Professional Documents
Culture Documents
STATUS PEDIATRIK
I. IDENTIFIKASI
Nama
: An. V
Umur
: 7 Bulan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Berat badan
: 7 kg
Panjang badan
: 67 cm
Lingkar Kepala
: 45 cm
Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Alamat
: Dalam kota
MRS
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 21 November 2014, diberikan oleh ibu pasien)
Keluhan utama
mendapatkan terapi infus RL 2 kolf, Nacl 0,9% setengah kolf, Aminosteril 6% 100cc,
Ceftriaxone selama 2 hari, Sanmol sirup dan Vitamin. Hasil pemeriksaan darah terakhir
saat dirawat di RS Swasta yaitu Hematokrit 28%, Trombosit 42.000/L, IgM anti-Dengue
(+), dan IgG anti-Dengue (-).
Dua hari SMRS, pasien masih demam tinggi yang terus menerus dan mulai tampak
sesak napas. Sesak napas tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, atau perubahan posisi.
Kejang (-), mual (+), muntah (-), bintik kemerahan di kulit (+) pada paha, gusi berdarah
(-), mimisan (-), BAB darah atau BAB hitam (-), tidak mau makan dan minum, pasien
mulai gelisah.
Lima jam SMRS kaki dan tangan pasien teraba dingin dan pucat, pasien tampak
gelisah. Orang tua pasien tidak ingat kapan pasien BAK terakhir. Kemudian pasien
dirujuk ke IGD RSMH Palembang.
Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat sesak napas sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
o Riwayat penyakit DBD di dalam keluarga dan lingkungan sekitar ada
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan
: Aterm
Partus
: Spontan
Ditolong Oleh
: Bidan
Tanggal
: 09 April 2014
Berat badan
: 2800 gr
Panjang Badan
: 46 cm
Riwayat Makanan
ASI
Susu Formula
: Belum diberikan
Bubur Susu
Lain-lain
: Belum diberikan
2
Kesan
Riwayat Vaksinasi
BCG
: Skar (+)
Polio
DPT-HB
Campak
: (-)
Kesan
: 0 s/d -2SD
PB/U
: 0 s/d -2SD
BB/PB
Kesan
Perkembangan
Usia 4 bulan : Tengkurap
Usia 7 bulan : Duduk dengan bantuan
Kesan
Kesadaran
: E3M4V4
Tekanan Darah
: 70/50 mmHg
Nadi
Pernapasan
: 68 kali/menit
Suhu
: 39,1 oC
Berat badan
: 7 kg
Tinggi badan
: 67 cm
Lingkar Kepala
: 45 cm
Keadaan Spesifik
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorok
Leher
: perbesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat, kaku kuduk tidak
ada, Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: Cembung
Auskultasi
Palpasi
: Lemas, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costae, tepi tajam, permukaan
rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba, turgor kulit segera kembali
Perkusi
: Timpani
: 13,2 x 10/mm
Ht
: 28 %*
Trombosit
: 42 x 103/mm3*
IgM anti-Dengue
: (+)*
IgG anti-Dengue
: (-)
: 10,1 g/dl*
Kalsium
: 8,2 mg/dl*
Eritrosit
: 3,96 x 106/mm
Natrium
: 137 mEq/L
Leukosit
: 17,5 x 10/mm
Kalium
: 3,7 mEq/L
Ht
: 29 %*
Trombosit
: 107 x 103/mm3*
DIAGNOSIS KERJA
Dengue Syok Sindrom
RL 140 cc (20 cc/kgBB) secepatnya kocor; respons positif, TD: 80/50, nadi
135x/menit, isi dan tegangan cukup RL 70 cc (10 cc/kgBB/jam) selama 2 jam
70 gtt/menit (mikro)
Paracetamol 70 mg via NGT tiap 4-6 jam bila suhu 38,5oC
Dobutamin 35 g/menit
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Observasi tanda-tanda syok dan manifestasi perdarahan
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
gelisah. Lima jam SMRS kaki dan tangan pasien teraba dingin dan pucat, pasien tampak
gelisah. Orang tua pasien tidak ingat kapan pasien BAK terakhir. Kemudian pasien
dirujuk ke IGD RSMH Palembang. Riwayat penyakit dahulu berupa riwayat sesak napas
sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD di dalam keluarga dan lingkungan sekitar
ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat kelahiran anak normal, ditolong bidan.
Riwayat makanan mendapat ASI sejak lahir hingga sekarang. Bubur susu usia 6 bulan
hingga sekarang. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal. Riwayat imunisasi
dasar belum lengkap. Status gizi baik. Hasil laboratorium tanggal 21 November 2014 di
RSMH adalah Hb 10,1 g/dl, Ht 29%, trombosit 107x 10/L.
XI. FOLLOW UP
Tanggal 22 November 2014
S : demam (+) hari ke-7, bebas syok 24 jam, anak mau makan dan minum
O : Sensorium
: compos mentis
TD
: 80/50 mmHg
RR
: 40 x/menit
: 38,8oC
Kepala
Thorax
Cor
Pulmo
Abdomen
: datar, lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae, tepi tajam,
permukaan rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba,
BU (+) normal
Ekstremitas :
Diuresis
4 cc/kgBB/jam
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
SGOT
SGPT
Pukul 11.00
9,6 gr/dL
27 %
117 x 103/L
5530 U/L
2397 U/L
: compos mentis
TD
: 80/50 mmHg
RR
: 38 x/menit
: 37,3oC
Kepala
Thorax
Cor
Pulmo
Abdomen
Ekstremitas :
Diuresis
3 cc/kgBB/jam
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
Pukul 00.00
Pukul 10.00
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
SGOT
SGPT
Dengue IgM
Dengue IgG
8,8 gr/dL
26 %
185 x 103/L
-
8,3 gr/dL
24 %
172 x 103/L
3041 U/L
1999 U/L
Positif
Positif
: compos mentis
TD
: 80/50 mmHg
RR
: 40 x/menit
: 36,7oC
Kepala
Thorax
Cor
Pulmo
Abdomen
Ekstremitas :
Diuresis
3 cc/kgBB/jam
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dengue Shock Syndrome
2.1.1 Definisi
Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita
Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan
masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami
renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.
2.1.2 Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang
berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan
seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga
seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali
seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko
penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas,
dan predisposisi genetis.
Virus dengue yang matur terdiri dari single stranded RNA genom (ssRNA) yng
mempunyai polaritas positif. Genom ini dikelilingi oleh Nucleocapsid icosahedral dengan
diameter 30 nm. Nucleocapsid ini ditutupi oleh suatu lipid envelope yang tebalnya 10 nm.
Genom virus mengandung 3 protein struktural dan 7 protein non struktural. Protein struktural
termasuk kapsul protein yang kaya arginine dan lisin serta protein prM nonglycosylated.
Sedangkan protein non struktural dikenal sebagai NS1-7 yang mempunyai fungsi yang
berbeda.
11
2.1.3 Insiden
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan bahwa
penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang wong (1973) dari
singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di Manadoterutama dijumpai pada umur 6-8
tahun kemudian pada tahun 1983 didapatkan terbanyak pada umur 4-6 tahun. Tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak
perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-65%,
dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979) melaporkan 50%,
Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan 65,45% dari
seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi pada Dengue Shock Syndrom ialah tejadinya peninggian permeabilitas
dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan plasma dan
elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk kedalam ruang interstitial,
sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi cairan ke
rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai
kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini bila tidak
segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolik, sehingga
terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan
penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga lebih lanjut akan
memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a.
b.
c.
d.
Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung.
b.
c.
d.
e.
f.
2.1.6 Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria
laboratorik dengan syarat bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria
klinik (satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV disebut
DHF/DBD dengan renjatan atau DSS. Wong dkk. (1973) juga mengemukakan beberapa tanda
dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita dengue shock syndrome,
yaitu :
1.
2.
3.
4.
Clouding of sensorium
Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun
Nyeri perut
Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis,
Panas 2 7 hari
Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif
Adanya pembesaran hepar
Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi meningkat
dan lemah serta akral dingin
Laboratorium:
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)\
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)
Dengan merujuk kepada pengertian dari DHF Shock (DSS), yaitu demam berdarah
dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari, maka dapat diperoleh pula
kriteria klinis DSS sebagai berikut
DHF grade III :
1.
2.
3.
4.
DHF grade IV :
1. Shock berat
2. Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba
2.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai
akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DB dapat
berobat jalan,sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umunya terjadi pada
hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air
teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi,
berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksi dapat diatasi
dengan antipiretik, dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol
14
70%.Parasetanol
direkomendasikan
untuk
mengatasi
demam
dengan
dosis
10-
15mg/kgBB/kali.
Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB secepatnya
(diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat (DBD
derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur, diberikan ringer laktat 20 mg/kgBB
bersama koloid). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran 40)
sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus yang
sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,
keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit
dan gula darah.
2.1.8 Komplikasi
1. Perdarahan massif
2. Kegagalan pernapasan akibat udema parau atau kolaps paru
3. Ensefalopati dengue
4. Kegagalan jantung
2.1.9 Indikasi Memulangkan Pasien
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2.1.10 Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe virus
bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe ternyata
meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe sekaligus.
sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue dan dhf adalah
dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. A. aegypti berkembang biak
terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah plastik, ban mobil bekas dan
15
tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk ini menggigit pada siang hari,
beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada tempat-tempat air bersih
tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3M:
1. menguras bak air
2. menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk
3. mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.
Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang membunuh
larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah perkembangbiakan nyamuk selama
beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. di tempat
yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging, tapi efeknya
hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. Di Samping
itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat ditemukannya nyamuk
dewasa. Untuk perlindungan yang lebih intensif, orang-orang yang tidur di siang hari
sebaiknya menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela,
menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan.
2.1.11 Prognosis
Prognosa penderita tergantung dari beberapa faktor :
1. Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat
tidaknya penanganan
2. Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama pemberian
infuse dimulai
3. Panas selama renjatan
4. Tanda-tanda serebral
2.2 Syok pada Anak
Syok adalah syndrome gawat akut akibat ketidakcukupan perfusi dalam memenuhi
kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik (kebutuhan
oksigen) atau penurunan pasokan metabolik. Ketidakcukupan akan pasokan oksigen
mengakibatkan tubuh merespon dengan merubah metabolisme energi sel menjadi anaerobic,
akibatnya dapat terjadi asidosis laktat. Jika perfusi oksigen ke jaringan terus berkurang maka
respon system endokrin, pembuluh darah, inflamasi, metabolisme, seluler dan sistemik akan
muncul dan mengakibatkan pasien menjadi tidak stabil.
16
Syok adalah proses yang progresif, dimana apabila tubuh tidak mampu mentoleransi
maka dapat mengakibatkan kerusakan irreversible pada organ vital dan dapat menyebabkan
kematian. Syok memiliki pola patofisiologi, manisfestasi klinis, dan pengobatan berbeda
tergantung pada etiologinya. Hypovolemic dan septic syok adalah syok yang paling sering
dijumpai pada anak- anak, cardiogenik syok dijumpai pada neonatus yang memiliki kelainan
jantung congenital juga pasca bedah kelainan jantung congenital syok bisa terjadi pada anak
yang lebih dewasa.
Syok sering menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik dan sindrom kegagalan
multiorgan. Kegagalan kardiovaskular diakibatkan oleh kekurangan kardiak output (CO),
sistemik vascular resistance (SVR), atau keduanya. CO adalah hasil dari heart rate dan stroke
volume. Stroke volume ditentukan oleh tekanan pengisian ventrikel kiri dan kontraksi
miokard. SVR menggambarkan tahanan ke ejeksi ventrikel kiri (afterload). Di dalam kamus
"shock," yang didominasi vasokonstriksi di klasifikasikan sebagai "cold shock" dan yang
didominasi oleh vasodilatasi disebut "warm shock." Pengenalan dan manajemen yang dini
dari berbagai tipe dan kegagalan sirkulasi adalah sangat krusial untuk mengembalikan perfusi
jaringan yang adekuat sebelum kerusakan organ menjadi irreversible.
2.2.1 Epidemiologi
Kejadian syok pada anak dan remaja sekitar 2% pada rumah sakit di Amerika serikat,
dimana angka kematian sekitar 20-50% kasus. Hampir seluruh pasien tidak meninggal pada
fase hipotensi tapi karena hasil dari satu atau lebih komplikasi akibat syok. Disfungsi
multiple organ meningkatkan resiko kematian( satu organ 25% kematian, dua organ 60%
kematian, tiga organ atau lebih >85%)Angka kematian syok pada anak menurun sebanding
dengan tingkat edukasi yang baik, dimana pengenalan awal syok dan management yang baik
dan cepat memberi kontribusi lebih.
2.2.2 Patofisiologi
Metabolisme aerobic sel bisa menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate, sedangkan
pada sel yang kekurangan oksigen (syok) sel akan merubah system metabolisme aerobic
menjadi anaerobic, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP molekul tiap molekul glukosa dan
hasil pembentukan dan penimbunan asam laktat. Akhirnya metabolisme sel tidak cukup
menghasilkan energi homeostasis sel, sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran ion
melalui membrane sel. Dimana terjadi akumulasi sodium didalam sel dengan pengeluaran
potassium dan penumpukan cytosolic calsium. Sel menjadi membengkak, membrane sel
17
hancur, dan terjadilah kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan kegagalan
pada banyak organ, jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan metabolic sel
mungkin terjadi dari kekurangan oksigen yang absolute (hipoksia syok) atau kombinasi
hipoksia dan kekurangan substrat khususnya glukosa, disebut sebagai iskemic syok.
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami dengan benar
ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon kompensasi kardiovaskular
pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi yang progresif. Gejala dan tanda syok
yang dapat dengan mudah dilihat pada orang dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak,
mengakibatkan terlambatnya pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah.
Walaupun anak lebih besar persentase total cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka
dari kolaps kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible
water loss, dan penurunan renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah
terjadi hipoperfusi pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak
diketahui pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan
tanda menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
PRELOAD
CONTRACTILI
TY
HEART
RATE
AFTERLOAD
STROKE
VOLUME
SYSTEMIC VASCULAR
RESPONSE
CARDIAC OUTPUT
BLOOD
PRESSURE
Syok septik
Syok
hipovolemik
Syok
kardiogenik
Mediator
Kebocoran
Preload
Vasodilator
Depresi
Kontraktilitas
18
CO
Terkompensasi
Tekanan darah
Pengeluaran
simpatetik
CO dan tekanan
darah membaik
Iskemia jaringan
Vasokonstriksi
denyut jantung
CO
Pelepasan
mediator
Fungsi sel
Hilangnya
autoregulasi
Kematian sel
Kematian
paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari pembuluh darah, endogen atau
eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan tekanan darah tanpa tergantung dari
CO. Karena itu, pada pasien anak, tekanan darah merupakan indicator yang jelek dari
hemostatis kardiovaskular. Evaluasi heart rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary
refill, kualitas dari denyut perifer, kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih
bernilai daripada tekanan darah dalam menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya suplai
oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat dari kekurangan
oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat mempertahankan produksi
O2 aerobik secara efisien.
Pada keadaan normal, metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul adenosine
trifosfat (ATP) tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O 2 terganggu,
sehingga sel hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul glukosa, sehingga
terjadi penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya metabolisme seluler tidak lagi
bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen hemostasis seluluer, sehingga terjadi
kerusakan pompa ion membran dan terjadi penumpukan natrium intraseluler, pengeluaran
kalium dan penumpukan kalsium sitosol.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel. Kematian sel
yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila ireversibel, dapat terjadi
kematian.
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari transpor
oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat, biasanya
glukosa (syok iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari kedua hal diatas
yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk
memberikan oksigen pada keadaan syok.
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang dibawa ke
jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang dipompa oleh jantung
permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri (CaO2), sehingga didapatkan
persamaan sebagai berikut:
DO2 = CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)
CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 = SaO2), sehingga
didapatkan persamaan:
CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g
20
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada CaCO 2, baik
karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO 2 maupun karena anemia yang
menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan kapasitas total pengiriman O2.
Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu jumlah darah yang dipompa tiap denyut
jantung (Stroke Volume = SV) dan laju jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume
dipengaruhi oleh volume pengisian ventrikel akhir diastolik (ventricular preload),
kontaktilitas otot jantung dan afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output
diatas, pada keadaan syok, dapat mengalami gangguan atau kerusakan.
2.2.3 Stadium
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis
Kehilangan Darah %
Frekuensi Jantung
Volume Nadi
Pengisian Kapiler
Kulit
RR
Tingkat Kesadaran
Kompensasi
25%
Takikardia +
Normal/Menurun
Normal/Meningkat
Dingin, pucat
Takipnue +
Agitasi ringan
Dekompensasi
25-40%
Takikardia ++
Menurun +
Meningkat +
Dingin, mottled
Takipnue ++
Berkooperasi
Irreversibel
>40%
Takikardia/Bradikardi
Menurun ++
Meningkat -Pucat mati
Sighing respiration
Bereaksi hanya pada
21
Septik
Kardiogenik
Distributif
Hipovolemik
Obstruktif
Syok
Karakteristik
Infeksi
Kegagalan
1.Kelainan
Menurunnya
CO
organisme
jantung dalam
saraf:
jumlah
sianosis;
melepaskan
memompa
Mengganggu
cairan
tekanan
toksin
darah untuk
keseimbangan
menurunkan
nadi rendah
yang
memenuhi
cairan
CO;
mempengar
kebutuhan
sehingga
asidosis
uhi
tubuh
memudahkan
metabolic
distribusi
terjadinya
membuat
darah,
asidosis
volume
cardiac
2.Overdosis
intravaskuler
output
dosis obat
berkurang
dan lainnya
yang
dan perfusi
mengganggu
ke jaringan
distribusi
menurun;
cairan
gangguan
rendah;
keseimbangan
Etiologi
Bakteri
Kardiomio-
Anafilaksis
elektrolit
Enteritis
Virus
pati
Toxin
Perdarahan
pneumotorax
jamur
Kongenital
Reaksi
Luka bakar
Pericardial
Heart disease
Alergi
Diabetes
tamponade
Ischemic
insipidus
insult
Defisiensi
Tension
Adrenal
2.2.5 Tanda dan Gejala
1. Sistem Kardiovaskuler
22
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1. Darah
2. Plasma
3. Cairan ekstrasel
2.3.3 Penyebab
1.
2.
3.
4.
5.
perdarahahn
luka bakar
cedera yang luas
dehidrasi
kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus
2.3.4 Patofisiologi
Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi didalam
pembuluh darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini mengakibatkan darah yang
kembali ke jantung melalui vena akan berkurang. Akibatnya darah yang masuk ke atrium
kanan juga menurun, sebagai kompensasi atas hal ini frekuansi jantung akan meningkat untuk
menyesuaikan agar perfusi sistemik dapat dipenuhi. Gejalanya akan tampak tekanan darah
sistolik menurun dan denyut nadi yang cepat.
Menurunya perfusi sistemik mengakibatkan organ mengalami iskemia, sehingga akan
merubah siklus metabolic dari aerobic menjadi anaerobic dimana siklus ini menghasilkan
residu asam laktat, asam amino dan asam fosfat di jaringan. Hal ini menimbulkan asidosis
metabolic yang menyebabkan pecahnya membrane lisosom sehingga menimbulkan kematian
sel. Hipoksia dan asidosis metabolic juga menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena
pulmonalis, hal ini menimbulkan peninggiian tahanan pulmonal yang mengganggu perfusi
dan pengembangan paru. Akibatnya dapat terjadi kolaps paru, kongesti pembuluh darah paru,
edema interstisial dan alveolar. Maka pada penderita dengan syok hipovolemik terlihat
gangguan pernafasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala
akibatnya. Pada ginjal, iskemia ini akan menyebabkan gagal ginjal.
24
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Murmur
Rasa berat di precordial
Kardiomegali
Hipertrofi jantung
Distensi V. Jugularis, dan peningkatan JVP
ECG abnormal
Anak dengan perfusi yang buruk dan tekanan darahnya di bawah parameter seperti
tabel 1, dapat dikatakan menderita syok yang tidak terkompensasi. Keadaan ini apabila tidak
cepat ditangani maka akan mengarah kepada kerusakan organ dan terjadi syok ireversibel
bahkan kematian. Pada anak-anak dengan tekanan darah sistoliknya masih adekuat, namun
keadaan klinisnya syok, maka ini disebut sebagai syok yang terkompensasi. Sehingga,
apabila perfusi pada organ-organ vital seperti jantung dan otak masih adekuat, namun organ
vital lainnya mengalami hipoperfusi dan rentan akan kerusakan, apabila tidak segera
diberikan terapi maka keadaan ini akan berlanjut menjadi syok yang tidak terkompensasi.
Maka dalam menegakkan diagnosis diperlukan banyak indikator untuk menentukan
keadaan syok, antara lain :
1. Denyut jantung
Cardiac output dapat dipengaruhi oleh stroke volume dan heart rate, sehingga apabila
terjadi penurunan stroke volume maka tubuh akan berusaha mempertahankan cardiac output
27
dengan cara meningkatkan heart rate. Namun, ada keadaan-keadaan tertentu dimana heart
rate tidak daat meningkat, yaitu pada blokade farmakologik dan kerusakan neurologik.
Pasien pada tahap awal syok akan mengalami takikardi. Namun tanda ini tidak
signifikan pada anak-anak, karena anak-anak dapat mengalami takikardi pada keadaan lain,
seperti demam, nyeri dan agitasi. Namun demikian, diluar pengecualian keadaan-keadaan
tersebut, takikardi biasa muncul pada tahap awal dan merupakan temuan yang penting pada
syok yang terkompensasi maupun yang tidak terkompensasi.
2. Perfusi kulit
Kulit dapat dianggap sebagi bagian yang non vital. Pasien yang memiliki kemampuan
untuk mengkompensasi penurunan DO2 dengan menarik darah dari organ yang non vital
(selain otak dan jantung), menunjukkan tanda-tanda penurunan perfusi kulit. Hal ini dikenali
dengan adanya tanda-tanda denyut nadi distal yang menghilang, kulit akan teraba dingin dan
pengisian ulang kapiler memanjang (>5 detik), yang pada keadaan normal biasanya dapat
terisi dalam 2-3 detik. Cara pengukuran pengisian ulang kapiler ini yaitu dengan menekan
ujung jari(kuku) hingga pucat (kurang lebih selama 5 detik), kemudian dilepas dan dihitung
waktunya pada saat ujung jari(kuku) menjadi merah kembali. Pada pasien dengan fase awal
syok distributif (anafilaksis, sepsis) akan terjadi vasodilatasi, sehingga kulit akan teraba
hangat, denyut nadi akan teraba kuat dan terdapat pengisian ulang kapiler yang cepat (1-2
detik). Pada keadaan ini, perfusi kulit tidak dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis,
sehingga harus dicari gangguan metabolik lain seperti lactoacidosis, hal ini dapat mendukung
bahwa telah terjadi gangguan DO2.
3. Fungsi sistem organ lain
Pada ginjal dengan perfusi normal, dapat mengeluarkan 1-2 ml urin/kgBB/jam atau
lebih. Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena kerusakan awal pada keadaan iskemikhipoksik, sehingga terjadi acute tubular necrosis (ATN). Sehingga dapat dikatakan bahwa
output urin tidak spesifik untuk menentukan kelayakan perfusi dan volume intravaskuler.
4. Status asam basa
Adanya asidosis metabolik atau penurunan serum bikarbonat dapat membatu untuk
mendiagnosa syok. Asidosis metabolik dapat timbul karena hilangnya serum bikarbonat
seperti pada diare, yang dapat terjadi bersamaan dengan syok dan dehidrasi. Dengan
dilakukannya pengukuran level serum laktat, maka dapat diketahui kehilangan bikarbonat
akibat asidosis laktat karena syok
2.8 Monitoring
28
Monitoring yang dilakukan pada syok meliputi monitoring hemodinamik respirasi dan
metabolik. Yang harus di ketahui pada syok:
1. PaO2 diperlukan monitoring terutama pada PaO2 karena oksigenasi jaringan
2. Asam Laktat asam laktat meniggi pada sepsis hiperdinamik dan kelainan enzim
piruvat dehidrogenase. Asam laktat ini meninggi 12 jam setelah terjadinya syok dan
juga indikasi terjadinya MOSF
3. Indeks transport O2 dapat di catat dengan mengetahui kardiak indeks DO2 dan VO2
yang harus di pertahankan di atas 2,1 l/mnt/m tubuh
4. Tekanan Vena sentral (CVP) penting untuk mengevakuasi syok sedini
mungkin.peninggian CVP dapat terjadi karena peninggian volume intravaskuler,
peninggian vasomotor, peninggian tekanan torakis dan peninggian compliance dari
ventrikel kanan
5. Tekanan darah evaluasi tekanan darah per satu jam (atau lebih sering) lebih
bermakna dari pada hanya sekali mengukur tekanan darah
6. Produksi urin produksi urin normal pada org dewasa 0,5 cc/kg/jam, pada anak 1-2
cc/kg/jam
7. Pulse oksimeter Oksigenasi jaringan di tentukan oleh perfusi , kadar Hb dan
saturasi oksigen yang dapat di monitor dengan pulse oksimeter, digunakan secara
rutin untuk menilai syok.
Monitoring yang dilakukan :
1. Non Invasif : yakni memonitor tanda tanda vital, tekanan darah, nadi , PaO 2, jumlah
urin, ECG, intake serta output.
2. Invasif : monitoring meliputi kateterisasi arteri,CVP, dan kateter pulmonalis.
3. Metabolik : asam laktat
2.9 Tatalaksana Syok
Pengenalan awal akan syok membutuhkan pemahaman tentang kebiasaan anak yang
normal dan keadaan anak yang memang menderita shock. Pucat ringan, ekstremintas dingin,
mengantuk ringan atau acuh terhadap sekitar, takikardia yang taksesuai dan factor lain seperti
cemas, demam dan hal lain yang penting sering terabaikan. Oliguria adalah tanda yang
penting, anak dengan trauma berat atau sepsis membutuhkan pemasangan kateter untuk
menghitung secara cermat cairan yang keluar dan kebutuhancairan secara akurat. Nilai
normal nadi dan tekanan darah berbeda untuk tiap umur, terkadang nilai normal sering tak
sesuai dengan panduan ketika anak mengalami distress.
29
Pada tahap awal, syok memerlukan penanganan yang segera untuk mempertahankan
hidup, bagaimanapun penanganan shock tergantung seberapa cepat untuk bisa mendapat
pertolongan di rumah sakit.
Pertolongan awal syok:
1. Segera beri pertolongan, jika pasien masih sadar tempatkan dengan nyaman
2. Jika pasien sendiri, cari pertolongan, atau meminta seseorang mencari pertolongan
3.
4.
5.
6.
7.
dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak tergantung pada penyebab syok. Diagnosa harus segera
dibuat sehingga dapat diberikan pertolongan sesuai dengan kausa.
Tujuan utama adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi terutama di otak, jantung
dan ginjal. Tanpa memandang etiologi syok, oksigenasi dan perfusi jaringan dapat diperbaiki
dengan memperhatikan 4 variabel ini:
1. Ventilasi dan oksigenasi ( Airway dan Breathing )
a. Memperbaiki jalan napas, ventilasi buatan dan oksigen 100%
b. Akses vena dan pemberian cairan diberikan bersamaan dengan oksigen 100%.
2. Curah jantung dan volume darah di sirkulasi ( Cirkulasi ). Resusitasi cairan dan
pemberian obat vasoaktif merupakan metode utama untuk meningkatankan curah
jantung dan mengembalikan. Perfusi organ vital.
a. Resusitasi cairan:
1) Pada syok hipovolemik apapun penyebabnya, resusitasi cairan dimulai dengan
cairan kristaloid (Rl atau garam fisiologis) sebanyak 20 ml/kg secepatnya. Bila
tidak terlihat perbaikan (frekuensi jantung masih tinggi, perfusiperifer jelek,
kesadaran belum membaik) dan dicurigai masih terjadi hipovolemia diberikan
lagi cairan yang sama sebanyak 20 ml/kg dan pasien dievaluasi kembali. Syok
kardiogenik dan obstruksi harus dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan
setelah resusitasi cairan. Sebagian besar pasien dengan syok hipovolemik akan
menunjukkan perbaikan terhadap pemberian cairan 40 ml/kg.
2) Pada syok septik, resusitasi cairan berguna untuk mengembalikan volume
intravaskular. Jenis cairan masih konroversial, cairan kristaloid dapat
menyebabkan edema paru akibat penurunan tekanan onkotik intravaskular dan
memperberat kebocoran kapiler. Sedangkan cairan koloid, walaupun dapat
30
yang
terjadi
diperbaiki.
Hipotiroid
Insufisiensi
adrenal
diobati
dengan
suplemen
kortikosteroid.
b. Obat vasoaktif
Ada beberapa obat yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam penanganan
syok bila resusitasi cairan belum cukup untuk menstabilkan system kardiovaskular.
Obat
inotropik
meningkatan
kontraktilitas
miokard
dan
obat
kronotropik
meningkatkan frekuensi jantung. Obat vasoaktif yang paling banyak digunakan adalah
golongan amin simpatomimetik yaitu golongan katekolamin, epinefrin, norepinefrin,
dopamine endogen, dobutamin, dan isoproternol sintetis. Obat ini bekerja merangsang
adenilsiklase yang menyebabkan terjadinya sintetis AMP siklik, aktifasi kinase
protein, fosforilasi protein intrasel, dan peningkatan kalsium intrasel. Obat tersebut
bekerja memperbaiki tekanan darah dengan konsekuensi peningkatan resistensi
vaskuler dan penurunan aliran darah. Obat vasoaktif ini diberikan bila pemberian
cairan danoksigenasi alveolar telah maksimal.
Beberapa obat vasoaktif yang dapat diberikan berikut dosisnya dapat dilihat dalam
tabel dibawah ini.
Dosis dan efek klinis beberapa obat vasoaktif
Obat
Dosis
Efek klinis
Dobutamin
2-20 g/kg/menit
Dopamine
2-20 g/kg/menit
Efinefrin
0,05-1 g/kg/menit
bila
dikombinasi
Norefinefrin
0,05-1 g/kg/menit
Amrinon
0,75-4 mg/kg/kali
Hipotensi refrakter
Kombinasi dengan katekolamin
Milrinon
5-20 g/kg/menit
50-75 g/kg/kali
0,5-1 g/kg/kali
dengan
Na+
K+
Cl-
Ca++
HCO3
Tekanan
(mEq/L)
(mEq/L)
(mEq/L)
(mEq/L)
(mEq/L)
osmotik
Ringer
130
109
28*
(mOsm/L)
273
Laktat
Ringer
130
109
28:
273
Asetat
NaCl 0.9% 154
154
308
samping itu koloid juga menghambat diuresis oleh karena itu masih menjadi pertanyaan
penggunaan cairan koloid karena bahayanya terutama bila permeabilitas kapiler bertambah.
Dalam keadaan kritis cairan koloid harus di berikan sebanyak kristaloid , yang dapat
merupakan cairan :
1. Albumin
2. Dekstran
3. Hemasel
4. HAS ( Human Albumin Solution )
1. Albumin
Albumin terdapat sebagai donor plasma. Albumin sama dengan osmotic koloid plasma
dengan masa tengah 10 15 hari. Dapat terjadi reaksi anafilaktoid walaupun jarang dan tidak
rutin di gunakan. Keadaan hipoalbuminemi dapat bersamaan dengan hipovolemi, edema, dan
ascites di berikan albumin 20%.
2. Dekstran
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau NaCl 0,9% dengan berat
molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan oleh ginjaldan dapat membentuk
kompleks dengan fibrinogen sehingga menyebabkan koagulopati. Dua bentuk dekstran :
dekstran 40 dan dekstran 70. Dekstran 40 lebih sering di gunakan dan terdapat kemungkinan
alergi.
3. Hemasel
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan kalium 5,1mmol/l.
pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan karena menyebabkan defek koagulasi dan
tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Pemberian dalam jumlah besar dalam bentuk gelatin
kompleks dapat menyebabkan kebocoran pada kapiler dan menyebabkan edema paru.
4. HAS ( Human Albumin Solution )
HAS di bebaskan melalui ginjal melalui hidrolisis dengan amylase.HAS juga tersimpan
dalam RES.
35
,antara lain : NaCl 0,9%, larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik , albumin, fraksi protein
murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch dan dekstran 70.
a. Penganut resusitasi koloid berkilah bahwa tekanan onkotik yang meningkat karena
penggunaan zat zat ini adalah mengurangi edema paru. Namun , vaskulatur paru
memungkinkan aliran zat dalam jumlah besar, termasuk protein ,di antara ruang
iintravaskular dan interstitial.Di pertahankannya tekanan hidrostatik paru pada <15 mmHg
tampaknya merupakan factor lebih penting dalam mencegah edema paru.
b. Alasan lain adalah dengan koloid lebih sedikit jumlah yang di butuhkan untuk
meningkatkan volume intravascular. Infus Ringer laktat sebanyak 1 L hanya menambah
volume intravaskular sebesar 194 ml. Banyak kajian membenarkan hal ini.
c. Resusitasi dengan koloid saja akan mengencerkan protein plasma dan dengan mengurangi
tekanan onkotik memudahkan filtrasi cairan dari intravaskular ke interstitial. Edema perifer
bisa mengurangi secara mencolok konsumsi O2 karena jarak antara sel dan kapiler menjadi
bertambah. Walaupun demikian perbedaan prognosis belum di tunjukkan antara kristaloid
dan koloid.
d. Larutan sintetik,seperti Hetastarch, pentastarch, dan dekstran 70 memiliki beberapa
keunggulan di bandingkan koloid ilmih seperti fraksi protein murni, plasma beku segar,dan
albumin. Mereka memiliki sifat ekspansi volume sama, tetapi karena struktur dan berat
molekulnya yang tinggi, zat zat koloid ini hamper seluruhnya tetap di ruang intravascular,
sehingga mengurangi edema interstitial. Walaupun ada keunggulan teoritis, kajian kajian
telah gagal memperlihatkan perbedaan dalam parameter parameter ventilasi, hasil tes paru,
lama penggunaan ventilator, masa rawat inap dan kelangsungan hidup
e. Kombinasi NaCl hipertonik dan dekstran juga telah di kaji karena bukti terdahulu bahwa
kombinasi ini dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan sirkulasi.Segera setelah infuse
kombinasi NaCl 7,5% dan 6% dekstran 70, ekspansi volume plasma adalah 7kali dari volume
infus. Efek cairan masih di perdebatkan. Kajian kajian di Amerika dan Jepang telah
gagalmembuktikan adanya perbedaan bila kombinasi ini di bandingkan dengan NaCl isotonic
atau Ringer laktat. Jadi, sekalipun banyak tersedia cairan resusitasi, rekomendasi mutakhir
masih menganjurkan penggunaan NaCl 0.9% atau Ringer laktat.
Keunggulan
Kristaloid
1. lebih mudah tersedia dan murah
2. komposisi serupa dengan
plasma (Ringer asetat / Ringer
Koloid
1. ekspansi volume plasma tanpa
ekspansi interstitial
2. ekspansi volume lebih besar
36
laktat )
5. komplikasi minimal
Kekurangan
3. Dobutamin
Dobutamin merupakan agen inotropik murni, dengan efek beta-1 agonis yang dapat
meningkatkan kontraktilitas jantung. Obat ini juga dapat memberikan efek beta-2 ringan,
yaitu vasodilatasi perifer yang akan mengurangi tahanan vaskuler sistemik dan afteload, juga
dapat meningkatkan perfusi jaringan. Karena itu, dobutamin merupakan obat yang cukup
baik bagi pasien dengan syok kardiogenik dengan tujuan untuk meningkatkan kontraktilitas
otot jantung. Dobutamin jarang menyebabkan disritmia ventrikular dibandingkan dengan
epinefrin. Dosis pemberian awal adalah 5 mcg/kg/menit IV dan dapat ditingkatkan perlahanlahan hingga 20 mcg/kg.menit IV.
4. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan agonis alfa yang dapat memberikan efek vasokonstriksi
perifer dan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Efek utamanya adalah sebagai pressor
agent untuk meningkatkan tekanan darah di sekitar muka pada keadaan syok setelah
diberikan terapi cairan.
Beberapa ahli menyarankan untuk mengkombinasi norepinefrin dengan dobutamin
untuk mendapatkan efek vasokonstriksi melalui reseptor alfa dan mendapatkan efek
peningkatan kontraktilitas otot jantung. Penggunaan norepinefrin diawali dengan dosis 0.1
mcg/kg/menit IV.
Table 3. Vasoactive Drugs in Sepsis and Usual Hemodynamic Responses
Drug
Dose
Cardiac
Blood
Systemic Vascular
Dopamine
2.5-20
Output
+
Pressure
+
Resistance
+
Norepinephrine
mcg/kg/min
0.05-2
++
++
Epinephrine
mcg/kg/min
0.05-2
++
++
mcg/kg/min
Phenylephrine
2-10
++
++
Dobutamine
mcg/kg/min
2.5-10
+/-
mcg/kg/min
5. Glukosa
Bayi dan anak-anak memiliki simpanan glikogen yang terbatas yang dapat cepat
berkurang pada keadaan syok sehingga terjadi hipoglikemia. Karena glukosa merupakan
38
substrat yang penting, maka harus segera dilakukan pemeriksaan kadar glukosa pada pasien
syok. Apabila didapatkan kadar gula yang rendah maka berikan dextrosa IV. Dosis pemberian
dextrose adalah 0.5-1 gr/kg IV. Dextrosa sangat baik diberikan secara IV.
6. Sodium Bikarbonat
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih kontroversial. Dalam
keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu kontraktilitas miokardium dan fungsi
optimal dari katekolamin. Namun, pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan
asidosis intraselular karena sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini
disebabkan karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel semipermiabel.
Sehingga, asidosis dalam serum ditambah dengan bikarbonat akan menyebabkan produksi
karbondioksida dan air, seperti yang terdapat pada persamaan Henderson-Hasselbach.
Apabila karbondioksida yang meningkat tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka
karbondioksida ini akan masuk ke dalam sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun
dalam arah yang sebaliknya dan meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini
akan menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung.
Selain
itu,
pemberian
bikarbonat
akan
menyebabkan
hipernatremia
dan
hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi pada keadaan syok dapt dikoreksi
dengan meningkatkan perfusi dengan pemberian cairan tambahan dan penggunaan obatobatan kardiotropik dibarengi dengan ventilasi yang optimal. Pada pasien dengan syok
persisten dengan kehilangan bicarbonat yang terus menerus (misalnya pada diare), pemberian
bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan. Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai
berikut: HCO3-(mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas dan dapat
diulangi sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat dapat juga diberikan 0.5-1
mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada pasien dengan cardiovascular arrest,
gagal untuk menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi bikarbonat.
7. Kalsium
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam sel, termasuk
sel jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar ion kalsium serum. Pemberian
produk darah (yang mengandung sitrat) dapat mengikat kalsium bebas, sehingga dapat
menyebabkan penurunan kadar kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien
syok dengan hipkalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok yang
disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau toksisitas calcium
channel bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk kalsium glukonat atau kalsium
39
klorida. Kalsium klorida merupakan obat terpilih pada kasus syok, karena kalsium klorida
memiliki efek yang dapat lebih meninggikan dan mempertahankan kadar kalsium dalam
darah. Dosis yang direkomendasikan adalah 10-20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida
10%) IV, dimasukan bersama cairan ifus dengan kecepatan tetesan tidak lebih dari
100mg/menit IV.
40
BAB III
ANALISIS KASUS
Dilaporkan, kasus an. V/Laki-laki /7 bulan dengan diagnosis Dengue Syok Sindrom
(DSS). Pada saat di IGD, dilakukan Pedriatric Assessment Triangle (PAT) pada pasien
dimana didapatkan:
1. Appeareance
Tonus
: Pasien tidak bisa bergerak secara spontan
Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan
respons ke lingkungan sekitar
Consolability
: Pasien tampak gelisah.
Look/Gaze
: Kontak mata (-) dengan pemeriksa.
Speech/Cry
: Menangis.
2. Work of Breathing
Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
Abnormal Positioning
: Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
Retractions
: Supraclavicular (-), intercostae (+),
substernal (-), head bobbing (-).
Flaring
: (+)
3. Circulation to Skin
Pallor
: (+)
Mottling
: (-)
Sianosis
: (-)
Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, didapatkan gangguan pada tampilan umum di
mana tampak penurunan kesadaran, pasien gelisah, sesak napas, dan gangguan pada sirkulasi
kulit, di mana pasien tampak pucat. Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan
pemeriksaan survey primer seperti berikut:
1.
2.
Penilaian Airway
3.
Penilaian Breathing
4.
Penilaian Circulation
5.
6.
Penilaian Disability
Penilaian Exposure
Dari survey primer, didapatkan situasi di mana pasien mengalami syok. Secara klinis,
syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis
Kehilangan Darah
Frekuensi Jantung
Volume Nadi
Pengisian Kapiler
Kulit
RR
Tingkat Kesadaran
Kompensasi
25%
Takikardia +
Normal/Menurun
Normal/Meningkat
Dingin, pucat
Takipnue +
Agitasi ringan
Dekompensasi
25-40%
Takikardia ++
Menurun +
Meningkat +
Dingin, mottled
Takipnue ++
Berkooperasi
Irreversibel
> 40%
Takikardia/Bradikardi
Menurun ++
Meningkat ++
Pucat mati
Sighing respiration
Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive
Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi yang
membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan. Tatalaksana syok:
O2 2 L/menit via nasal kanul
IVFD RL 20 cc/kgBB 140 cc dalam dua line IVFD, dalam waktu
secepatnya, kocor kemudian evaluasi, respon (+) TD: 80/50, nadi
135x/menit, isi dan tegangan cukup lanjutkan dengan IVFD RL 10
cc/kgBB/ selam 2 jam 70 cc/jam (35 tetes/menit, mikro) evaluasi
ulang tanda-tanda vital, kemudian resusitasi cairan diturunkan bertahap
sesuai kondisi
Paracetamol 70 mg via NGT tiap 4-6 jam bila suhu 38,5oC
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin,
elektrolit
Cek Rontgen Thorax ap/lateral
(-), gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik kemerahan di kulit (-), BAB dan BAK tidak ada
keluhan, pasien mulai tidak nafsu makan, pasien kembali dibawa berobat ke Sp.A dan
dilakukan pemeriksaan darah, didapatkan hasil Hb: 13,1 gr/dl, Leukosit: 1.900/mm3,
Trombosit: 73.000/l, Hematokrit: 39%. Pasien kemudian dirawat di RS Swasta selama 3
hari. Selama dirawat, pasien mendapatkan terapi infus RL 2 kolf, Nacl 0,9% setengah kolf,
Aminosteril 6% 100cc, Ceftriaxone selama 2 hari, Sanmol sirup dan Vitamin. Hasil
pemeriksaan darah terakhir saat dirawat di RS Swasta yaitu Hematokrit 28%, Trombosit
42.000/L, IgM anti-Dengue (+), dan IgG anti-Dengue (-). Dua hari SMRS, pasien masih
demam tinggi yang terus menerus dan mulai tampak sesak napas. Sesak napas tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, atau perubahan posisi. Kejang (-), mual (+), muntah (-),
bintik kemerahan di kulit (+) pada paha, gusi berdarah (-), mimisan (-), BAB darah atau
BAB hitam (-), tidak mau makan dan minum, pasien mulai gelisah. Lima jam SMRS kaki dan
tangan pasien teraba dingin dan pucat, pasien tampak gelisah. Orang tua pasien tidak ingat
kapan pasien BAK terakhir. Kemudian pasien dirujuk ke IGD RSMH Palembang. Riwayat
penyakit dahulu berupa riwayat sesak napas sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD
di dalam keluarga dan lingkungan sekitar ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat
kelahiran anak normal, ditolong bidan. Riwayat makanan mendapat ASI sejak lahir hingga
sekarang. Bubur susu usia 6 bulan hingga sekarang. Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan normal. Riwayat imunisasi dasar belum lengkap. Status gizi baik. Hasil
laboratorium tanggal 21 November 2014 di RSMH adalah Hb 10,1 g/dl, Ht 29%, trombosit
107x 10/L.
Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada anak tersebut, mengindikasikan bahwa
anak tersebut mengalami Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO, yaitu:
1. Demam akut terus menerus selama 2-7 hari pada pasien selama 6 hari
2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif, ekimosis,
purpura, petechie, perdarahan pada mukosa, hematemesis, melena) pada
pasien ditemukan petechie pada paha
3. Pembesaran hati pada pemeriksaan fisik ditemukan hepar yang teraba 3 jari di
bawah arcus costae
4. Syok, yang ditandai oleh nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), penurunan tekanan darah hingga tidak terukur, akral
dingin, kulit lembab, CRT > 2 detik, dan pasien tampak gelisah pada pasien
43
ditemukan keadaan umum gelisah, lethargi, nadi cepat (156 x/menit) dan lemah,
serta akral dingin.
5. Kriteria laboratorium:
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Berdasarkan derajat penyakitnya, pasien termasuk ke dalam DBD Derajat III atau
termasuk ke dalam Dengue Shock Syndrome (DSS). Pada pasien dilakukan resusitasi dan
dirawat inap hingga kondisi pasien stabil. Adapun komplikasi yang bisa terjadi pada pasien
ini adalah perdarahan massif, edema paru, kegagalan jantung dan ensefalopati dengue.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah syok septik. Tanda-tanda syok septik adaah
sebagai berikut:
1. Demam dengan suhu > 38C atau < 36C.
2. Denyut jantung > 90 kali/menit.
3. Respirasi > 20 kali/menit, atau PaCO2 < 32 mmHg.
4. Leukosit > 12.000 sel/mm3, atau < 4.000 sel/mm3, atau >10% neutrofil imatur.
5. Minimal 2 gejala di atas (SIRS) ditambah sumber infeksi yang diketahui.
6. Kelainan perfusi organ.
7. Hipotensi yang menetap walaupun telah dilakukan resusitasi yang adekuat.
44
Berdasarkan kriteria tersebut, keadaan syok membaik setelah dilakukan resusitasi dengan RL
sebanyak 20 cc/kgBB dalam waktu cepat, yang artinya syok bukan diakibatkan oleh sepsis,
dan diagosis banding syok septik bisa disingkirkan.
Prognosa pada pasien DSS tergantung dari beberapa faktor, berdasarkan pemantauan
yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad bonam.
Pasien dirawat selama 4 hari, dan diperbolehkan pulang atas indikasi berikut:
1. Bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik.
2. Nafsu makan kembali membaik.
3. Tampak perbaikan secara klinis.
4. Hematokrit stabil.
5. Tiga hari setelah syok teratasi.
6. Jumlah trombosit > 50.000/L.
7. Tidak dijumpai distress pernapasan (akibat efusi pleura atau asidosis).
45
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Philadelphia.2004
Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
10.
11.
12.
13.
46