You are on page 1of 24

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN

STERILISASI EKSPLAN PADA ENDOSPERMA DURIAN


(Durio zibethinus Murr.) DAN INDUKSI KALUS SECARA IN
VITRO

Disusun Oleh :
Nama

: Baiquni Al Fikri

NIM

: 4442121258

Kelompok : 2 ( Dua )
Kelas

: VI B

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangNya pada kita untuk menyelesaikan laporan praktikum Kultur Jaringan. Shalawat
serta salam sealu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarganya
dan sahabatnya.
Mata kuliah Kultur Jaringan merupakan mata kuliah pilihan dalam fakultas
pertanian jurusan Agroekoteknologi, adalah mata kuliah ini mempelajari proses
dan cara dalam memperbanyak tanaman melalui kultur jaringan. Laporan ini
berisi tentang Sterilisasi Eksplan Pada Endosperma Durian (Durio Zibethinus
Murr.) dan Induksi Kalus Secara In Vitro.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih, saran dan kritik terus penulis
harapkan untuk membangun lebih baik ke depannya.
Terima kasih.

Serang, Mei 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL

iii

I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Tujuan............................................................................................................4
II.TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1. Tanaman Durian............................................................................................6
2.1.1. Morfologi Tanaman Duren.....................................................................7
2.1.2. Syarat Tumbuh Tanaman Durian...........................................................7
2.2. Kultur Endosperma........................................................................................8
2.3. Hormon BAP.................................................................................................8
III. BAHAN DAN METODE

13

3.1. Waktu dan Tempat.......................................................................................13


3.2. Alat dan Bahan:...........................................................................................13
3.3. Pelaksanaan.................................................................................................13
3.4. Parameter Pengamatan................................................................................13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14
4.1. Hasil.............................................................................................................14
4.2 Pembahasan..................................................................................................14
V. SIMPULAN DAN SARAN

17

5.1. Simpulan......................................................................................................17
5.2. Saran............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN 20

ii

DAFTAR TABEL

No Judul

Halaman

1. Tabel Hasil Isolasi DNA.........................................................................14

iii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kultur jaringan adalah teknik pengisolasian bagian tanaman seperti organ
jaringan sel dan produksi yang selanjutnya ditumbuhkan dalam media buatan
secara aseptik sehingga bagian tersebut beregenerasi menjadi tanaman lengkap.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel seperti yang
ditemukan oleh scheiden dan schwann, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan
autonom,

bahkan

mempunyai

kemampuan

totipotensi. Totipotesi

adalah

kemampuan setiap sel, dari mana saja sel tersebut diambil, apabila diletakan
dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang
sempurna (Hendaryono & Wijayani 2012).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan kultur jaringan
yaitu bahan sterilisasinya, kandungan unsur kimia dalam media, hormon yang
digunakan, substansi organik yang ditambahkan dan terang atau gelapnya saat
inkubasi. Dari sekian banyak permasalahan, yang harus diteliti dan diperhatikan
adalah sterilisasi eksplan yang ingin dikulturkan, karena sangat besar pengaruhnya
terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya
(Daisy 1994).
Menurut George, E.F. and P.D. Sherrington (1984), sterilisasi adalah proses
untuk mematikan atau menonaktifkan spora dan mikroorganisme sampai ke
tingkat yang tidak memungkinkan lagi berkembang biak atau menjadi sumber
kontaminan selama proses perkembangan berlangsung. Menurut Hendaryono dan
Wijayani (2012) sterilisasi eksplan dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu
secara mekanik dan secara kimia. Sterilisasi eksplan secara mekanik digunakan
untuk eksplan yang keras (misalnya tebu, biji salak, dan sebagainya) atau
berdaging (misalnya wortel, umbi, dan sebagainya), yaitu dengan membakar
eksplan tersebut di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Sedangkan sterilisasi
eksplan secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan muda) seperti

daun, tangkai daun, anther, dan sebagainya. Bahan-bahan kimia yang sering
digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan antara lain:
1. Sodium hipoklorit
Nama dagangnya adalah chlorox dan bayclin. Konsentrasi untuk sterilisasi
tergantung dari kelunakan eksplan, dapat 5%-20% dan waktunya antara 5-10
menit.
2. Mercuri klorit
Nama dagangnya adalah sublimat 0.05%. Penggunaan bahan kimia ini harus
hati-hati karena bersifat racun. Cara perlakuan sterilisasinya sama dengan
chlorox, hanya waktunya lebih pendek karena sublimat bersifat keras.
3. Alkohol 70%
Alkohol lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk alkohol 95%. Jamur
biasanya mati dengan alkohol 70%, sedangkan dengan alkohol 95% masih tetap
hidup.
Dari ketiga bahan kimia tersebut, perlakuan sterilisasinya biasanya
dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Untuk perlakuan sterilisasi di luar
laminar air flow cabinet biasanya menggunakan fungisida dan bakterisida.
Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa
digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan/jamur. Fungisida
yang digunakan untuk sterilisasi merupakan fungisida sistemik. Fungisida
sistemik adalah senyawa kimia yang bila diaplikasikan pada tanaman akan
bertranslokasi ke bagian lain. Merek dagang fungisida sistemik yang bisa
digunakan antara lain benlet, previcur N, derosal 500 EC. Bakterisida adalah
bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk
memberantas dan mencegah bakteri. Merek dagang bakterisida sistemik yang bisa
digunakan antara lain streptomycine (Hendaryono dan Wijayani 2012). Deterjen
(rinso) digunakan untuk mencuci eksplan sekaligus menghilangkan mikrobamikroba yang menempel pada permukaan eksplan. Pencucian biasanya
menggunakan deterjen secukupnya selama 3-7 menit. Pencucian yang terlalu lama

atau buih deterjen yang terlalu kental dapat merusak jaringan (Hendaryono dan
Wijayani 2012).
Menurut Suryowinoto (1996), prinsip dasar sterilisasi eksplan adalah
mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme, tetapi eksplannya tidak ikut
mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus sehingga sebelum
mengulturkan tanaman baru perlu melakukan percobaan sterilisasi. Sebagai
patokan, konsentrasi bahan dan waktu yang diperlukan untuk sterilisasi eksplan
sebagai berikut :
1. Sterilisasi Ringan
Eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 20% selama 10 menit, lalu
bilas dengan air steril. Setelah itu, eksplan direndam dalam cairan pemutih
pakaian 15% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan
direndam dalam cairan pemutih pakaian 10% selama 10 menit, lalu bilas dengan
air steril tiga kali.
2. Sterilisasi Sedang
Eksplan direndam dalam HgCl2 0.1-0.5 mg/l selama 7 menit, lalu bilas
dengan air steril. Setelah itu, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian
15% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam
dalam cairan pemutih pakaian 10% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril
tiga kali.
3. Sterilisasi Keras
Eksplan kuljar direndam dalam HgCl2 0,1-0,5 mg/l selama 10 menit, lalu
bilas dengan air steril. Setelah itu, eksplan direndam dalam alkohol 90% selama
15 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam dalam cairan
pemutih pakaian 20% selama 10 menit, lalu dibilas dengan air steril tiga kali.
Dewasa ini buah durian semakin digemari oleh masyarakat, terutama di kotakota besar di Indonesia. Harga buah durian semakin meningkat karena peminatnya
yang semakin bertambah (AAK, 1997; Trubus, 1999). Selain dimakan salut
bijinya, pohon durian digunakan untuk konservasi lingkungan karena mengurangi

erosi; kulit buahnya digunakan sebagai campuran media tanam; bagian akar, daun,
dan kulit buahnya dapat digunakan pula sebagai obat (Tjitrosoepomo, 1952;
Heyne, 1987; Rismunandar, 1986; Suhardi, 2002).
Di Indonesia terdapat banyak kultivar dan klon durian, terutama durian jenis
Durio zibethinus Murr. atau yang biasa disebut durian budidaya. Reza (2002)
melaporkan sebanyak 28 kultivar durian unggul yang ada di Indonesia.
Banyaknya kultivar durian tadi menyebabkan kesulitan untuk membedakannya,
disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai ciri kultivar durian.
Dari banyaknya kultivar durian yang ada di pasar Indonesia serta banyaknya
permintaan akan buah durian yang semakin marak di karenakan masyarakat sudah
tidak memandang buah durian sebagai si buah dengan aroma busuk. Untuk
mendapatkan

buah

yang

bagus

dari

bibit

induk

yang

bagus

untuk

perkembangbiakan secara konvensional sangatlah susah. Maka dari pada itu


perbanyakan melalui endospema adalah jalan yang di pilih guna untuk
mendapatkan hasil yang maksimal serta di harapkan menjadi durian yang berbuah
tanpa biji yang bisa semakin membuat nilai tambah pada durian tersebut.
Endosperma adalah jaringan triploid yang terdapat pada biji, hasil dari
penyatuan dua inti polar gamet betina dengan satu inti gamet jantan, yang berbeda
dengan embrio dalam jumlah kromosomnya. Endosperma merupakan massa sel
parenchym yang relative homogen, tanpa adanya elemen jaringan pembuluh, selselnya bervariasi dalam ukuran, pembelahan, pemisahan kromosom, dan
poliploidinya. Endosperma terdapat pada individu yang mencakup lebih dari 81%
pada tumbuhan berbunga (Johri dan Bhojwani, 1977; Johri et al., 1980; Thomas
dan Chaturvedi, 2008). Fungsi endosperma adalah memelihara embrio selama
pertumbuhan pada fase heterofit dan memberikan sumber energi selama
perkecambahan dan pertumbuhan embrio (Johri dan Bhojwani, 1977). Jaringan
endosperma ada yang habis dikonsumsi seluruhnya oleh embrio ketika biji
menjadi tua, biji tumbuhan tersebut disebut non endosperma, tetapi bila
endospermanya tetap ada ketika biji menjadi tua sebagai makanan cadangan
dalam bentuk tepung, lemak atau protein, disebut biji yang endosperma (Johri dan
Bhojwani, 1977; Johri et al., 1980). Kultur endosperma secara in vitro akan
4

mendapatkan tanaman triploid karena endosperma adalah jaringan triploid. Pada


tumbuhan yang bijinya non endosperma, pengambilan eksplan endospermanya
ketika biji belum tua.
Kultur endosperma merupakan suatu teknik alternatif untuk menghasilkan
tanaman triploid secara langsung, hanya melalui satu pentahapan (Lakshmi,
1987). Tanaman triploid hasil kultur endosperma kemungkinan lebih unggul
dibandingkan dengan hasil persilangan, disebabkan tidak tereduksinya inti polar
(2n) waktu fusi pada pusat sel megagametofit (Knight dan Alston, 1969).
Keberhasilan kultur endosperma secara in vitro dipengaruhi oleh banyak faktor, di
antaranya umur endosperma penyertaan zigot embrio, pencoklatan (browning),
dan umur kultur.
1.2. Tujuan
Mahasiswa mengetahui proses sterilisasi eksplan pada endosperma Durian
Durio Zibethinus Murr.) dan Induksi Kalus Secara In Vitro.

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Durian


Buah durian yang berasal dari pohon durian (Durio zibethinus L.) banyak
tumbuh di hutan maupun di kebun milik penduduk. Ciri buahnya, bentuknya besar
bulat/oval dengan aroma rasa, baunya khas dan menjadi buah primadona yang
banyak disukai masyarakat Indonesia umumnya. Buahnya besar dan berduri
dengan kulit buah yang keras dan tebal hampir seperempat bagian dari buahnya
merupakan bagian yang dibuang begitu saja sampai akhirnya menjadi busuk.
Apabila dilihat dari karakteristik bentuk dan sifat-sifat kulitnya, sebenarnya
banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari kulit buahnya misalnya untuk bahan
campuran papan partikel, papan semen, arang briket, arang aktif, filler, campuran
untuk bahan baku obat nyamuk dan lain-lain (Soedarya, 2009).
Buah durian merupakan tanaman daerah tropis, karenanya dapat tumbuh
baik di Indonesia. Panjang buah durian yang matang bisa mencapai 30-45 cm
dengan lebar 20-25 cm, dan berat antara 1,5-2,5 kg. Setiap buah berisi 5 juring
yang di dalamnya terletak 1-5 biji yang diselimuti daging buah yang berwarna
putih, krem, kuning, atau kuning tua. Tiap varietas durian menentukan besar
kecilnya ukuran buah, rasa, tekstur, dan ketebalan daging (Nazaruddin, 1994).
Durian banyak disebutkan sebagai pohon hutan dan biasanya berukuran sedang
hingga besar yang tingginya mencapai 50 m dan umurnya dapat mencapai
puluhan hingga ratusan tahun. Bentuk pohonnya (tajuk) mirip segitiga dengan
kulit batangnya berwarna merah coklat gelap, kasar, dan kadang terkelupas. Buah
durian memiliki alat kelamin jantan dan betina dalam 1 bunga sehingga tergolong
bunga sempurna. Aroma dari buahnya cukup menyengat. Buahnya berduri dan
bila dibelah di dalam buahnya terdapat ruang-ruang yang biasanya berjumlah
lima. Setiap ruangan berisi biji (pongge) yang dilapisi daging buah yang lembut,
manis, dan berbau merangsang. Jumlah daging buahnya pun beragam tetapi
ratarata 2-5 buah. Warna buahnya bervariasi dari putih, krem, kuning sampai
kemerahan (Widyastuti dkk., 1993). Lalu, berikut klasifikasi dari durian.

Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Malvales

Familia

: Bombacaceae

Genus

: Durio

Spesies

: Durio zibethinus L.

2.1.1. Morfologi Tanaman Duren


Tumbuhan berbentuk pohon, tinggi 27 - 40 m. Akar tunggang. Batang
berkayu, silindris, tegak, kulit pecah - pecah, permukaan kasar, percabangan
simpodial, bercabang banyak, arah mendatar. Daun tunggal, bertangkai pendek,
tersusun berseling, permukaan atas berwarna hijau tua - bawah cokelat
kekuningan, bentuk jorong hingga lanset, panjang 6,5 - 25 cm, lebar 3 - 5 cm,
ujung runcing, pangkal membulat, permukaan atas mengkilat, permukaan bawah
buram, tidak pernah meluruh, bagian bawah berlapis bulu halus berwarna cokelat
kemerahan. Bunga muncul di batang atau cabang yang sudah besar, bertangkai,
kelopak berbentuk lonceng berwarna putih hingga cokelat keemasan. Buah bulat
atau lonjong, kulit dipenuhi duri-duri tajam, warna coklat keemasan atau kuning,
bentuk biji lonjong, berwarna cokelat, berbuah setelah berumur 5 - 12 tahun.
Perbanyakan Generatif (biji) (Soedarya, 2009). Nama daerah durian yaitu
deureuyan (Aceh), duren (Gayo), drotong (Batak), kadu (Sunda), duren (Jawa),
dhurin (Madura), dahuyan (Dayak), duren (Bali), aduria (Bima), duria
(Gorontalo), durian (Sangir), duriang (Makasar),duliango (Buol), duriang (Bugis),
duria (Ternate), duria (Tidore), dulen (Seram) (Anonim, 2010).

2.1.2. Syarat Tumbuh Tanaman Durian


Durian sangat baik ditanam di daerah yang berketinggian antara 400-600
mdpl. Meskipun demikian, patokan ini tidak terlalu ketat. Di dataran rendah dan
daerah yang berketinggian 1.000 mdpl durian masih bisa berbuah dengan baik
walaupun buahnya tidak selebat tanaman pada ketinggian yang tepat. Tanah yang
paling cocok untuk penanaman durian yaitu tanah yang subur, gembur dan tidak
bercadas. Kedalaman air tanah yang dinginkan durian antara 1-2 m. Derajat
kemasaman tanah sebaiknya berada pada kisaran 6-7. Tanaman durian lebih
menyukai daerah yang lembap dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah
hujan rata-ratanya minimum 100 mm/bulan dengan bulan basah minimum
sembilan bulan. Musim kemarau yang melebihi tiga bulan dapat berakibat jelek
terhadap pertumbuhan bunga atau buahnya. Bahkan, dalam keadaan parah bunga
atau buahnya bisa berguguran (Setiawan, 2000).
2.2. Kultur Endosperma
Endosperma adalah jaringan triploid yang terdapat pada biji, hasil dari
penyatuan dua inti polar gamet betina dengan satu inti gamet jantan, yang berbeda
dengan embrio dalam jumlah kromosomnya. Endosperma merupakan massa sel
parenchym yang relative homogen, tanpa adanya elemen jaringan pembuluh, selselnya bervariasi dalam ukuran, pembelahan, pemisahan kromosom, dan
poliploidinya. Endosperma terdapat pada individu yang mencakup lebih dari 81%
pada tumbuhan berbunga (Johri dan Bhojwani, 1977; Johri et al., 1980; Thomas
dan Chaturvedi, 2008).

Fungsi endosperma adalah memelihara embrio selama pertumbuhan pada


fase heterofit dan memberikan sumber energi selama perkecambahan dan
pertumbuhan embrio (Johri dan Bhojwani, 1977). Jaringan endosperma ada yang
habis dikonsumsi seluruhnya oleh embrio ketika biji menjadi tua, biji tumbuhan
tersebut disebut non endosperma, tetapi bila endospermanya tetap ada ketika biji
menjadi tua sebagai makanan cadangan dalam bentuk tepung, lemak atau protein,
disebut biji yang endosperma (Johri dan Bhojwani, 1977; Johri et al., 1980).
Kultur endosperma secara in vitro akan mendapatkan tanaman triploid karena
endosperma adalah jaringan triploid. Pada tumbuhan yang bijinya non
endosperma, pengambilan eksplan endospermanya ketika biji belum tua. Tanaman
triploid (2n = 3x) adalah tanaman yang jumlah kromosomnya kelipatan tiga dari
kromosom dasarnya (3n), buahnya kebanyakan tidak berbiji atau berbiji tapi steril.
Tanaman triploid tidak diinginkan bila bertujuan untuk menghasilkan benih yang
komersial, tetapi sangat berharga karena memberikan nilai tambah ekonomi yang
tinggi dalam memperbaiki kualitas dan kuantitas buah, yaitu buahnya tidak
berbiji, lebih besar dan hasilnya lebih produktif, seperti pada buah pisang, apel,
jeruk, anggur, papaya (Sanford, 1983; Thomas dan Chaturvedi, 2008).
Tanaman triploid memberikan keuntungan lain, yaitu pertumbuhan
tanamannya lebih cepat dan bunganya lebih besar, seperti pada Petunia axillaris
(Gupta, 1982), atau dapat dipanen lebih awal dan mendapatkan biomasa kayu
yang lebih besar, seperti pada Populus tremuloides untuk bahan baku kertas (Johri
et al., 1980; Thomas dan Chaturvedi, 2008). Di Indonesia, petai cina (Leucaena
glauca) triploid menghasilkan biomasa daun yang lebih besar untuk pakan ternak
(Komunikasi pribadi dengan Dr. Brewbaker, Profesor Pemulia Tanaman
University of Hawaii), bawang merah triploid untuk mendapatkan umbi yang
lebih besar (Sulistyaningsih, 1999), sedang diteliti semangka triploid (Ir. Sunyoto,
Litbang Pertanian), manga Arumanis dan Gedong Gincu triploid (Dr. Wiendi,
IPB), cendana triploid (Dr. Sukamto, Puslit Biologi-LIPI).
Kultur endosperma merupakan suatu teknik alternatif untuk menghasilkan
tanaman triploid secara langsung, hanya melalui satu pentahapan (Lakshmi,
1987). Tanaman triploid hasil kultur endosperma kemungkinan lebih unggul

dibandingkan dengan hasil persilangan, disebabkan tidak tereduksinya inti polar


(2n) waktu fusi pada pusat sel megagametofit (Knight dan Alston, 1969).
Keberhasilan kultur endosperma secara in vitro dipengaruhi oleh banyak faktor, di
antaranya umur endosperma penyertaan zigot embrio, pencoklatan (browning),
dan umur kultur.
Umur endosperma saat dikultur umumnya merupakan fase kritis terhadap
respon pertumbuhannya secara in vitro (Nag dan Johri, 1971; Tao et al., 2009).
Eksplan endosperma yang umurnya terlalu muda atau telah melewati kisaran fase
meristematisnya, umumnya tidak respon bila dikultur. Endosperma muda pada
fase sel-selnya masih meristematis, umumnya akan respon positif bila dikultur,
seperti pada kelapa (Kumar et al., 1985; Ceniza et al., 1992; Sukamto, 1996),
jeruk besar dan apel (Wang dan Chang, 1978; Mu dan Liu, 1978), Morus alba
(Thomas et al., 2000), Azadirachta indica (Chaturvedi et al., 2003), endosperma
jagung respon pada umur 8-12 hari setelah penyerbukan (HSP) (Sternheimer
1954; Straus dan LaRue, 1954; Tamaski dan Ullstrup, 1958). Endosperma
blackberry 28 HSP (Cantoni et al., 2009), endosperma Citrus grandis cv White
Siamese 84-98 HSP (Gmitter et al., 1990), cv Tosa-Buntan 85-95 HSP (Yang et
al., 2000), endosperma Citrus sinensis cv Hongjiang respon pada 98-119 HSP
(Chen et al., 1990), cv Ridge Pineapple 84-98 HSP (Gmitter et al.,
1990),endosperma rye grass 9-10 HSP (Norstog, 1956), padi 4-7 HSP (Nakano et
al., 1975), tetapi endosperma padi yang tua juga respon (Bajaj et al., 1980).
Endosperma ketimun 7-10 HSP (Nakajima, 1962), endosperma tomat 21 HSP
(Kagan-Zur et al., 1990), endosperma walnut respon pada 56 HSP (Tulecke et al.,
1988).
2.3. Hormon BAP
Penemuan sitokinin telah diketahui sebagai suatu zat yang larut dari bagian
tanaman, mengandung bahan yang penting untuk merangsang pembelahan sel
dalam kultur sel yang diisolasi dari bagian tanaman. F. Skoog menemukan zat
yang memberikan efek demikian dari DNA hewan yang kemudian diketahui
sebagai 6-furpuril-aminopurin yang selanjutnya disebut kinetin. Senyawa sintetik
yang lain seperti 6-benzilaaminopurin diketahui memberikan efek sama dengan

10

kinetin dan diberi nama kinin. Hormon dan senyawa-senyawa yang memberikan
pengaruh terhadap pembelahan sel, sekarang disebut sitokinin (Anonim1, 2013).
Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar,
embrio dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh
xilem menuju sel-sel target pada batang (Intan, 2008). Zat pengatur tumbuh yang
termasuk golongan sitokinin yaitu kineatin, zeatin, ribosil dan bensil aminopurin
(BAP), 2-iP, Thidiazuron (Hendaryono dan Wijayani, 1994 dalam Shiddiqi, et al.,
2013). Beberapa macam sitokinin merupakan sitokinin alami (misal : kinetin,
zeatin) dan beberapa lainnya sitokinin sintetik yaitu BAP (6-benzilaminopurin)
dan 2-iP (Intan, 2008). Sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan
adalah BAP dan Kinetin (George dan Sherrington, 1984 dalam Nurjanah, 2009).
BAP adalah sitokinin yang sering digunakan karena paling efektif untuk
merangsang pembentukan tunas, lebih stabil dan tahan terhadap oksidasi serta
paling murah diantara sitokinin lainnya (Bhojwani dan Razdan, 1983 dalam
Nurjanah, 2009).
Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel
yang dikenal dengan proses sitokinesis. Menurut Wattimena (1988), sitokinin
mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong
pembelahan sel. Selain itu menurut Armini (1991), sitokinin juga berpengaruh
dalam ploriferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi
mikro pada kentang. Sitokinin yang biasa digunakan adalah kinetin, zeatin, 2iP
(N6-2-Isopentanyl Adenin) , BAP (6-Benzyl Amino Purin), PBA, 2C 1-4 PU, 2.6C1-4 dan TDZ (thidiazuron) (Gunawan, 1987). 6-Benzyl amino purine (BAP)
merupakan sitokinin sintesis yang memiliki berat molekul sebesar 225.26 dengan
rumus molekul C12H11N5. Wattimena (1988) menambahkan bahwa BAP
merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada posisi 6 adalah yang memiliki
aktivitas kimia paling aktif.
Aktivitas sitokinin tergantung juga dari aktivitas fitohormon yang lainnya,
terutama auksin baik dalam efek menghambat maupun efek yang mendorong
pembelahan sel (Wattimena, 1988). Sitokinin dan auksin memiliki peran yang
sangat penting dalam hal menginduksi tunas adventif. Nisbah keduanya akan

11

menentukan apakah suatu kalus akan membentuk tunas adventif, akar, atau tunas
adventif dan akar (Armini et al., 1991).\
Ahli

biologi

meningkatkan

tumbuhan

pembelahan,

menemukan

pertumbuhan

dan

bahwa

sitokinin

perkembangan

dapat

kultur

sel

tanaman. Menurut Intan (2008); dan Mahadi (2011), sitokinin mempunyai


beberapa fungsi, antara lain :
a) Memacu pembelahan sel dalam jaringan meristematik.
b) Merangsang diferensiasi sel-sel yang dihasilkan dalam meristem.
c) Mendorong pertumbuhan tunas samping, dominasi apikal dan perluasan
daun.
d) Menunda penuaan daun.
e) Merangsang pembentukan pucuk dan mampu memecah masa istirahat biji
(breaking dormancy) serta merangsang pertumbuhan embrio.
f) Pada beberapa spesies tumbuhan, peningkatan pembukaan stomata.
g) Etioplas diubah menjadi kloroplas melalui stimulasi sintesis klorofil.
h) Sintesis pembentukan protein akan meningkat dengan pemberian sitokinin.

12

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Kultur Jaringan kali ini dengan judul Sterilisasi Eksplan Pada
Endosperma Durian (Durio zibethinus) Dan Induksi Kalus Secara In Vitro, waktu
yang digunakan pada hari Kamis, 9 April 2015 dimulai pada pukul 13.00 WIB s/d
selesai yang bertempat di Laboratorium Bioteknologi lantai 1 Fakultas Pertanian
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten.
3.2. Alat dan Bahan:
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu botol kultur,
laminar air flow, lampu bunsen, pinset, alumunium foil, sill, pisau sedangkan
bahan-bahan yang digunakan yaitu aquades, biji durian var. abu atau lebu, alkohol
96%, Larutan fungisida, media MS 2 4 D 1ppm, 2ppm dan 3ppm, PVP, tween.3.3.
3.3. Pelaksanaan
1. Tanaman atau biji durian yang disterilkan
2. Cuci dengan air mengalir (hilangkan bulu-bulu eksplan)
3. Rendam 30 menit didalam tween
4. Rendam dengan larutan bakterisida 2 gr/ 100 ml selama 1 jam bilas dengan
aquades sampai tidak berbusa
5. Rendam dengan larutan fungisida selama 1 jam
6. Bilas dengan aquades
3.4. Parameter Pengamatan
1. Waktu muncul kalus (MST)
2. Warna kalus
3. Struktur kalus
4. Presentasi Kontaminasi (%)
Pengamatan dilakukan selama 2 minggu ( 1 MST dan 2 MST)

13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 1 Hasil Pengamatan Sterilisasi Eksplan
Waktu muncul kalus

1 MST
-

2 MST

Warna kalus

Putih kekuningan

Struktur kalus

kompak

Persentase kontaminasi

0%

66 %

Gambar

4.2

Pembahasan
Dalam praktikum sterilisasi eksplan dan induksi kalus dari endosperma

durian akan melihat seberapa besar daya tumbuh dari endosperma untuk menjadi
kalus yang dibantu dengan penambahan ZPT berupa 0,5 ppm BAP. Beberapa
induksi kalus yang menjadi eksplan banyak yang mengalami kontaminasi pada
minggu awal pengamatan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sebagian besar
tanaman yang ditanam baik keladi maupun jarak pagar tidak berhasil karena
terdapat kontaminasi dan juga beberapa terjadi browning. Kontaminasi cendawan
memperlihatkan bahwa dalam pengerjaan penanaman tanaman, teknik aseptik
kurang baik sehingga terjadi kontaminasi oleh bakteri maupun cendawan.
Sedangkan efek browning merupakan suatu karakter munculnya warna coklat atau
hitam

yang

sering

membuat

tidak

terjadinya

pertumbuhan

dan

perkembangan eksplan. Peristiwa browning sesunggguhnya merupakan peristiwa


alamiah yang biasa yang sering terjadi. Browning umumnya merupakan suatu

14

tanda-tanda kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada


kematian eksplan. Browning dapat terjadi karena rangsangan kimia, prinsipnya
yaitu pada lingkunagan eksplan tersedia bahan-bahan kimia yang mendorong
pembentukan senyawa phenol (Hendaryono dan Wijayani 1994), atau disebabkan
karena sel tumbuhan yang mati akibat pemanasan yang berlebih. Beberapa yang
bertahan atau bahkan telah terkontaminasi dapat tumbuh menjadi kalus, hal ini
menunjukkan bahwa daya tumbuh endosperma durian ini memiliki kemapuan
tumbuh yang baik. Kontaminasi diakibatkan oleh cara kerja praktikan yang tidak
sesuai dengan prosedur dalam mengerjakannya.
Seharusnya praktikan harus benar-benar memahami skema praktikum ini
agar tidak terjadi kontaminasi. Tata cara yang benar eksplan kultur jaringan
(kuljar) harus dicuci dulu dengan detergen dan dibuang bagian yang tidak perlu.
Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu bahan seperti alcohol,
bahan pemutih pakaian dan HgCl2. Lamanya proses sterilisasi dan konsentrasi
bahan tergantung jenis dan bagian tanaman yang digunakan. Prinsip dasar
sterilisasi eksplan adalah mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme,
tetapi eksplannya tidak ikut mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus
sehingga sebelum mengulturkan tanaman baru perlu melakukan percobaan
sterilisasi.
Untuk dapat melakukan percobaan sterilisasi kultur jaringan dengan baik,
kita bisa membuat kisaran konsentrasi dan waktu yang diperlukan untuk sterilisasi
dengan rentang yang cukup lebar. Jika dengan konsentrasi tertentu tidak
terkontaminasi tetapi eksplannya mati, berarti konsentrasinya harus diturunkan.
Begitu juga sebaliknya, jika masih banyak kontaminannya, konsentrasi bahan
harus dinaikkan supaya tidak terkontaminasi lagi. Sama juga halnya dengan waktu
yang diperlukan untuk sterilisasi. Jika masih banyak kontaminasi, berarti proses
sterilisasi harus lebih lama. Jika kita telah berhasil mendapatkan satu kultur
jaringan saja yang bebas kontaminan, maka kita dapat memperbanyaknya dalam
jumlah banyak.

15

Untuk meningkatkan efisiensi pensterilisasian pada kultur jaringan dapat


menggunakan Tween 20 dengan cara meneteskan 1-2 tetes ke dalam larutan
sterilisasi. Tujuannya supaya tegangan permukaan bahan disinfektan menjadi
lebih rendah sehingga bahan disinfektan dapat menyentuh lekukan-lekukan kecil
atau rongga-rongga kecil sehingga eksplan benar-benar steril.
Kultur endosperma secara in vitro akan mendapatkan tanaman triploid
karena endosperma adalah jaringan triploid. Pada tumbuhan yang bijinya non
endosperma, pengambilan eksplan endospermanya ketika biji belum tua.
Tanaman triploid (2n = 3x) adalah tanaman yang jumlah kromosomnya kelipatan
tiga dari kromosom dasarnya (3n), buahnya kebanyakan tidak berbiji atau
berbiji tapi steril.
Untuk Keberhasilan kultur endosperma secara in vitro dipengaruhi oleh
banyak faktor, di antaranya umur endosperma penyertaan zigot embrio,
pencoklatan (browning), dan umur kultur. Umur endosperma saat dikultur
umumnya merupakan fase kritis terhadap respon pertumbuhannya secara in vitro
(Nag dan Johri, 1971; Tao et al., 2009). Eksplan endosperma yang umurnya
terlalu muda atau telah melewati kisaran fase meristematisnya, umumnya tidak
respon bila dikultur.
Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan
zat pengatur tumbuh antara lain jenis yang akan digunakan, konsentrasi, urutan
penggunaan dan periode masa induksi kultur (Gunawan 1995). Menurut George
dan Sherrington (1984), bahwa untuk induksi kalus tanaman dikotil diperlukan
auksin dengan konsentrasi tinggi dan sitokinin pada konsentrasi rendah sedangkan
pada tanaman monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang
tinggi tanpa sitokinin.Hormon BAP penting dalam media kultur endosperma,
yaitu untuk memproduksi tunas pada endosperma30-40 M BAP dan 2,5 M NAA
( Lakshmi et al., 1980 )

16

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1. Simpulan
Sterilisasi dilakukan untuk membunuh bakteri dan cendawan yang melekat
pada eksplan maupun pada alat serta bahan yang digunakan dalam penanaman
eksplan. sebagian besar tanaman yang ditanam baik keladi maupun jarak pagar
tidak berhasil karena terdapat kontaminasi (bakteri atau cendawan) dan juga
beberapa terjadi browning.
Untuk Keberhasilan kultur endosperma secara in vitro dipengaruhi oleh
banyak faktor, di antaranya umur endosperma penyertaan zigot embrio,
pencoklatan (browning), dan umur kultur. Umur endosperma saat dikultur
umumnya merupakan fase kritis terhadap respon pertumbuhannya secara in vitro
(Nag dan Johri, 1971; Tao et al., 2009). Eksplan endosperma yang umurnya
terlalu muda atau telah melewati kisaran fase meristematisnya, umumnya tidak
respon bila dikultur.
Hormon BAP penting dalam media kultur endosperma, yaitu untuk
memproduksi tunas pada endosperma30-40 M BAP dan 2,5 M NAA ( Lakshmi
et al., 1980 )
5.2. Saran
Keilmuan yang baik serta pengalaman dalam labaoratorium membuat
praktikum kultur jaringan yang di lakukan akan lebih baik hasilnya dan minimal
dari kontaminasi

DAFTAR PUSTAKA

17

Armini, N. M., G. A. Wattimena dan L. W. Gunawan. 1991. Perbanyakan


tanaman. Hal 17-149. Dalam: Tim Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman (Eds.). Bioteknologi Tanaman 1. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Daisy. 1994. Budidaya Jaringan Bawang Putih (Allium sativum L.) . Penerbit
Kanisius: Yogyakarta
George, E.F. and P.D. Sherrington 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Hand Book and Directory of Comercial Laboratories. Eastern Press,
Reading, Berks.England. p. 9-449
Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 252 hal.
Hendaryono dan Ari wijayani. 2012. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta
Johri, B.M., P.S. Srivastava, and A.P. Raste. 1980.Endosperm culture. p. 157182. In I.K. Vasil (ed.) Int. Rev. Cytology, Suppl. 11B, Perspectives
in Plant Cell and Tissue Culture.
Johri, B.M. and S.S. Bhojwani. 1977. Triploid plants through endosperm culture.
p. 398-411. In J. Reinert and Y.P.S. Bajaj (eds.) Applied and
Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue, and Organ Culture.
Springer-Verlag, Berlin.
Lakshmi S.G., N.V. Raghva Ram, and C.S. Vaidyanathan. 1980. Triploid plants
from

endosperm

culture

of

sandalwood

by

experimental

embryogenesis. Plant Sci. Lett. 20:63-69.

Suryowinoto. 1996. Budidaya Jaringan dan Manfaatnya. Fakultas Biologi.


Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

18

19

LAMPIRAN

Biji durian diambil endospermnya dengan


menggunakan scalpel dan pinset

Penutup media kultur dibuka, kemudian


ujung botol kultur dibakar agar steril

Eksplan ditanam, ujung botol kultur dibakar


lagi

ditutup dengan menggunakan alumunium foil


dan rekatkan dengan menggunakan sil

Botol kultur yang berisi eksplan berumur 1


MST

20

You might also like