Professional Documents
Culture Documents
TRAUMA VERTEBRAE
Oleh :
1. Muhammad Luthfiyanto
G99141135
2. Ifanemagasaro Mendrofa
G99141139
G99141141
Pembimbing :
dr. Pamudji Utomo, Sp OT(K)
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma yang bisa disebabkan karena jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb.
Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling
sering dari kecacatan dan kelemahan setetah trauma, karena alasan ini, evaluasi
dan pengobatan pada cedera tulang belakang, spinal cord dan nerve roots
memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal
cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan
manajemen. Penanganan, rehabilitas spinal cord dan kemajuan perkembangan
multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fungsi cervical
dan stabilitas merupakan hal penting yang harus dikenal masyarakat.
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per satu
juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma
sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden trauma
sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan
trauma
sumsum
tulang
belakang
terdapat
pada
usia
18-25
tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Fungsional Vertebra
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah
struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas
tulang belakang ( Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis ). Di
bagian dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi
sumsum tulang belakang yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan
saraf pusat. Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti usus,
jantung dan lainnya.
Susunan anatomi atau struktur tulang belakang terdiri dari :
lain CV1 disebut atlas, CV2 disebut axis, dan CV7 disebut prominens
vertebra.Ruas tulang leher umumnya mempunyai ciri yaitu badannya kecil dan
persegi panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke
belakang. Vertebra servikalis mempunyai korpus yang pendek dan korpus ini
berbentuk segiempat dengan sudut agak bulat jika dilihat dari atas. Tebal korpus
bagian depan dan bagian belakang.
Vertebra servikalis pertama dikenal sebagai atlas dimana berperan sebagai
pendukung seluruh tengkorak. Atlas berbeda dengan vertebra servikalis lainnya
karena tidak mempunyai korpus sehingga bentuknya hampir seperti cincin. Atlas
tidak mempunyai prosesus spinosus namun memiliki tuberkulum posterior yang
kecil yang berguna agar pergerakan kepala atau kranium lebih bebas.
Axis adalah yang terbesar dari semua vertebra servikalis. Kepala berputar
di sekitar tulang axis.Terdapat penonjolan tulang keatas dari permukaan atas
korpus disebut dens epistropheus atau disebut juga prosesus odontoid (odontoid
process). Prosesus odontoid mirip dengan gigi .Permukaan depan dan belakang
dari dens didapati permukaan persendian disebut fasies artikularis anterior dan
posterior. Pada tulang ini prosesus transversus tidak jelas.
Ciri-ciri vertebra servikalis 7 (vertebra prominens) antara lain memiliki
prosesus spinosus yang panjang dan tidak bercabang, foramen transversus tidak
selalu ada.Vertebra sevical 7 meupakan vertebra servical yang terakhir yang di
miliki sevical yang kemudian bersedi pada vertebra thoraxcal.
Vertebrae thorakalis atau ruas tulang punggung lebih besar daripada yang
servikal dan di sebelah bawah menjadi lebih besar. Ciri khas vertebrae thorakalis
adalah badannya berbentuk lebar lonjong (berbentuk jantung) dengan faset atau
lekukan kecil sisi untuk menyambung costae, lengkungnya agak kecil, Processus
Spinosusnya panjang dan mengarah ke bawah sedangkan Processus Transversus,
yang membantu mendukung costae adalah tebal dan kuat serta memuat faset
persendian untuk costae.
Ruas vertebra lumbal 1 berbatasan dengan vertebra throracal 12 Vertebra
lumbal korpusnya lebih besar dibanding vertebra lainnya. Bentuknya lebar dan
padat serta berbuntuk bulat telur. Foramen vertebralis berbentuk segitiga sedikit
lebih besar daripada thorakalis tetapi lebih kecil dari vertebra cervikalis. Prosesus
artikularis superior mengarah ke atas sedang prosesus artikularis inferior
mengarah kebawah. Zygaphofisial joint membentuk sudut 30-500 terhadap MSP.
Tanda-Tanda umum vertebra
Tiap vertebrae terdiri atas 2 bagian, yaitu :
o Segment anterior : corpus vertebrae.
o Segment posterior: arcus neuralis atau arcus vertebrae
Corpus & arcus vertebrae membatasi suatu lubang yaitu : foramen vertebrale
Tanda-tanda Khas Vertebra :
Pada corpus bag dorsal dextra sinistra tdp dataran sendi untuk bersendi
dengan capitulum costae yi : fovea costalis.
Pada proc transversus tdp dataran sendi untuk sendi dgn tuberculum costae,
kec : vert th XI-XII yi : fovea costalis transversalis.
Corpus vertebrae bentuk : jantung
Fovea costalis sup
Fovea costalis inf.
Bagian-Bagian Vertebra
1.
Arcus Vertebra
Terdiri dari :
Sepasang pediculus.
Sepasang lamina.
7 processus. Terdiri dari: 4 proc articularis,2 proc transversus,1.proc spinosus
2.
Corpus Vertebra
Bentuk silinder.
Dataran cranial & caudal tak rata ditempati oleh jar ikat fibrocartilago : diskus
intervertebralis.
Facies anterior :
o Lobang-lobang kecil tempat masuknya a. nutricia
Facies posterior :
o Satu lobang besar tempat keluarnya vena basivertebralis
3.
Lamina Vertebra
Sepasang.
Lanjutan arcus ke dorso-medial.
Tipis & lebar, dan bersatu di linea mediana.
Dataran cranial & caudal yang menghadap ke ventral terlihat kasar , merupakan
tempat perlekatan lig.flavum.
5.
Prosesus Spinosus
Procesus articularis
Prosesus Transvesus
Vertebra Thoracalis
Keterangan
1.
2.
3.
4.
Proc transversus
5.
6.
Corpus vertebrae
7.
Foramen vertebrae
8. Proc transversus
Vertebra Lumbalis
Keterangan
1.
Proc Spinosus
Lebar,tebal,btk segiempat
4. Proc transversus
6. Corpus vertebrae
2. Patofisiologi
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang
membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus
kortikospinal adalah jalur motorik desenden yang terletak di anterior sumsum
tulang belakang.
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi
raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral
nyeri
dan/atau
suhu,
dengan
dipertahankannya
propriosepsi.
dengan
hilangnya
sensasi
nyeri
dan
suhu
kontralateral.
Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot
pada ekstremitas atas yang dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya
10
11
12
1.Cedera stabil
a.Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal
umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera
ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di
rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi
terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji
lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika
tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang
berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
b. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil,
dan defisit neurologik jarang..
c.Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada
pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam
tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur
selama
beberapa
hari,
dan
korset
untuk
beberapa
minggu.
13
14
15
6. Diagnosis
Trauma tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut :
Pasien tidak sadar Pasien dengan multipel trauma, trauma di atas klavikula
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki (atau dua kali tinggi pasien), kecelakaan
dengan kecepatan tinggi.Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan
neurologik dengan mengingat kemungkinan cedera sumsum belakang.
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar
hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah.
Selain itu, urinalisis juga perlu untuk mendeteksi trauma traktus genitourinarius.
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan
lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk
melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak
untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien memiliki
gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan CT-Scan atau
MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT scans lebih
baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih
baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua
tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi
penderita.
Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti
kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak fraktur.
16
(Schreiber, 2004)
7. Penatalaksanaan
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada
kerusakan tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan
cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka
pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan
imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan
gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga
penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti
infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah.
Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi
untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan
dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan
tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak
boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah
instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada
usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder,
yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan
alas yang keras.
17
18
selalu
harus
dipertimbangkan
untuk
mempermudah
perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung lebih
cepat. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi
tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk mengatasi gangguan
stabilitas tulang belakang.
Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi
lambat dan tekanan darah rendah, kelemahan umum pada seluruh anggota gerak,
kehilangan kontrol buang air besar atau buang air kecil.
Penting untuk diingat bahwa trauma tulang belakang tidak tersingkir jika
pasien dapat menggerakkan dan merasakan anggota geraknya. Jika mekanisme
trauma melibatkan kekuatan yang besar, pikirkan yang terburuk dan dirawat
seperti merawat korban trauma tulang belakang.
Pertolongan Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi :
1.Perhatikan ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2.Pertahankan posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban
bergerak kecuali korban dapat meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya
(misal menghindari batu yang jatuh). Posisi leher harus tetap dipertahankan
dengan menahan kepala pada kedua sisi.
19
Ketika petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan
sangat hati-hati, kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang
bisa berupa matras, papan keras.
(Schreiber, 2004)
8.Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya
komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke
masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf,
ahli bedah tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli terapi
kerja.
Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap.Tahap pertama pada fase akut
yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama dikerjakan oleh
perawat dan fisioterapis.Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah latihan,
masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Tahap
kedua adalah rehabilitasi jangka panjang dengan tujuan mengembalikan penderita
kembali ke masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental penderita agar
tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi pada penderita dan keluarga tentang
perawatan di rumah, latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan
menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi penderita.
20
a. Autonomic dysreflexia
Merupakan keadaan akut akibat stimulasi masif simpatis.Terjadi setelah
syok spinal, biasanya dalam 6 bulan pertama sampai 1 tahun.Gejala yang timbul
berupa hipertensi, sakit kepala, muka merah, berkeringat, hidung buntu,
piloereksi, dan bradikardi.Penyebabnya adalah distensi bladder dan bowel, atau
tindakan kateterisasi, mengorek skibala, penekanan ulkus dekubitus, infeksi
saluran kencing, penggunaan brace atau pakaian terlalu ketat.Tindakan yang
dilakukan adalah tinggikan posisi kepala, monitor tekanan darah, kurangi stimulus
noksius dan evaluasi faktor penyebab.Jika tidak ada perbaikan, terapi untuk
menurunkan tekanan darah (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
b. Nyeri neuropatik
Pasien dengan cedera medula spinalis dapat mengalami alodinia di bawah
level injury.Penanganannya dengan mengevaluasi dan menghilangkan faktorfaktor pencetus seperti infeksi dan pressure ulcer.Terapi dengan pemberian obat
anti konvulsan (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
c. Spastisitas
Awalnya pasien akan mengalami penurunan tonus saat periode spinal
syok, tetapi kemudian akan mengalami spastisitas. Program peregangan dan posisi
tidur
yang
benar
dapat
mengurangi
spastisitas
dan
mencegah
21
dengan bantal), merubah posisi secara teratur. Jika ulkus semakin parah, bila perlu
dikonsulkan ke bagian bedah plastik(Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).
e. Neurogenic bladder
Pasien dengan cedera medula spinalis sering mengalami retensi urin
sehingga memerlukan pemasangan kateter.Jika penderita sudah stabil, kateter
dapat dilepas dan dilakukan latihan pengendalian kandung kemih.Dapat dipasang
kateter intermiten, bila diperlukan.Fungsi kandung kemih biasanya kembali
setelah 6 bulan, tetapi jika tidak kembali pasien diajarkan untuk memasang kateter
sendiri saat rangsangan berkemih datang (Mahadewa, 2009; Krishblum et al,
2004).
f. Neurogenic bowel
Pasien cedera akut beresiko mengalami gastric atoni dan ileusyang dapat
menyebabkan muntah dan aspirasi.Ileus dapat terjadi pada 1-2 hari pertama dan
berakhir pada hari ke-7.Pada fase kronis dapat terjadi distensi colon, distensi
abdomen, konstipasi, mual, muntah dan gangguan elektrolit.Berikan latihan
pengontrolan defekasi secara teratur karena terjadi penurunan kemampuan kontrol
terhadap defekasi, juga pemberian serat dan cairan yang cukup untuk menghindari
konstipasi atau inkontinensia.Lakukan evakuasi feses dengan stimulasi colok
dubur atau metode lain (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
7. Follow up
Tujuan utama jangka panjang adalah mencegah komplikasi medis,
yang merupakan alasan dari 30% pasien cedera medula spinalis memerlukan
perawatan rumah sakit (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009)
22
Berikan profilaksis untuk DVT (deep vein thrombosis) dengan LMWH (low
molecular weight heparin)
9. Komplikasi
Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada
trauma sumsum tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal.
Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris.
Pasien dengan trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi,
karena itu perlu pemasangan NGT (Nasogastric Tube).
-Hipotermia.
-Dekubitus
- Seseorang dengan tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder.
Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah
sebagai berikut : pneumonia (60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis
vena dalam (16,4 %), emboli pulmo (5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
10. Prognosis
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien
dengan lesi komplit mencapai 100 %.Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun
pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi
dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi
traktus urinarius.
23
BAB III
PENUTUP
Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Terdapat korelasi antara level cedera
dengan morbiditas dan mortalitas, dimana semakin tinggi level cedera, semakin
tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Disabilitas akibat trauma harus diterima oleh
pasien dan keluarga.
Kerusakan fungsi saraf tulang belakang bersifat irreversible, karena saraf
tulang belakang merupakan bagian susunan saraf pusat yang tidak bisa
beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini evaluasi dan pengobatan
pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf tepi memerlukan
pendekatan yang terintegrasi. Tata laksana pasien dengan cedera saraf tulang
belakang sangat kompleks, mulai penanganan prarumah sakit yang memadai,
standar proteksi tulang belakang sesuai ATLS (advanced trauma life support),
diagnosis dini, menjaga fungsi medula spinalis, dan pemeliharaan aligment serta
stabilitas tulang belakang merupakan keberhasilan dari manajemen.
24
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2001(a).Management of acute spinal cord injuries in an intensive care
unit
or
other
monitored
setting.
[cited
14
March
2010].
URL :http://static.spineuniverse.com/pdf/traumaguide/7.pdf
Anonim. 2010. Cervical spine anatomy. [cited 17 March 2010] .URL :
http://www.waterburyhospital.org/index.htm
Anonim.2001(b).Pre-hospital cervical spinal immobilization following
trauma. [cited 14 March 2010]. URL :http://www.neann.com/Prehospital
%20Spine%20Immobilisation%20Review%20Of%20Studies.pdf
Anonim.
2008.
Anatomy.
[cited
16
March
2010].
URL :http://www.necksurgery.com/anatomy.html
Brohi,
K.
2002.
Spine
trauma.
[cited
14
March
2010].
URL :http://trauma.org/archive/spine/cspine-eval.html
Cohen, A. 1997.The acute management of spinal injury. [cited 14 March
2010]. URL :http://www.medicalonline.com.au/medical/first_aid/spineman.htm
25
M.
2009.
C1
fractures.
[cited
17
March
2010].
URL :http://emedicine.medscape.com/article/1263453-treatment
Gondim, F. 2009. Spinal Cord Trauma and Related Diseases.[cited 17
March 2010). URL :http://emedicine.medscape.com/article/1149070-treatment
Iskandar,
J.
2002.
Cervical
injury.Fakultas
KedokteranBagian
S.,
Gonzalez,
P.,
Cuccurullo,
S.,
Luciano,
L.
T.G.B.,
Maliawan,
S.
2009.
Cedera
saraf
tulang
Donald,
2004.
Spinal
Cord
Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
26