You are on page 1of 4

[Renungan] Seorang Perempuan Tua Duduk Termangu

—-Panas. Suasana Bandung yang saban hari semakin terik saja.


Melepuhkan aspal-aspal. Melelehkan plastik-plastik. Menguapkan
keringat-keringat. Mengeringkan genangan-genangan. Mencipta bias
fatamorgana pada permukaan jalan. Mencipta angan-angan. Bersama angin
yang raib begitu saja. Menghilang. Lenyap. Terembuskan begitu saja.
Menjadi ghaib. Kembali lagi menjadi awal. Berputar dan terus berputar.
Pada titik yang pada akhirnya kembali menjelma panas.—-Seorang
perempuan tua duduk termangu. Pada lapaknya yang tidak jauh dari
lapak-lapak pedagang kaki lima yang banyak berkumpul di pinggir jalan
utama. Memenuhi trotoar yang tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki.
Lapaknya selalu sepi; yang tampak berbeda jauh dari lapak-lapak lainnya
dimana calon pembeli berjubel. Mungkin karena barang dagangannya yang second.
Mungkin karena dia hanya perempuan tua yang tidak aktif menawarkan
dagangannya. Mungkin karena rezekinya belum datang. Mungkin…. —-Seorang
perempuan tua duduk termangu. Ketika seorang calon pembeli datang dan
melihat-lihat barang-barang dagangannya yang hanya berupa pakaian, dari
anak sampai dewasa. Sebagian tergantung dengan warna-warni dan model
yang menarik. Sebagian lainnya bertumpuk pada lapak yang membukit. Tak
ada yang baru dari dagangannya. Tapi semuanya layak untuk dijual. Layak
untuk dipakai, bagi mereka yang mau menghargai. Dan calon pembeli itu
kemudian memegang, melihat-lihat, mengukur, melipat, meneliti.
—-“Berapa ini, Mbah?” tanya calon pembeli itu memperlihatkan sehelai baju.
—-Mata tua perempuan yang duduk termangu berkilat, “Lima belas ribu.”
—-“Wahh … kok mahal, Mbah. Lima ribu saja, ya?”
—-Perempuan tua itu hanya tersenyum. Miris. Ia pun menggeleng.
—-“Kalau tujuh ribu bagaimana?”

—-“Tiga belas ribu,” jawab perempuan tua itu bangkit dari duduknya.
Kini ia berdiri sambil bersenderkan pada pakaian-pakaian yang bertumpuk
di lapaknya.
—-“Tujuh ribu lima ratus deh, Mbah. Tuh! Jahitannya saja sudah ada yang lepas
satu.”
—-Perempuan tua itu kembali menggeleng. “Itu sudah murah. Saya cuma ngambil
untung seribu lima ratus.”

—-“Masa sih?” sahut calon pembeli itu tak peduli. Baju yang
ditentengnya terus, kemudian diletakkan begitu saja pada tumpukan baju
yang membukit. Ia pun melihat-lihat pakaian lainnya yang menggantung.
Memegang-megangnya. Begitu pula dengan yang menumpuk di lapak.
Diangkat-angkat. Ditarik dan dilihatnya, lalu diletakkan begitu saja.
Setelah itu, ia pergi.
—-Seorang perempuan tua berdiri termangu. Ia
menghela nafas panjang, dan setelah itu mulai merapikan kembali
pakaian-pakaian yang tadi sudah dipegang-pegang dan dilihat-dilihat.
Termasuk menggantungkan kembali sehelai baju yang sempat ditawar ke
tempatnya semula.
—-Lebaran sebentar lagi. Hari raya tinggal
hitungan hari. Tepat lusa, semua umat Muslim akan berbondong-bondong ke
tengah lapang untuk melaksanakan Shalat Ied. Semua pedagang sudah pasti
akan menghitung keuntungan yang akan diperolehnya, agar nanti bisa
berlebaran. Lebaran yang sebenarnya. Membawa uang banyak. Membawa
oleh-oleh. Membagi-bagikan recehan pada anak-anak, keponakan-keponakan ,
tetangga-tetangga, dan orang-orang yang patut dan biasa diberi.
Bergegas. Bersemangat. Akan lebaran yang sudah pasti ramai. Bersama
keluarga yang berkumpul—tanpa kecuali—dan tetangga-tetangga yang saling
berkunjung.
—-Seorang perempuan tua kembali duduk termangu. Matanya
yang sudah berkabut menatap orang yang lalu-lalang di depan lapaknya.
Panasnya cuaca tidak dipedulikannya lagi. Pikirannya menerawang ke
negeri antah berantah. Mungkin bagi dirinya, inilah jalan hidupnya yang
harus dijalani, setelah berpuluh-puluh tahun. Mungkin bagi dirinya,
inilah hidup sebenarnya. Mungkin bagi dirinya—yang mungkin usianya
tidak lama lagi usai—, inilah usaha yang paling bisa dilakukannya. Yang
masih sempat dilakukannya.
—-Entah angin mana yang menggerakkan,
sehelai daun tua berputar-putar di depan lapaknya. Meninggi dan
kemudian meliuk, tepat ketika angin yang ghaib itu hilang tak berbekas.
Berputar dan jatuh tepat di atas tumpukan pakaiannya yang membukit.
Perempuan tua yang duduk termangu itu kemudian bangkit, mengambil daun
kering itu. Ia pun duduk kembali, sementara jemari keriputnya membelai
permukaan daun yang sudah tidak halus lagi. Menatapnya kosong. Termangu
kembali.
—-Seorang perempuan tua duduk termangu. Ketika ada seorang
perempuan kecil datang menghampiri. Di tangan kanannya tergantung
plastik hitam yang tidak baru lagi. Rambutnya sedikit kusut dan
kulitnya berbusik. Wajahnya menawarkan sesuatu yang hampa. Tak ada
senyum, tak ada ceria. Hingga akhirnya perempuan kecil itu berhadapan
dengan perempuan tua yang sedang duduk memegang daun kering, lalu
menyodorkan plastik hitam yang dibawanya.
—-“Maaf, Mbah. Mbah bisa menolong saya?”
—-“Nolong apa?”
—-“Ini baju saya, Mbah. Baju lebaran saya tahun lalu.”

—-Perempuan tua itu menerima plastik hitam dari perempuan kecil,


membukanya, lalu melihat baju yang seukuran dengan ukuran tubuh si
pembawa. Baju itu sudah kotor, dan ada jahitan yang terbuka di beberapa
tempat. Perempuan tua itu kemudian menatap wajah si perempuan kecil.
—-“Saya tidak punya baju lagi untuk lebaran nanti, Mbah. Mbah bisa kan menolong
saya?”
—-Perempuan tua itu masih menatap wajah si perempuan kecil.

—-“Saya ingin punya baju baru buat lebaran nanti, Mbah. Tapi … saya
tidak punya uang. Saya hanya punya baju ini. Mbah mau menolong saya
kan?”
—-Masih menatap.
—-“Boleh saya menukar baju ini, Mbah?”
—-Perempuan tua itu kemudian menatap seluruh tubuh si perempuan kecil.
—-“Boleh, Mbah?”
—-Seorang perempuan tua yang tadi duduk lalu bangkit. Daun kering yang
tadi dipegangnya, tanpa disadari telah jatuh. Ia pun melihat-lihat baju
anak yang tergantung rapi di belakangnya. Setelah melihat-lihat,
memegang-megang, dan memilih, ia kemudian mengambil salah satunya.
Ditimang-timangnya sesaat, lalu diserahkan begitu saja pada si
perempuan kecil. “Yang ini mau?”
—-“Mau, Mbah,” jawab si perempuan kecil mengangguk.
—-“Ya, sudah. Ini buat kamu.”

—-“Benar, Mbah.” Si perempuan kecil tertawa, memperlihatkan giginya


yang tidak rata. Bahkan beberapa di antaranya berwarna hitam.

—-Perempuan tua pemilik lapak mengangguk. “Ambil saja. Dan baju ini
bawa lagi,” sahutnya kembali memberikan plastik hitam yang berisikan
baju si perempuan kecil.
—-Perempuan kecil itu lalu memasukkan baju
barunya ke dalam plastik hitam, lalu pergi setelah mengucapkan terima
kasih pada si perempuan tua.
—-Seorang perempuan tua berdiri
termangu. Menatap langkah riang seorang perempuan kecil hingga
menghilang dari pandangannya. Tak lama kemudian, ia kembali duduk
termangu. Melihat daun keringnya yang tadi jatuh, ia pun segera
mengambilnya kembali. Membelainya dengan penuh kelembutan. Pikirannya
kembali bermain pada negeri antah berantah. Menjadi rahasia pribadinya.
Melamunkan yang mungkin bukan dilamunkan pedagang-pedagang lainnya.
Mungkin bukan melamunkan lebaran yang tinggal dua hari lagi. Mungkin
bukan melamunkan sesuatu yang umum bagi para pedagang menjelang lebaran.

—-Bagi perempuan tua itu, dua hari mendatang adalah sama dengan
hari-hari yang telah dilewatinya. Bahwa pada hari itu, ia harus
berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Mungkin untuk
memenuhi kebutuhan cucu-cucunya yang sudah tidak mempunyai orangtua
lagi. Yang baginya lebih berharga. Paling bernilai. Tentang bagaimana
menghormati hari raya yang sebenarnya.
—-Dan kelak dua hari
kemudian, setelah semua umat Muslim pulang berbondong-bondong dari
lapangan. Akan dijumpai pada tepi jalan utama yang biasa, seorang
perempuan tua yang menggelar lapaknya. Duduk termangu menanti pembeli.
Sementara di rumah yang tidak terlalu jauh dari lapaknya, terdengar
sebuah syair milik Raihan dan Now See Heart:
Hari raya hari untuk semua
Hari yang bahagia
Di hari raya mari kita semua
Bersyukur pada Yang Esa
Bermaaf-maafan di hari mulia
Kunjung mengunjung sanak saudara
Sebulan puasa di bulan Ramadhan
Kini tiba masanya berhari raya
Bersalam-salaman di hari lebaran
Bandung 13.09.09

Bang Aswi - Pekerja Buku

You might also like