You are on page 1of 19

Urtikaria

A. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat
dikelilingi halo.
B. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara
non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya
opium dan zat kontras.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,
kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
6. Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect
repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan,
dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non
imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa
menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau
fenomena Darier.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi
lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
B. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria
Ordinary urticarias
Acute urticaria
Chronic urticaria
Contact urticaria
Physical urticarias
Dermatographism

Delayed dermatographism
Pressure urticaria
Cholinergic urticaria
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticaria
Adrenergic urticaria
Delayed-pressure urticaria
Solar urticaria
Aquagenic urticaria
Cold urticarial
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy
Urticarial vasculitis
1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari. Lesi individu biasanya hilang
dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan
atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau
rekuren.
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu,
pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6
minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat
mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat
di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak

dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgEindependen).
4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan
merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang
tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores. Dermographism
tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang
sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi,
kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.

Gambar 1. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.


b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul
eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering
disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.
Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk
pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan
dengan tangan.

Gambar 2. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.

d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat
berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena
paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena
getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan
yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing
pada wajah.
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan
dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara
paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata
durasi episode adalah 12 jam.

Gambar 3. Cold Urticaria.


f. Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic
urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan
biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh
flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.

Gambar 4. Cold Urticaria.

g. Local heat urticaria


Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam
beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit
setelah kulit terpapar panas diatas 43C. Area yang terekspos menjadi seperti
terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi.

Gambar 5. Local Heat Urticaria.


h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadangkadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar
matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil
dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A
(UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.

Gambar 6. Solar Urticaria.

i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari
pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang
berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan
olahraga/exercise sebagai stimulusnya.

Gambar 7. Exercise-induced anaphylaxis.


j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang
terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran
norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus
seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria
dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa
antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil
yang mirip dengan cholinergic urticaria.

4. Sindrom Khusus
a. Schnitzler syndrome

Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh
pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau
radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan
monoclonal IgM gammopathy.
b. Muckle-Wells syndrome
Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan
autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural
yang progresif, dan amiloidosis.
c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal
yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP).
Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari
dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.
d. Urticarial vasculitis
Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis. Berbeda
dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan lebih lama
dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini juga
digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena garukan.

C. Patogenesis

FAKTOR NON IMUNOLOGIK

FAKTOR IMUNOLOGIK

Bahan kimia pelepas mediator


(morfin,kodein)

Reaksi tipe I (IgE)


(inhalan, obat, makanan, infeksi)

Reaksi tipe IV (kontaktan)


Faktor fisik
(panas, dingin, trauma,
sinar X, cahaya)

Pengaruh komplemen

SEL MAS
BASOFIL

Efek kolinergik

Aktivasi komplemen
klasik alternatif
(Ag-Ab, venom, toksin)

Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

Faktor genetik
(defisiensi C1 esterase inhibitor)

PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin,
kinin, PEG, PAF)

Alkohol
Emosi
Demam

VASODILATASI
PERMEABILITAS KAPILER

Idiopatik?

URTIKARIA

Gambar 8. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria

D. Gejala dan Tanda


Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:
a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.
c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul
seterusnya.
d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare,
muntah dan nyeri kepala.
Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:
e. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang
bagian tengah tampak lebih pucat.
f. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
g. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi,
respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
h. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan,
maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan
perubahan pigmentasi.
i. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek
tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
j. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal
dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:

Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.

Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi


kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.

Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.

Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.

Dermographism.

b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan


menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa,
diantaranya adalah:

Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.

Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.

Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya


hepatitis atau penyakit kolestatik hati.

Pembesaran kelenjar tiroid.

Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.

Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan


penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus
(SLE).

Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm


(asthma).

Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.Pemeriksaan darah
rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit
penyerta.

Pemeriksaan-pemeriksaan

seperti

komplemen,

autoantibodi,

elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan
membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C 1 inhibitor dan C4
komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria.Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria
dingin.
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.
c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik
(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai
tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor
vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies.
d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes
alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes
provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.
e. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
f. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.
g. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria
kolinergik.
h. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai
adanya alergi pada suhu tertentu.
i. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu


diagnosis.Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak
terdapat

perubahan

epidermis.

Pada

dermis

mungkin

menunjukkan

peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh


edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla
dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat
suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel
mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik.
Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran
limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon
alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau
urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi
berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan)
sampai ke vaskulitik (parah).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line
therapy, dan third-line therapy
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari:
a. Edukasi kepada pasien:

Menjelaskan

kepada

pasien

tentang

penyakit

urtikaria

dengan

menggunakan bahasa verbal atau tertulis.

Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak


mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan
fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres,


alcohol, dan agen fisik.

Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.

Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau


2%.

c. Antagonis reseptor histamin


Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan
angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada
reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping
farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin
yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi
nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,
aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih
cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih
lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin)
sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.
Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH 1 yang klasik
bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara
oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long
acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi
karena tidak dapat menembus sawar darah otak.
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada
beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe
H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya

yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah


cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line
therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus
UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi
tidak untuk urtikaria kronis.
b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai
efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang
bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan
untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan
efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayedpressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah.
Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan
menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan
kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis,
vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis,
yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari
kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa

tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan
untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan
urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia,
osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.
Contoh

obat

kortikosteroid

adalah

prednison,

prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi


prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2
mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat
mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anakanak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.
d. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan
mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria
kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti
montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih
dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria
kronik.
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan
whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan
dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.
3. Third-line therapy

Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon
terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori,

yang

meliputi

cyclosporine,

tacrolimus,

methotrexate,

cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).


Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun
dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine,
dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan
dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan
urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan
dosis 20-g/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan

corticosteroid-

dependent urticaria.
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen
pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme
yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi
anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1
dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk
mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan
harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant
pharmacotherapy.
c. Obat lainnya

Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola


urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin
paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik
idiopatik;

dan

telah

dikaitkan

dengan

respon

yang

baik

pada

hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun 2-adrenoceptor agonist


terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia
yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.

URTIKARIA

First-line Therapy
Second-line Therapy
Third-line Therapy
Identifikasi dan menghilangkan penyebab.
Edukasi
Farmakologi
Immunomodulatory
Langkah non-medis
Non-farmakologi
agent

PUVA
Cyclosporine
Mengurangi
faktor
non
spesifik
yang
memperberat
vasodilatasi
kulit
Antihistamin
Antidepresan
Tacrolimus
(alkohol, aspirin,
olahraga,
stress
emosional)
Kortikosteroid
Plasmapheresis
Leukotriene receptor
Obat lain:
antagonist
Colchicine
CCB
Dapsone
Ringan
Sedang-Berat
Berat
Hydroxychloroquine
(Distress pernapasan,
asma, edema
laring)
Terbutaline
Antihistamin H1 non sedatif

Antihistamin H1 non sedatif


Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Urtikaria. Epinefrin subkutan

Kortikosteroid sistemik
Antihistamin H1 non sedatif
(oral atau IV)
+

Kortikosteroid oral
Antihistamin H1 (IM)

NAC selama 3 minggu


NAC: not adequately controlled

Gambar 12. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Akut.20

NAC

G. Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2

You might also like