You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah dijelaskan bahwa Sesuai dengan amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan

prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan


serta potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.


Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya

dalam

arti

daerah

diberikan

kewenangan

mengurus

dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan


Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan

pada

peningkatan

kesejahteraan

rakyat.

Namun

dalam

pelaksanaannya birokrasi pemerintah daerah sampai saat ini masih jauh


dari prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini
karena fungsi aparatur daerah sebagai subyek dalam melaksanakan
kewenangan

tersebut

cenderung

berfungsi

sebagai

buruh

pabrik,

mengejar setoran dari hasil produksi tanpa memperdulikan kondisi dan


tatanan yang ada untuk kepentingan masyarakat.
Bertitiktolak dari uraian tersebut diatas, sebagai upaya untuk
mengembalikan kondisi birokrasi pemerintahan daerah berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, perlu melakukan reformasi secara
1

menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka


teoritik

dan

empirik

yang

luas,

mencakup

didalamnya

penguatan

masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan


ekonomi

dan

pembangunan

politik

yang

sating

terkait

dan

mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan


bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini.

B.

Identifikasi Masalah
1 Apakah yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?
2 Bagaimana pelaksanaan reformasi birokrasi

pemerintah

daerah ?
3 Apa yang perlu di reformasi dari birokrasi pemerintah daerah ?
C.

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana

sebenarnya

pelaksanaan

reformasi

birokrasi

pemerintah

daerah

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,


pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan penulis dalam bidang materi Birokrasi.

BAB II
LANDASAN TEORI
A.

Birokrasi.
1.

Pengertian Birokrasi.
Pengertian

birokrasi

dikalangan

masyarakat

sering

dihubungan dengan ketidakpuasan, rumit, bertele-tele dan banyak


lagi perkataan-perkataan yang dilotarkan oleh sebagai masyarakat
yang merasa kecewa atas pelayanan suatu birokrasi yang mereka
alami.
Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata
yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan.
Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk
pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi,
dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang
bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undangundang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi.
Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah buralist yang
dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi
bureaucracy yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja
yang

rasional,

impersonal

dan

leglistik

(Thoha,

1995

dalam

Hariyoso, 2002).
3

Menurut Ferrel Heady

ada 3 (tiga) pendekatan dalam

merumuskan birokrasi yaitu :


a.

Pendekatan struktural.

Menurut pendekatan ini

birokrasi sebagai suatu susunan yang terdiri dari


hierarki

otorita

dan

pembagian

kerja

yang

amat

terperinci (Victor Thonson);


b.

Pendekatan
pendekatan

Perilaku(Behavioral).
ini

menekankan

Menurut

arti

pentingnya

objektivitas, pemisahan, ketepatan dan konsistensi yang


dikaitkan

dengan

ukuran

fungsional

dari

pejabat

administrasi. Dengan kata lain, perilaku positif lekat


dengan pencapaian tujuan organisasi birokratik;
c.

Pendekatan

Pencapaian

Tujuan.

Menurut

pendekatan ini birokrasi sebagai suatu organisasi yang


memaksimalkan efisiensi dalam administrasi atau satu
metode pelembagaan perilaku sosial yang terorganisasi
dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi.
2.

Ciri organisasi Birokrasi.


Pemerintah daerah tidak mungkin berhasil mencapai tujuan

untuk mensejahterakan masyarakat tanpa menggunakan organisasi


birokratik.

Menurut

H.

Wrong

setiap

organisasi

birokratik

mempunyai ciri struktural utama sebagai berikut :


a
b
c
d

Pembagian tugas;
Hierarki otorita;
Peraturan dan ketentuan yang terperinci;
Hubungan impersonal di antara anggota organisasi.

Sedangkan Max Weber memberikan 6 (enam) ciri dari


organisasi birokrasi yaitu :

a.

Terdapat prinsip yang pasti dan wilayah yurisdiksi yang


resmi, yang pada umumnya diatur dengan hukum atau
peraturan-perataran administrasi;

b.

Terdapat prinsip hierarki dan tingkat otorita yang

mengatur sistem.
c.

Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen yang


dipelihara dalam bentuk aslinya;

d.

Terdapat

spesialisasi

dan

pengembangan

pekerja

melalui latihan keahlian;


e.

Aktivitas organisasi menurut kapasitas anggota secara


penuh;

f.
3.

Berlakunya aturan-aturan main mengenai manajemen.

Pentingnya Birokrasi.
Bahwa proses kebijaksanaan pemerintah terdiri dari formulasi,

implementasi,
merupakan

evaluasi

proses

dan

dari

terminasi,

suatu

yang

birokrasi,

kesemuanya

sehingga

itu

birokrasi

mempunyai andil dan keterlibatan yang besar dalam pembuatan


keputusan.
Robert Presthus memperlihatkan peranan birokrasi dalam
pebuatan keputusan dalam hal-hal sebagai :
a.

Pembuatan peraturan dibawah peraturan perundangundangan (delegated legislation);

b.

Pemrakarsa

kebijaksanaan

(bureaucracys

role

in

initiating policy);
c.

Hasrat Intenal birokrasi untuk memperoleh kekuasaan,


keamanan dan kepatuhan (bureaucracys internal drive
for power security, and loyalty).

B.

Reformasi.
Reformasi memiliki interpretasi yang berbeda-beda tergantung pada

konteks dari reformasi tersebut. Namun secara umum reformasi dapat


diartikan sebagai pembaruan dengan melakukan perubahan menuju arah
yang lebih baik karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
sistem yang ada.
Reformasi dapat berupa perubahan total yang radikal tau bisa
diidentikkan dengan revolusi ataupun dapat berupa perubahan yang
secara bertahap. Hal ini tergantung dari objek yang akan direformasi.
Apabila kerusakan dan penyimpangan yang terjadi sudah sangat kronis
maka

reformasi

penyimpangan

harus

yang

dilakukan

terjadi

secara

dipandang

radikal.

masih

Namun

ringan

apabila

maka

tidak

diperlukan reformasi yang radikal.


1.

Reformasi Birokrasi.
Sebuah

negara,

dalam

mencapai

tujuannya,

pastilah

memerlukan perangkat negara yang disebut pemerintah dan


pemerintahannya. Pemerintah pada hakikatnya adalah pemberi
pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin
kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah
terjadi pula perkembangan penyelenggaraan pemerintahan. Karena
itu, diperlukan adanya rangka pemerintahan yang kuat untuk
menghadapi dinamika perkembangan masyarakat.
Reformasi birokrasi adalah salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Pengertian dari reformasi birokrasi itu sendiri
adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang
tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau
kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak
hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan
perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini

berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan


wewenang dan kekuasaan.

2.

Tahap Tahap Reformasi Birokrasi yang ideal.


Mengutip

definisi

yang

diajukan

Fauziah

Rasad

dari

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), reformasi birokrasi adalah


perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Agar
reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkahlangkah

manajemen

perubahan.Manajemen

perubahan

adalah

proses mendiagnosis, menginisialisasi, mengimplementasi, dan


mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam
rangka

menyesuaikan

diri

dan

mengantisipasi

perubahan

lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan


keuntungan. Ada tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip
dari Harvard Business Essentials tahun 2005 yaitu :
a.

Langkah pertama, memobilisasi energi dan komitmen


para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita,
tantangan,

dan

solusinya

oleh

semua

anggota

organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi


pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi,
apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau
menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar
mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama,
mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan
keputusan;
b.

Langkah

kedua,

mengembangkan

visi

bersama,

bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun


organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan;
c.

Langkah ketiga, menentukan kepemimpinan. Di dalam


instansi

pemerintahan,

kepemimpinan

biasanya

dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan


7

harus ada pada semua level agar dapat mengontrol


perubahan.

Pemimpin

tertinggi

harus

memastikan

orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan


sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya;
d.

Langkah keempat, fokus pada hasil kerja. Langkah itu


dilakukan

dengan

membuat

mekanisme

asessment

yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap


tim yang diberi tugas tertentu;
e.

Langkah kelima, mulai mengubah unit-unit kecil di


instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar
ke unit-unit lain di seluruh instansi;

f.

Langkah keenam, membuat peraturan formal, sistem,


maupun

struktur

untuk

mengukuhkan

perubahan,

termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi;


g.

Langkah

ketujuh,

mengawasi

dan

menyesuaikan

strategi untuk merespons permasalahan yang timbul


selama proses perubahan berlangsung.
3.

Strategi reformasi birokrasi.


a.

Pada

level

kebijakan,

harus

diciptakan

berbagai

kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi


pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum,
batas

waktu,

prosedur,

partisipasi,

pengaduan,

gugatan);
b.

Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan


proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan
latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat,
penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim
dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah;

c.

Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui


peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles,
reliability, responsiveness, assurance dan emphaty;

d.

Instansi

Pemerintah

pengukuran

secara

kepuasan

periodik

pelanggan

melakukan

dan

melakukan

perbaikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah.


Berbagai ahli seperti Drucker ( 1992 ), Osborne & Gaebler (1992),

Barzelay (1992), Mc Leod (1998) secara implisit menyebutkan bahwa


causa

prima

kesejahteraan

atau

penyebab

rakyatnya

utama

adalah

kegagalan

karena

negara

kelemahan

membawa

manajemennya.

Manajemen pemerintahan pada semua dimensi umumnya sudah sangat


usang, tertinggal oleh kemajuan jaman, sehingga alih-alih melayani
masyarakat, organisasi pemerintah malahan lebih banyak menjadi beban.
Hal tersebut nampak dari penggunaan sebagian besar dana publik untuk
kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila
Ingraham dan Romzek ( 1994 ) menyebutkan bahwa sektor pemerintah
harus belajar dari sektor privat yang sukses. Ingraham dan Romzek (1994)
menawarkan pengelolaan pemerintahan baru yang disebutnya paradigma
Hollow State, dengan ciri pekerjaan pemerintah yang tidak bersifat
stratejik

(non-strategic

function)

dikontrakkan

kepada

pihak

ketiga

(contracting-out).
Sektor privat pada umumnya sudah masuk pada manajemen
generasi kelima yakni management by human networking - dengan
dominasi penggunaan teknologi komunikasi dan informasi. Savage (1990)
menyebutkan

bahwa

prinsip

human

networking

adalah

self-

empowering, yakni pemberdayaan diri sendiri pada setiap orang


sehingga mampu mandiri, termasuk di dalam mengambil keputusan.
Pimpinan diperlukan untuk mengkoordinasikan kegiatan perorangan agar
9

mengarah pada pencapaian tujuan, tetapi tidak bersifat mengatur. Pada


tahap

kemandirian,

setiap

individu

telah

memiliki

kesadaran

dan

tanggung jawab tanpa terlampau banyak diawasi atau dikendalikan.


Pada sisi lain, sektor pemerintah masih berkutat pada manajemen
generasi kedua yakni management by direction - dengan dominasi peran
pemimpin. Sang pemimpin menjadi sumber ide dan gagasan, sedangkan
pengikut lebih banyak bertindak sebagai pelaksana. Dengan perkataan
lain,

organisasi

sektor

pemerintah

masih

memiliki

karakteristik

berorientasi pada pemimpin (leader orientation), belum berorientasi pada


sistem

(system

orientation).

Dengan

demikian,

maju

mundurnya

organisasi pemerintah sangat tergantung pada sang pemimpin.


Anggota organisasi lebih merupakan bawahan yang lebih banyak
menjalankan

perintah

atasan,

daripada

insan-insan

yang

memiliki

kreativitas dan inovasi. PNS dihargai karena kepatuhan dan loyalitasnya,


bukan karena kreativitas dan inovasinya. Birokrasi di Indonesia adalah
birokrasi

tanpa

karakter.

Indikasinya

nampak

dari

berbagai

persidangan korupsi pada Departemen Agama maupun Departemen


Kelautan dan Perikanan, dan mungkin nantinya juga pada departemendepartemen lainnya. Seorang sekretaris jenderal yang merupakan jabatan
tertinggi dalam jajaran birokrasi di Indonesia (golongan IVe) ternyata tidak
memiliki keberanian untuk menolak perintah menteri, meskipun mereka
tahu bahwa perintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Mereka takut kehilangan jabatan, karena bagi mereka jabatan
adalah segala-galanya. Karena pada jabatan tersebut melekat kehormatan
serta fasilitas baik yang resmi dan terutama yang tidak resmi. Gaji dan
tunjangan resmi eselon I relatif kecil dibandingkan dengan jenjang jabatan
yang setara pada sektor privat. Tetapi apabila fasilitas penunjang yang
diterima dari negara seperti mobil dinas, rumah dinas, sopir dinas dan lain
sebagainya, yang semuanya dibiayai oleh negara dihitung sebagai
pendapatan maka jumlahnya menjadi sangat besar. Belum lagi gratifikasi
dari pihak ketiga yang diterima karena jabatannya. Sehingga pendapatan
10

yang dibawa pulang (take home pay) setiap bulannya tidak jauh berbeda
dengan sektor swasta.
Apabila pejabat eselon I yang sudah ikut segala macam pendidikan
dan pelatihan di dalam maupun di luar negeri saja tidak memiliki karakter
yang jelas, dapat dibayangkan bagaimana karakter birokrasi pada tingkat
yang lebih rendah. Hal-hal ideal yang diterima selama mengikuti
pendidikan dan pelatihan hanya sekedar wacana, wacana dan wacana,
karena kurang diikuti dengan komitmen untuk perubahan ke arah
kemajuan dan konsisten menjaga komitmen.
Reformasi

manajemen

birokrasi

diberbagai

negara,

termasuk

Indonesia, diperkuat dengan hadirnya paradigma good governance yang


dikembangkan oleh Bank Dunia maupun UNDP. Pada hakehatnya tata
kepemerintahan yang baik adalah upaya memperbaiki manajemen dalam
berbagai aspkenya dengan memasukkan nilai-nilai baru yang lebih
transparan, akuntabel, demokratis serta berbasis pada 6 penegakan
hukum. Good governance sendiri adalah cara atau implementasi untuk
mengubah keadaan dari pemerintahan yang jelek (bad government)
menuju pada pemerintahan yang baik (good government).
Untuk mengejar ketertinggalan dibanding sektor pemerintah di
negara lain maupun sektor swasta, manajemen sektor pemerintah di
Indonesia,

khususnya

pemerintah

daerah

perlu

dibenahi

secara

menyeluruh dan berkelanjutan. Pembenahannya mencakup semua fungsi


dan aspek manajemen meliputi perencanaan, organisasi, pelaksanaan,
pengawasan sampai pengelolaan konflik dan kolaborasi.
B.

Reformasi Organisasi Birokrasi Pemerintah Daerah.


Telah dipahami bersama bahwa organisasi adalah sebuah wadah

dan sekaligus sistem kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.


Sebagai sebuah sistem, organisasi harus bersifat self-renewing system,
dalam arti memiliki mekanisme untuk secara terus menerus memperbaiki
dirinya

sendiri

sesuai

perkembangan

lingkungan

internal

dan

11

eksternalnya. Organisasi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan


perubahan, akan menjadi usang, dan kemudian mati.
Perkembangan

teori

organisasi

berjalan

seiring

dengan

perkembangan manajemennya, karena keduanya merupakan dua sisi dari


sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Manajemen hanya ada
dalam

sebuah

organisasi,

sebaliknya

organisasi

tanpa

manajemen

hanyalah sebuah kerumunan atau gerombolan.


Pola organisasi pemerintah daerah yang digunakan pada saat diatur
berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2003 masih memakai model generasi
ketiga, dengan mengutamakan kewenangan serta menonjolkan jabatan
struktural. Tetapi PP ini masih sejalan dengan kecenderungan perubahan
global yakni dari downsizing menuju rightsizing, karena membatasi jumlah
maksimal dinas dan lembaga teknis daerah pada Daerah Provinsi maupun
Daerah Kabupaten/Kota. Para ahli organisasi sudah mengingatkan bahwa
pada abad ke-21 perlu dilakukan pembaruan dengan lebih menekankan
pada keahlian, bukan lagi pada kekuasaan.
Momentum untuk mengubah organisasi pemerintah daerah menjadi
lebih profesional menuju organisasi generasi keempat sebenarnya terbuka
pada saat PP tersebut akan direvisi. PP penggantinya yakni PP Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintah Daerah ternyata mengalami
kemunduran dari segi konsep, karena PP tersebut mendorong terjadinya
proliferasi birokrasi dengan memberi

peluang penambahan jumlah

jabatan struktural. Padahal melalui sistem pemilihan kepala daerah secara


langsung seperti saat ini telah terjadi politisasi birokrasi. Jabatan
struktural diisi oleh kepala daerah yang memenangkan pemilihan tanpa
mengindahkan kompetensi jabatannya. Sebagai contoh kasus di beberapa
daerah terdapat kepala dinas perhutanan dan konservasi tanah diisi oleh
sarjana sosial politik, jabatan sekretaris DPRD diisi oleh sarjana perikanan,
kepala kantor arsip dan perpustakaan daerah diisi oleh sarjana teknik.
Praktek semacam itu terjadi juga diberbagai daerah lainnya di Indonesia.
Asas yang dipakai adalah siapapun dapat jadi apapun, asalkan
kepala daerah menghendaki.

12

Pola pengembangan karier PNS seperti itu tidak akan pernah


membangun birokrasi yang profesional dalam bidang tertentu, karena PNS
tidak pernah dapat merancang kariernya sendiri. Karier PNS sangat
tergantung pada pendekatan politik dan garis tangan. Padahal melalui
PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, daerah otonom khususnya kabupaten/kota diberi urusan
pemerintahan

yang

banyak,

luas

dan

bersifat

teknis.

Untuk

menjalankannya diperlukan birokrasi yang profesional dalam bidangnya


secara

spesifik,

dan

hal

tersebut

hanya

dapat

diperoleh

melalui

pengembangan karier melalui jabatan fungsional dalam suatu organisasi


fungsional. Apabila daerah mengembangkan organisasi fungsional, berarti
daerah telah masuk pada organisasi generasi keempat. Jabatan karier
yang bersifat generalis tetap diperlukan, tetapi jumlahnya tidak sebanyak
jabatan karier spesialis.
C.

Reformasi Sumber Daya Birokrasi Pemerintah Daerah.


Di dalam organisasi, sumber daya manusia memegang peranan

kunci, begitu pula di dalam birokrasi pemerintah daerah. Sumberdaya


manusia dalam birokrasi pemerintah daerah yang biasa disebut sebagai
pegawai negeri sipil adalah abdi negara dan masyarakat. Menurut Bekke,
Perry & Toonen (1996), ada lima tahap perkembangan peran PNS yaitu:
1.

Tahap pertama, PNS sebagai pelayanan perorangan;

2.

Tahap kedua, PNS sebagai pelayanan negara atau pemerintah;

3.

Tahap ketiga, PNS sebagai pelayan masyarakat;

4.

Tahap Keempat PNS sebagai Pelayanan Yang Dilindungi;

5.

Tahap Kelima PNS sebagai Pelayanan Profesional.

Untuk masuk ke tahap kelima perlu dibangun organisasi fungsional


yang

didukung

oleh

orang-orang

yang

memiliki

kompetensi

dan

profesional dalam bidang tugasnya masing-masing. Arah pengembangan


kariernya bukan melebar menjadi generalis, melainkan menukik ke dalam
menjadi spesialis dalam bidangnya.

13

D.

Reformasi Kepemimpinan Pemerintah Daerah.


Kepemimpinan nasional harus dapat berfungsi mengawal proses

pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dirasakan oleh warga bangsa di


seluruh wilayah nusantara. Konsepsi membutuhkan sumberdaya manusia
berkualitas, berkemampuan iptek dan seni yang dilandasi nilai-nilai
ideologi bangsa, serta dapat berinteraksi dengan komponen bangsa
lainnya dalam hidup bersama. Kepemimpinan nasional harus dapat
mengawal strategi implementasi reformasi birokrasi (PURB, 2008) yakni (i)
membangun kepercayaan masyarakat, (ii) membangun komitmen dan
partisipasi, (iii) mengubah pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja dan (iv)
memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan mengantisipasi
terjadinya perubahan.
Strategi implementasi reformasi birokrasi bukan hal teknis semata,
tetapi membutuhkan kemampuan kepemimpinan extraordinary untuk
menjalankannya pada tatanan Sismennas. Hal ini bisa dilihat dari sisi lain,
Sismennas

sesungguhnya

menjadi

alat

bantu

yang

efektif

untuk

menjalankan mekanisme business process kepemimpinan. Lebih penting


dari itu, kepemimpinan juga harus mampu mengawal seluruh SDM
senantiasa dalam steady state mengantisipasi perubahan.

14

BAB IV
KESIMPULAN

Reformasi

birokrasi

pemerintahan

daerah

merupakan

suatu

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh pemerintahan daerah di


Indonesia dengan berpedoman kepada Grand Design dan Road Map
Reformasi Birokrasi, yang meliputi reformasi organisasi, sumber daya, dan
reformasi kepemimpinan daerah dalam rangka tercapainya tujuan dalam
rangka mensejahterakan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya
diperlukan monitoring yang solid dan kredibel serta mencerminkan suatu
sistem pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan
menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut.
Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan reformasi
Birokrasi (Menpan-RB) RI, Azwar Abu Bakar pernah membuka Rapat Kerja
Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah di Hotel Labersa, Kampar. Dalam
kata sambutannya, mantan Menpan-RB ini menilai produkticitas birokrasi
masih tergolong rendah. Dengan kondisi ini, reformasi birokrasi menjadi
salah

satu

solusi

dalam

menghasilkan

aparatur

pemerintah

yang

memahami tugas dan tanggungjawab, serta bersih dari kolusi, korupsi dan
nepotisme (KKN). Dia menyebutkan, seluruh aparatur pemerintah daerah
harus berubah dan mengikuti birokrasi reformasi. Ini ditekankan karena
permasalahan birokrasi termasuk tiga permasalahan besar di Indonesia,
selain korupsi dan infrastruktur.
15

Untuk itu mantan Menteri Menpan dan RB Azwar Abubakar telah


disusun model Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB)
yang merupakan hasil adopsi dari model Common Assesment Framework
(CAF). Model ini, mengandalkan penilaian mandiri dalam penilaian kinerja
instansi pemerintah, dan mengembangkan rencana perbaikan kinerja
dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Manajemen (TQM)
dengan perbaikan secara

berkelanjutan. Pedoman PMPRB tersebut

merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian


upaya pencapaian program reformasi birokrasi sejalan dengan pencapaian
sasaran, indicator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas
output dan outcame pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi
pemerintah serta pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) masingmasing instansi pemerintah dengan Indikator bekerhasilan reformasi
birokrasi secara nasional.
Penerapan model PMPRB, menurut mantan Menpan RB Azwar
Abubakar akan segera ditetapkan sebagai pedoman, hal ini karena
memiliki berbagai keuntungan dan manfaat karena model ini, pertama;
sederhana, mudah diterapkan dan menyesuaikan dengan dinamika
perubahan.

Kedua;

manfaat

dan

pengolah

lebih

lanjut

berbagai

data/informasi, materi serta dokumen yang sebagian besar sudah


dikembangkan dan tersedia.

Ketiga; memberikan system penilaian

mandiri dan baku yang objektif dan dapat memberikan informasi


perkembangan pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi secara Online
dan upaya perbaikan yang diperlukan secara efektif dan berkelanjutan.
Keempat,

memudahkan

pengintegrasian

data

dan

informasi

untuk

menggambarkan profil pencapaian reformasi birokrasi nasional secara


Online. Kelima; mendorong terjadinya kompetensi yang positif di antara
instansi emerintah sehingga mendorong kinerja pemerintah secara
keseluruhan.

Keenam;

mendorong

kerjasama

internasional

dalam

komunitas bersar pengguna model CAF dengan berbagai pengalaman


dengan berbagai institusi di Negara lain melalui suatu forum ataupun
secara bilateral, dan ketujuh; memudahkan peningkatan capacity building
secara internasional bersama dengan European Institute of Public
16

Administrasion (EIPA) CAF Resource Center uyang berkedudukan di


Belanda. Sistem PMPRB akan dapat berperan dalam kita mengetahui dan
menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana
diharapkan. Hal tersebut harus ditunjukkan dengan hasil signifikan dalam
perbaikan tata kelola pemerintahan dan sasaran reformasi birokrasi
nasional yaitu terwujudnya Pemerintahan yang bersih dari KKN dan
pelayanan publik yang berkualitas dan kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi

DAFTAR PUSTAKA
http://www.boss.or.id/images/files/pdf/artikel/reformasi%20birokrasi
%20pak%20edi%20siswadi.pdf
http://journal.ui.ac.id/index.php/jbb/article/viewFile/626/611
http://jurnalwidyaswara.wordpress.com/2011/02/23/manajemenpenerapannya-dilingkungan-pemerintahan-daerah-dalam-perspektifreformasi-birokrasi/

17

http://www.bappenas.go.id/files/8513/5071/7947/said__20091015123432_
_2348__0.pdf
http://pustakaonline.wordpress.com/2008/03/22/otonomi-daerah-sebagaikeharusan-agenda-reformasi-menuju-tatanan-indonesia-baru/
http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/02/kebijakan-otonomi-daerah-erareformasi.html
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=149636&val=5897
http://journal.usm.ac.id/jurnal/solusi/350/detail/
https://asropi.files.wordpress.com/2009/02/budaya-inovasi-dan-reformasibirokrasi1.pdf
http://www.stialanbandung.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=271:reformasi-birokrasipemerintahan-menuju-good-governance-dalam-perspektifadministrasi-publik&catid=46:volume-vii-no2-tahun2010&Itemid=63

18

You might also like