Professional Documents
Culture Documents
Pengantar
Kebijakan
Hampir
http://www.huma.or.id
karena lazimnya prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur
dalam tata tertib DPRD - yang penyusunannya mengacu pada PP No. 21 Tahun
2001 -- maka usulan rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP
No. 1 Tahun 2001. Sedangkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan
sebagai pedoman penyusunan rancangan Perda atas usulan pemda.
Tata tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan rancangan peraturan
daerah (Raperda) ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada PP No. 1 Tahun
2001, kenyataannya tatib yang disusun oleh DPRD yang dituangkan dalam
keputusan DPRD malah menyerupai PP No. 1 Tahun 2001. Itu sebabnya dari segi
isi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar tatib di seluruh
kabupaten/kota, kecuali untuk hal yang sifatnya penyesuaian. Misalnya
persyaratan jumlah minimal anggota untuk bisa mengajukan usulan. Sebagai
contoh, tatib DPRD Kota Balikpapan hanya mensyaratkan sekurang-kurangnya
empat orang yang terdiri dari lebih satu fraksi, sementara Kabupaten Sanggau dan
Kabupaten Kertanegara menpersyaratkan minimal lima orang yang berasal dari
lebih satu fraksi. Padahal dilihat dari isinya, dalam PP No. 1 Tahun 2001 boleh
dikatakan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan sangat
sempit. Ironisnya, tatip DPRD justru menutup diri sama sekali dan tidak
mengagendakan konsultasi publik dan cenderung elitis.
Lain halnya dengan Raperda usulan DPRD, prosedur penyusunan Raperda
usulan pemda saat ini diatur melalui Kepmendagri No. 23 Tahun 2001. Pada
bagian mengingatnya kepmendagri ini mencantumkan Keppres No. 188 Tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, namun demikian
kepmendagri ini tidak dapat dikatakan sebagai aturan pelaksanaan dari keppres
tersebut. Hal ini tidak lain dikarenakan Keppres No. 188 Tahun 1998 hanya
diperuntukkan untuk penyusunan UU, tidak untuk Perda atau peraturan yang
lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencantuman Keppres No. 188
Tahun 1998 merupakan suatu kekeliruan meskipun dari segi materi kepmendagri
ini merupakan dari Keppres tersebut. Dilihat dari segi isinya, kepmendagri No. 23
Tahun 2001 pun belum memberikan peluang yang banyak kepada publik untuk
berpartisipasi dalam penyusunan Raperda. Apabila dibuat ke dalam bentuk
diagram, urutan pembuatan kebijakan daerah berdasarkan kedua peraturan
tersebut dapat terlihat seperti di bawah ini:
http://www.huma.or.id
4. Tanggapan Anggota
DPRD lainnya,
Kepala Daerah
terhadap usulan
7. Tanggapan dari
pengusul
5. Dalam Rapat
Paripurna pengusul
menjelaskan atas
usulan
3. Sekretariat DPRD
memberi nomor pokok
terhadap usulan
5. Penyusunan dan
pembahasan Raperda oleh
bagian hukum atau Tim
antar unit kerja
6. Penyampaian hasil
pembahasan kepada kepada
Sekretaris Daerah melalui
Bagian Hukum yang
selanjutnya diajukan kepada
Kepala Daerah untuk disetujui
http://www.huma.or.id
7. Sekretaris Daerah
menyampaikan Raperda
kepada DPRD
Sesuai
Corak
http://www.huma.or.id
menjadi wewenang pemda dan DPRD semata. Selain itu, birokrasi lama yang
penuh liku masih tetap bertahan karena memang kenyataannya SDM yang ada
merupakan pemain lama yang terbiasa dengan pola lama. Akibatnya, acap kali
peraturan pusat yang sifatnya pedoman oleh aparat daerah diterjemahkan sebagai
instruksi sehingga tidak perlu aneh jika produk hukum yang dihasilkan cenderung
seragam.
Sifat seragam produk yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut
mengindikasikan bahwa proses penentuan obyek atau materi yang hendak diatur
dalam Perda tidak berangkat dari identifikasi kebutuhan nyata masyarakat.
Dampak yang timbul kemudian adalah munculnya konflik-konflik baru
ketimbang menyelesaikan permasalahan lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu
penataan ulang terhadap peraturan yang mengatur mengenai pembuatan
kebijakan daerah untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi publik.
Seperti diuraikan di muka, usulan Raperda dapat diinisiasi oleh pemda dan DPRD
dengan aturan main yang berbeda. Berdasarkan PP No. 1 Tahun 2001, Penyusunan
Raperda hasil usulan DPRD diawali oleh pengajuan usulan oleh sejumlah anggota
yang terdiri atas lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis
kepada pimpinan DPRD dalam bentuk Raperda, disertai penjelasannya. Usul
tersebut kemudian diberi nomor pokok oleh sekretariat DPRD. Setelah itu
disampaikan oleh pimpinan DPRD pada rapat paripurna setelah terlebih dahulu
mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah (pamus)4.
Sedangkan penyusunan Raperda hasil usulan pemda, menurut
Kepmendagri No. 23 Tahun 2001, unit kerja dan pimpinan dinas/lembaga teknis
daerah dapat mengambil prakarsa untuk menyusun Raperda. Usulan Raperda
tersebut dimintakan persetujuannya kepada kepala daerah melalui sekretaris
daerah. Sebelum diajukan kepada kepala daerah, sekretaris daerah melalui bagian
hukum bisa melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Permohonan persetujuan
dilampiri dengan pokok-pokok pikiran atau konsepsi pengaturan, yang memuat:
(1) latar belakang, maksud dan tujuan pengaturan; (2) dasar hukum; (3) materi
yang diatur, dan (4) keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain.
Dalam tahap ini tidak ada suatu kewajiban untuk melibatkan publik dalam
tahap usulan. Keterlibatan publik dalam tahap usulan lebih dikarenakan peran
aktif masyarakat yang kadang didampingi oleh ornop. Sebagai contoh, misalnya
usulan terhadap pembuatan Perda Kabupaten Wonosobo No. 22 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) - hasil
usulan DPRD -- berangkat dari pendekatan aktif Lembaga Arupa dan ornop
Pamus adalah salah satu alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa
keanggotaan DPRD. Salah satu pamus adalah menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD
http://www.huma.or.id
pansus, pimpinan DPRD membentuk pansus. Komisi adalah salah atau alat
kelengapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa
keanggotaan DPRD. Salah satu tugas komisi adalah melakukan pembahasan
terhadap Perda dan rancangan keputusan DPRD. Sama seperti pamus dan komisi,
pansus juga merupakan alat kelengkapan DPRD yang dibentuk pimpinan DPRD
setelah mendengar pertimbangan dari pamus. Tetapi, tidak seperti pamus dan
komisi yang bersifat tetap, pansus bersifat sementara. Pansus dibentuk untuk
jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas tertentu dengan kemungkinan
diperpendek atau diperpanjang jangka waktunya.
Komisi/rapat Gabungan Komisi/Pansus yang ditugasi untuk membahas
Raperda tersebut -- lewat pimpinannya -- memberikan penjelasan kepada seluruh
anggota DPRD dalam rapat paripurna. Dalam rapat tersebut, kepala daerah
memberikan pendapat yang kemudian dijawab oleh pimpinan komisi/rapat
gabungan komisi/pansus. Sebelumnya, Raperda tersebut -- disertai penjelasannya
-- disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara tertulis, melalui
sekretaris daerah.
Pada tahap drafting, keterlibatan publik juga tergantung pada niat baik dan
kesadaran pemda maupun DPRD untuk membuka ruang bagi pihak yang
berkepentingan terhadap Raperda yang akan disusun untuk dapat terlibat.
Namun demikian, niatan ini juga dipengaruhi oleh minimnya kemampuan legal
drafting dan substansi para anggota DPRD. Keterlibatan masyarakat dan ornop
juga tergantung pada pendekatan yang dilakukan mereka kepada pemda dan
anggota DPRD.
Sebagai contoh, penyusunan Perda Kutai Barat tentang
Pemerintahan Desa difasilitasi secara aktif oleh ornop SHK Kaltim. Dalam hal ini
SHK tidak hanya memfasilitasi publik untuk terlibat tetapi dipercaya untuk
menyusun draft awal bersama masyarakat. Dalam penyusunan Raperda
Wonosobo juga demikian, Arupa dan ornop lainnya malah diberi kepercayaan
untuk menyusun draft.
Di Sumatera Barat, hal yang sama terjadi pada tahap penyusunan Raperda
provinsi tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat, publik yang tergabung dalam
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) ikut menjadi anggota tim
penyusun Raperda. Meskipun masyarakat (wakil LKAAM) yang terlibat dalam
drafting Raperda tersebut telah memberikan masukan dan pemikiran terkait
dengan substansi Raperda yang sedang disusun, namun kenyataannya pendapat
dan pemikirannya tidak digubris oleh oleh pihak eksekutif.5
Media Indonesia, Ranperda Tanah Ulayat Lebih Pentingkan Investor, 21 Februari 2003.
http://www.huma.or.id
penyampaian nota penyampaian dari kepala daerah. Isi nota tersebut adalah sifat
penyelesaian Raperda, cara penanganan atau pembahasannya dan pejabat yang
ditugasi untuk mewakili pemda dalam pembahasan Raperda dengan
komisi/pansus DPRD. Dalam hal pembahasan tersandung pada hal-hal prinsipil,
pejabat yang ditunjuk dapat melaporkan kepada kepala daerah dengan disertai
saran pemecahan yang diperlukan.
Setelah melewati putaran rapat-rapat di komisi/pansus, DPRD kemudian
mengadakan rapat paripurna untuk menyetujui Raperda tersebut. Dalam rapat
paripurna ini, didengarkan juga penjelasan resmi pemda terhadap Raperda
tersebut. Reperda yang telah disetujui tersebut kemudian ditetapkan melalui
keputusan DPRD. Berikutnya, kepala daerah menetapkannya dengan cara
membubuhi tanda tangan dan Cap Jabatan. Sebelumnya, bagian hukum
memberikan nomor kepada Raperda tersebut. Rangkaian penyusunan kemudian
ditutup dengan diundangkannya Perda tersebut ke dalam lembaran daerah serta
memberitahukannya kepada Mendagri dan Otda.
Sedangkan pada Raperda yang merupakan usulan/inisiasi dari DPRD,
pembahasan bersama eksekutif akan mulai dilakukan setelah Raperda tersebut -disertai penjelasannya -- disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah
secara tertulis, melalui sekretaris daerah. Selanjutnya sekretaris daerah
melaporkannya kepada kepala daerah disertai saran mengenai pejabat yang akan
ditugasi untuk mengkoordinasikan pembahasannya dengan pimpinan
Dinas/Lemabaga Teknis daerah yang terkait.
Selanjutnya, sekretaris daerah menyampaikan Raperda kepada Unit Kerja
dan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah yang ditugaskan oleh kepala
daerah untuk mengkoordinasikan pembahasannya. Unit kerja yang dibebani
untuk mengkoordinasikan pembahasan tersebut membentuk Tim Asistensi yang
diberi tugas untuk membahas dan menyiapkan pemdapat, pertimbangan, serta
saran penyempurnaan yang diperlukan. Untuk mengerjakan tugas tersebut, Tim
Asistensi Teknis diberi waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal
pembentukannya dan melaporkan hasil tugasnya kepada Unit kerja yang ditugasi
untuk mengkoordinasi pembahasan. Bila diperlukan, Tim Asistensi Teknis
tersebut bisa juga membantu kepala daerah dalam rapat-rapat pembahasan
dengan DPRD. Dalam menjalankan tugasnya, Tim Aistensi Teknis bersekretariat
di kantor Bagian Hukum. Pejabat atau Unit Kerja yang ditugasi untuk
mengkoordinasi pembahasan tersebut berkewajiban mengkonsultasikan
Raperdaberikut pendapat, pertimbangan serta penyempurnaan yang diajukan
oleh Tim Asistensi Teknisdengan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah
terkait. Pejabat tersebut juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan
melaporkan seluruh proses konsultasi selambat-lambatnya 21 hari sejak tanggal
dikeluarkannya surat sekretaris daerah mengenai penyampaian Raperda kepada
Unit Kerja dan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah terkait.
http://www.huma.or.id
http://www.huma.or.id
10
5. Pembicaraan Tingkat II
Pendapat Kepala Daerah
terhadap Raperda dalam
Rapat Paripurna
2. pembicaraan tingkat I:
Penjelasan pimpinan komisi/pimpinan
rapat gabungan komisi atau pimpinan
panitia khusus atas nama DPRD
terhadap raperda dalam rapat
i
4. Rapat fraksi
http://www.huma.or.id
3. Pembicaraan Tingkat I
Penjelasan Kepala Daerah
dalam rapat Paripurna
4. Rapat fraksi
11
Penutup
Mengacu
ZZYY
http://www.huma.or.id
12