Frekuensinya
meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan
dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia,
stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. (9) Pada ibu diabetes, terjadi
penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu
dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang
menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi
kongenital kronik. (4) Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. (9) Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan
produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. (4) Insidensinya berkurang pada pemberian
steroid / thyrotropin releasing hormon pada ibu. (4) 2.3 Etiologi dan Patofisiologi 2.3.1
Pembentukan Paru dan Surfaktan Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu
dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal
termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran
gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar
dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan
pembentukan alveoli sejak 32 34 minggu. (4) Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai
usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion

antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. (9) Surfaktan
mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan
mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta
berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi. (4),(9) Komponen utama surfaktan adalah
Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80 %, phosphatidylglycerol 7 %,
phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol.
Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya
pada sel alveolar tipe II.(9) Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah
memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut
serta dalam proses perombakan surfaktan. (4),(13) Click to see larger picture Gambar 2.1.
Metabolisme surfaktan. (10) Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2)
dan dikirim ke aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya
tersusun dalam badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum
surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus,
fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular
(5). Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan
cairan dan udara (6) di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan
dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel
kecil (7), melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom (8) dan ditransportasikan untuk
disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh
makrofag alveolar (10). Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya
membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan
digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom
dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan
multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan
ke alveolus. (10),(4) 2.3.2 Etiologi HMD Kegagalan mengembangkan functional residual
capacity (FRC) dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis
berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,
phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. (4)
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan
iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat
pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi
oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya
surfaktan. (9) 2.3.3 Patofisiologi HMD Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang
belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan
paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema
interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli
sehingga cairan dan protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paruparu. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi
yang masih lemah. (13) Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan
edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk
mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena
diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal
yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis.
Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah
dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps.

Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami
atelektasis. (9) Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi
yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan
alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia.
Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan
meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui
paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi
surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. (9) Pada
bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat
menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu
terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis
metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan
penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus dapat

You might also like