Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna, baik di
Indonesia maupun di dunia. Prevalensi penyakit batu diperkirakan sebesar 13% pada laki-laki
dewasa dan 7% pada perempuan dewasa.
tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Empat dari lima pasien adalah laki-laki,
sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai keempat.
Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia
adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan
jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar
sebesar 378 orang.
Beban ekonomi akibat batu saluran kemih sangat besar. Pada tahun 2000, biaya total
untuk pengobatan urolitiasis di Amerika Serikat diperkirakan 2,1 milyar dolar, yang meliputi 971
juta dolar untuk pasien rawat inap, 607 juta dolar untuk pasien rawat jalan dan kunjungan praktik
dokter, serta 490 juta dolar untuk pelayanan gawat darurat. Angka-angka tersebut
menggambarkan kenaikan sebesar 50% dari biaya pengobatan urolitiasis sebesar 1,34 milyar
1
dolar pada tahun 1994. Di Indonesia belum ada data mengenai beban biaya kesehatan untuk
batu saluran kemih.
Dalam memilih pendekatan terapi optimal untuk pasien urolitiasis, berbagai faktor harus
dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran, jumlah, komposisi dan
lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction,
divertikel kaliks, ginjal tapal kuda), dan faktor pasien (adanya infeksi, obesitas, deformitas habitus
tubuh, koagulopati, anak-anak, orang tua, hipertensi dan gagal ginjal).
Kemajuan dalam bidang endourologi telah secara drastis mengubah tatalaksana pasien
dengan batu simtomatik yang membutuhkan operasi terbuka untuk pengangkatan batu.
Perkembangan terapi invasif minimal mutakhir, yaitu retrograde ureteroscopic intrarenal surgery
(RIRS), percutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS) dan extracorporeal shock wave
lithotripsy (ESWL) telah memicu kontroversi mengenai teknik mana yang paling efektif.
ESWL merupakan terapi non invasif yang menggunakan gelombang kejut berintensitas
tinggi. Gelombang ini dibangkitkan di luar tubuh pasien lalu ditembakkan ke batu ginjal atau
ureter. Sejak
bidang litotripsi
gelombang kejut telah sangat berkembang. Kemajuan dalam teknologi ESWL dipusatkan ke arah
peningkatan
peralatan
pencitraan
(imaging),
pengembangan
sumber
energi
ESWL,
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 2/43
endourologi, serta usaha untuk mengurangi tekanan gelombang kejut sehingga mengurangi
ketidaknyamanan
yang
dirasakan
pasien
dan
memungkinkan
prosedur
ESWL
tanpa
mengunakan anestesi.
Permasalahan
Penggunaan ESWL sudah sangat luas, namun sampai saat ini di Indonesia belum ada
keseragaman dalam hal indikasi ESWL; ini menyangkut jenis, ukuran dan lokasi batu yang
bagaimana yang memberikan hasil terbaik dengan terapi ESWL. Masih banyak pula kontroversi
lainnya seputar penggunaan ESWL, antara lain
dibandingkan modalitas terapi invasif minimal lain (URS dan PNL); bilamana ESWL perlu
dikombinasi dengan modalitas terapi lain; pemberian antibiotik profilaksis untuk ESWL; serta tak
kalah pentingnya kemajuan dalam teknologi mesin ESWL sendiri, yang menuntut pertimbangan
yang rasional dalam memilih mesin yang paling sesuai untuk suatu institusi.
Tujuan
Tujuan Umum
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi dalam menetapkan kebijakan
mengenai penggunaan ESWL untuk batu saluran kemih di Indonesia.
Tujuan Khusus
Melakukan penapisan teknologi ESWL, yang meliputi penetapan indikasi, prosedur, dan
teknologi mesin ESWL berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 3/43
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine,
ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat
rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines
Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and
Research.
Hierarchy of evidence:
Ia.
Ib.
IIa.
IIb.
IIIa.
Cross-sectional studies
IIIb.
IV.
Derajat rekomendasi :
A.
B.
C.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 4/43
Data lokal diperoleh dari jumlah pasien yang menjalani ESWL di RSCM selama 1 tahun
terakhir, daftar tarif ESWL di RSCM serta RS pemerintah dan swasta lain.
Kajian ESWL ini dibatasi pada kontroversi seputar ESWL yang meliputi indikasi,
kontraindikasi, komplikasi, pemberian antibiotik profilaksis, prosedur tambahan pra ESWL,
kompetensi profesi pelaku, pemilihan jenis mesin ESWL serta analisis biaya.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 5/43
BAB III
BATU SALURAN KEMIH
Pembagian ureter secara anatomi perlu diketahui karena berkaitan dengan tatalaksana
batu ureter. Ureter dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ureter atas, mulai dari ureteropelvic junction
sampai ke tepi atas os ileum, ureter tengah yaitu mulai dari tepi atas os ileum sampai ke tepi atas
sacroileal joint dan ureter bawah, mulai dari tepi atas sacroileal joint sampai ke orifisium ureter.
Pembagian ureter menjadi tiga bagian ini terutama berkaitan dengan pendekatan bedah untuk
mengangkat batu.
Saat ini, operasi terbuka untuk mengangkat batu ureter sudah jarang dilakukan, kecuali
pada kasus-kasus tertentu. Pembedahan saat ini telah digantikan oleh terapi-terapi baru yang
non invasif maupun invasif minimal, seperti extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL),
ureterorenoskopi dan percutaneus nephrolithotomy. Sebagai konsekuensinya, ureter saat ini
dibagi hanya menjadi dua bagian, yaitu ureter proksimal atau ureter atas (gabungan dari ureter
atas dan tengah berdasarkan pembagian sebelumnya) dan ureter distal atau ureter bawah.
Batas dari ureter proksimal dan ureter distal adalah titik potong saat ureter menyilang arteri iliaka
5
dan menyempit, sehingga menciptakan hambatan bagi ureteroskop. Pedoman dari American
Urological Association (AUA) dan European Urological Asociation (EUA) menggunakan
pembagian ureter yang terbaru.
5,6
Komposisi dari batu ureter bervariasi, Pada umumnya batu terbentuk dari garam kalsium
seperti kalsium oksalat monohidrat, kalsium oksalat dihidrat dan kalsium fosfat. Tipe lain yang
kurang sering didapat yaitu batu asam urat dan batu struvit, sedangkan yang jarang didapat
adalah batu sistin.
Beberapa material batu sulit dihancurkan oleh metode apa pun, misalnya batu kalsium
oksalat monohidrat, yang keras dan padat. Apabila batu tersebut terletak di distal, maka ekstraksi
menggunakan ureteroskopi dengan keranjang atau forseps akan lebih efektif daripada
fragmentasi. Sebaliknya, batu kalsium oksalat dihidrat akan dengan mudah dipecah dan
biasanya merupakan kandidat yang baik untuk ESWL atau litotripsi intrakorporal.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 6/43
Klinis
Pasien dengan kolik ginjal biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah dan
demam, serta mungkin mempunyai riwayat penyakit batu. Diagnosis klinis haruslah
ditunjang oleh pemeriksaan pencitraan yang sesuai. Hal ini akan membantu memutuskan
apakah cukup dengan terapi konservatif atau dibutuhkan terapi lain.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai mempunyai
batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%) merupakan batu radioopak. Pada kasus
ini, diagnosis ditegakkan melalui radiografi. Pemeriksaan rutin meliputi foto abdomen dari
ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG atau excretory pyelography
(Intravenous Pyelography, IVP). Excretory pyelography tidak boleh dilakukan pada
pasien dengan alergi media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan metformin,
dan myelomatosis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi: sedimen urin / tes dipstik untuk
mengetahui sel eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH urin. Untuk mengetahui fungsi
ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada keadaan demam, sebaiknya diperiksa C-reactive
protein, hitung leukosit sel B, dan kultur urin. Pada keadaan muntah, sebaiknya diperiksa
natrium dan kalium darah. Untuk mencari faktor risiko metabolik, sebaiknya diperiksa
6
kadar kalsium dan asam urat darah. Panduan pemeriksaan laboratorium selengkapnya
dapat dilihat pada Pedoman Tatalaksana Urolitiasis dari European Association of
Urology.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 7/43
Terapi untuk pasien dengan batu ureter dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori secara
garis besar :
Berikut ini akan djelaskan secara singkat satu per satu dari modalitas terapi di atas.
oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani. Obat obatan yang digunakan untuk
mengatasi kolik sementara sebelum batu lewat mencakup analgesik narkotik dan obat
anti inflamasi non steroid.
5,6
Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak intervensi, ukuran
dan lokasi batu merupakan faktor utama. Batu dengan lebar 5 mm di ureter proksimal
memiliki kemungkinan 70-80% untuk mengalami pengeluaran spontan dan kemungkinan
ini akan lebih besar apabila batu tersebut terletak di ureter distal.
Namun, ukuran mungkin pula bukan merupakan faktor terpenting jika pasien
mengalami nyeri yang tak tertahankan. Dalam kasus ini, terapi yang terbaik adalah
intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran batu. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka
ginjal berisiko mengalami pielonefritis dan atau pionefrosis sehingga perlu dilakukan
terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.
Faktor lain adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang ekstrim, pasien
dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa obstruksi dapat diobservasi selama satu
tahun atau lebih sebelum akhirnya batu lewat atau diambil keputusan untuk terapi aktif.
Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal soliter, dan ginjal
transplantasi tidak dapat bertahan terhadap obstruksi ringan sekalipun.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 8/43
Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien dengan batu ureter
unilateral simtomatik, yang direkrut saat datang ke unit gawat darurat dengan keluhan
kolik ureter. Kriteria batu yaitu radioopak, telah dipastikan terletak dalam ureter dan
diameter 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien adalah fungsi ginjal yang baik (dengan
renografi), nyeri terkontrol dengan analgesia oral dan tidak ada tanda sepsis urologik.
Posisi batu dikonfirmasi menggunakan urografi kontras. Renogram dengan radioisotop
MAG3 dilakukan dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan 1 bulan
setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah kehilangan fungsi ( 5%) ipsilateral,
infeksi, nyeri atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dari 54 pasien yang direkrut (18
batu ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24 sepertiga bawah), terapi konservatif
dilakukan pada 18 pasien, namun pada perjalanan, 4 pasien memerlukan intervensi
dikarenakan keluhan nyeri. Pasien lain memerlukan intervensi segera karena nyeri (8
pasien), penurunan fungsi ginjal (15), dan penurunan fungsi ginjal disertai infeksi (13).
Hasilnya, tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa intervensi. Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa manajemen konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm adalah aman,
dengan syarat dilakukan renografi radioisotop untuk mengidentifikasi ginjal yang
memerlukan intervensi.
5,10
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 9/43
ultrasonik, litotripsi
dan
litotripsi pneumatik
agar
memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat dilakukan dengan ekstraksi
keranjang di bawah pengamatan langsung dengan fluoroskopi.
Perkembangan dalam bidang serat optik dan sistem irigasi menghasilkan alat
baru yaitu ureteroskop semirigid yang lebih kecil.
Penemuan
miniskop semirigid dan ureteroskop fleksibel membuat kita dapat mencapai ureter atas
dan sistem pengumpul intrarenal secara lebih aman. Namun, keterbatasan dari alat
semirigid dan fleksibel ini adalah sempitnya saluran untuk bekerja.
Saat ini, pilihan alat tergantung dari lokasi batu, komposisi batu dan pengalaman
klinikus, serta ketersediaan alat.
Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan dan pengangkatan
batu. Untuk mencapai akses perkutan, urolog atau radiolog memasang kabel penuntun
fleksibel berukuran kecil di bawah kontrol fluoroskopi melalui pinggang pasien ke dalam
ginjal lalu turun ke ureter. Jika akses sudah diperoleh, saluran dilebarkan sampai ukuran
30 F dan dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau ureteroskop rigid / fleksibel
dimasukkan melalui selongsong. Dengan tuntunan fluoroskopi dan endokamera, batu
diangkat secara utuh atau setelah dipecahkan menggunakan litotripsi intrakorporal.
PNL memiliki keuntungan sebagai berikut : (1) Jika batu dapat dilihat, hampir
dipastikan batu tersebut dapat dihancurkan. (2) Dengan alat fleksibel, ureter dapat dilihat
secara langsung sehingga fragmen kecil dapat diidentifikasi dan diangkat. (3) Proses
cepat, dengan hasil yang dapat diketahui saat itu juga.
Perawatan di rumah sakit biasanya 3 sampai 5 hari, pasien dapat kembali
melakukan aktivitas ringan setelah 1 sampai 2 minggu. Angka transfusi PNL sekitar 26%. Angka perawatan kembali, yaitu angka dimana instrumen harus dimasukkan kembali
untuk mengangkat batu yang tersisa bervariasi dari 10% sampai 40-50%. Angka bebas
batu adalah 75-90%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perdarahan, infeksi, dan
5
fistula arteri-vena.
Berbagai variasi operasi spesifik dapat dilakukan untuk mengangkat batu ureter.
Bergantung pada anatomi dan lokasi batu, ureterolitotomi dapat dilakukan melalui insisi
samping, dorsal atau anterior. Saat ini, ureterolitotomi sudah jarang dilakukan, kecuali
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 10/43
pada kasus dimana batu berukuran besar atau pasien memiliki kelainan anatomi ginjal
atau ureter.
Perawatan di rumah sakit berkisar antara 2 sampai 7 hari. Disabilitas pasca
operasi berkisar antara 4 sampai 6 minggu.
III.4.6. Stenting
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 11/43
BAB IV
EXTRACORPOREAL SHOCKWAVE LITHOTRIPSY
Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal dan
ureter dihancurkan menjadi fragmen fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut.
Fragmen kecil ini kemudian dapat keluar secara spontan. Terapi non-invasif ini membuat pasien
terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.
Semua mesin litotripsi tersusun atas 4 komponen dasar : (1) sumber energi (generator
gelombang kejut), (2) focusing system, (3) pencitraan atau unit lokalisasi, dan (4) mekanisme
4
coupling.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 12/43
kejut.
10
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 13/43
proses litotripsi. Meskipun memiliki keuntungan tidak ada paparan radiasi, batu ureter
seringkali sulit dilokalisasi dengan sonografi.
10
10
Kajian ini bertujuan untuk menyusun suatu pedoman penggunaan ESWL, yang meliputi
indikasi, kontraindikasi, prosedur tambahan pra ESWL, perkembangan teknologi mesin beserta
perbandingan klinis efektivitas berbagai jenis mesin, dan analisis biaya.
American Urological Asociation (AUA) dan European Association of Urology
(EAU)
telah mengeluarkan pedoman tatalaksana batu saluran kemih. Pedoman tersebut juga
merupakan referensi dalam menyusun rekomendasi ini.
5,6
Tujuan tatalaksana batu ginjal adalah untuk mencapai bersihan batu maksimal
(dinyatakan dengan angka bebas batu) dengan morbiditas minimal. Dalam memilih
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 14/43
pendekatan terapi , beberapa faktor harus dipertimbangkan, yaitu faktor batu, anatomi
ginjal, serta pasien. Faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
Anatomi ginjal
Obstruksi/stasis
Hidronefrosis
Obstruksi ureteropelvic junction
Divertikel kaliks
Ginjal tapal kuda dan anomali ektopik
Anatomi kutub bawah ginjal
Pasien (klinis)
Infeksi
Obesitas
Deformitas habitus tubuh
Koagulopati
Anak-anak
Orangtua
Hipertensi
Gagal ginjal
Batu berukuran diameter <10mm paling sering dijumpai dari semua batu ginjal
tunggal. Terapi ESWL untuk batu ini memberikan hasil memuaskan dan tidak bergantung
pada lokasi ataupun komposisi batu. Batu berukuran 10-20 mm pada umumnya masih
diterapi dengan ESWL sebagai lini pertama. Namun, hasil ESWL dipengaruhi oleh
komposisi dan lokasi sehingga faktor tersebut harus dipertimbangkan. Tatalaksana batu
berukuran 20-30 mm masih menjadi kontroversi dan pemilihan modalitas terapi
dipengaruhi oleh banyak faktor.
4,5,6
Berdasarkan pedoman tatalaksana batu staghorn dari AUA, batu ginjal >2cm
paling baik diterapi dengan teknik endoskopi.
11
pasien dengan batu ginjal >2cm yang diterapi dengan laser holmium melalui ureteroskop.
Keberhasilan didefinisikan sebagai fragmentasi total mencapai <2mm dan atau tidak
didapatkan batu pada USG ginjal dan foto polos pada follow-up 3 bulan. Diperoleh angka
keberhasilan sebesar 77%. Terdapat korelasi erat antara ukuran batu, keberhasilan dan
durasi operasi. Beban batu 2-3 cm pada 23 pasien memerlukan durasi terapi rata-rata
selama 70 menit (55-85) dan sukses pada 20; pada tujuh pasien dengan beban >3cm,
terapi membutuhkan 135 (75-160) menit dan sukses pada tiga pasien. Semakin kecil
beban batu, semakin besar kesuksesan dan semakin sedikit waktu yang dibutuhkan.
Kesimpulan
dari
studi
ini
adalah
bahwa
terapi
batu
ginjal
menggunakan
12
10
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 15/43
Mengenai kehamilan, Asgari et al, melakukan studi kasus kontrol dari data
sekunder terhadap 824 wanita usia reproduksi dengan batu ginjal yang menjalani terapi
ESWL (Dornier HM3). Dari jumlah tersebut, enam wanita sedang mengalami kehamilan
bulan pertama saat menjalani ESWL. Sebelum ESWL, keenam pasien pernah
melahirkan bayi cukup bulan tanpa malformasi. Follow-up terhitung sejak sesi terakhir
ESWL adalah 32,1 (10-58) bulan. Rata-rata jumlah gelombang kejut yang diberikan
adalah 2850 (800-6300), sedangkan rata-rata ukuran batu adalah 12 (5-18) mm. Keenam
wanita tersebut melahirkan bayi tanpa malformasi ataupun anomali kromosom. Studi ini
menyimpulkan bahwa ESWL dengan tuntunan ultrasound untuk batu ginjal tampaknya
aman pada wanita hamil. Namun, jumlah pasien yang lebih besar dengan studi prospektif
dibutuhkan untuk menilai efek jangka panjang; studi ini tidak menyarankan litotripsi
sebagai terapi batu ginjal untuk wanita hamil.
13
batu dengan stent tidak berhasil dan pasien mengalami serangan kolik
berulang yang tidak reda dengan narkotik parenteral, oleh karena itu dianjurlkan
nefrostomi perkutan. Namun, ketika pasien dijelaskan mengenai risiko perdarahan,
infeksi, pergeseran tube dan oklusi serta kemungkinan diversi ureter, sehingga pasien
meminta dilakukan ESWL. Dari pemeriksaan didapatkan jarak yang cukup (11 cm)
antara batu/fokus dan uterus, kemudian dilakukan ESWL pizoelektrik dengan penuntun
ultrasound. Batu berhasil dihancurkan dan fragmen keluar spontan tanpa kolik. Untuk
menghindari steinstrasse, dimasukkan Double J stent selama 3 minggu.
14
B. Kontraindikasi Relatif
Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah :
10
Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur.
Berat badan > 300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu,
karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada pasien seperti ini
sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu
Pasien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi
ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan
posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat
menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL
Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan
anestesi.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 16/43
Pasien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan
pertimbangan khusus.
Pasien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens
hematom perirenal pasca terapi.
Pasien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi
pasca terapi walaupun jarang terjadi.
6,10
informed consent, maka perlu dilakukan pemeriksaan pra ESWL sebagai berikut:
Laboratorium
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 17/43
Porpiglia et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap 80 pasien dengan
yang menjalani ESWL. Pasien dibagi secara random ke dalam dua kelompok : 40 pasien
mendapat terapi adjuvan dengan terapi medis oral (nifedipin dan deflazacort); 40 pasien
lainnya sebagai kelompok kontrol.
pasien dari kelompok pertama dan 20 (50%) pasien dari kelompok kontrol. Diperoleh
perbedaan signifikan dalam hal angka bebas batu (p=0,02). Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa nifedipin dan deflazacort yang diberikan setelah ESWL dapat
meningkatkan keberhasilan terapi.
15
IV.2.5. Komplikasi
Berikut ini merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat terapi ESWL.
Komplikasi Ginjal
10
160 mmHg
Hasilnya, 43% pasien ada grup kontrol dan 53% pada grup ESWL mengalami
hipertensi. Rata-rata follow-up adalah 2,2 tahun; 35 (37%) pasien dalam grup kontrol
dan 46 (47%) dalam kelompok ESWL mengalami hipertensi (p=0,19). Kesimpulan
dari studi ini adalah bahwa tidak ada bukti bahwa ESWL menyebaban perubahan
tekanan darah.
16
Atrofi renal. Ini jarang dijumpai, namun dapat terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit vaskular atau aterosklerotik ginjal.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 18/43
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah (1) komplikasi paru, misalnya
hemoptisis, (2) pankreatitis, (3) hematom limpa, (4) peningkatan sementara fungsi hati
dan (5) kolik bilier.
10
(Siemens, Erlangen, Jerman). Pasien diterapi dalam posisi supinasi dan batu dilokalisasi
dengan ultrasound tanpa paparan sinar X. Terapi dimulai tanpa anestesi atau analgesia;
analgesik hanya diberikan bila diminta oleh pasien selama terapi. Hasilnya, 93% pasien
diterapi tanpa anestesi atau analgesia, sedangkan 7% memerlukan petidin intravena 25
mg dosis tunggal. Kolik renal pasca operatif terjadi pada 40 pasien (24%). Dari semua
pasien, 7% menjalani terapi ulang. Setelah 3 bulan, 129 dari 130 pasien (99%)
mengalami bebas batu. Kesimpulan dari studi ini adalah ESWL untuk batu yang terletak
pada ureter paling distal menggunakan mesin Lithostar Ultra adalah efektif, aman dan
bebas radiasi. Prosedur tersebut dapat dilakukan tanpa anestesi dan pada kebanyakan
kasus tanpa analgesik. Prosedur yang sederhana dan non invasif ini merupakan terapi
lini pertama yang sangat baik untuk batu pra vesika dan merupakan alternatif yang valid
terhadap manajemen konservatif atau endoskopi invasif.
17
Sejak dari pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980, teknologi mesin litotriptor telah
berkembang begitu pesat. Saat ini, secara garis besar terdapat dua tipe litotriptor : (1) Meja
ESWL dengan desain optimal yang sebelumnya digunakan untuk mesin berbiaya rendah. Alat ini
terdiri dari meja terapi, sumber gelombang kejut dengan ultrasound lateral atau koaksial, dan
sebuah C-arm isosentrik sebagai sistem lokalisasi utama. Sistem ini sesuai untuk departemen
dengan volume pemakaian rendah. (2) Uro-Lithotriptor dengan sistem lokalisasi fluoroskopi
tunggal. Kekurangan mesin ini adalah keterbatasan pemeriksaan diagnostik (foto polos sinar X:
KUB, IVP). Beberapa uro-lithotriptor dibuat dengan pencitraan ganda, yaitu kombinasi fluoroskopi
dan ultrasound (Dornier Lithotriptor S. Siemens Lithoskop). Mesin seperti ini terutama sesuai
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 19/43
untuk institusi dengan volume pemakaian tinggi, namun masih cukup ekonomis untuk
departemen dengan volume pemakaian sedang.
18
18
prosedur
memperhitungkan
prosedur
tambahan
tambahan
pasca
pra
ESWL.
ESWL
yang
Rumus
juga
tersebut
tidak
bertujuan
untuk
meningkatkan hasil terapi. Taily memasukkan prosedur pra ESWL ini dalam perhitungan
effectiveness quotient (EQB). Terlepas dari modifikasi ini, harus disadari bahwa bayak
parameter tersembunyi yang berperan penting dalam EQ, seperti imaging, strategi
18
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 20/43
Karena angka bebas batu sangat menentukan dalam penghitungan rumus EQ,
rerata jangka waktu observasi harus disebutkan (misalnya, EQ3bln). Pada studi yang
dilakukan oleh Rassweiler, angka bebas batu masih meningkat melebihi jangka waktu 12
bulan.
Di RSCM, terdapat kesulitan dalam menghitung EQ, dikarenakan data rekam
medis yang tidak lengkap dan pasien kontrol berpindah-pindah.
19
pertama.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 21/43
Tabel 2. Perbandingan antara Berbagai Generasi Litotriptor menggunakan Efficacy Quotient (EQ1) dan Efficacy Quotient
modifikasi (EQ2)19
Litotriptor
Batu ureter
Batu (%)
ESWL
>2cm (%)
ulang (%)
Post
Kuratif
Angka bebas
batu (%)
Efficacy Quotient
EQ1
EQ2
1st Generation
Dornier HM3
USA Study
13
14
16
66
0,53
0,51
Stuttgart
17
13
14
10
14
73
0,57
0,52
Dornier HM3+
31
15
16
22
75
0,61
0,52
Piezolith 2000
23
17
45
15
14
72
0,45
0,40
Lithostar Puls
37
27
33
85
0,63
0,49
Modulith SL 20
34
28
31
84
0,62
0,50
Dornier Litho S
30
13
87
0,71
0,70
Siemens Multiline
34
25
78
0,56
0,55
2nd Generation
3rd Generation
Actual Lithotriptor
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 22/43
BAB V
HASIL DAN DISKUSI
Masih banyak ditemui kontroversi mengenai indikasi ESWL untuk jenis dan lokasi batu
tertentu, pengulangan ESWL pasca ESWL primer, tatalaksana efek steinstrasse pasca ESWL,
pemberian antibiotik profilaksis, pemilihan mesin ESWL serta kompetensi untuk melakukan
ESWL. Hal-hal tersebut membutuhkan pengkajian dan diskusi lebih lanjut. Akan dibahas satu per
satu berikut ini.
20
Kriteria
ESWL
PCNL
Kombinasi
Beban batu
Minor
Mayor
Mayor
Distribusi batu
Perifer
Sentral
sentral+perifer
Sempit
Dilatasi
sempit/dilatasi
Radioopasitas
Cukup
Kurang
Cukup
Komposisi kimiawi
Operasi Terbuka
Operasi terbuka merupakan pilihan terapi yang potensial utuk batu staghorn,
karena dapat membersihkan sebagian besar batu melalui sekali prosedur dan
menghasilkan angka bebas batu yang sebanding. Oleh karena itu, beberapa penulis
masih menganjurkan operasi terbuka untuk batu staghorn komplit. Namun, kerugian dari
operasi ini adalah berkurangnya fungsi ginjal setelah pembedahan yang ekstensif seperti
pielolitotomi intersegmental anatrofik, yang terjadi pada 30-50% pasien. Angka residu
batu setelah operasi terbuka adalah 15%, dengan rekurensi 30% setelah 6 tahun dan
risiko infeksi saluran kemih 40%. Berdasarkan hal tersebut, Rassweiler membatasi
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 23/43
indikasi operasi terbuka hanya untuk pasien dengan beban batu masif yang tidak dapat
dicapai secara endoskopik atau dengan beberapa kali tindakan ESWL, atau bila
dibutuhkan operasi rekonstruktif tambahan (misalnya kaliko-ureterostomi, pieloplasti).
20
11
ESWL harus
batu staghorn.
21
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 24/43
gelombang kejut, jumlah sesi ESWL, lama perawatan, angka bebas batu dan komplikasi
mayor. Hasilnya, sebanyak 33 anak (79%) mengalami bebas batu setelah 3 bulan.
Kedua grup sebanding dalam hal umur, ukuran batu, jumlah gelombang kejur dan sesi
ESWL serta angka bebas batu. Komplikasi mayor terjadi pada 21% kelompok tanpa
stent, dan tidak terjadi sama sekali pada kelompok yang distent (p=0,035). Tujuh
prosedur tambahan pasca ESWL dibutuhkan pada kelompok tanpa stent. Perawatan
rumah sakit lebih lama
(p=0,022). Pada follow-up setelah 9 102 bulan (rata-rata 47) terjadi rekurensi pada 2
anak, yang kemudian diterapi dengan ESWL.
Kesimpulan studi ini adalah monoterapi ESWL merupakan modalitas yang
efisien dan aman utuk terapi batu staghorn anak-anak. Pasien yang distent mengalami
komplikasi lebih sedikit dan masa perawatan lebih singkat. Dianjurkan untuk melakukan
22
stenting profilaksis sebelum terapi ESWL pada anak-anak dengan batu staghorn. (Level
of evidence IIa)
Batu kutub bawah dikenal memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dan
menunjukkan angka bebas batu yang rendah dengan ESWL. Beberapa faktor berkaitan
dengan anatomi ginjal telah dilaporkan berpengaruh terhadap angka bersihan batu kutub
bawah. Sumino melakukan studi dengan tujuan menentukan faktor-faktor prediktor
bersihan batu kutub bawah untuk membantu mengambil keputusan dalam terapi ESWL
untuk batu kutub bawah. Studi dilakukan terhadap 63 pasien dengan batu kutub bawah
tunggal unilateral berkuran 2 cm. Dilakukan urografi ekskretori untuk menentukan sudut
infundibulopelvic bawah, tinggi caliceal pelvic dan panjang serta diameter infundibulum
kutub bawah, rasio panjang terhadap diameter infundibulum bawah dan jumlah kaliks
minor kutub bawah. Angka bebas batu dinilai dengan sinar X. Hasilnya, angka bersihan
batu
panjang, rasio panjang terhadap diameter, dan diameter infundibulum bawah, serta
jumlah kaliks minor, didapatkan perbedaan dalam hal angka bebas batu dan angka
residual. Namun menggunakan analisis multivariat logistik didapatkan bahwa rasio
penjang terhadap diameter infundibulum bawah,
merupakan faktor prediktor independen untuk keberhasilan bersihan batu. Ke-13 pasien
yang memiliki 3 faktor anatomi positif (rasio panjang terhadap diameter infundibulum
bawah <7 mm, diameter >4mm dan sebuah kaliks minor tunggal) mencapai angka
bersihan batu 84,6%. Pada pasien dengan hanya 1 atau 2 faktor positif, angka bersihan
batu masih lebih besar dari 60%.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 25/43
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa kesuksesan ESWL sangat dipengaruhi
oleh anatomi kutub bawah ginjal. Jika seorang pasien dengan batu kutub bawah memiliki
sedikitnya satu dari faktor-faktor positif yang telah disebutkan sebelumnya. ESWL dapat
dianjurkan sebagai terapi lini pertama dengan kemungkinan keberhasilan > 60%. Pilihan
terapi lain harus dipertimbangkan pada mereka yang tidak memiliki satu pun faktor
23
25
Keeley dkk melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap 228 pasien dengan batu
kaliks kecil (diameter <15 mm) asimtomatik. Sebanyak 113 pasien diacak untuk
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 26/43
26
(Level of
evidence Ib)
Greene
dan
Gupta
melakukan
uji
klinis
tanpa
kontrol
untuk
bebas menentukan terapi apa yang dipilihnya setelah diberikan informed consent. Angka
bebas batu awal pada pasien dengan batu 1 cm adalah 93% untuk ureteroskopi laser
holmium: YAG dan 50% untuk ESWL in situ. Efficacy quotient untuk batu ureter 1 cm
adalah 0,76 untuk litotripsi ureteroskopik dan 0,43 untuk ESWL. Untuk batu ureter
proksimal 1 cm, angka bebas batu awal adalah 100% untuk ureterosokopi laser dan
80% untuk ESWL, sedangkan efficacy quotient adalah 0,81 untuk litotripsi ureteroskopik
dan 0,72 untuk ESWL. Tidak didapatkan komplikasi bermakna pada kedua grup dan
semua prosedur dilakukan pada pasien rawat jalan. Kesimpulan dari studi ini adalah
bahwa litotripsi ureteroskopik dengan dengan laser holmium: YAG merupakan modalitas
terapi yang dapat diterima untuk batu ureter proksimal 1 cm. Sedangkan untuk batu 1
cm, ESWL tetap menjadi terapi lini pertama karena morbiditas yang lebih rendah, juga
27
kebutuhan anestesi dan analgesia yang lebih rendah. (Level of evidence IIa)
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 27/43
pemeriksaan IVP setelah 3 bulan. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa batu ureter
proksimal harus diterapi in situ untuk menghindari morbiditas akibat manipulasi.
28
(Level
of evidence IIa)
Apabila batu
diinformasikan bahwa kemungkinan terjadi stenosis relatif dari ureter intramural yang
akan mengakibatkan menurunnya harapan keberhasilan ESWL sehingga membutuhkan
terapi ulang lebih sering.
Segura memberikan komentar bahwa studi ini merupakan studi yang sangat baik
dan merupakan studi yang harus dilakukan pada situasi dimana terdapat terapi-terapi
kompetitif untuk kasus spesifik. Aspek positif lain dari desain studi ini adalah penundaan
terapi selama 3 minggu setelah diagnosis untuk mengoptimalisasi kesempatan batu
lewat spontan. Studi ini juga sangat memperhatikan kepuasan pasien, karena setelah
tercapai angka bebas batu atau setelah stent dilepas, pasien ditanyakan apakah mereka
bersedia untuk menjalani prosedur yang sama lagi apabila terjadi rekurensi, dan bila
tidak bersedia, apa alasannya. Uji kepuasan dilakukan dengan tes berpasangan serasi
Wilcoxons dan test t. Hasilnya, semua pasien yang diterapi ureteroskopi merasa puas
sedangkan hanya sebagian pada kelompok ESWL.
29
Pearle melakukan studi prospektif acak untuk membandingkan efikasi ESWL dan
ureteroskopi untuk batu batu ureter distal. Sebanyak 64 pasien dengan batu ureter distal
radioopak, soliter, diameter terbesar 15 mm diacak untuk terapi dengan ESWL (32)
menggunakan Dornier HM3 dan ureteroskopi (32). Hasilnya, nyeri pinggang dan disuri
postoperatif lebih berat pada grup ureteroskopi daripada grup litotripsi, walaupun
perbedaannya tidak bermakna secara statistik (p disuri=0,109; p nyeri pinggang=0,420).
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa baik ureteroskopi maupun ESWL
memberikan angka kesuksesan yang tinggi dan angka komplikasi rendah. Namun,
ESWL membutuhkan waktu prosedur yang lebih rendah secara bermakna, juga
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 28/43
menunjukkan kecenderungan nyeri pinggang dan disuri yang lebih rendah, komplikasi
yang lebih sedikit, serta penyembuhan yang lebih cepat. Walaupun ureteroskopi dan
ESWL sama-sama efektif untuk batu ureter distal, penulis menganjurkan penggunaan
ESWL karena lebih efisien dan morbiditas yang lebih rendah. Kekurangan studi ini
adalah hanya menilai hasil klinis dan tidak menilai angka bebas batu, padahal angka
bebas batu merupakan parameter penting untuk mengukur keberhasilan suatu modalitas
terapi batu saluran kemih.
30
Studi kros seksional deskriptif dari Erturk et al. melibatkan 312 pasien dengan
batu ureter distal yang menjalani ESWL (Dornier HM3) sebagai terapi primer. Hasilnya,
81% mengalami bebas batu setelah 3 bulan, sedangkan 27 pasien (11%) tidak diketahui
dengan pasti status batunya. Dari 27 terapi yang mengalami kegagalan, 22 diterapi
sukses dengan teknik ureteroskopik dan 5 pasien menjalani operasi terbuka. Studi ini
menyimpulkan bahwa ESWL merupakan terapi yang efektif dalam tatalaksana primer
batu ureter distal.
31
Hasil studi tersebut juga didukung oleh Thomas, Macaluso, et al. melalui uji klinis
terhadap 130 pasien dengan batu ureter sepertiga bawah simtomatik yang diterapi
dengan ESWL (Medstone Lithotriptor). Pada mesin generasi pertama (Dornier HM3)
ditemui kesulitan dalam pengaturan posisi pasien dan lokalisasi batu, sedangkan mesin
generasi kedua memiliki kelebihan dalam hal pengaturan posisi yang jauh lebih baik dan
mudah. Sebanyak 126 pasien menjalani monoterapi, dan 10 (8%) dari antaranya dropout dalam follow-up, sedangkan dari 116 pasien sebanyak 101 pasien mengalami bebas
batu dengan terapi tunggal dan 15 pasien gagal. Ukuran batu pada pasien yang gagal
lebih besar daripada ukuran batu rata-rata. Sebanyak 10 pasien (8,6% dari total)
membutuhkan ureteroskopi dan 5 (4,3%) dari total memiliki fragmen residu asimtomatik.
Kesimpulan dari uji klinis ini adalah bahwa ESWL in situ merupakan terapi efektif untuk
batu ureter sepertiga bawah, terutama batu berukuran < 9mm. Rata-rata ukuran batu dari
pasien yang sukses dengan satu sesi terapi ESWL adalah 8,22x5,17mm. Batu yang lebih
besar membutuhkan terapi multipel atau fragmentasi ureteroskopik dan ekstraksi.
32
Akhir-akhir ini berkembang isu mengenai perlunya pemberian antibiotik selama terapi
ESWL. Ilker et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap 400 pasien dengan batu ginjal
dan ureter yang memiliki urin steril sebelum terapi ESWL dan tidak memilki risiko infeksi.
Kelompok terapi (180 pasien) menerima ofloksasin dosis tunggal 400 mg oral 1 jam sebelum
ESWL, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapat apa-apa. Dilakukan kultur urin porsi tengah
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 29/43
1 minggu dan 1 hari sebelum ESWL. Evaluasi dilakukan melalui urinalisis dan kultur sehari
setelah ESWL. Hasilnya, hanya 3 pasien (0,8%) yang memiliki kultur urin positif 1 minggu setelah
ESWL. Dua dari 3 pasien tersebut telah menerima antibiotik profilaksis. Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa insidens infeksi saluran kemih setelah ESWL sangat rendah bagi pasien yang
memiliki urin steril sebelum ESWL, sehingga antibiotik profilaksis tidak diperlukan.
33
(Level of
Evidence Ib)
Retensi fragmen batu pasca ESWL terjadi pada lebih dari seperlima pasien dan
merupakan sumber potensial komplikasi serta faktor risiko pembentukan batu berulang. Krings
melakukan uji klinis acak terhadap 50 pasien dengan batu ginjal unilateral yang telah mengalami
fragmentasi komplet dengan ESWL (Siemen Lithostar atau Wolf Piezolith 2300) menjadi partikel
berukuran < 5mm, tetapi beberapa fragmen gagal melewati kaliks tengah atau bawah. Pasien
diacak ke dalam 2 kelompok. Kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna dalam
hal ukuran batu sebelum ESWL, beban batu residu dan lokasi debris batu. Sebanyak 25 pasien
menjalani ESWL pizoelektrik, menggunakan ultrasonografi untuk lokalisasi batu dan fragmen
dapat divisualisasi secara kontinu selama litotripsi. Sebanyak 25 pasien lain merupakan
kelompok kontrol dan tidak diterapi. Hasilnya, 83,3% pasien dari kelompok terapi mengalami
penurunan bermakna dalam volum batu residu setelah 3 bulan. Sebaliknya, penurunan massa
batu hanya terjadi pada 21,7% pada kelompok kontrol, dengan 1 pasien mengalami bebas batu.
Pada ginjal dimana terjadi penurunan batu tanpa bebas batu, penurunannya jauh lebih signifikan
pada kelompok yang menjalani ESWL ulang daripada kelompok kontrol (p<0,01).
Studi ini
menyarankan ESWL ulang untuk batu yang telah terpecah komplit tapi residu fragmen
34
Steinstrasse (Jerman, secara harafiah : jalan batu) merupakan komplikasi yang sering
terjadi setelah terapi batu ginjal atau ureter berukuran besar dengan ESWL. Terdapat kontroversi
yang perlu dipertimbangkan mengenai cara mencegah steinstrasse. Awadi et al. melakukan uji
klinis acak terkontrol terhadap 400 pasien dengan batu unilateral (diameter rata-rata 1,5-3,5 cm).
Pasien diacak ke dalam dua grup: Grup 1 dilakukan pemasangan J stent sebelum ESWL dan
grup 2 sebagai kontrol. Hasilnya, pasien yang mengalami steinstrasse adalah 12(6%) pada grup
1 dan 26(13%) pada grup 2 (berbeda bermakna, p<0,05). Insidens steinstrasse bergantung pada
ukuran batu, tanpa memandang ada tidaknya J stent, adalah 2,6% untuk batu ukuran 1,5-2,0 cm
dan 3,1-3,5 cm (p<0,001). Steintrasse terjadi pada sepertiga bawah ureter pada 8 dari 12 pasien
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 30/43
grup 1 dan 16 dari 26 pada grup 2. Steinstrasse sembuh spontan pada 7 pasien di grup 1 dan 12
(46%) di grup 2 (p<0,11). Kesimpulan dari penelitian ini, penggunaan J stent sebelum ESWL
secara bermakna menurunkan insidens steinstrasse pada pasien dengan beban batu 1,5-3,5 cm.
Insidens steinstrasse meningkat seiring dengan peningkatan ukuran batu, dengan atau tanpa J
35
Perkembangan teknologi mesin ESWL sangat pesat dewasa ini dan menuntut
pertimbangan yang rasional dalam memilih mesin yang sesuai untuk suatu institusi.
Kriteria mesin yang baik adalah :
36
1. Prosedur ESWL dapat dilakukan dengan anestesi seminimal mungkin atau bahkan
tanpa anestesi
2. Menghasilkan angka bebas batu yang tinggi
3. Memiliki sistem lokalisasi ganda (fluoroskopi dan USG)
Chan melakukan studi prospektif acak terhadap 198 pasien untuk membandingkan
efikasi dari Dornier HM3 yng sudah dimodifikasi dan MFL 5000. Kriteria inklusi mencakup batu
soliter, semua ukuran berlokasi di kaliks renal, pelvis renal atau ureter. Semua tipe batu
dimasukkan kecuali batu sistin. Pasien dievaluasi dengan foto polos abdomen, tomogram dan
ultrasound pada minggu ke-1, 4 dan 12 setelah litotripsi. Pasien diklasifikasikan gagal apabila
ditemukan fragmen residu ukuran berapapun
perbedaan angka bebas batu secara statistik maupun klinis pada pasien dengan batu ureter atau
pelvis. Sebanyak 80% pasien dengan batu kaliks bawah tidak memiliki fragmen residu (Dornier
HM3) versus 56% dengan MFL 5000 (p=0,05). Waktu terapi dengan MFL 5000 secara bermakna
lebih panjang daripada Dornier HM3 (0,7 jam vesus 0,4 jam). Tidak terdapat perbedaan angka
komplikasi antara kedua mesin. Steinstrasse ditemukan pada 10% pasien yang diterapi dengan
HM3 dan 6% pada grup MFL 5000. Secara keseluruhan, MFL 5000 tidak memiliki kelebihan yang
bermakna secara klinis dibandingkan Dornier HM3 dalam hal efikasi, kecuali bahwa terdapat
meja terapi multifungsi. Untuk institusi yang sibuk, HM3 tetap menjadi mesin yang memiliki efikasi
37
Studi prospektif acak lain dari Graber membandingkan efikasi dan trauma ginjal dari
Dornier HM3 dan Lithostar Plus untuk terapi batu kaliks dan pelvis soliter. Sebanyak 167 pasien
dengan 176 batu diacak untuk menjalani terapi dengan HM3 (91 orang) dan Lithostar plus (85
orang). Pada hari pertama postoperatif, pasien yang diterapi dengan HM3 atau Lithostar plus
yang mengalami bebas batu atau fragmen 2 mm adalah 91% dan 65% (p<0,001); batu 3-6 mm
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 31/43
adalah 8% dan 25%(p=0,003) dan untuk batu 6 mm adalah 1% dan 10% (p=0,008). Pielonefritis
obstruktif terjadi sebanyak 1% pada HM3 dan 8% pada Lithostar Plus (p=0,02). Angka terapi
ulang adalah 4% pada HM3 dan 13% pada Lithostar Plus (p=0,05). Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa HM3 masih merupakan standar baku emas dalam hal disintegrasi batu pelvis.
Disintegrasi batu dengan HM3 lebih baik dengan jumlah gelombang kejut yang lebih sedikit,
angka terapi ulang lebih rendah dan dilatasi pasca terapi serta komplikasi juga lebih rendah
daripada Lithostar.
38
39
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 32/43
BAB VI
ANALISIS BIAYA
VII.1. Biaya Pengadaan dan Operasional
Biaya pengadaan dan operasional ESWL merupakan aspek yang penting diperhatikan
dalam menyusun kebijakan nasional mengenai penggunaan alat ini. Biaya pembelian dan
pemeliharaan mesin ESWL sangat mahal. Sebagai konsekuensinya, bila hanya sedikit pasien
yang diterapi, biaya ESWL per pasien akan menjadi lebih tinggi, sedangkan bila lebih banyak
pasien diterapi, biaya per pasien akan menurun.
Tarif tindakan ESWL bervariasi cukup luas dan dipengaruhi oleh jumlah pasien yang
diobati, lokasi perawatan, peralatan yang digunakan dan tenaga medis yang melakukan. Tarif
ESWL terdiri dari tiga komponen biaya, yaitu : 1) Biaya modal tetap untuk pembelian dan
instalasi, 2) Biaya operasional, 3) Biaya perawatan pasien pasca ESWL.
39
39
39
Biaya tambahan lain adalah tes laboratorium awal dan follow-up, sinar X dan
perawatan rumah sakit rutin (bila pasien memerlukan rawat inap). Prosedur tambahan
seperti pemasangan kateter ureter juga meningkatkan biaya.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 33/43
Jumlah pasien merupakan aspek yang penting dalam perhitungan biaya ESWL. Semakin
tinggi jumlah pasien, maka biaya per pasien dapat lebih murah. Karakteristik ini disebabkan oleh
biaya tetap yang tinggi dari pembelian dan instalasi litotriptor. Konsekuensinya, bila volume
pasien dipertahankan konstan tinggi, ESWL dapat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan.
Rumah Sakit Methodist, Indiana, misalnya, memeperkirakan bahwa selama tahun pertama,
ESWL mengumpulkan keuntungan sebesar US$400 per kasus. Potensi keuntungan ini
merupakan hal yang sangat menarik bagi banyak rumah sakit.
39
Salah satu strategi untuk menurunkan biaya ESWL adalah dengan menurunkan atau
menghilangkan biaya rawat inap rumah sakit. Sejak dari diperkenalkannya ESWL sampai Juni
1985, ESWL dilakukan hampir selalu pada pasien rawat inap, dimana pasien dirawat sebelum
prosedur dan 2-3 hari pasca prosedur untuk observasi. Terapi ESWL yang dilakukan pada pasien
rawat jalan (tanpa dirawat) hanya kurang dari 3%.
39
Kekurangan dari ESWL rawat jalan adalah pasien tidak dapat melakukan akses segera
ke fasilitas pelayanan kesehatan gawat darurat jika terjadi komplikasi.
Biaya tetap ESWL yang tinggi memberi dampak penting baik ketika ESWL menjadi
pilihan terapi tunggal ataupun bila dibandingkan dengan teknologi lain. Semakin banyak rumah
sakit yang memiliki ESWL, maka masing-masing akan menangani jumlah pasien yang lebih
sedikit sehingga berdampak pada biaya per pasien yang lebih tinggi. Bila jumlah pasien yang
ditangani banyak, maka biaya akan menurun. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, biaya
modal untuk pembelian dan instalasi ESWL dibagi di antara jumlah pasien yang besar. Kedua,
harga per unit untuk elektroda Dornier (yang merupakan komponen biaya operasional yang
bermakna) lebih murah bila elektroda dibeli dalam jumlah besar.
25
Perbandingan biaya antara ESWL dan modalitas terapi lainnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 34/43
Tabel 4. Perbandingan tarif rata-rata untuk Tindakan Pengangkatan Batu Saluran Kemih Atas
(Methodist Hospital, Indianapolis, )
39
Tindakan
Operasi
dan
kamar
pemu
lihan
Ka
mar
dan
pera
watan
Biaya
tamba
han
dan
bahan
Lain
Lain
Total
Urolog
Ahli
anes
tesi
Ahli
Ra
dio
logi
Total
Biaya
total
$ 1,741
3,006
2,148
$ 951
1,623
1,488
$ 955
1,626
1,334
$ 184
307
53
$3,831
6,562
5,023
$ 1,515
2,179
1,597
$ 352
822
650
$0
0
500
$ 1,867
3,001
2,747
$ 5,698
9,563
7,770
4,756
2,599
2,615
231
10,201
2,848
900
500
4,248
14,449
3,122
3,131
3,399
120
9,772
1,812
950
2,762
12,534
Dari tabel tersebut terlihat bahwa biaya ESWL satu kali lebih rendah daripada tindakan
nefrolitotomi perkutan atau operasi terbuka. Namun, bila dibutuhkan lebih dari sekali tindakan
ESWL maka biaya dapat meningkat melebihi nefrostomi perkutan dan operasi terbuka. Sebagai
pembanding, berikut ini adalah biaya tindakan ESWL di RSCM, RS PGI Cikini, RS Dr. Soetomo,
Surabaya dan RS Hasan Sadikin, Bandung. Disertakan juga komponen biaya tindakan pertama
ESWL
di
RSCM.
Namun
biaya
tersebut
masih
belum
mencakup
pemeriksaan
laboratorium/radiologi pra ESWL, tarif anestesi, biaya rawat inap dan obat-obatan pasca ESWL.
Tabel 5. Tarif ESWL di RSCM dan RS PGI Cikini
40,41
Tindakan pertama
RSCM
Tindakan ulang
RS PGI Cikini
RSCM
RS PGI Cikini
(non narkose)*
VVIP
4.000.000 sd
VIP
7.000.000
2.500.000
II
2.000.000
6.500.000
1.200.000
III
1.700.000
5.000.000
800.000
7.000.000
2.500.000 sd
6.000.000
(non narkose)
1.500.000
4.500.000
(narkose)
= Rp 1.155.000, 00
- obat anestesi
= Rp 1.100.000, 00
Sumber : Daftar tarif ESWL Klinik Khusus Urologi RSCM, RS Pertamina, RS PGI Cikini
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 35/43
42
Poli
Askes
ESWL ke-1
2.500.000
1.700.000
ESWL ke-2
1.675.000
1.000.000
ESWL ke-3
1.675.000
800.000
800.000
BNO
IVP
USG
Pemeriksaan Laboratorium
ureum
kreatinin
Hemoglobin
Trombosit
Leukosit
BT
CT
Kls I
Kls II
43
Kls III
Rp
Rp
Rp
40.500
487.500
75.000
Rp
Rp
Rp
350.000
380.000
60.000
Rp
Rp
Rp
35.000
300.000
55.000
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
8.000
8.000
8.000
8.000
8.000
8.000
8.000
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
7.000
7.000
7.000
7.000
7.000
7.000
7.000
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
6.000
6.000
6.000
6.000
6.000
5.000
5.000
Biaya Tindakan
Pasca ESWL
Antibiotik (siprofloksasin)
Analgetik (asam mefenamat)
Rp 3.000.000
Rp 2.000.000
Rp 1.000.000
Rp
Rp
Rp
Jumlah
Rp 3.666.500
7.500
3.150
Rp 2.842.150
3.150
Ket
2x1 (3 hari)
3x1 (3 hari)
Rp 1.433.150
40
Total
bayar
72.000
Jasa
medis
netto
720.000
45.000
63.000
130.500
80.000
112.000
232.000
800.000
1.120.000
2.320.000
2.000.000
2.500.000
4.000.000
265.500
472.000
4.720.000
7.000.000
Jasa
Medis
Bruto
900.000
7,5%
PPH
4,5%
Dept
8%
RSCM
300.000
Jasa
Pemeliharaan
Alat
500.000
67.500
40.500
400.000
500.000
500.000
600.000
600.000
600.000
1.000.000
1.400.000
2.900.000
75.000
105.000
217.500
500.000
600.000
5.900.000
442.500
1.700.000
Berikut ini dapat dilihat perbandingan biaya tindakan ESWL dan modalitas terapi lain di Klinik
Khusus Urologi RSCM.
Tabel 9. Perbandingan biaya tindakan ESWL dan modalitas terapi lain di Klinik Khusus Urologi RSCM 40
ESWL
ESWL
URS
PCNL
Extended
(Tindakan Pertama)
(Tindakan Kedua)
VIP/
4.000.0000 sd
2.500.000 sd
6.600.000 sd
7.800.000 sd
6.600.000 sd
Pasien luar
7.000.000
6.000.000
9.400.000
11.000.000
9.400.000
Kelas I
2.500.000
1.500.000
4.800.000
6.200.000
5.200.000
Kelas II
2.000.000
1.200.000
3.800.000
5.000.000
4.200.000
Kelas III
1.700.000
800.000
2.800.000
4.300.000
3.200.000
Pyelolitotomi
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 36/43
Dari tabel tersebut terlihat bahwa biaya ESWL lebih murah dibandingkan dengan URS
dan PCNL, sehingga ESWL dapat dijadikan pilihan terapi untuk batu saluran kemih atas. Namun
apabila dibutuhkan prosedur lain, seperti pemasangan DJ stent atau lebih dari sekali tindakan
ESWL maka biaya akan meningkat melebihi URS dan PCNL. Biaya tersebut hanya merupakan
biaya tindakan, masih harus diperhitungkan komponen biaya pemeriksaan laboratorium dan
radiologi pra ESWL, biaya rawat inap dan obat-obatan pasca ESWL.
44
Karena penggunaan ESWL bukan berdiri sendiri, akan tetapi merupakan suatu paket
tindakan, maka semua biaya yang berkaitan dengan paket tindakan tersbut harus dihitung yaitu
sebagai berikut:
1. Biaya penggunaan alat ESWL:
a. biaya investasi
b. biaya pemeliharaan
c.
2. Biaya pre-tindakan
3. Biaya post-tindakan dan
4. Biaya pengobatan (kuratif)
Untuk menghitung biaya penggunaan alat ESWL per kasus diperlukan data untuk
masing-masing pilihan alat sebagai berikut:
a. Harga beli
b. Masa pakai (umumnya umur ekonomis alat adalah 5 tahun)
c.
Kalau semua data yang disebutkan diatas tersedia, langkah berikutnya adalah
menghitung biaya satuan per tindakan untuk masing-masing pilihan alat. Hal itu bisa dilakukan
dengan menggunakan tabel berikut ini. Dalam kolom terakhir diperoleh biaya satuan per satu kali
tindakan (Unit Cost). Biaya ini mencakup biaya investasi dan pemeliharaan alat, biaya
operasional, biaya pra dan post tindakan serta biaya kuratif.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 37/43
Tabel 9. Perhitungan biaya satuan per tindakan untuk berbagai jenis mesin ESWL
Pilihan alat
Harga
beli
(l)
Biaya
pe
meliharaan
(M)
Kapasitas
Biaya alat
Per kasus
Biaya
operasional
per kasus
d=(a+b)/c
UC
tindakan
per
kasus
f=d+e
Biaya
pra
tindakan
Biaya
post
tindakan
Biaya
kuratif
l
UC total
j=(f+g+h+i)
1. Dornier HM3
2. Dornier HM3+
3. Piezolith 2000
4. Lithostar Puls
5. Modulith SL 200
6. Dornier Litho S
7. Siemens Multiline
UC total
a
EQ2
b
0,52
0,52
0,40
0,49
0,50
0,70
0,55
EQ relatif
c
1,3
1,3
1
1,225
1,25
1,75
1,375
CE relatif
d=axc
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 38/43
BAB VII
REKOMENDASI
Instansi yang memiliki ESWL harus memiliki infrastruktur yang menunjang persyaratan
proteksi terhadap bahaya radiasi. (Derajat C)
Batu staghorn
Pilihan terapi ESWL kombinasi dengan PNL (Derajat B) atau monoterapi
ESWL (Derajat C)
1.2.
1.3.
1.4.
Pada kasus batu kaliks media atau inferior yang telah terpecah komplit
dengan ESWL primer, tetapi residu fragmen menetap, dapat dilakukan
pengulangan ESWL. (Derajat A)
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 39/43
2. Batu ureter
ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu ureter proksimal ukuran
1 cm,
(Derajat C)
4. Antibiotik profilaksis tidak diperlukan bagi pasien yang memiliki urin steril sebelum ESWL.
(Derajat A)
5. Penggunaan Double J stent sebelum ESWL dapat dilakukan pada pasien dengan beban batu
1,5-3,5 cm untuk menurunkan insidens steinstrasse. (Derajat A)
8. Untuk sebagian besar batu saluran kemih, ESWL merupakan terapi yang paling cost effective
dibandingkan modalitas terapi lain.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 40/43
BAB VIII
KEPUSTAKAAN
1. Lotan Y, Pearle MS. Economics of Stone Management. EAU Update Series 2005;
3(1):51-60
2. Clark JY, Thompson IM, Optenberg SA. Economic Impact of Urolithiasis in the United
States. J Urol 1995;154(6):2020-24
3. Statistik Rumah Sakit di Indonesia. Seri 3, Morbiditas dan Mortalitas. Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik. Departemen Kesehatan RI. 2002
4. Paterson RF, Lifshitz DA, Kuo RL, et al. Shock Wave Lithotripsy Monotherapy for Renal
Calculi. Int Braz J Urol 2002; 28(4):291-301
5. Segura JW, Preminger GM, Assimos DG, et al. Ureteral Stones Clinical Guidelines Panel
Report on the Management of Ureteral Calculi. American Urological Association. 1997
6. Tiselius HG, Ackermann D, Alken P, et al. Guidelines on Urolithiasis. European
Association of Urology.
7. Bariol SV, Moussa SA, Tolley DA. Contemporary Imaging for the Management of Urinary
Stones. EAU Update Series 2005;3(1):3-9
8. Sur RL, Preminger GM. Medical Treatment: Worthwhile and When? EAU Update Series
2005;3(1):10-16
9. Irving SO, Calleja R, Lee F, et al. Is The Conservative Management of Ureteric Calculi of
>4mm safe ? BJU Int 2000;85:637-640
10. Grasso
M,
Giddens
J.
Extracorporeal
Shockwave
Lithotripsy.
Available
at
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 41/43
16. Elves AWS, Tilling K, Menezes P, et al. Early Observation of the Effect of Extracorporeal
Shockwave Lithotripsy on Blood Pressure : A Prospective Randomized Control Clinical
Trial. BJU Int 2000;85:611-615
17. Jermini FR, Danuser H, Mattel A, et al. Noninvasive Anesthesia, Analgesia and Radiation
Free Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy For Stones in The Most Distal Ureter:
Experience with 165 Patients. The Journal of Urology 2002;168:446-449
18. Rassweiler JJ, Tailly GG, Chaussy C. Progress in Lithotriptor Technology. Eur J Urol
Update Series 2005; 3(1):17-36
19. Bierkens AF, Hendrikx AJM, de Kort JW, et al. Efficacy of Second Generation
Lithotriptors: A Multicenter Comparative Study of 2,206 Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy Treatments With The Siemens Lithostar, Dornier HM4, Wolf Piezolith 2300,
Direx Tripter X-1 and Breakstone Lithotriptors. The Journal of Urology 1992;148:1052-57
20. Rassweiler JJ, Renner C, Eisenberger F. The Management of Complex Renal Stones.
BJU Int 2000;86:919-28
21. Meretyk, Shimon, Gofrit, et al. Complete Staghorn Calculi: Random Prospective
Comparison Between Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy Monotherapy and
Combined
With
Percutaneus
Nephrostolithotomy.
The
Journal
of
Urology
1997;157(3):780-86
22. Al-Busaidy SS, Prem AR, Medhat M. Pediatric Staghorn Calculi: The Role of
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy Monotherapy with Special Reference to Ureteral
Stenting. The Journal of Urology 2003;169: 629-33
23. Sumino Y, Mimata H, Tasaki Y, et al. Predictors of Lower Pole Renal Stone Clearance
After Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy. The Journal of Urology 2002;168:1344-47
24. Lingeman JE, Siegel YI, Steele B, et al. Management of Lower Pole Nephrolithiasis: A
Critical Analysis. The Journal of Urology 1994;151:663-667
25. Talic RF, El Faqih SR. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy for Lower Pole
Nephrolithiasis: Efficacy and Variables That Influence Treatment Outcome. Urology
1998;51(4):544-548
26. Keeley FX, Tilling K, Elves K, et al. Preliminary Results of A Randomized Controlled Trial
of Prophylactic Shock Wave Lithotripsy for Small Asymptomatic Renal Calyceal Stones.
BJU Int 2001;87:1-8
27. Lam JS, Greene TD, Gupta M. Treatment of Proximal Ureteral Calculi: Holmium: YAG
Laser Ureterolithotripsy Versus Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy. The Journal of
Urology 2002;167:1972-76
28. Kumar A, Kumar RV, Mishra VK, et al. Should Upper Ureteral Calculi Be Manipulated
Before Extracorporeal Shockwave Lithotripsy? A Prospective Controlled Trial. The
Journal of Urology 1994;152:320-323
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 42/43
Extracorporeal
Shock
Wave
Lithotripsy.
The
Journal
of
Urology
1992;148:1040-42
35. Al-Awadi KA, Halim HA, Kehinde EO dan Al-Tawheed A. Steinstrasse: A Comparison of
Incodence With and Without J Stenting an The Effect of J Stenting on Subsequent
Management. BJU Int 1999; 84: 618-21
36. Pendapat ahli, Rapat pengkajian ESWL 12 Mei 2005.
37. Chan SL, Stothers L, Rowley A, et al. A Prospective Trial Comparing the Efficacy and
Complications of the Modified Dornier Dornier HM3 and MFL 5000 Lithotriptors for
Solitary Renal Calculi. The Journal of Urology 1995;153(6):1794-97
38. Graber SF, Danuser H, Hochreiter W, Studer UE. A Prospective Randomized Trial
Comparing 2 Lithotriptors for Stone Disintegration and Induced Renal Trauma. The
Journal of Urology 2003;169: 54-57
39. Health Technology Case Study. Effects of Federal Policies on Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy. Chapter 5, The Cost and Economics of ESWL. U.S. Congress, Office
of Technology Assessment, May 1986.
40. Daftar Tarif ESWL, Klinik Khusus Urologi RSCM, 2005
41. Daftar Tarif ESWL, RS PGI Cikini, Jakarta, 2005
42. Daftar Tarif ESWL, RS Dr. Soetomo, Surabaya, 2005
43. Daftar Tarif ESWL, RS Hasan Sadikin, Bandung, 2005
44. Gani A. Analisis Ekonomi Pilihan Teknologi Kesehatan. Naskah Lengkap, disampaikan
pada Health Technology Assessment Training Course 2005, 11-12 November 2005.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih_hlm 43/43
PANEL AHLI
DR.Dr. Akmal Taher, Sp.B
FKUI / RSCM, Jakarta
Prof.Dr. Djoko Rahardjo, Sp.U
FKUI / RSCM, Jakarta
Dr. Rainy Umbas, Sp.U
FKUI / RSCM, Jakarta
Prof. DR.Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, KAI
FKUI / RSCM, Jakarta
Prof.DR.Dr. Wiguno Prodjosudjadi, Sp.PD, KGH
FKUI / RSCM, Jakarta
Prof. Dr. Achmad Suryono, Sp.A
Dr. Sidharta Darsoyono, Sp.U
Dr. Ali Usman, Sp.A
TIM TEKNIS
Ketua
: Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)
Anggota : dr. Untung Suseno, MKes
dr. N. Soebijanto, SpPD
dr. Santoso Soeroso, Sp.A
Prof.Dr. Suwandi, Sp.U
dr. Ratna Mardiati, SpKJ
dr. Wuwuh Utami N., MKes
Drg. Rarit Gempari, MARS
dr. Klara Yuliarti
dr. Desy Dewi Saraswati