You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan pedesaan: konsep, ukuran dan indicator
Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga
mengalami

kesulitan

untuk

memenuhi

kebutuhan

dasar,

sementara

lingkungan penduduknya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan


kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan.
(cahyat, 2007: 4)
Menurut Adisasmita (2006: 144) indikator kemiskinan Masyarakat
desa yaitu: (1) kurang kesempatan memperoleh pendidikan, (2) memiliki
lahan dan modal pertanian yang terbatas,

(3) tidak adanya kesempatan

menikmati investasi di sektor pertanian, (4) tidak terpenuhinya salah satu


kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan, (5) menggunakan cara-cara
pertanian tradisional, (6) kurangnya produktivitas usaha, (7) tidak adanya
tabungan, (8) kesehatan yang kurang terjamin, (9) tidak memiliki asuransi
dan jaminan sosial, (10) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam
pemerintahan desa, (11) tidak memiliki akses untuk memperoleh air bersih,
dan yang terakhir

(12) tidak adanya partisipasi dalam pengambilan

keputusan publik.
Adapun yang menjadi konsep kemiskinan ada tiga yaitu:
1. kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang
kongkret, ukuran ini lazimnya berorentasi pada kebutuhan hidup dasar
minimum anggota masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang

berlainan. Karena ukurannya dipastikan, konsep kemiskinan ini mengenal


garis batas kemiskinan. Pernah ada gagasan yang ingin memasukkan
kebutuhan dasar kultur seperti pendidikan, keamanan, rekreasi dan
sebagainya, disamping kebutuhan fisik. Konsep dan ukuran kemiskinan itu
berbeda- beda di setiap daerah, contohnya kebutuhan masyarakat pedesaan
berbeda dengan kebutuhan masyarakat perkotaan, dan begitu pula antara
masyarakat desa pertanian dan desa nelayan. Meskipun demikian konsep ini
sangat populer.
2. kemiskinan relatif dirumuskan dengan demensi tempat dan waktu.
Asumsinya adalah kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan daerah
lainya, dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu yang
lain, konsep kemiskinan ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan
anggota masyarakat tertentu, dengan berorentasi pada derajat kekayaan
hidup. Konsep ini juga telah memperoleh banyak keritikan, terutama karena
sangat sulit menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran kelayakan
juga beragam dan terus berubah- ubah. Apa yang dianggap layak dalam
komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas lainnya. Dan apa
yang dianggap layak pada saat ini boleh jadi tidak layak pada dua- lima
tahun kedepan,
3. kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan kelompok kemiskinan
itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal dan tidak memperhitungkan.
Kelompok

menurut ukuran kita berbeda di bawah kemiskinan, boleh jadi

tidak menganggap dirinya semacam itu dan demikian pula sebaliknya. Oleh
karena itu konsep kemiskinan ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan

untuk memahami kemiskinandan merumuskan cara atau starategi yang


efektif untukpenanggulangannya. ( Sunyoto, 2006: 126 ).
2.2. Kemiskinan dan system kepemilikan
Dalam kebijakan retribusi lahan di indonesia yang perlu diperhatikan
yaitu pola pemilikan lahan, beberapa kajian menyimpulkan bahwa ada dua
model pemilikan lahan oleh masyarakat yaitu, pola kepemilikan individu dan
pola kepemilikan komunal atau kelompok.

Misalnya pada bagian adat

masyarakat di papua, pola penguasaan lahan awalnya dilakukan bahwa, siapa


yang pertama kali membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum
dikuasai oleh orang lain.
Secara formal,

kebijakan yang terkait dengan penguasaan tanah di

Indonesia dimulai sejak Pemerintahan gubernur jendral inggris dengan


pernyataan bahwa, semua tanah adalah raja sehingga semua warga harus
membayar sewa tanah atau pajak bumi dengan menyerahkan dua per lima dari
hasil buminya kepada pemerintah inggris. Untuk itu batas-batas pemilikan
tanah harus jelas, karena besarnya pajak yang dibayar harus sesuai dengan
luasnya

pemilikan tanah. Kemudian politik pemerintahan yang sangat

berpengaruh dalam pola penguaasaan tanah pada masa kolonialisme adalah


pelaksanaan sistem tanam paksa yang sedikit demi sedikit mengikis struktur
pemilikan tanah secara komunal menjadi pola penguasaan secara individual.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka pola pewarisan tanah juga
berubah, petani-petani lebih suka membagi tanahnya kepada anak-anaknya
secara individu.

Akibat luasanya

tanah garapan semakin hari semakin

menyempit,

peraturan ini banyak sekali penduduk atau petani yang

kehilangan tanahnya dan menjadi buruh-buruh pekerja perkebunan, karena


ketidakmampuan mereka membayar pajak sehingga lebih memilih menjual
tanah, atau bahkan meninggalkan tanah-tanahnya begitu saja. Konsentrasi
penguasaan tanah oleh para pengusaha perkebunan mulai terjadi, dan
menyebabkan kemiskinan di mana-mana, sekalipun Pemerintah menjalankan
politik etis namun tidak memperbaiki keadaan, karena kebijakan mendasar di
bidang agraria tidak disentuh sama sekali sehingga ketimpangan penguasaan
tanah terus berlangsung. (Wiradi dan Tjondronegoro, 1984: 28).
2.3. Kemiskinan, pemilikan dan penguasaan lahan
Tanah atau lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting.
Tanah merupakan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan
dan penguasaan lahan merupakan

salah satu faktor utama yang menentukan

tingkat pendapatan keluarga atau rumah tangga petani. Oleh karena itu, ketiadaan
atau sempitnya pemilikan lahan merupakan awal terhadap terjadinya kemiskinan
di pedesaan.
Pemilikan yang dimaksudkan disini adalah

penguasaan formal terhadap

lahan. Sedangkan penguasa lahan merujuk pada aspek efektifitas. Misalnya, jika
sebidang tanah disewakan kepada orang lain, maka orang lain itulah yang secara
efektif menguasainya tetapi tidak melekat padanya hak kepemilkan. (Gunawan
dan Tjondronegoro, 2008: 352).

Penguasaan formal merupakan penguasaan lahan yang dimiliki sendiri dan di


garap sendiri bukan di garap oleh orang lain. Penguasaan formal mempunyai
syarat- syarat tertentu dalam pendaftaran tanah, secara sistematik oleh kepala
kantor pertanahan, misalnya melalui program nasional pendaftaran tanah. Dengan
semua persyaratan dan kondisi yang harus dipenuhi. ( Putu dan Amran dkk, 2005:
16).
Soerjono (2007: 320) mengemukakan bahwa kemiskinan sebagai keadaan
di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental
maupun fisiknya. Menurutnya penyebab kemiskinan adalah tidak berfungsinya
salah satu lembaga kemasyarakatan dengan baik terutama lembaga ekonomi.
Untuk wilayah pedesaan lembaga ekonomi hampir selalu dikaitkan dengan
kepemilikan dan peguasaan lahan. Kemiskinan yang terjadi di pedesaan tidak bisa
dipisahkan dari kepemilikan lahan itu sendiri. Seperti yang umumnya terjadi pada
kemiskinan di pedesaan Jawa,

tingkat pendapatan kelompok

usaha tani

ditentukan oleh luas tanah yang dimiliki yang mencakup luas tanah pemilikan dan
luas tanah usaha tani. (Hadiyanto, 2006: 1).
Hidayat dalam Sajogyo (1996) penelitiannya Tentang Masalah Struktur
Agrararia dan Kedudukan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pujon Kidul.
mendapati bahwa

struktur agraria selalu terkait

dengan kedudukan sosio-

ekonomi masyarakat. Keadaan prekonomian penduduk banyak tergantung pada


sektor pertanian, tanah juga merupakan sumber kekayaan yang sangat penting

bagi mereka, oleh karena itu, staratifikasi masyarakat berdasarkan penguasaaan


tanah ini menampakkan perbedaan secara nyata.

Golongan yang memepunyai

penguasaan tanah luas, memepunyai kedudukan yang lebih baik dibandingkan


golongan yang mempunyai penguasaan tanah sempit. Stratifikasi masyarakat
pedesaan berbasis penguasaaan tanah ini kemudian berkonsekuensi juga pada
kemampuan mereka berpartisipasi dalam lembaga kemasyarakatan.
Penelitian Mabrur Baculu (2012) tentang kemiskinan masyarakat agraris
di desa kasiwiang menegaskan bahwa masyarakat desa lebih menggantungkan
hidupnya sehari- hari kepada alam. Alam merupakan segalanya bagi penduduk
desa, karena alam memberikan apa yang dibutuhkan manusia bagi kehidupannya.
Alam juga digunakan sebagai tempat tinggal sehingga masyarakat desa sering
didentikkan sebagai masyarakat agraris, yaitu masyarakat yang kegiatan
ekonominya terpusat pada Pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor penyebab terjadinya kemiskinan petani sawah dan untuk mengetahui faktor
penghambat petani sawah dalam mengatasi kemiskinan.
Menurut penelitian ini

penyebab kemiskinan pada petani sawah adalah

meningkatnya faktor kebutuhan hidup keluarga yang tidak seimbang dengan


pengasilan mereka, penyebab lainnya adalah kurangnya perhatian pemerintah
dalam memberikan solusi atau bantuan bagi para petani untuk meningkatkan hasil
panen meraka. Oleh karena itu masyarakat petani di desa harus memiliki lahan,
dan pemerintah juga memberikan solusi atau bantuan kepada petani supaya bisa
memenuhi kebutuhan hidup dan tidak terjadi kemiskinan.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat


yang mempunyai lahan atau tanah yang luas, mereka mempunyai kedudukan
yang lebih baik dari pada masyrakat yang mempunyai lahan sempit, karena
masyatrakat desa lebih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
Penelitian ini dapat memberi dukungan tentang kemiskinan dan keterbatasan
lahan usaha tani di Desa rusip, Kecamatan Rusip Antara Kabupaten Aceh Tengah.
2.4. Kemiskinan dan ketimpangan penguasaan lahan
Sebenarnya kemiskinan berbeda dengan ketidakmerataan. Kemiskinan
berhubungan dengan standar hidup absolut dari sebagian masyarakat miskin.
Sedangkan ketidak merataan mengacu pada standar hidup relatif antar seluruh
masyarakat.
Kemiskinan absolut adalah tingkat pendapatan berada dibawah garis
kemiskinan atau dengan kata lain pendapatan

tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan minimum yang digambarkan dengan garis kemiskinan, sedangkan


kebutuhan minimum di ukur dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup. Sedangkan kemiskinan relatif
adalah jika pendapatan seseorang berada di atas garis kemiskinan, namun secara
relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di
sekitarnya. Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang
bersifat struktural, yakni kebijaksanaan pembangunan yang belum menjangkau
seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. (Siahan,
2004: 82)
Oleh karena itu, tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi memberikan
indikasi bahwa distribusi pendapatan masih rendah dan akan berdampak negatif

pada tingkat kesejahteraan. Syahnur, (2004: 11).

Untuk wilayah pedesaan

ketidakmerataan pendapatan ini juga disebabkan oleh adanya distribusi yang


timpang terhadap lahan. (Sumardjono, 2008 :33 )
Menurut Vidya Hartini Simarmata, (2009) dalam penelitiannya

yang

berjudul Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan


menegaskan bahwa

kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan

masalah-masalah agraria khususnya tanah. Asumsi dasar yang melandasinya


adalah karena sebagian besar penduduk desa masih menggantungkan hidupnya
pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil
dan pemerataan akses terkait pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat
merupakan instrumen yang esensial untuk menanggulangi kemiskinan dan
ketimpangan penghasilan di pedesaan.
Rendahnya upah pada masyarakat perkebunan memaksa mereka untuk
mencari tambahan penghasilan yaitu salah satunya dengan bertani menggunakan
tanah-tanah yang tidak digunakan oleh perkebunan. Akan tetapi hasil yang
didapatkan masyarakat dari bertani tidaklah banyak, bahkan tidak mencukupi
untuk kebutuhan pangannya sendiri. Selain disebabkan oleh sempitnya lahan
pertanian, masalah pertanian yang dihadapi oleh masyarakat pada masyarakat di
desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan sangat penting sebagai
pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan memaksimalkan keuntungan.
2.5. Kemiskinan dan Pengalihan Fungsi Lahan
Proses alih fungsi lahan adalah

adanya pertumbuhan dan transformasi

perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.


Perkembangan ini tercermin dari adanya (1) pertumbuhan aktifitas pemanfaatan

sumber daya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap


penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan
per kapita. (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan ke sektor
primer khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumber daya alam
ke
(jasa)

aktifitas

sektor

sekunder

manufaktur

dan

tersier

.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handleAlih%Fungsi%Lahan%dalam

%Perspektif Lingkungan%Perdesaan.PDF, di akses tgl 8 september 20012.


Dalam penelitian Agus Subali (2005) yang berjudul pengaruh konfersi
lahan terhadap pola nafkah rumah tangga petani. (studi kasus; desa batujajar,
kecamatan cigudeg, kabupaten bogor) dijelaskan bahwa perubahan alih fungsi
lahan pada masyarakat petani terjadi akibat adanya investor yang masuk untuk
melakukan kegiatan penambangan di bukit sebagai hasil pembelian lahan dari
masyarakat. Proses alih fungsi lahan yang terjadi tidak selamanya berjalan dengan
baik, masyarakat lebih banyak dirugikan dengan adanya proses konversi,
pencemaran udara, suara, dan air akibat proses pertambangan, serta ganti rugi
lahan yang tidak memadai.
Dalam penelitian ini, antara lapisan atas, menengah, dan bawah cenderung
terjadi perbedaan alokasi. Lapisan atas lebih mengarah ke penggunaan produktif
seperti untuk tambahan modal usaha. Sedangkan pada lapisan tengah dan bawah
lebih cenderung ke arah penggunaan konsumtif misalnya memperbaiki rumah,
membeli peralatan rumah tangga dan juga untuk makan. Berkurangnya lahan yang
dimiliki atau bahkan habisnya lahan garapan, ditambah lagi terbatasnya akses
rumahtangga karena tingkat pendidikan yang rendah dalam hal ini petani lapisan

bawah terhadap sumberdaya ekonomi (modal) maka banyak diantara mereka


memanfaatkan lahan-lahan milik perusahaan untuk ditanami tanaman musiman,
selain itu mereka juga melakukan pola nafkah ganda.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konfersi lahan
atau Tanah yang dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga telah
beralih kepihak lain. Karena tidak adanya sumberdaya tanah yang dimiliki, para
petani tentu saja

kehilangan mata pencaharian

walaupun

masih berusaha

disektor pertanian. Hal ini akan berakibat pada perubahan status petani, petani
yang dulunya mengusahakan tanah milik sendiri atau sebagai petani pemilik,
berubah menjadi petani yang menggarap tanah milik orang lain atau sebagai
petani penggarap karena tidak memiliki lahan pertanian.
2.6. Kemiskinan dan Kepemilikan lahan: tinjauan teoritis-sosiologis
teori struktural fungsioanal yang dikembangkan oleh Talcott Parsons
memandang bahwa masyarakat sebagai suatu system yang teratur yang terdiri
dari bagian- bagian yang saling berhubungan satu sama lain, dimana yang satu
tidak berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain, bila terjadi
perubahan pada suatu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan dan dapat
menyebabkan perubahan pada bagian lainnya. (Suyanto,2007: 125).
Sebagai contoh masyarakat miskin secara struktural yaitu kemiskinan
karena faktor non alamiah, seperti membuat dan menerapkan kebijakan dalam
pembangunan, korupsi, kondisi yang tidak stabil dan sebagainya. Kemiskinan
struktural di tandai dengan ketimpangan yang dapat dilihat dalam kepemilikan

sumber daya, kesempatan berusaha, keterampilan dan faktor lain yang


menyebabkan perolehan pendapatan yang tidak seimbang dan mengakibatkan
struktur yang timpang. Sedangkan masyarakat miskin secara fungsional atau
alami yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh tersedianya faktor froduksi yang
terbatas dan berkualitas rendah sehingga peluang untuk produksi sangat kecil.
Demikian juga menurut teori ini kemiskinan dalam masyarakat juga
berfungsi misalnya, orang miskin berfungsi untuk mengerjakan pekerjaan kasar
dalam rumah tangga, sebagai buruh tani atau pabrik. Orang miskin berfungsi
membantu majikan menguurus urusan rumah tangga. Kemiskinan dapat
menguatkan norma- norma sosial. Jadi menurut teori fungsionalisme, kemiskinan
bukanlah sesuatu yang buruk atau negatif, melainkan bermanfaat bagi masyarakat.

2.6.1. Teori konflik


Namun dalam

teori konflik sangat berbeda

dengan teori struktural

fungsional, dalam teori konflik melihat system yang ada dalam masyarakat tidak
stabil. Sedangkan teori fungsional melihat syistem yang ada dalam masyarakat
bersifat stabil dari kelompok-kelompok yang bekerja sama.
Sebagaimana teori konflik aliran Kalr marx ia melihat bahwa masyarakat
dibentuk pertama kali dari dua kelompok dengan pertentangan kepentingan
ekonomi, kelompok borjuis dan ploretaliat. Sebuah

masyarakat adalah

disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti tanah, modal, industri dan


perdagangan. ia melihat bahwa para petani yang telah meninggalkan lahannya
untuk mencari pekerjaan di kota harus bekerja dengan upah yang nyaris tidak

cukup untuk makan. Marx menyimpulkan bahwa kunci sejarah manusia


perjuangan kelas sosial dalam tiap masyarakat, beberapa kelompok kecil
menguasai alat produksi dan meng-ekploitasi orang- orang yang tidak
menguasainya. Dalam masyarakat industri perjuangan ialah antara kaum borjuis,
kelompok kecil kapitalis yang memiliki alat untuk produksi kekayaan dan
proletariat, masa pekerja yang diekploitasi oleh kaum borjuis. (Henslin, 2007: 18).
Teori ini merupakan reaksi atas teori fungsionalisme. Teori konflik melihat
elemen-elemen dan komponen-komponen dalam masyarakat merupakan suatu
persaingan dengan kepentingan yang berbeda sehingga pihak yang satu selalu
berusaha menguasai pihak yang lain, pihak yang kuat berusaha menguasai pihak
yang lemah. Dengan demikian konflik menjadi tidak terhindarkan.
teori konflik

juga menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti

kekuasaan dan wewenang, benda- benda material, dan apa yang dihasilkan
kenikmatan, agak langka. Sehingga tidak dapat dibagi sama rata diantara rakyat,
maka perubahan itu terjadi tidak secara bersama atau seimbang.

Asumsi dasar teori konflik yaitu, struktur dan jaringan dalam masyarakat
merupakan persaingan antar kepentingan dan saling bertentangan satu sama lain.
Sehingga menunjukkan system sosial dalam masyarakat yang meneyebabkan
timbulnya konflik karena konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka
konflik menjadi salah satu ciri- ciri dari system sosial. Konflik ini tampak dalam
kepentingan- kepentingan dalam kelompok masyarakat yang berbeda- beda.

Selain itu konflik juga terjadi dalam pembagian sumber- sumber daya dan
kekuasaan yang tidakmerata dan tidak adil. Sehingga konflik memungkinkan
terjadinya perubahan- perubahan dalam masyarakat.

2.6.2. Teori perubahan sosial


Pada dasarnya masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Perubahan
tersebut dapat diketahui dengan cara membandingkan keadaan masyarakat pada
masa atau periode tertentu dengan keadaan masyarakat pada masa lampau atau
masa sebelumnya.
Sebagaimana teori perubahan sosial yang di kembangkan oleh Karl Marx
bahwasannya marx ingin menunjukkan bagaimana kehidupan non-ekonomi
secara langsung di pengaruhi oleh aktivitas produksi,

perubahan- perubahan

dalam konteks ekonomi yang dapat memberikan kemampuan kepada manusia


untuk memandang dunia sebagaimana adanya, oleh karena itu perubahan sosial
akhirnya merupakan sebagai akibat perkembangan ekonomi. Walaupun revolusi
harus dilakukan melalui tindakan politik, realisasi kebutuhannya akan timbul
sebagai konsekuensi perubahan ekonomi. Oleh karena itu, gagasan pada akhirnya
tergantung pada kondisi ekonomi, perubahan gagasan, yang meliputi pergeseran
dari kesadaran semu ke kesadaran kelas, keinginan untuk mengubah masyarakat
akan terjadi sebagai akibat dari perubahan ekonomi, seperti dikatakan oleh marx
manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi bukan dalam kondisi pilihannya
sendiri. (Jonis, 2009: 97).

Misalnya, perubahan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri seperti


perubahan kependudukan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan
menambah kebutuhan terhadap beberapa fasilitas yang mendukung kehidupan
masyarakat seperti, fasilitas pendidikan, kesehatan, atau lapangan kerja. Jika
jumlah anak dalam sebuah keluarga cukup besar, hak atas warisan akan semakin
berkurang, karena terbagi berdasarkan jumlah anak. Oleh karena itu, pemilikan
tanah di pedesaan akan semakin berkurang, sehingga tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar dalam keluarga. Maka perubahan itu bisa terjadi
kearah yang lebih baik atau sebaliknya.
2.7.

Kerangka Teoritis Penelitian

Kemiskinan dan hubungannya dengan keterbatasan lahan usaha tani


adalah menyangkut dengan kesejahteraan keluarga, sebagaimana yang dijelaskan
Marx dalam teori konflik, masyarakat dibentuk pertama kali dari dua kelompok,
borjuis dan ploretaliat. Klompok borjuis adalah kelas penguasa, mereka adalah
orang- orang kaya yang mengontrol sarana alat- alat produksi, ekonomi. Disisi
lain proletariat atau masyarakat miskin diatur oleh kaum borjuis. Penguasaan dan
kepemilikan lahan sangat erat dengan masalah kemakmuran dan kemiskinan
masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggantungkan hidupnya
disektor pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian yang diusahakan petani
sebagai akibat dari pertambahan jumlah penduduk dan juga kebijakan penataan
struktur agraria oleh pemerintah yang tidak adil.Di sisi lain petani miskin semakin
miskin akibat terpisah dari sumberdaya ekonominya yakni lahan.

Gambar .1
Kerangka Pemikiran
Kemiskinan dan Keterbatasan Lahan Usaha Tani

JUMLAH
ANGGOTA
KELUARGA

PENDAPA
TAN

KEMISKIN
AN

PEMILIK
LAHAN

LUAS
LAHAN

Dilihat dari kerangka pemikiran diatas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan


sangat berhubungan dengan pemilikan lahan, luas lahan yang di memilki, apabila
seseorang tidak memiliki lahan atau lahannya terbatas maka akan terjadi
kemiskinan, karena jumlah anggota keluarga dan pendapatan tidak sesuai dengan
kebutuhan sehari- hari.
Masyarakat di desa kebanyakan menggantungkan hidupnya pada lahan
pertanian, apabila masyarakat tidak memiliki lahan atau lahannya terbatas maka
akan terjadi kemiskinan, bagi masyarakat miskin memiliki lahan yang luas perlu
membutuhkan modal yang banyak, jadi masyarakat desa yang tidak memilki

lahan pertanian atau yang mempunyai lahan sempit mereka cendrung bekerja
dengan orang yang memepunyai lahan yang luas, yaitu sebagai buruh tani.

2.8.

Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjabaran lebih lanjut dari konsep- konsep yang
telah dikelompokan menjadi variabel. (Fathoni, 2006: 28).
a) kemiskinan pedesaan
Menurut kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta,
( 2006) Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti
tidak berharta-benda , papa, serba kekurangan berarti kemiskinan merupakan
suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga
mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Menurut Roucek dan Warren dalam Pahmi Sy, (2010: 19) desa adalah
sebagai bentuk yang diteruskan antara penduduknya dengan lembaga mereka di
wilayah setempat dimana mereka tinggal, yaitu di ladang- ladang yang berserak
dan di kampung yang biasanya menjadi pusat aktivitas mereka bersama.
Jadi kemiskinan pedesaan

merupakan akibat dari tidak memiliki rumah

sendidri, sempitnya lahan pertanian, banyaknya anggota keluarga yang tidak


sesuai dengan pendapatan sehari- hari, Dan juga akibat dari kesenjangan.
Kemiskinan adalah sebuah kondisi kehilangan

terhadap sumber- sumber

pemenuh kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan

kesehatan. Mereka yang kategori miskin, hidupnya serba kekurangan. ( Sunyoto,


2006: 33).
b) Lahan Pertanian
Menurut Poerwadaminta (2006) dalam kamus bahasa indonesia Lahan adalah
tanah yang masih kosong, belum digarap atau tanah negara yang digarap olah
penduduk untuk ditanami sayuran dan sebagainya.
Dalam Wikipedia,

(2012). Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber

daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan
baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa
difahami

orang

sebagai budidaya tanaman

atau

bercocok

tanam.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian diakses tanggal 6 okteber 2012.


Menurut Soekartiwi, (2002: 18) mengemukakan pertanian secara umum dapat
diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan bercocok tanam, sedangkan
lahan pertanian adalah lahan yang di kuasai dan yang pernah diusahakan untuk
pertanian setahun yang lalu. Lahan tersebut mencakup lahan sawah, huma ladang,
tegal, kebun, dan lahan untuk pengembalaan atau padang rumput.
Jadi lahan pertanian adalah lahan yang dapat dipakai untuk melaksanakan
usaha atau berbagai kegiatan untuk bercocok tanam.
c) . Usaha tani

Menurut kamus bahasa indoensia Poerwadaminta, (2006) tani adalah


orang yang mata pencahariannya bercocok tanam mengusahakan tanah.
Namun dalam wikipedia, (2012) petani adalah seseorang yang bergerak di
bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah
dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman, dengan harapan
untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun
menjualnya kepada orang lain. http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian diakses
tanggal 6 okteber 2012.
Menurut Daniel, ( 2002: 48) usaha tani merupakan kegiatan di bidang
pertanian yang direncanakan sesuai dengan kondisi wilayah dan keluarga tani
yang bersangkutan, dengan mengupayakan adanya hubungan yang saling
menunjang dari beberapa komoditi yang diusahakan, sehingga dapat dicapai
hasil usaha tani yang optimal.
Namun usaha tani dapat disimpulkan oleh penulis bahwa, suatu kegiatan
dimana seorang petani atau suatu keluarga bercocok tanam atau memelihara
ikan dan sebagainya di lahan pertanian untuk memproleh produksi dan hasilnya
dapat dinilai dari biaya yang di keluarkan dan penerimaan yang diperoleh.

You might also like