You are on page 1of 11

SOSIOLOGI PERTANIAN:

Pemilikan Tanah dan Diferensiasi Masyarakat Desa


Hiroyoshi Kano

Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian


Universitas Brawijaya

Tujuan Pembelajaran
1. Pendahuluanl
2. Diferensiasi Kedudukan social
ekonomi atau Polarisasi
Pemilikan Tanah

3. Penutup
4. Pertanyaan Diskusi

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan :
Mampu menjelaskan pengertian diferensiasi social dan stratifikasi social
dalam komunitas pedesaan / pertanian dengan benar.
Mampu menjelaskan bagaimana diferensiasi penduduk pedesaan terutama
berhubungan dengan polarisasi luas pemilikan atau penguasaaan tanah.
Mampu menjelaskan bagaimana pelapisan sosial ekonomi yang terlihat
diantara masyarakat desa
Mampu menjelaskan bagaimana struktur sosial membentuk strata tertentu
terhadap masyarakat dan dimasukkan sesuai dengan golongannya.

1
2
3
4

1. Pendahuluan
Dalam buku Agricultural Involution Clifford Geertz menggambarkan
keadaan masyarakat pedesaan Jawa sebagai berikut :
Dibawah tekanan jumlah penduduk yang bertambah dan
sumber daya yang terbatas, masyarakat desa Jawa tidak
terbelah menjadi dua seperti yang banyak terjadi di negaranegara berkembang lainnya yaitu golongan tuan tanah besar
dan golongan tertindas yang hampir seperti budak; melainkan
mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonominya
yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikna kue
ekonomi yang ada, hingga makin lama makin sedikit jumlah
yang diterima oleh masing-masing anggota masyarakat suatu
proses yang saya sebut sebagai kemiskinan yang ditanggung
bersama (shared proverty). Masyarakat desa itu sebaiknya
tidak dibagi ke dalam golongan kaya (the haves) dan miskin
(the have-not) melainkan dengan menggunakan istilah yang
biasa dipakai dalam kehidupan para petani golongan
kecukupan dan kekurangan. 1
---------------

Beredar dalam bentuk stensilan, tanpa tahun

Clifford Geertz, Agricultural Involution; The Processes of Ecological Change in Indonesia (1963), hlm 97.

MODUL

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

Apakah gambar yang seperti ini sesuai dengan keadaan nyata di masyarakat
pedesaan Jawa? Nampaknya makin lama makin banyak dianjurkan pandangan yang
mengkritik teori Geertz tersebut. Sebagai contoh, Margo Lyon dalam karangan Bases of
Conflict in Rural Java menulis sebagai berikut:
Adalah mungkin bahwa rakyat umumnya mempunyai sedikit tempat (niche)
dalam system itu dan bahwa suatu keadaan kemiskinan yang ditanggung
bersama itu memang umum namun kemiskinan dan kesulitan yang semakin
meningkat pun menekankan pula perbedaan-perbedaan yang relative kecil
dalam tingkat sosial dan ekonomi di dalam desa.
. Apa yang merupakan perubahan kecil di dalam diri dan tentang mereka,
bukan lagi kecil di dalam konteks yang lebih luas. Jadi, bersama dengan
terjadinya involusi, terjadi pula suatu proses diferensiasi sosial dan ekonomi
yang didorong oleh pemisahan yang meningkat dan mencakup perubahanperubahan dalam penggunaan, pemilikan dan penguasaan tanah. 2
Sedangkan William L. Collier melontarkan kritik terhadap Geertz secara lebih
langsung dan jelas, yaitu :
Barangkali kekurangan yang paling penting dalam tesis shared poverty adalah
kenyataan bahwa Geertz tidak mempertimbangkan garis pemisah yang besar dalam
masyarakat pedesaan antara mereka yang memiliki tanah dan yang tidak. 3
. Kesimpulan Geertz (implisit) bahwa involusi pertanian itu tak menghasilkan kelas
petani komersial yang berarti di Jawa, tak dapat dibenarkan. Dari 7,8 juta petani di
Jawa menurut Sensus Pertanian 1963 (per definisi: menguasai lebih dari 0,1 ha) ratarata 0,7 ha per petani, jika batas 0,5 ha dipakai, gambaran pelapisan menunjukkan
bahwa 3,8 juta petani di atas 0,5 ha mengusahakan rata-rata 1,2 ha sedangkan
4,0 juta petani di bawah 0,5 ha rata-rata hanya menguasai 0,27 ha. Lapisan
terbawah terdiri dari 4,0 juta keluarga bukan petani dengan kurang dari 0, 1 ha atau
tak bertanah. Dapat dipastikan bahwa lapisan teratas itulah (32%) kelas petani
komersial, yang mau mengeluarkan uang untuk input tenaga buruh upahan dan
sejak masa revolusi pupuk, mulai tahun 1960-an, juga untuk input modern. Petani
gurem di bawah 0,5 ha merupakan lapisan petani marginal yang jauh tertinggal,
antara lain karena kurang modal dan bebas dari ikatan mereka pada sebagian petani
lapisan atas. Lapisan terbawah pada tahun 1975 tentu sudah bertambah banyak lagi
dibanding jumlah 4,0 juta keluarga, tahun 1963: inilah lapisan proletar dan setengah
proletar di pedesaan yang terutama tergantung dari bekerja sebagai buruh upahan
atau beragam usaha lain bermodal kecil.4
2. Diferensiasi atau Polarisasi Pemilikan Tanah
Bagaimanakah kenyataan tentang diferensiasi penduduk pedesaan Jawa yang
terutama berhubungan dengan polarisasi luas pemilikan atau penguasaan tanah? Inilah
suatu tujuan utama dari penelitian yang dilakukan penulis. Untuk itu diperlukan hasil riset
lapangan yang dilaksanakan secara intensif di dalam suatu masyarakat desa sebagai
contoh, karena data yang didapat dari statistik atau buku-buku resmi belum tentu sesuai
dengan kenyataan dan ada kemungkinan kadang-kadang mengaburkan keadaan yang
sebenarnya.
Dengan maksud tersebut penulis menyelenggarakan riset di dua tempat, yaitu di
daerah Malang Selatan, Jawa Timur dan di daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Laporan ini merupakan ringkasan dari hasil riset di Malang Selatan. Riset itu dilakukan di
Page 2 of 11

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

suatu kampung, yaitu Dukuh Y dari Desa X di Kecamatan Gondanglegi yang terkenal
sebagai daerah tebu rakyat. Hasil pokok di kampung ini adalah padi, tebu, dan jagung.

2.Margo L. Lyon, Bases of Conflict in Rural Java (1970), hlm 13.

3.William L. Collier, Agricultural Evolution in Java: The Decline of Shared Poverty and Involution (n.d.), hlm. 7-8.
4. Sajogyo, Pertanian, Landasan Tolak Bagi Pembangunan Bangsa Indonesia dalam C. Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan
Ekologi di Indonesia (1976) hlm. XXIV.

Jaraknya antara desa ini dan Kota Malang kurang lebih 23 km. Di Kampung ini terdapat 195
rumah tangga dan jumlah penduduknya 1.333 orang. Penulis memilih 70 rumah tangga di
antaranya secara acak sebagai objek wawancara. Kerja wawancara itu dilaksanakan
selama 4 bulan mulai Oktober 1976 sampai dengan Januari 1977.
Dalam pelaksanaan riset lapangan tersebut, penulis memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
(1) Bagaimanakah keadaan diferensiasi luas pemilikan tanah? Ini harus diteliti melalui
wawancara langsung dengan penduduk desa. Yang harus diperjelas ialah bukan
pemilikan tanah dalam arti hak milik yang hanya tercatat di buku resmi (buku Letter
C), melainkan luas tanah yang betul-betul dikuasai oleh masing-masing keluarga petani.
(2) Bagaimanakah cara pengusahaan tanah yang dimiliki masing-masing rumah tangga?
Diusahakan sendiri atau digarap orang lain? Dengan tenaga buruh tani atau hanya
tenaga keluarga sendiri? Kalau digarap orang lain, jenis kontrak penggarapannya
bagaimana, sewa-menyewa atau bagi hasil? Dan bagaimanakah hubungan antara
pemilik tanah dan penggarapnya?
(3) Apakah terlihat pelapisan sosial ekonomi yang jelas di antara penduduk desa? Kalau
terlihat, bagaimanakah hubungannya dengan pemilikan tanah?

Suatu kesimpulan dari hasil riset ini adalah bahwa polarisasi luas pemilikan tanah di kampung ini
sangat meruncing. Bertentangan dengan gambaran Geertz jelas sekali perbedaan antara the haves (yang
kaya) dan the have not (yang miskin).
Data resmi tentang luas pemilikan tanah penduduk desa dapat diketahui dari Buku Letter C yang
disimpan di kantor desa. Buku Letter C adalah buku yang menilai kelas dan luas tanah untuk pemungutan
pajak Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah/ pajak bumi) dari masing-masing pemilikan tanah.
Menurut Buku Letter C di Desa X, di Dukuh Y terdapat 298 orang pemilik tanah. Mereka terdiri
dari 98 orang (32,9%) hanya memiliki sawah dan pekarangan, 83 orang (27,9%) yang hanya memiliki
sawah, serta 117 orang (39,3%) yang hanya memiliki pekarangan. Tabel 1 menunjukkan penggolongan
pemilik tanah menurut luas pemilikan sawah, sedangkan Tabel 2 menunjukkan penggolongan pemilik
tanah menurut luas pemilikan pekarangan. Dari data ini dapat diketahui bahwa banyak sekali orang yang
tidak memiliki sawah atau pekarangan.
Tabel 1. Penggolongan Pemilik Tanah Menurut Luas Pemilikan Sawah (di Dukuh Y)
Page 3 of 11

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

Tidak memiliki sawah


Kurang dari 0,2 ha
0,2 0,4 ha
0,4 0,6 ha
0,6 1,0 ha
1,0 2,0 ha
2,0 5,0 ha

117 ( 39,3%)
48 ( 16,1%)
42 ( 14,1%)
36 ( 12,1%)
24 ( 8,1%)
24 ( 8,1%)
7 ( 2,3%)

Jumlah

298 (100%)

Sumber : Buku Letter C di Kantor Desa X.

Tabel 2. Penggolongan Pemilik Tanah menurut Luas Pemilikan


Pekarangan (di Dukuh Y)
Tidak memiliki pekarangan
Kurang dari 0, 1 ha
0,1 0,2 ha
0,2 0,4 ha
0,4 0,8 ha
0,8 2,0 ha
Jumlah

83 ( 27,9%)
91 ( 30,5%)
68 ( 22,8%)
39 ( 13,1%)
14 ( 4,7%)
3 ( 1,0%)
298 (100%)

Sumber : Buku Letter C di Kantor Desa X

Sedangkan tidak terlihat orang yang memiliki sawah lebih dari 5 ha. Namun demikian, tidak
dapat diharapkan bahwa data ini persis sesuai dengan kenyataan, karena nama-nama pemilik tanah yang
tercatat di Buku Letter C tidak mesti sesuai dengan orang-orang yang betul-betul memegang atau
menguasai tanah itu. Dalam kenyataan terdapat banyak orang yang membagi nama pemilik tanah yang
dikuasainya antara saudara-saudara atau anak-anaknya. Walaupun tidak secara langsung, hal ini terbukti
oleh kenyataan bahwa jumlah pemilik tanah (298 orang) yang tercatat di Buku Letter C jauh lebih banyak
daripada jumlah rumah tangga (195 rumah tangga) yang tercatat di Register Penduduk dari Dukuh Y.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan 70 rumah tangga sampel, mereka terdiri
dari 37 rumah tangga (52,9%) yang memiliki sawah dan pekarangan, 7 rumah tangga (10,0%) yang
hanya memiliki sawah, 15 rumah tangga (21,4%) yang hanya memiliki pekarangan dan 11 rumah tangga
(15,7%) yang sama sekali tidak memiliki tanah.
Tabel 3 menunjukkan penggolongan 70 rumah tangga tersebut menurut luas pemilikan sawah.
Yang sangat menarik perhatian ialah kenyataan bahwa di satu pihak terdapat 26 rumah tangga yang tidak
memiliki sawah, di pihak lain hampir separuh sawah dimiliki hanya 2 rumah tangga.
Tabel 3. Penggolongan Rumah Tangga Sampel Menurut Luas Pemilikan Sawah
Golongan

Banyaknya Rumah Tangga


Page 4 of 11

Jumlah Luas Pemilikan

Mata Kuliah / MateriKuliah


Tidak memiliki sawah
Kurang dari 0,2 ha
0,2 0,4 ha
0,4 0,6 ha
0,6 1,0 ha
1,0 2,0 ha
2,0 5,0 ha
5,0 ha dan lebih
Jumlah

Brawijaya University 2011


26 (37,1%)
10 14,3%)
10 (14,3%)
3 (4,3%)
8 (11,4%)
6 (8,6%)
5 (7,1%)
2 (2,9%)
70 (100%)

1,4 ha ( 2,2%)
2,7 ha ( 4,2%)
1,4 ha ( 2,2%)
6,1 ha ( 9,5%)
6,6 ha (10,3%)
14,0 ha (21,9%)
31,7 ha (49,6%)
63,9 ha (100%)

Sumber : Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 tidak diijinkan untuk siapa pun
memiliki sawah lebih dari 5 ha di daerah ini. Akan tetapi peraturan ini sebetulnya tidak
berlaku untuk membatasi luas tanah yang ternyata dikuasai beberapa petani kaya. Dalam
kasus contoh di atas, yang satu mempunyai 26 ha, yang lainnya mempunyai 5,7 ha sawah,
dan kedua-duanya membagi nama pemiliknya antara anak-anak atau saudara-saudara dari
kepala rumah tangganya. Para pemilik diatas kertas ini yaitu anak-anak dan saudarasaudaranya itu ternyata tidak memegang hak untuk menguasai tanah itu. Sebagai contoh,
mereka tidak tinggal di desa ini atau tinggal bersama kepala rumah tangganya dan hak
penguasaan tanahnya dipegang sepenuhnya oleh kepala rumah tangga itu.
Tabel 4 menunjukkan penggolongan 70 rumah tangga sampel menurut luas
pemilikan pekarangan. Yang mengesankan ialah adanya banyak rumah tangga yang tidak
memiliki pekarangan dan tinggal di tanah orang lain. Terlihat korelasi yang agak erat antara
luas pemilikan sawah dan luas pemilikan pekarangan (Tabel 5).
Tabel 6 menggolongkan 44 rumah tangga sampel yang memiliki sawah menurut cara
mendapatnya. Di antara mereka 9 rumah tangga (52,3 %) mendapat sawah melalui
pembelian dari orang lain, 8 rumah tangga melalui pegadaian. Ini berarti bahwa 19 rumah
tangga (43,2%) mendapat sebagian atau seluruh tanah sawahnya melalui transaksi
komersial tanah (pembelian dan pegadaian).
Tabel 4. Penggolongan Rumah Tangga Sampel Menurut Luas Pemilikan
Pekarangan
Golongan
Luas
Pekarangan

Pemilikan

Banyaknya rumah
tangga

Tidak memiliki pekarangan

18 (25,7%)

Kurang dari 0,1 ha

16 (22,9%)

0,1 0,2 ha

15 (21,4%)

0,2 0,4 ha

9 (12,9%)

0,4 0,8 ha

10 (14,3%)

0,8 2,0 ha

2 (2,95%)

Jumlah luas pemilikan

0,68 ha
( 4,8%)
2,03 ha
(14,5%)
2, 73 ha
(18,0%)
5,80 ha
(41,3%)
3,00 ha
(21,4%)

Jumlah

70 (100%)
Page 5 of 11

14,04 ha

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011


(100%)

Sumber: Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.

Tabel 5. Hubungan Antara Luas Pemilikan Sawah Dan Luas Pemilikan


Pekarangan
Sawah
Tidak
memiliki
Tidak memiliki

11

Kurang dari 0,4


ha

0,4 2,0 ha

Kurang
dari 0,1
ha
9

Pekarangan
0,1 0,3
0,3 ha
ha
dan lebih

Jumlah
rumah tangga

26

10

20

17

18

16

20

16

70

2,0 ha dan
lebih
Jumlah rumah
tangga

Sumber : Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.

Tabel 6. Penggolongan Pemilik Sawah Menurut Cara Mendapat


Sawahnya
Warisan

23 (52,3%)

Warisan + pembelian

Pembelian

9 (20,5%)

Pegadaian

1 ( 2,3%)

Warisan
penggadaian

Cara lain

1 ( 2,3%)

Warisan

8 (18,2%)

+
1 ( 2,3%)
+

1 ( 2,3%)

Cara lain
Jumlah

44 (100%)

Sumber : Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.

Dapat dikatakan bahwa derajat komersialisasi tanah sangat tinggi di desa ini. Hal ini
mungkin menjadi suatu faktor yang mendorong polarisasi luas pemilikan tanah.
44 rumah tangga pemilik sawah tersebut hanya mengusahakan sawahnya dengan
cara yang bermacam-macam. Hanya 19 rumah tangga, yaitu 43,2% dari semua sampel,
yang mengusahakan sendiri semua bidang sawah miliknya. Sedangkan 6 rumah tangga
(13,6%) mengusahakan sendiri hanya sebagian dari sawah miliknya, dan 19 rumah tangga
lainnya (43,2%) membiarkan semua bidang sawah miliknya diusahakan oleh orang lain
dengan cara sewa-menyewa atau bagi hasil.

Page 6 of 11

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

Kalau tanah sawah disewakan kepada orang lain, biasanya ongkos sewa dibayar
dalam bentuk uang. Sedangkan kalau diusahakan dengan cara bagi hasil, pihak penggarap
menyerahkan sebagian hasilnya kepada pemilik tanah. Perbandingan pembagian hasilnya
tetap, yaitu pihak pemilik mendapat dari semua hasilnya, sedangkan pihak penggarap
mendapat hanya 1/4. Akan tetapi persediaan sarana produksi (bibit, pupuk, dan obat),
pajak tanah (Ipeda) dan ongkos pengairan harus ditanggung pihak pemilik. Sistem bagi
hasil yang khas ini disebut ngedok dalam bahasa daerah.* Sistem maro yaitu sistem bagi
dua yang biasa terlihat di daerah pedesaan Jawa tidak dilakukan di desa ini.
Hanya sedikitlah yang menyewakan sawah miliknya, yaitu 4 rumah tangga (9,1%) di
antara 44 rumah tangga tersebut. Sedang banyak sekali yang mengedokkan seluruh atau
sebagian sawah miliknya, yaitu 22 rumah tangga (50,0%). Sebagaimana dilihat pada tabel
7, mereka yang menyewakan sawah hanya terdiri dari rumah tangga yang sawah miliknya
kurang dari 1,0 ha. Sedangkan separuh dari mereka yang mengedokkan sawah adalah
pemilik sawah yang luasnya melebihi 2 ha.
Disamping adanya para petani yang sawahnya diusahakan oleh orang lain, terdapat
rumah tangga yang mengusahakan sawah orang lain. Mereka terdiri dari 14 rumah tangga
(20,0%) yang menyewa sawah orang lain dan 22 rumah tangga (31,4%) yang mengedok
sawah orang lain. Berarti lebih dari separuh rumah tangga sampel mengusahakan tanah
orang lain untuk mencari nafkah. Tabel 8 menunjukkan penggolongan rumah tangga petani
penggarap tersebut menurut luas sawah yang mereka miliki sendiri. Dari data ini dapat
diketahui bahwa di antara penyewa sawah termasuk pemilik sawah yang luas, sedangkan
sebagian besar dari pengedok sawah terdiri dari rumah tangga yang tidak memiliki sawah
atau hanya memiliki sawah yang sangat sempit. Di antara para pengedok banyak sekali
yang sekaligus berusaha sebagai buruh tani.

Tabel 7. Penggolongan Pemilik Sawah menurut Cara Pengusahaan Sawah


dan Luas Pemiliknya
Luas sawah
Kurang dari 0,4
ha
0,4 1,0 ha
1,0 2,0 ha
2,0 ha dan lebih
Jumlah
rumah
tangga

Cara Pengusahaan
Us

Sw

Kd

Sw + Kd

Jumlah
Rumah Tangga

13
4
2
-

2
1
-

5
5
4
7

1
-

20
11
6
7

19

21

44

Sumber : hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.


Keterangan : Us
= diusahakan sendiri seluruhnya
Sw
= disewakan seluruh atau sebagiannya
Kd
= dikedokkan seluruh atau sebagiannya
Sw+Kd= sebagian disewakan sebagian dikedokkan.

Page 7 of 11

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

catatan penyunting :
Dalam tabel 7, 8 dan 9, jumlah Rumah Tangga sampel tidak sama dengan jumlah
tangga yang diwawancarai. Tetapi dalam teks asli memang tidak ada penjelasan.
Tabel 8. Penggolongan Rumah Tangga Penggarap Menurut
Luas Sawah Milik Sendiri
Luas sawah

Penyewa

Pengedok

Tidak memiliki

3 (21,4%)

Kurang dari 0,4 ha

3 (21,4%)

0,4 1,0 ha

3 (14,3%)

6
(27,3%)

1,0 2,0 ha

2 ( 14,3%)

3 (21,4%)

1 (4,5%)

2,0 ha dan lebih

15
(68,2%)

Jumlah rumah tangga

14 (100%)

22
(100%)

Sumber : Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.

Tabel 9. Penggolongan Rumah Tangga Buruh Tani Menurut


Luas Pemilikan Sawah
Luas sawah

Banyaknya rumah tangga

Tidak memiliki

19 (76,0%)

Kurang dari 0,4 ha

4 (16,0%)

0,4 1,0 ha

1 (4,0%)

1,0 2,0 ha

1 (4,0%)

2,0 ha dan lebih

Jumlah

25 (100%)

Sumber: Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.

Dua puluh lima (35,7% di antara 70 rumah tangga sampel mempunyai satu atau
beberapa orang anggota yang sering bekerja sebagai buruh tani. Sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 9, 19 rumah tangga (76,0%) di antara mereka sama sekali tidak memiliki
sawah, sedangkan 14 rumah tangga (56,0%) di antaranya sekaligus mengedok sawah
orang lain.
Tabel 10. Penggolongan Rumah Tangga Yang Menggunakan Tenaga Buruh Tani
Menurut Luas Pemilikan Tanah
Luas sawah
SM

Cara penggunaan buruh tani


B/S

Page 8 of 11

TAK

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

Tidak memiliki

19

Kurang dari 0,4 ha

12

0,4 2,0 ha
2,0 ha dan lebih
Jumlah

26

14

30

Sumber : Hasil wawancara dengan 70 rumah tangga sampel.


Keterangan :
SM
= banyaknya rumah tangga yang menggunakan buruh tani untuk
segala macam proses.
B/S
= banyaknya rumah tangga yang menggunakan buruh tani hanya untuk
membajak/menyisir.
TAK = banyaknya rumah tangga yang tidak menggunakan buruh tani.

Disamping adanya tenaga buruh tani, memang terdapat petani-petani yang


menggunakan tenaga buruh tani untuk mengerjakan sawahnya. Jumlahnya 40 rumah
tangga, yaitu 57,1% dari semua rumah tangga sampel. Mereka terdiri dari dua macam
golongan. Pertama adalah golongan yang menggunakan tenaga buruh tani untuk segala
macam proses produksi seperti membajak, mencangkul, menanam, menyiang dan lainlain. Jumlahnya 26 rumah tangga (37,1%). Kedua ialah golongan yang mengunakan tenaga
buruh tani hanya untuk membajak sebab mereka tidak mempunyai bajak atau sapi yang
menariknya. Tabel 10 menunjukkan penggunaan tenaga buruh tani. Dari data ini dapat
diketahui bahwa pada umumnya rumah tangga yang menggunakan tenaga buruh tani ialah
pemilik tanah yang lebih luas tanahnya daripada rumah tangga yang tidak menggunakan
buruh tani. Lagipula dapat dikatakan bahwa pemilik tanah yang luas lebih cenderung
menggunakan tenaga buruh tani untuk segala macam proses produksi daripada pemilik
tanah yang sempit.
Pada prinsipnya hubungan antara buruh tani dan majikannya bebas dan tidak tetap,
yaitu pihak buruh tani mau bekerja di bawah siapa saja yang membutuhkan tenaganya dan
pihak majikan juga menggunakan buruh siapa saja yang mencari kerja. Akan tetapi, dalam
kenyataan, di antara pemilik tanah yang luas tidak sedikit yang menggunakan secara tetap
tenaga-tenaga buruh tani yang tertentu. Dan pada pihak buruh tani juga banyak yang
bekerja di bawah pemilik tanah tertentu, jadi kehidupannya sangat tergantung pada
majikan itu.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, polarisasi luas pemilikan tanah di desa ini
sangat meruncing. Bagaimanakah derajatnya? Apabila digolongkan lagi 70 rumah tangga
sampel menurut ukuran yang dipakai Sajogyo, hasilnya sebagai berikut: 22 rumah tangga
(31,4%) petani di atas 0,5 ha memiliki rata-rata 2,68 ha sedangkan 21 rumah tangga
(30,0%) petani di bawah 0,5 ha rata-rata hanya memiliki 0,23 ha. Lapisan terbawah
terdiri dari 27 rumah tangga (38,6%) dengan kurang dari 0,1 ha atau tidak bertanah
(sawah). Dapat dikatakan bahwa di desa ini derajat polarisasi pemilikan (atau penguasaan)
tanah lebih meruncing lagi daripada yang digambarkan Sajogyo berdasarkan hasil Sensus
Pertanian 1963. Lagi pula, yang sangat menarik perhatian ialah kenyataan bahwa terdapat
dua rumah tangga yang ternyata menguasai sawah lebih dari 5 ha dan jumlah luas sawah
yang dikuasai mereka hampir sampai separuh dari seluruh sawah yang dimiliki 70 rumah
tangga sampel. Apabila ditambahkan 5 rumah tangga dengan sawah antara 2 dan 5 ha,
kesimpulannya begini: lebih dari 70% luas sawah dikuasai hanya 10% penduduk.
Kecenderungan polarisasi pemilikan tanah juga kelihatan pada pemilikan
pekarangan, walaupun tidak begitu meruncing kalau dibandingkan dengan sawah.
Page 9 of 11

Mata Kuliah / MateriKuliah

Brawijaya University 2011

Para pemilik tanah yang luas mengusahakan sawahnya dengan menggunakan


tenaga buruh tani atau membiarkannya digarap orang lain menurut sistem bagi hasil
ngedok. (Terdapat kecenderungan bahwa apabila ditanami tebu bisanya diusahakan
pemiliknya sendiri dengan menggunakan tenaga buruh tani, sedang apabila ditanami padi
atau jagung digarap pengedok. Hal ini mungkin bersangkutan dengan kenyataan bahwa
tanaman komersial utama di desa ini adalah tebu, sedangkan sebagian kecil dari padi atau
jagung dijual ke luar). Lagi pula mereka menyewa tanah orang lain untuk memperluas
usaha pertanianya, dan pada musim panen tebu mereka berusaha sebagai penebas atau
pedagang tebu sehingga mendapat banyak keuntungan juga dari usaha perdagangan ini.
Lapisan teratas masyarakat desa ini betul merupakan kelas petani komersial.
Penduduk desa yang tidak memiliki sawah atau hanya memiliki sawah yang sempit
sekali, mereka bekerja sebagai buruh tani atau menggarap sawah orang lain sebagai
pengedok. Di bawah sistem bagi hasil ini bagian penggarap hanya dari seluruh hasilnya,
sedangkan sarana produksi ditanggung pemilik tanah. Kepengusahaan penggarap tanah
sangat tergantung kepada pihak pemiliknya. Perluasan sistem bagi hasil ini mungkin
disebabkan oleh besarnya polarisasi luas pemilikan sawah di daerah ini. Berlainan dengan
persewaan tanah, jangka waktu kontrak sistem bagi hasil ini biasanya tidak terbatas.
Banyak sekali pengedok yang sudah lama sekali (kadang-kadang lebih dari 20 tahun)
mengerjakan tanah tertentu yang dimiliki orang yang tertentu. Di antara buruh tani juga
ternyata banyak yang selalu bekerja di bawah pemilik sawah yang tertentu. Hal ini terlihat
terutama pada pemilik sawah yang luas dan tetangga-tetangga miskinnya. Dapat
dipastikan bahwa hubungan antara pemilik dan pengedok atau antara majikan dan buruh
tani tersebut merupakan hubungan kelas yang bersifat hubunga antara bapak dan
pendukung (patron-client relationship), walaupun dalam perasaan penduduk sendiri
hubungan ini kadang-kadang dianggap sebagai hubungan tolong-menolong (gotongroyong) di antara mereka yang sama kedudukannya.
3. Penutup
Berdasarkan pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa diferensiasi kedudukan
sosial ekonomi di antara penduduk desa ini sangat jelas dan hal ini berhubungan erat
dengan polarisasi luas pemilikan tanah. Dapat diduga bahwa polarisasi tersebut terjadi
sebagai akibat dari pengaruh komersialisasi pertanian terutama produksi tebu yang
komersial. (Hampir semua pemilik tanah yang luas adalah penanam tebu yang sangat
giat). Dalam keadaan demikian tesis shared poverty yang digambarkan C. Geertz tidak
dapat diterapkan.
Akan tetapi, belum cukup jelas sampai dimanakah keadaan yang demikian dapat
dianggap mewakili keadaan umum di seluruh daerah pedesaan Jawa. Menurut hasil
sementara dari riset lapangan lain yang juga penulis lakukan di daerah Bantul di
Yogyakarta, nampaknya di daerah tersebut luas pemilikan tanah tidak begitu meruncing.
Dengan cara bagaimanakah dapat diuraikan masalah diferensiasi dan pelapisan
masyarakat di daerah seperti itu? Apakah tidak perlu sejenis tipologi tentang diferensiasi
golongan petani dan masyarakat desa? Hal itu masih merupakan pokok studi yang
ditugaskan pada kami.

Pertanyaan Diskusi
Page 10 of 11

Mata Kuliah / MateriKuliah


1

2
3
4
5

Brawijaya University 2011

Apakah dalam masyarakat desa Jawa (di Malang Selatan) terjadi


diferensiasi social atau stratifikasi social? Jelaskan alasannya jika terjadi
diferensiasi social atau stratifikasi social!
Atas dasar apa diferensiasi atau stratifikasi social terjadi? Mengapa dasar
tersebut menentukan diferensiasi social atau stratifikasi social? Jelaskan!
Bagaimana diferensiasi social atau stratifikasi social terjadi dalam
masyarakat desa tersebut?
Dengan mengacu pada definisi struktur sosial (Parsudi Suparlan), coba
deskripsikan struktur social di desa Malang Selatan tersebut!
Sebutkan dan jelaskan sisi Positif dan negatif diferensiasi social atau
stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat desa(termasuk di Malang
Selatan.

SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION


DEVELOPMENT (SPEED)

Page 11 of 11

You might also like