You are on page 1of 5

A STUDY OF HYPERBILIRUBINEMIA AND THE EFFECT OF

PHOTOTHERAPY AMONG FULL TERM NEWBORNS A


VIEW TO DEVELOP A NURSING CARE PROTOCOL BASED
ON IDENTIFIED NEEDS
Introduction
Jaundice berasal dari bahasa Perancis jaune, yang berarti kuning. Ketika
bayi dikatakan menderita jaundice, berarti bahwa bayi tersebut memiliki warna
kulit kuning, dimana ini sering terjadi pada hari-hari pertama setelah bayi lahir.
Warna kuning berasal dari bilirubin yang diproduksi ketika sel darah merah
matang/matur

dan

hiperbilirubinemia

dipecah
diterapi

oleh
dengan

tubuh.

Biasanya,

fototerapi.

Oleh

bayi

lahir

karena

itu,

dengan
perlu

dipertimbangkan perkembangan protocol perawatan bayi baru lahir dengan


hiperbilirubinemia yang valid yang akan dapat membantu praktek perawat untuk
bertindak cepat dan independen.
Objectives
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menemukan insidensi hiperbilirubinemia pada semua bayi baru lahir cukup
bulan di RS yang diteliti selama periode 6 bulan.
2. Menemukan

hubungan

antara

tingkat

bilirubin

dan

faktor

yang

mempengaruhi:
a. Faktor maternal: usia, golongan darah, diabetes gestasional, perdarahan
antepartum, dan kecemasan maternal.
b. Faktor neonatus: jenis kelamin, BB lahir, usia gestasi, riwayat jaundice
pada saudara, permulaan menyusui, trauma kelahiran dan golongan darah.
3. Menemukan hubungan antara metode invasif dan non invasif dalam mengkaji
tingkat bilirubin.
4. Mengidentifikasi efek fototerapi yang dilakukan pada hiperbilirubin terhadap
dehidrasi dan kehilangan BB pada bayi baru lahir.

5. Menemukan hubungan antara tingkat serum bilirubin dan lamanya fototerapi.


6. Mengidentifikasi perawatan yang dibutuhkan bayi baru lahir yang mendapat
fototerapi dan memprioritaskannya.
7. Mengembangkan dan memvalidkan protocol perawatan pada bayi baru lahir
dengan hiperbilirubin berdasarkan identifikasi kebutuhan.
Metodologi
Penelitian ini dilakukan melalui 3 tahap. Penelitian ini diadakan di RS
kasturba, Manipal. Penelitian exploratory dilaksanakan pada tahap 1 dan 2,
sedangkan tahap tiga adalah evaluasi. Tahap I: semua rekam medis bayi baru lahir
cukup bulan di RS selama periode 6 bulan mulai 1 Januari 2002 sampai 30 Juni
2002 dikumpulkan. Tahap II: Semua bayi cukup bulan pada dua bulan
dipertimbangkan, dengan demikian diharapkan mendapat 20-30 bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia. Kriteria sampling disusun dan dengan menggunakan
alat yang valid dan reliabel data dikumpulkan dengan analisa record, interview,
observasi dan pengukuran.
Analisa dan Hasil
Data dianalisa dengan menggunakan deskriptif dan statistik inferensial
dengan bantuan komputer dengan program statistik untuk ilmu sosial versi SPSS
9.0. Insidensi hiperbilirubin pada periode 6 bulan ditemukan 198 dari 1000
populasi atau 20% dari total populasi didiagnosa hiperbilirubin dengan level
bilirubin 12 mg/dl. Semua bayi baru lahir diterapi dengan fototerapi. Variabel
maternal dan neonatus tidak mempengaruhi level bilirubin. Tidak ada hubungan
yang signifikan antara metode invasif dan non invasif dalam pengkajian tingkat
bilirubin. Tingkat dehidrasi tidak tergantung pada lamanya fototerapi, sedangkan
kehilangan BB mempunyai hubungan yang signifikan dengan lamanya fototerapi
(r=0,466. <. p 0,005). Dari identifikasi perawatan yang dibutuhkan bayi baru lahir
yang mendapat fototerapi didapatkan prioritas perawatan yang dibutuhkan pada
daerah mata dan nutrisi (85,7%). Dari analisa didapatkan validitas isi oleh para
ahli dan penerimaan dan validitas staf perawat tentang protokol managemen bayi

baru lahir dengan hiperbilirubinemia, ditemukan bahwa protokol dapat diterima


dan digunakan untuk meningkatkan perawatan pada praktek perawat anak, ruang
postnatal dan NICU.
Pembahasan Kelompok
Penelitian tentang hiperbilirubinemia dan efek fototerapi di RS Kasturba,
Manipal, India terhadap 198 dari 1000 populasi selama 6 bulan (20% dari total
populasi) dengan level bilirubin 12 mg/dl.
Hasil studi ini menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara kejadian
hiperbilirubin dengan faktor maternal (usia, golongan darah, diabetes gestasional,
perdarahan antepartum, dan kecemasan maternal) ataupun factor neonatus (jenis
kelamin, BB lahir, usia gestasi, riwayat jaundice pada saudara, permulaan
menyusui, trauma kelahiran dan golongan darah). Sedangkan dari studi literatur
menyebutkan bahwa hiperbilirubinemia pada neonatus dibagi menjadi 3
kelompok besar yaitu: Over produksi, sekresi subnormal dan campuran dari
keduanya (Lampiran 1).
Ada hal yang perlu dicermati yaitu faktor DM gestasional tidak
berpengaruh terhadap tingkat bilirubin. Adapaun etiologi hiperbilirubin pada ibu
dengan DM adalah multifaktorial. Sedangkan mekanisme terjadinya ikterik pada
bayi premature (usia gestasi <38 minggu) terjadi melalui mekanisme yang
komplek yaitu terjadi produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis
extravaskuler.
Fototerapi efektif untuk mengontrol hiperbilirubinemia pada bayi dengan
BB lahir antara 2000 dan 2500 gram jika konsentrasi bilirubin serum awal diatas
10 mg/dl dan pada bayi yang lebih berat dari 2500 gram jdengan konsentrasi
bilirubin serum lebih dari 13 mg/dl dengan syarat tidak terdapat penyakit
hemolitik.
Metode non invasif tidak reliable untuk memprediksi ada tidaknya
bilirubin karena dipengaruhi beberapa factor antara lain tingkat kecermatan
pemeriksa yang bersifat subjektif.

Efek fototerapi terhadap penurunan BBL bermakna signifikan, hal ini


dikarenakan oleh peningkatan hilangnya air secara evaporasi atau karena diare
terutama pada bayi premature. Sedangkan untuk efek samping dari fototerapi
terhadap tingkat dehidrasi tidak saling mempengaruhi akan tetapi kejadian
dehidrasi dapat terjadi sebagai komplikasi fototerapi yang disebabkan oleh
kehilangan air yang tidak disadari karena energi foton yang absorbsi.
Konsentrasi serum bilirubin menurun lebih cepat pada bayi yang terpapar
matahari/florensi biru, sehingga fototerapi dipergunakan untuk mengatasi
hiperbilirubinemia. Mekanisme kerja dari fototerapi yaitu: fotoisomerisasi dan
oksidasi

fotosensitif.

Fotoisomerisasi

meningkatkan

ekskresi

bilirubin.

Keefektifan fototerapi terjadi dalam penurunan konsentrasi bilirubin serum


biasanya tergantung pada spektrum pancaran atau aliran yang terus menerus dari
sumber cahaya dalam interval 420-475 nm. Jadi cahaya biru lebih efektif daripada
cahaya putih karena pancaran lebih tinggi pada panjang gelombang ini.
Dari hasil penelitian ini kebutuhan yang diprioritaskan pada bayi yang
dilakukan fototerapi adalah perawatan mata dan nutrisi bayi. Karena asupan kalori
dan cairan yang lebih tinggi selama fototerapi ada hubungannya dengan jumlah
bilirubin yang rendah. Mata harus ditutup dengan penutup yang berwarna gelap
untuk menghindari kerusakan retina akibat fototerapi.
Salah satu tujuan penelitian ini yaitu mengembangkan dan menvalidkan
protokol perawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia berdasarkan
identifikasi kebutuhan, akan tetapi pada jurnal ini tidak dilampirkan protocol
tersebut sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut walaupun dalam analisa
penelitian didapatkan validitas isi oleh para ahli dan validitas staf perawat tentang
protokol tersebut dan dapat diterima serta digunakan untuk meningkatkan
perawatan anak ruang post natal dan NICU.
Kesimpulan
Hiperbilirubin neonatal adalah masalah biasa yang terjadi pada bayi baru
lahir. Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat bilirubin dan faktor yang
diteliti. Masing-masing metode dalam pengkajian tingkat bilirubin tidak

tergantung satu sama lain. Lebih jauh lagi, metode non invasive tidak reliable
untuk memprediksi ada tidaknya hiperbilirubin.
Lamanya fototerapi mempengaruhi kehilangan BB pada bayi baru lahir.
Hiperbilirubin dapat ditangani dengan fototerapi. Protocol disusun agar dapat
digunakan dan diterima.
Implikasi Keperawatan
Praktik dan pendidikan keperawatan
1. Kemampuan personal perawat dibutuhkan untuk menangani penyakit yang
biasa dialami neonatus.
2. Protokol dapat digunakan untuk mempelajari bagaimana mengkaji bayi baru
lahir, menentukan tingkat bilirubin dengan metode non invasive
3. Perawat juga perlu memberi lebih banyak perhatian pada dan juga
menganjurkan ibu untuk tetap menyusui banyinya selama mendapat
fototerapi, karena hal ini dapat meningkatkan kedekatan dan menurunkan efek
perpisahan bayi dan ibu.
4. Hal-hal yang perlu dilaksanakan saat fototerapi:
a. Monitor suhu bati setiap 4 jam
b. Menimbang bayi setiap hari dan mengawasi penurunan BB yang bermakna
dan siap untuk menaikkan asupan cairan samapi 25% dari biasa.
c. Melindungi mata dan gonad dari sumber cahaya.
d. mengubah posisi bayi setiap 6 jam.
e. Memeriksa konsentrasi bilirubin serum secara teratur.
f. Menghentikan fototerapi saat orang tua mengunjungi bayinya dan membuka
perlindungan mata untuk memudahkan interaksi alami antara orang tua dan
bayi.
g. Monitor konsentrasi bilirubin sehari sesudah fototerapi dihentikan untuk
mendeteksi adanya kenaikan kembali konsentrasi bilirubin serum.
Penelitian
Penelitian ini dapat dilaksanakan dengan memandang berbagai faktor lain dan jika
ditemukan,

fototerapi

hiperbilirubinemia.

dibutuhkan

sebagai

terapi

untuk

mengatasi

You might also like