You are on page 1of 18

Case Report Session

Cedera Medula Spinalis

Oleh :
Putri Rizka Alawiyah

0810311022

Pembimbing :

Prof.Dr.dr.Darwin Amir,Sp.S(K)
dr. Syarif Indra,Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

BAB I
1

PENDAHULUAN
Tulang belakang yang terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara
segmental

memiliki fungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang

belakang. Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf
yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh. Salah satu
penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma adalah cedera medula spinalis (CMS).1,2
The National Spinal Cord Injury Data Research Centre memperkirakan ada 10.000
kasus baru CMS setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insiden paralisis komplet akibat
kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000
pertahunnya. Insiden CMS tertinggi pada adalah pada usia 16-30 tahun (53,1%), dengan
insiden pada pria sebanyak 81,2%, yang sekitar 80% diantaranya berusia 18-25 tahun.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama CMS.1,4
Tingginya angka disabilitas serta komplikasi CMS menuntut adanya penatalaksanaan
menyeluruh terhadap kasus-kasus CMS. Salah satu aspek terpenting dari penatalaksanaannya
adalah rehabilitasi medik penderita, yang meliputi prosedur diagnosis, menentukan problem
fisioterapi, target yang akan dicapai, serta memberikan intervensi fisioterapi yang tepat, yang
meliputi fisik, transfer maupun activity of daily living (ADL), komunikasi, mental-psikososial
maupun terapi vokasional .

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
Cedera medula spinalis (CMS) adalah kerusakan medula spinalis akibat trauma yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetatif, dan gangguan fungsi
seksual. Trauma yang dapat menyebabkan CMS antara lain: kecelakaan kerja, kecelakaan
lalu lintas, jatuh, luka tembak, luka tusuk, maupun kecelakaan olahraga. Salah satu jenis
trauma yang dapat terjadi adalah fraktur. Fraktur yang terjadi dapat mengenai anggota gerak
tubuh maupun tulang belakang sehingga mengenai medula spinalis yang menyebabkan
kelumpuhan atau kelemahan pada anggota gerak bawah.1
Epidemiologi1,4
Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Center dari University
of Alabama at Birmingham yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden CMS
diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di Amerika Serikat, atau 12.000 kasus per
tahun. CMS seringkali diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh
kasus terjadi pada usia 16 30 tahun.Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita
adalah tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit 18,7%, paraplegia komplit
18,0% dan tetraplegia komplit 11,6%. Hanya kurang dari 1% yang mengalami perbaikan
klinis neurologis yang komplit.4
Etiologi1,2,3,5
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda motor (44%),
tindak kekerasan (24%), jatuh (22%), kecelakaan olahraga misal menyelam (8%), dan
penyebab lain (2%). Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama CMS.
Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada orang usia 65 tahun
ke atas.
Holdsworth membuat klasifikasi CMS berdasarkan mekanisme traumanya sebagai
berikut:
1)

Cedera fleksi, menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan


selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan
sebagai cedera yang stabil.

2)

Cedera fleksi-rotasi, menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
3

rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini
merupakan cedera yang paling tidak stabil.
3)

Cedera ekstensi, biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan


menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.

4)

Cedera kompresi vertikal (vertical compression), mengakibatkan pembebanan pada


korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.

5)

Cedera robek langsung (direct shearing), biasanya terjadi di daerah torakal dan
disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra
bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
Kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan

melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. CMS
primer merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada
fraktur dan atau dislokasi tulang belakang, atau tanpa keduanya. Fraktur tulang belakang
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Di daerah torakal tidak banyak terjadi
karena terlindung oleh struktur toraks. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. CMS primer juga dapat terjadi akibat trauma penetrasi
seperti trauma tembak. CMS sekunder dapat terjadi akibat gangguan arteri, trombosis arteri
atau hipoperfusi, hipoksemia dan iskemia, edema, hematom epidural spinal atau abses yang
menyebabkan kompresi sumsum tulang belakang akut.
Anatomi dan Patofisiologi2,3
Medula spinalis bermula pada medula oblongata, menjulur ke arah kaudal melalui
foramen magnum berakhir di antara vertebra lumbalis pertama dan kedua, lalu meruncing
sebagai konus medularis dan kemudian menjadi filum terminale, yang menembus kantung
duramater. Panjangnya sekitar 45 cm, memiliki 31 segmen, antara lain: 8 segmen cervical, 12
segmen thoracal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, 1 segmen coccygeus. Setiap segmen
mengeluarkan sepasang saraf spinal yang terbentuk dari radiks posterior dan anterior. Letak
pada segmen medula spinalis tidak selevel dengan segmen columna vertebra. Segmen
cervical pertama medula spinalis terletak posterior terhadap vertebra cervical pertama.
Segmen thoracal pertama medula spinalis terletak pada vertebra cervical 7. Segmen lumbal
pertama medula spinalis terletak pada vertebra thoracal 12. Hubungan antara segmen-segmen
4

medula spinalis dengan corpus vertebra dan tulang belakang penting artinya didalam klinik
untuk menentukan lesi pada medula spinalis. (Gambar 1)

Gambar 1. Segmen medula spinalis


Selama perkembangan, columna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang dari
medula spinalis. Hal ini disebabkan oleh karena laju pertumbuhan medula spinalis dan tulang
belakang berbeda. Jadi, makin rendah radiks saraf makin besar jarak antara asalnya di dalam
segmen medula spinalis dan titik luarnya dari kanalis spinalis. Medula spinalis hanya berjalan
setinggi lumbal pertama atau kedua (sekitar setinggi pinggang). Berkas saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai cauda equina.
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa
informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur
motorik desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang. Kolumna dorsal adalah
traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks
sensorik. Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu. Traktus
spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh traktus
interomedial anterior.
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis
ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada
traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral.
Trauma sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba
5

inkomplit. Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis
keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di
antara S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat
menyebabkan disfungsi otonom.
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi
relatif, vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum
tulang belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi
neurologis komplit, termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom.
Syok neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer
akibat disfungsi otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma
sumsum tulang belakang akut.
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang
belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus
kortikospinal, spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis
anterior meliputi paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri
spinalis posterior mensuplai kolumna dorsalis.
Manifestasi Klinis1,2,3,5,6
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang antara lain
adalah nyeri, hilangnya fungsi motorik, hilang atau berubahnya sensari sensorik, sesuai
dengan letak lesi dan jenis lesinya (komplit/inkomplit).
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit yang ditandai dengan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang
inkomplit meliputi anterior cord syndrome, Brown-Squard syndrome, dan central cord
syndrome. Sindrom lainnya meliputi conus medullaris syndrome, cauda equina syndrome,
dan spinal cord concussion.
-

Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri
dan/atau suhu, dengan dipertahankannya propriosepsi.

Brown-Squard syndrome meliputi hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik


ipsilateral, dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral.

Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada
ekstremitas atas yang dominan daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi
6

bervariasi, nyeri dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau
vibrasi.
-

Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa
keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih,
pencernaan. Hilangnya fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah
bervariasi.

Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia
pada pencernaan dan/atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik ekstremitas bawah yang bervariasi.

Spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada sumsum
tulang belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang
nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di

bawah level trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit.
Sebagian besar trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat
luka dari sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang
belakang dan bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang.
American Spinal Injury Association (ASIA) membagi CMS berdasarkan derajat
kerusakan (impairment scale) seperti dibawah ini:
A. Komplit

: Tidak ada respon fungsi sensorik dan motorik pada segmen

B. Inkompli

S4-S5
: Fungsi motorik tidak ada, fungsi sensorik normal di bawah

t
C. Inkompli

level neurologis, termasuk segmen S4-S5.


: Fungsi motorik di bawah level neurologis normal dan >50%

t
D. Inkompli
t
E.

Normal

otot utama di bawah level neurologis memiliki nilai manual


muscle testing <3.
: Fungsi motorik di bawah level neurologis normal dan 50%
otot utama di bawah level neurologis memiliki nilai manual
muscle testing 3.
: Fungsi motorik dan sensorik normal.

Diagnosis1,2,3
7

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis yang tepat, dilakukan pemeriksaan
laboratorium rutin untuk hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor
kehilangan darah. Urinalisis juga diperlukan untuk mendeteksi adanya trauma pada traktur
genitourinarius. Selain itu, dilakukan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi anteroposterior dan lateral, dan bila perlu tomografi tulang belakang untuk mengidentifikasi trauma
tulang belakang, namun jika penderita memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang
belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI pada penderita dengan defisit neurologis tetapi
rontgen tidak menunjukkan adanya fraktur. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan
tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita.
Penatalaksanaan1,2,7,8
Setelah dipastikan airway, breathing dan circulation (ABC) penderita aman,
dilakukan imobilisasi untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera
sekunder, yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan
alas yang keras. Pada CMS servikal dilakukan pemasangan cervical collar. Setelah semua
langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang
lebih cermat. Pemeriksaan penunjang radiologi juga dapat dilakukan.
Tindakan pembedahan merupakan penatalaksanaan utama yang ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan
mobilisasi dini. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan
reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan
dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut.
Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah
kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara
laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada
kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran
kencing atau dekubitus dapat dicegah.
Aspek Rehabilitasi Medik Cedera Medula Spinalis7,8
Asuhan pelayanan fisioterapi yang diberikan pada penderita CMS dilakukan secara
bertahap sesuai dengan problema yang ditemukan pada saat dilakukan assessment. Untuk itu
sebelum melakukan intervensi fisioterapi, hendaknya kita mengetahui problema fisioterapi
apa saja yang ada pada penderita dengan CMS.
8

a)

Keterbatasan range of motion (ROM)


Jadi keterbatasan ROM adalah keterbatasan sudut yang terjadi saat bergerak yang
terjadi dalam suatu sendi yang mengakibatkan tidak tercapainya gerak yang normal.
Biasanya keterbatasan ROM ini diukur dengan menggunakan goniometer.

b)

Kelumpuhan
Kelumpuhan atau paralisis dapat terjadi pada seluruh otot-otot tubuh sesuai dengan
level yang terkena. Nilai otot pada penderita cedera medula spinalis pada fase syok
spinal sangat rendah, namun setelah melewati fase tersebut kekuatan otot akan
berangsur membaik yang ditentukan pula oleh seberapa besar tingkat kerusakan pada
medula spinalis.

c)

Spastisitas/flaksiditas
Untuk mengukur spastisitas seringkali digunakan modified Asworth scale. Skala ini
menilai pergerakan anggota gerak melalui lingkup geraknya untuk meregangkan otot,
yaitu:

0 : Tidak ada peningkatan tonus otot


1 : Ada sedikit peningkatan tonus otot, diketahui oleh atau dengan
2
3
4
5
e)

:
:
:
:

memberikan tahanan minimal pada akhir ROM


Ditandai dengan peningkatan tonus otot pada ROM penuh
Peningkatan tonus otot sehingga sulit melakukan gerakan pasif
Menyebabkan rigiditas/kekakuan pada saat fleksi atau ekstensi
Gangguan mobilisasi dan transfer.
Nyeri
Pada CMS dengan gangguan sensorik biasanya tidak ada nyeri. Namun seringkali
pasien merasa sakit atau sesuatu yang tidak enak pada tubuhnya saat dilakukan
gerakan secara pasif. Hal itu disebabkan adanya penguluran pada otot yang spastis.
Bila fungsi sensoris telah normal kembali, dapat juga terjadi nyeri gerak yang
disebabkan karena adanya penguluran dari otot yang telah memendek karena telah
lama tidak digerakkan.

f)

Potensial terjadi kontraktur


Kontraktur dapat timbul akibat dari kelemahan anggota gerak, dimana akibat
kelemahan tersebut ekstremitas menjadi tidak dapat digerakkan dan berada pada
posisi statis yang terus menerus, sehingga otot-otot menjadi memendek.

g)

Potensial terjadi kekakuan sendi

Kekakuan pada sendi terutama pada sendi-sendi pada anggota gerak akibat dari
immobilisasi pasien yang lama dan tidak pernah dilakukan gerak secara pasif,
didukung oleh adanya spastisitas.
h)

Potensial terjadi gangguan fungsi pernafasan


Pada CMS di atas level C4 atau level C5 Th 12, gangguan pernafasan yang timbul
disebabkan adanya kelemahan otot-otot pernafasan yang diakibatkan langsung oleh
lesi pada medula spinalis pada level tersebut. Namun pada cedera medula spinalis
level lumbalis, gangguan pernafasan yang timbul diakibatkan oleh komplikasi dari
tirah baring yang lama, sehingga menimbulkan kondisi statis yang dapat
menimbulkan gangguan seperti adanya bronkopneumonia.

i)

Potensial gangguan integritas kulit (dekubitus)


Decubitus terjadi akibat penekanan yang terus menerus pada satu area, misalnya pada
imobilisasi lama, sehingga area tersebut tidak cukup mendapat suplai darah.
Dalam menentukan perencanaan fisioterapi, harus ditentukan terlebih dahulu tujuan

yang akan dicapai, yang mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Adapun
penentuan tujuan dilakukan berdasarkan problematik fisioterapi yang ditemukan dalam
proses assessment.
Berdasarkan problema, tentukan intervensi fisioterapi yang diperlukan yang sesuai
dengan kebutuhan penderita maupun keluhannya, agar tujuan akhir dari intervensi dapat
tercapai. Intervensi fisioterapi terutama ditujukan untuk mengurangi atau mencegah masalahmasalah yang belum ada namun berpotensi untuk terjadi pada penderita tersebut. Selain itu
intervensi juga ditujukan untuk meningkatkan kemandirian penderita. Adapun berbagai
intervensi fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain :
1)

Fisioterapi pada fase akut/syok spinal


-

Positioning, mengatur posisi anggota gerak untuk mencegah deformitas dan


untuk mengobservasi area yang terkena tekanan untuk melihat adanya adanya
kelainan seperti dekubitus.

Latihan gerak pasif, yang dilakukan pada semua sendi. Pada lesi di lumbal
yang harus diperhatikan adalah saat menggerakkan pinggul jangan sampai
tulang belakang juga ikut bergerak. Perhatian yang sama juga dilakukan saat
menggerakkan ekstremitas atas pada lesi servikal.

10

Chest therapy, pada penderita dengan tetraplegi dan paralisis otot-otot


intercostalis. Pasien kemungkinan memakai trakheoostomi atau alat bantu
nafas.

Exercise, latihan penguatan untuk anggota gerak atas/bawah.

Interaksi antara penderita dan fisioterapis, untuk membangun kepercayaan dan


kerjasama yang baik untuk tercapainya tujuan terapi.

2)

Fisioterapi pada fase pemulihan


-

Latihan weight bearing

Sitting balance

Mobilisasi dengan kursi roda

Transfer, misalnya dari tempat tidur ke kursi rodanya maupun dari kursi
rodanya ke toilet.

Perawatan diri, dengan mengajarkan bagaimana untuk melakukan beberapa


kegiatan fungsional yang mungkin untuk dilakukannya, seperti berpakaian dan
mandi.

Penguatan anggota gerak atas, dengan latihan dengan tahanan maupun dengan
olah raga.

Latihan berdiri dan berjalan, baik dengan orthosis maupun dengan alat bantu
lainnya.

Modifikasi pekerjaan, terutama pada penderita CMS usia muda, disesuaikan


dengan kemampuannya saat ini, yang bertujuan untuk kemandirian penderita.

Evaluasi dapat dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk mengetahui apakah
terapi yang diberikan bermanfaat bagi penyembuhan dan kemandirian penderita CMS
ataukah harus dimodifikasi/diubah.
Komplikasi2,7,8
Pada penderita dengan tetraplegia, persentase terjadinya komplikasi yang biasa terjadi
adalah sebagai berikut: pneumonia (60,3%), ulkus dekubitus (52,8%), trombosis vena dalam
(16,4%), emboli pulmo (5,2%), infeksi pascaoperasi (2,2%).

11

Prognosis2,3,5
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi
komplit mencapai 100%. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan
trauma tetraplegia mencapai 90%. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian
antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Penderita CMS komplit
berpeluang sembuh kurang dari 5%. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik,
jika fungsi sensorik masih ada, peluang penderita untuk dapat berjalan kembali dapat lebih
dari 50%.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. Dalam: Basuki A. Dian S. (editor) Kegawatdaruratan
neurologi. Edisi pertama. Bandung, Indonesia: Bagian Saraf FK Universitas Padjadjaran/RS Dr.
Hasan Sadikin; 2009. p123-149
2. Chin

LS.

Spinal

cord

injuries.

http://emedicine.medscape.com/article/793582-

overview#showall (accessed 13 Juni 2014).


3. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. NINDS Spinal Cord Injury
Information Page. http://www.ninds.nih.gov/disorders/sci/sci.htm (accessed 13 Juni 2014).
4. National spinal cord injury statistical center. Spinal cord injury: Facts and figures at a glance.
https://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/
Facts%202013.pdf (accessed 13 juni 2014).
5. Spinal cord injuries. http://www.sci-recovery.org/sci.htm (accessed 13 juni 2014).
6. Spinal injuries in snow sports. http://www.ski-injury.com/specific-injuries/spinal1 (accessed 13
juni 2014).
7. Jalalin. Penuntun pemeriksaan fisik dan fungsional ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi. Edisi
pertama. Palembang, Indonesia. Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang; 2006.
8. Saulino

MF.

Rehabilitation

of

Persons

With

Spinal

Cord

Injuries

http://emedicine.medscape.com/article/1265209-overview#showall (accessed 13 Juni 2014).

13

BAB III
ILUSTRASI KASUS
Seorang pasien laki-laki 27 tahun masuk poli neurologi RSUP Dr.Mdjamil pada tanggal 10
Juni 2014
a. KELUHAN UTAMA
Tidak dapat berjalan karena kelumpuhan kedua tungkai.
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Tidak dapat berjalan karena kelumpuhan kedua tungkai 2tahun terjadi secara
tiba-tiba. Awalnya 2 tahun penderita sedang bekerja di kebun tiba-tiba
punggung penderita tertimpa pohon yang tumbang, penderita lalu mengalami
kelumpuhan, dimana kedua tungkai penderita sama sekali tidak bisa
digerakkan dan nyeri pada pinggang belakang yang terasa semakin hari
semakin sakit. Penderita juga mengalami gangguan sensibilitas, yaitu baal
mulai dari ujung-ujung jari kedua tungkai sampai 3 jari di bawah umbilikus,
penderita juga tidak bisa buang air kecil dan buang air besar. Kelumpuhan
tidak dirasakan semakin berat dan sehari-hari penderita menggunakan kursi
roda untuk aktivitas dan kateter uretra untuk buang air kecil.
c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat trauma ada 2 tahun yang lalu, punggung bawah penderita tertimpa
pohon tumbang, penderita terjatuh dalam posisi terlungkup.
Riwayat batuk lama tidak ada.
d. RIWAYAT PENYAKIT PADA KELUARGA
Tidak ada anggota keluarga yang memderita sakit seperti ini
e. RIWAYAT PEKERJAAN
Penderita sebelumnya bekerja sebagai buruh penyadap pohon karet. Posisi
aktivitas kerja banyak berdiri.
f. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Penderita menikah dan memiliki satu orang anak perempuan berusia 2 tahun.
Penderita tinggal di rumah orang tuanya bersama kedua orangtua, istri dan
anaknya.
Jarak antara rumah penderita dengan fasilitas kesehatan (rumah sakit) cukup
jauh.
14

Saat ini penderita tidak dapat mencari nafkah secara aktif dan tidak ikut serta
dalam organisasi kemasyarakatan.
g.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
Kesadaran
Tinggi/Berat Badan
Tekanan Darah
Nadi
Nafas
Suhu

:
:
:
:
:
:
:

Tampak sakit sedang


GCS E4M6V5
160 cm/50 kg BMI: 19,5
120/80 mmHg
89x/menit
19x/menit
36,5x/menit

2. Status Internus
Leher
Tidak ada pembesaran KGB
JVP 5-2 CmH2O
Bising carotis (-)
Thorak
Paru-paru:
Inspeks

: simetris kiri dan kanan

Palpasi

: fremirus kiri = kanan

Perkusi

: sonor

Auskultasi : vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/Jantung


Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus teraba 1 jari medial LMCS

Perkusi

: batas atas : RIC II, batas kanan : LSD, batas kiri : 1 jari medial LMCS

Auskultasi : bising (-)


Abdomen
Inspeksi

: distensi (-)

Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi : BU (+) normal


3. Status Neurologis
a. GCS : 15 (E4 M6 V5)
15

b. Tanda rangsangan meningeal

Kaku kuduk

: (-)

Kerniq

: (-)

Laseque

: (-)

Brudzinski I

: (-)

Brudzinski II : (-)

Brudzinski III : (-)

Brudzinski IV : (-)

c. Tanda peningkatan tekanan intrakranial


Pupil isokor, diameter 3mm/3mm, muntah proyektil tidak ada
d. Pemeriksaan nervus kranialis
N. I (Olfactorius)
N.II (Opticus)

Penciuman baik
Tajam penglihatan normal, lapangan penglihatan normal,

N. III (Occulomotorius)

melihat warna normal.


Pupil isokor diameter 3mm/3mm, RC+/+, gerak mata

N.IV (Trochlearis)

kelateral +/+

N.VI (abducen)
N. V (Trigeminus)
N.VII (Facialis)
N.VII (Vestibularis)
N.IX (Glossopharyngeus)
N. X (Vagus)
N. XI (Acessorius)
N.XII (Hipoglossus)

Reflek kornea +/+


Wajah simetris, plika nasolabialis kiri = kanan
Reflek oculoauditorik (+)
Arkus faring simetris, uvula ditengah
Reflek muntah (+)
Menoleh kepala ke kiri dan kanan +, mengangkat bahu +.
Deviasi lidah (-)

Anggota gerak atas


Fungsi Motorik
Gerakan
Kekuatan
Abduksi lengan
Fleksi bahu
Ekstensi siku
Fleksi jari-jari tangan
Abduksi jari tangan
Tonus
Trofi
Refleks Fisiologis
Tendon biseps
Tendon triseps
Refleks Patologis
Hoffman

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Kanan
Luas

Kiri
Luas

5
5
5
5
5
Eutoni
Eutrofi

5
5
5
5
5
Eutoni
Eutrofi

Normal
Normal

Normal
Normal

Tidak ada
16

Tidak ada

Tromner
Fungsi Sensorik
eksteroseptif
Proprioseptif

Tidak ada

:
:

Tidak ada

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan

Anggota gerak bawah


Fungsi Motorik
Gerakan
Kekuatan
Fleksi paha
Ekstensi paha
Ekstensi lutut
Fleksi lutut
Dorsofleksi ankle
Dorsofleksi ibu jari
Plantar fleksi ankle
Tonus
Trofi
Refleks Fisiologis
Tendon patella
Tendon achilles
Refleks Patologis
Babinski
Chaddock
Mendel-Bechterew
Rossolimo
Fungsi Sensorik

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Kanan
Tidak ada

Kiri
Tidak ada

0
0
0
0
0
0
0
Meningkat
Disuse atrophy

0
0
0
0
0
0
0
Meningkat
Disuse atrophy

:
:

Menurun
Menurun

Menurun
Menurun

:
:
:
:
:

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Hipestesi mulai ujung-ujung jari
kaki sampai setinggi 4 jari di
bawah umbilikus

Fungsi vegetatif
Miksi
Defekasi

:
:

Retensio urine
inkontinensia alvi

h. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologis:
-

Foto vertebrae thoracolumbal: Tampak fraktur pada corpus vertebra


thoracalis 12.

Foto thorax PA: tidak ada kelainan.

i. DIAGNOSIS KLINIS
1.

Paraplegi inferior spastik


17

2.

Hipestesi mulai ujung-ujung jari kaki sampai dengan empat jari di bawah
umbilikus.

3.

Retensio urine, inkontinensia alvi

DIAGNOSIS TOPIK
Lesi transversal total medula spinalis setinggi segmen thoracal 11 - 12
DIAGNOSIS ETIOLOGI
Trauma medula spinalis ec fraktur corpus vertebra thoracal 12
j. TERAPI MEDIKAMENTOSA
-

Laksansia (Bisacodyl 1 x 2 tablet p.o.)

Vitamin neurotropik (B1B6B12 3 x 1 tablet p.o.)


BAB IV
DISKUSI
Pasien laki-laki usia 27 tahun, dengan kelumpuhan kedua tungkai tiba-tiba

sejak dua tahun yang lalu. Dari anamnesis didapatkan kelumpuhan kedua tungkai
secara tiba-tiba sejak dua tahun yang lalu dengan gangguan sensibilitas pada kedua
tungkai sampai ke dua jari di bawah umbilikus, disertai tidak bisa buang air kecil dan
tidak bisa buang air besar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam
batas normal, status neurologis penderita dengan kekuatan tungkai bawah nol dan
refleks fisiologis meningkat dan refleks patologis tidak ada. Selain itu didapatkan
hipestesi mulai ujung-ujung jari kaki sampai 4 jari di bawah umbilikus, dengan
retensio urine dan retensio alvi. Pemeriksaan radiologis vertebrae thoracolumbal
didapatkan fraktur pada corpus vertebra thoracal 12. Penderita didiagnosis dengan
paraplegia inferior spastik dengan hipestesi mulai ujung-ujung jari kaki sampai
setinggi 3 jari di bawah umbilikus dan retensio urine et alvi, dengan diagnosis topik
lesi transversal total medula spinalis setinggi Thoracal 11-12, dengan etiologi trauma
medula spinalis akibat fraktur pada corpus vertebra thoracal 12.

18

You might also like