Professional Documents
Culture Documents
Tujuan Pembelajaran
1. Pendahuluanl
2. Diferensiasi Kedudukan social
ekonomi atau Polarisasi
Pemilikan Tanah
3. Penutup
4. Pertanyaan Diskusi
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan :
Mampu menjelaskan pengertian diferensiasi social dan stratifikasi social
dalam komunitas pedesaan / pertanian dengan benar.
Mampu menjelaskan bagaimana diferensiasi penduduk pedesaan terutama
berhubungan dengan polarisasi luas pemilikan atau penguasaaan tanah.
Mampu menjelaskan bagaimana pelapisan sosial ekonomi yang terlihat
diantara masyarakat desa
Mampu menjelaskan bagaimana struktur sosial membentuk strata tertentu
terhadap masyarakat dan dimasukkan sesuai dengan golongannya.
1
2
3
4
1. Pendahuluan
Dalam buku Agricultural Involution Clifford Geertz menggambarkan
keadaan masyarakat pedesaan Jawa sebagai berikut :
Dibawah tekanan jumlah penduduk yang bertambah dan
sumber daya yang terbatas, masyarakat desa Jawa tidak
terbelah menjadi dua seperti yang banyak terjadi di negaranegara berkembang lainnya yaitu golongan tuan tanah besar
dan golongan tertindas yang hampir seperti budak; melainkan
mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonominya
yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikna kue
ekonomi yang ada, hingga makin lama makin sedikit jumlah
yang diterima oleh masing-masing anggota masyarakat suatu
proses yang saya sebut sebagai kemiskinan yang ditanggung
bersama (shared proverty). Masyarakat desa itu sebaiknya
tidak dibagi ke dalam golongan kaya (the haves) dan miskin
(the have-not) melainkan dengan menggunakan istilah yang
biasa dipakai dalam kehidupan para petani golongan
kecukupan dan kekurangan. 1
---------------
Clifford Geertz, Agricultural Involution; The Processes of Ecological Change in Indonesia (1963), hlm 97.
MODUL
Apakah gambar yang seperti ini sesuai dengan keadaan nyata di masyarakat
pedesaan Jawa? Nampaknya makin lama makin banyak dianjurkan pandangan yang
mengkritik teori Geertz tersebut. Sebagai contoh, Margo Lyon dalam karangan Bases of
Conflict in Rural Java menulis sebagai berikut:
Adalah mungkin bahwa rakyat umumnya mempunyai sedikit tempat (niche)
dalam system itu dan bahwa suatu keadaan kemiskinan yang ditanggung
bersama itu memang umum namun kemiskinan dan kesulitan yang semakin
meningkat pun menekankan pula perbedaan-perbedaan yang relative kecil
dalam tingkat sosial dan ekonomi di dalam desa.
. Apa yang merupakan perubahan kecil di dalam diri dan tentang mereka,
bukan lagi kecil di dalam konteks yang lebih luas. Jadi, bersama dengan
terjadinya involusi, terjadi pula suatu proses diferensiasi sosial dan ekonomi
yang didorong oleh pemisahan yang meningkat dan mencakup perubahanperubahan dalam penggunaan, pemilikan dan penguasaan tanah. 2
Sedangkan William L. Collier melontarkan kritik terhadap Geertz secara lebih
langsung dan jelas, yaitu :
Barangkali kekurangan yang paling penting dalam tesis shared poverty adalah
kenyataan bahwa Geertz tidak mempertimbangkan garis pemisah yang besar dalam
masyarakat pedesaan antara mereka yang memiliki tanah dan yang tidak. 3
. Kesimpulan Geertz (implisit) bahwa involusi pertanian itu tak menghasilkan kelas
petani komersial yang berarti di Jawa, tak dapat dibenarkan. Dari 7,8 juta petani di
Jawa menurut Sensus Pertanian 1963 (per definisi: menguasai lebih dari 0,1 ha) ratarata 0,7 ha per petani, jika batas 0,5 ha dipakai, gambaran pelapisan menunjukkan
bahwa 3,8 juta petani di atas 0,5 ha mengusahakan rata-rata 1,2 ha sedangkan
4,0 juta petani di bawah 0,5 ha rata-rata hanya menguasai 0,27 ha. Lapisan
terbawah terdiri dari 4,0 juta keluarga bukan petani dengan kurang dari 0, 1 ha atau
tak bertanah. Dapat dipastikan bahwa lapisan teratas itulah (32%) kelas petani
komersial, yang mau mengeluarkan uang untuk input tenaga buruh upahan dan
sejak masa revolusi pupuk, mulai tahun 1960-an, juga untuk input modern. Petani
gurem di bawah 0,5 ha merupakan lapisan petani marginal yang jauh tertinggal,
antara lain karena kurang modal dan bebas dari ikatan mereka pada sebagian petani
lapisan atas. Lapisan terbawah pada tahun 1975 tentu sudah bertambah banyak lagi
dibanding jumlah 4,0 juta keluarga, tahun 1963: inilah lapisan proletar dan setengah
proletar di pedesaan yang terutama tergantung dari bekerja sebagai buruh upahan
atau beragam usaha lain bermodal kecil.4
2. Diferensiasi atau Polarisasi Pemilikan Tanah
Bagaimanakah kenyataan tentang diferensiasi penduduk pedesaan Jawa yang
terutama berhubungan dengan polarisasi luas pemilikan atau penguasaan tanah? Inilah
suatu tujuan utama dari penelitian yang dilakukan penulis. Untuk itu diperlukan hasil riset
lapangan yang dilaksanakan secara intensif di dalam suatu masyarakat desa sebagai
contoh, karena data yang didapat dari statistik atau buku-buku resmi belum tentu sesuai
dengan kenyataan dan ada kemungkinan kadang-kadang mengaburkan keadaan yang
sebenarnya.
Dengan maksud tersebut penulis menyelenggarakan riset di dua tempat, yaitu di
daerah Malang Selatan, Jawa Timur dan di daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Laporan ini merupakan ringkasan dari hasil riset di Malang Selatan. Riset itu dilakukan di
Page 2 of 11
suatu kampung, yaitu Dukuh Y dari Desa X di Kecamatan Gondanglegi yang terkenal
sebagai daerah tebu rakyat. Hasil pokok di kampung ini adalah padi, tebu, dan jagung.
3.William L. Collier, Agricultural Evolution in Java: The Decline of Shared Poverty and Involution (n.d.), hlm. 7-8.
4. Sajogyo, Pertanian, Landasan Tolak Bagi Pembangunan Bangsa Indonesia dalam C. Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan
Ekologi di Indonesia (1976) hlm. XXIV.
Jaraknya antara desa ini dan Kota Malang kurang lebih 23 km. Di Kampung ini terdapat 195
rumah tangga dan jumlah penduduknya 1.333 orang. Penulis memilih 70 rumah tangga di
antaranya secara acak sebagai objek wawancara. Kerja wawancara itu dilaksanakan
selama 4 bulan mulai Oktober 1976 sampai dengan Januari 1977.
Dalam pelaksanaan riset lapangan tersebut, penulis memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
(1) Bagaimanakah keadaan diferensiasi luas pemilikan tanah? Ini harus diteliti melalui
wawancara langsung dengan penduduk desa. Yang harus diperjelas ialah bukan
pemilikan tanah dalam arti hak milik yang hanya tercatat di buku resmi (buku Letter
C), melainkan luas tanah yang betul-betul dikuasai oleh masing-masing keluarga petani.
(2) Bagaimanakah cara pengusahaan tanah yang dimiliki masing-masing rumah tangga?
Diusahakan sendiri atau digarap orang lain? Dengan tenaga buruh tani atau hanya
tenaga keluarga sendiri? Kalau digarap orang lain, jenis kontrak penggarapannya
bagaimana, sewa-menyewa atau bagi hasil? Dan bagaimanakah hubungan antara
pemilik tanah dan penggarapnya?
(3) Apakah terlihat pelapisan sosial ekonomi yang jelas di antara penduduk desa? Kalau
terlihat, bagaimanakah hubungannya dengan pemilikan tanah?
Suatu kesimpulan dari hasil riset ini adalah bahwa polarisasi luas pemilikan tanah di kampung ini
sangat meruncing. Bertentangan dengan gambaran Geertz jelas sekali perbedaan antara the haves (yang
kaya) dan the have not (yang miskin).
Data resmi tentang luas pemilikan tanah penduduk desa dapat diketahui dari Buku Letter C yang
disimpan di kantor desa. Buku Letter C adalah buku yang menilai kelas dan luas tanah untuk pemungutan
pajak Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah/ pajak bumi) dari masing-masing pemilikan tanah.
Menurut Buku Letter C di Desa X, di Dukuh Y terdapat 298 orang pemilik tanah. Mereka terdiri
dari 98 orang (32,9%) hanya memiliki sawah dan pekarangan, 83 orang (27,9%) yang hanya memiliki
sawah, serta 117 orang (39,3%) yang hanya memiliki pekarangan. Tabel 1 menunjukkan penggolongan
pemilik tanah menurut luas pemilikan sawah, sedangkan Tabel 2 menunjukkan penggolongan pemilik
tanah menurut luas pemilikan pekarangan. Dari data ini dapat diketahui bahwa banyak sekali orang yang
tidak memiliki sawah atau pekarangan.
Tabel 1. Penggolongan Pemilik Tanah Menurut Luas Pemilikan Sawah (di Dukuh Y)
Page 3 of 11
117 ( 39,3%)
48 ( 16,1%)
42 ( 14,1%)
36 ( 12,1%)
24 ( 8,1%)
24 ( 8,1%)
7 ( 2,3%)
Jumlah
298 (100%)
83 ( 27,9%)
91 ( 30,5%)
68 ( 22,8%)
39 ( 13,1%)
14 ( 4,7%)
3 ( 1,0%)
298 (100%)
Sedangkan tidak terlihat orang yang memiliki sawah lebih dari 5 ha. Namun demikian, tidak
dapat diharapkan bahwa data ini persis sesuai dengan kenyataan, karena nama-nama pemilik tanah yang
tercatat di Buku Letter C tidak mesti sesuai dengan orang-orang yang betul-betul memegang atau
menguasai tanah itu. Dalam kenyataan terdapat banyak orang yang membagi nama pemilik tanah yang
dikuasainya antara saudara-saudara atau anak-anaknya. Walaupun tidak secara langsung, hal ini terbukti
oleh kenyataan bahwa jumlah pemilik tanah (298 orang) yang tercatat di Buku Letter C jauh lebih banyak
daripada jumlah rumah tangga (195 rumah tangga) yang tercatat di Register Penduduk dari Dukuh Y.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan 70 rumah tangga sampel, mereka terdiri
dari 37 rumah tangga (52,9%) yang memiliki sawah dan pekarangan, 7 rumah tangga (10,0%) yang
hanya memiliki sawah, 15 rumah tangga (21,4%) yang hanya memiliki pekarangan dan 11 rumah tangga
(15,7%) yang sama sekali tidak memiliki tanah.
Tabel 3 menunjukkan penggolongan 70 rumah tangga tersebut menurut luas pemilikan sawah.
Yang sangat menarik perhatian ialah kenyataan bahwa di satu pihak terdapat 26 rumah tangga yang tidak
memiliki sawah, di pihak lain hampir separuh sawah dimiliki hanya 2 rumah tangga.
Tabel 3. Penggolongan Rumah Tangga Sampel Menurut Luas Pemilikan Sawah
Golongan
1,4 ha ( 2,2%)
2,7 ha ( 4,2%)
1,4 ha ( 2,2%)
6,1 ha ( 9,5%)
6,6 ha (10,3%)
14,0 ha (21,9%)
31,7 ha (49,6%)
63,9 ha (100%)
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 tidak diijinkan untuk siapa pun
memiliki sawah lebih dari 5 ha di daerah ini. Akan tetapi peraturan ini sebetulnya tidak
berlaku untuk membatasi luas tanah yang ternyata dikuasai beberapa petani kaya. Dalam
kasus contoh di atas, yang satu mempunyai 26 ha, yang lainnya mempunyai 5,7 ha sawah,
dan kedua-duanya membagi nama pemiliknya antara anak-anak atau saudara-saudara dari
kepala rumah tangganya. Para pemilik diatas kertas ini yaitu anak-anak dan saudarasaudaranya itu ternyata tidak memegang hak untuk menguasai tanah itu. Sebagai contoh,
mereka tidak tinggal di desa ini atau tinggal bersama kepala rumah tangganya dan hak
penguasaan tanahnya dipegang sepenuhnya oleh kepala rumah tangga itu.
Tabel 4 menunjukkan penggolongan 70 rumah tangga sampel menurut luas
pemilikan pekarangan. Yang mengesankan ialah adanya banyak rumah tangga yang tidak
memiliki pekarangan dan tinggal di tanah orang lain. Terlihat korelasi yang agak erat antara
luas pemilikan sawah dan luas pemilikan pekarangan (Tabel 5).
Tabel 6 menggolongkan 44 rumah tangga sampel yang memiliki sawah menurut cara
mendapatnya. Di antara mereka 9 rumah tangga (52,3 %) mendapat sawah melalui
pembelian dari orang lain, 8 rumah tangga melalui pegadaian. Ini berarti bahwa 19 rumah
tangga (43,2%) mendapat sebagian atau seluruh tanah sawahnya melalui transaksi
komersial tanah (pembelian dan pegadaian).
Tabel 4. Penggolongan Rumah Tangga Sampel Menurut Luas Pemilikan
Pekarangan
Golongan
Luas
Pekarangan
Pemilikan
Banyaknya rumah
tangga
18 (25,7%)
16 (22,9%)
0,1 0,2 ha
15 (21,4%)
0,2 0,4 ha
9 (12,9%)
0,4 0,8 ha
10 (14,3%)
0,8 2,0 ha
2 (2,95%)
0,68 ha
( 4,8%)
2,03 ha
(14,5%)
2, 73 ha
(18,0%)
5,80 ha
(41,3%)
3,00 ha
(21,4%)
Jumlah
70 (100%)
Page 5 of 11
14,04 ha
11
0,4 2,0 ha
Kurang
dari 0,1
ha
9
Pekarangan
0,1 0,3
0,3 ha
ha
dan lebih
Jumlah
rumah tangga
26
10
20
17
18
16
20
16
70
2,0 ha dan
lebih
Jumlah rumah
tangga
23 (52,3%)
Warisan + pembelian
Pembelian
9 (20,5%)
Pegadaian
1 ( 2,3%)
Warisan
penggadaian
Cara lain
1 ( 2,3%)
Warisan
8 (18,2%)
+
1 ( 2,3%)
+
1 ( 2,3%)
Cara lain
Jumlah
44 (100%)
Dapat dikatakan bahwa derajat komersialisasi tanah sangat tinggi di desa ini. Hal ini
mungkin menjadi suatu faktor yang mendorong polarisasi luas pemilikan tanah.
44 rumah tangga pemilik sawah tersebut hanya mengusahakan sawahnya dengan
cara yang bermacam-macam. Hanya 19 rumah tangga, yaitu 43,2% dari semua sampel,
yang mengusahakan sendiri semua bidang sawah miliknya. Sedangkan 6 rumah tangga
(13,6%) mengusahakan sendiri hanya sebagian dari sawah miliknya, dan 19 rumah tangga
lainnya (43,2%) membiarkan semua bidang sawah miliknya diusahakan oleh orang lain
dengan cara sewa-menyewa atau bagi hasil.
Page 6 of 11
Kalau tanah sawah disewakan kepada orang lain, biasanya ongkos sewa dibayar
dalam bentuk uang. Sedangkan kalau diusahakan dengan cara bagi hasil, pihak penggarap
menyerahkan sebagian hasilnya kepada pemilik tanah. Perbandingan pembagian hasilnya
tetap, yaitu pihak pemilik mendapat dari semua hasilnya, sedangkan pihak penggarap
mendapat hanya 1/4. Akan tetapi persediaan sarana produksi (bibit, pupuk, dan obat),
pajak tanah (Ipeda) dan ongkos pengairan harus ditanggung pihak pemilik. Sistem bagi
hasil yang khas ini disebut ngedok dalam bahasa daerah.* Sistem maro yaitu sistem bagi
dua yang biasa terlihat di daerah pedesaan Jawa tidak dilakukan di desa ini.
Hanya sedikitlah yang menyewakan sawah miliknya, yaitu 4 rumah tangga (9,1%) di
antara 44 rumah tangga tersebut. Sedang banyak sekali yang mengedokkan seluruh atau
sebagian sawah miliknya, yaitu 22 rumah tangga (50,0%). Sebagaimana dilihat pada tabel
7, mereka yang menyewakan sawah hanya terdiri dari rumah tangga yang sawah miliknya
kurang dari 1,0 ha. Sedangkan separuh dari mereka yang mengedokkan sawah adalah
pemilik sawah yang luasnya melebihi 2 ha.
Disamping adanya para petani yang sawahnya diusahakan oleh orang lain, terdapat
rumah tangga yang mengusahakan sawah orang lain. Mereka terdiri dari 14 rumah tangga
(20,0%) yang menyewa sawah orang lain dan 22 rumah tangga (31,4%) yang mengedok
sawah orang lain. Berarti lebih dari separuh rumah tangga sampel mengusahakan tanah
orang lain untuk mencari nafkah. Tabel 8 menunjukkan penggolongan rumah tangga petani
penggarap tersebut menurut luas sawah yang mereka miliki sendiri. Dari data ini dapat
diketahui bahwa di antara penyewa sawah termasuk pemilik sawah yang luas, sedangkan
sebagian besar dari pengedok sawah terdiri dari rumah tangga yang tidak memiliki sawah
atau hanya memiliki sawah yang sangat sempit. Di antara para pengedok banyak sekali
yang sekaligus berusaha sebagai buruh tani.
Cara Pengusahaan
Us
Sw
Kd
Sw + Kd
Jumlah
Rumah Tangga
13
4
2
-
2
1
-
5
5
4
7
1
-
20
11
6
7
19
21
44
Page 7 of 11
catatan penyunting :
Dalam tabel 7, 8 dan 9, jumlah Rumah Tangga sampel tidak sama dengan jumlah
tangga yang diwawancarai. Tetapi dalam teks asli memang tidak ada penjelasan.
Tabel 8. Penggolongan Rumah Tangga Penggarap Menurut
Luas Sawah Milik Sendiri
Luas sawah
Penyewa
Pengedok
Tidak memiliki
3 (21,4%)
3 (21,4%)
0,4 1,0 ha
3 (14,3%)
6
(27,3%)
1,0 2,0 ha
2 ( 14,3%)
3 (21,4%)
1 (4,5%)
15
(68,2%)
14 (100%)
22
(100%)
Tidak memiliki
19 (76,0%)
4 (16,0%)
0,4 1,0 ha
1 (4,0%)
1,0 2,0 ha
1 (4,0%)
Jumlah
25 (100%)
Dua puluh lima (35,7% di antara 70 rumah tangga sampel mempunyai satu atau
beberapa orang anggota yang sering bekerja sebagai buruh tani. Sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 9, 19 rumah tangga (76,0%) di antara mereka sama sekali tidak memiliki
sawah, sedangkan 14 rumah tangga (56,0%) di antaranya sekaligus mengedok sawah
orang lain.
Tabel 10. Penggolongan Rumah Tangga Yang Menggunakan Tenaga Buruh Tani
Menurut Luas Pemilikan Tanah
Luas sawah
SM
Page 8 of 11
TAK
Tidak memiliki
19
12
0,4 2,0 ha
2,0 ha dan lebih
Jumlah
26
14
30
Pertanyaan Diskusi
Page 10 of 11
2
3
4
5
Page 11 of 11