You are on page 1of 12

Argumentasi Hukum Dalam Proses Peradilan

Nov 18
Posted by Hendri, SKed
Rate This
Oleh. Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum

Pengertian
Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah argument diartikan sebagai berusaha
mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad,
1995: 22-23), argument dari bahasa Latin arguere yang berarti menjelaskan. Alasan-alasan
(bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Dalam logika, diartikan
sebagai serangkaian pernyataan yang disebut premis-premis yang secara logis berkaitan dengan
pernyataan berikutnya yang disebut konklusi. Argumen-argumen dibagi menjadi dua kategori
umum, yaitu deduktif dan induktif.
Dalam Blaks Law Dictionary (Garner, 1999:102), istilah argument diartikan a statement that
attempts to persuase; esp., the remarks of counsel in alalyzing and pointing out or repudiating a
desired inference, for the assistance of decision-maker. The act or process of attempting to
persuade. Sedangkan argumentative, diartikan sebagai of or relating to argument or
persuasion, stating not only facts, but also inferances and conclusions drawn from facts (the judge
sustained the prosecutors objection to the argumentative question).
Dalam Kamus Hukum (Sudarsono, 1992: 36), istilah argumen diberikan arti sebagai alasan yang
dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan.
Berargumen, berarti berdebat dengan saling mempertahankan atau menolak alasan masing-masing.
Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu
pendapat, pendirian atau gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat
atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Dalam Kamus Belanda-Indonesia (Wojowasito, 2001: 45), istilah argument diartikan bukti
sanggahan, alasan, perbantahan, dan argumentatie diartikan sebagai hal memberikan alasan
dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia ditemukan istilah
argument yang diberikan arti alasan, perdebatan, bukti, perbantahan, dan argumentation
diberikan arti sebagai pemberian alasan dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, argumen diartikan sebagai alasan berupa uraian penjelasan, dan argumentasi
diartikan sebagai pemberian alasan yang diuraikan secara jelas untuk memperkuat suatu pendapat.
Dari pengertian-pengertian di atas, diambil simpulan pengertian argumentasi diartikan sebagai,
mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian
pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi, untuk
memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Istilah hukum dalam makalah ini dimaksudkan sebagai norma, yang lazimnya diartikan sebagai
aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bagaimana seyogianya berbuat atau tidak

berbuat agar kepentingan masing-masing terlindungi. Norma merupakan pandangan objektif


masyarakat tentang apa yang seyogyanya diperbuat atau tidak diperbuat. Pengertian norma hukum
meliputi asas hukum, norma hukum dalam arti sempit atau nilai (value norm) dan peraturan hukum
konkret. Norma hukum dalam arti yang luas, berhubungan satu sama lain dan merupakan satu
sistem, yaitu sistem hukum. Di samping norma dan sistem hukum sebagai sasaran studi ilmu
hukum, karena hukumnya tidak lengkap, sehingga perlu dicari dan diketemukan. Oleh karena itu
harus dipelajari pula caranya mencari atau menemukan hukum.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan argumentasi hukum dalam makalah ini, yaitu
alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian
pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau
gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta
sistem hukum dan penemuan hukum.
Hukum itu sendiri bagi sebagian besar sarjana hukum didefinisikan sebagai himpunan peraturanperaturan hukum yang mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya. Dikatakan bagi sebagian besar sarjana hukum karena bagi sebagian sarjana hukum
yang lain hukum tidak dilihat sebagai himpunan peraturan. Sebagian besar sarjana hukum (Hakim,
Jaksa, Pengacara dan sebagainya) pada umumnya dihadapkan pada peristiwa konkret yang
memerlukan pemecahan, suatu konflik. Untuk memecahkan peristiwa konkret atau konflik itu
dicarikan norma atau hukumnya dan hukumnya terdapat dalam himpunan peraturan-peraturan
hukum.
Dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada pemecahan masalah hukum atau konflik, bagaimana
memecahkan suatu konflik, apa hukum atau hukumannya, siapa yang berhak? Oleh karena itulah
Noll, (Van der Velden, 1988: 21-22) mengatakan bahwa ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan
(rechtspraakwetenschap). Yang dimaksudkan bahwa studi hukum itu dilihat dari kaca mata
hakim yang mengandung sekurang-kurangnya tiga ciri, yaitu: berkaitan dengan peristiwa
individual; diterapkannya suatu norma atau kaidah (peraturan hukum); diselesaikannya
suatu konflik.
Di sinilah pentingnya independensi badan-badan kehakiman/peradilan sebagai salah satu dasar bagi
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law sebagaimana pemikiran
mengenai Negara Hukum modern yang di cetuskan dalam konferensi International Commission of
Jurists di Bangkok pada 1965. Dalam konferensi ditekankan pemahaman apa yang disebut sebagai
the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age (aspek-aspek dinamika Rule of Law
dalam abad modern).
Dikatakan bahwa ada 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang
demokratis di bawah Rule of Law, yaitu :
1)

Perlindungan Konstitusional;

2)

Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3)

Pemilihan Umum yang bebas;

4)

Kebebasan menyatakan pendapat;

5)

Kebebasan berserikat / berorganisasi dan beroposisi;

6)

Pendidikan kewarganegaraan.

Dari syarat-syarat tersebut jelas bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu
pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa berbicara lagi
tentang Negara Hukum.

Negara Hukum
Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan
berdasarkan dan bersaranakan hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif,
berupa asas dasar sebagai asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan
perilaku pejabat pemerintah.
Keberadaan negara hukum menurut J. Van der Hoeven memprasyaratkan:
a)
Prediktabilitas perilaku, khususnya perilaku pemerintah, yang mengimplikasikan ketertiban
demi keamanan dan ketenteraman bagi setiap orang.
b)
Terpenuhinya kebutuhan materiil minimun bagi kehidupan manusia yang menjamin
keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi.
Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan atas kepeloporan
A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu
mencakup empat elemen penting, yaitu :

Perlindungan hak asasi manusia;

Pembagian kekuasaan;

Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu :

Supremacy of law, supremasi aturan-aturan hukum, tidak ada kekuasaan sewenang-wenang


(absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh di hukum kalau melanggar
hukum;

Equality before the law, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil ini berlaku
baik untuk orang biasa maupun pejabat;

Due process of law, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusankeputusan pengadilan.
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya
dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk
menandai ciri-ciri Negara Hukum modern.

Friedman (Sunarjati,1976: 28), bahwa kata rule of law dapat dipakai dalam arti formal (in the
formal sense) dan dalam arti material (ideological sense). Dalam arti formal maka rule of law itu
tidak lain artinya sebagai organized public power atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam
pengertian ini setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang dinamakan negara) mempunyai
rule of law, sehingga kita dapat berbicara tentang rule of law dari RRC, Perancis, Jerman,
Cekoslovakia, dan sebagainya. Sudah barang tentu bukan dalam arti formal ini kita pakai rule of
law itu, tetapi dalam arti material. Artinya, dalam arti yang materiel inilah yang menyangkut
ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk. Dalam arti ini, kita dapat
berbicara tentang just atau unjust law.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa konsep rule of law melahirkan konsep
negara kesejahteraan (Welfare State) yang menggambarkan, bahwa hak-hak kebebasan politik,
haruslah disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Ia tidak
menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat.

Negara Hukum dalam Praktek di Indonesia


Praktek hukum di Indonesia memperlihatkan situasi yang sangat dipengaruhi oleh
positivisme hukum, bahkan positivisme undang-undang (legisme). Para praktisi hukumnya
dipengaruhi positivisme hukum, sehingga cenderung berpikir positivistik atau legistik dalam
menjalanhan profesinya masing-masing. Dalam pandangan yang positivistik itu, maka hukum
hanyalah apa yang secara eksplisit tercantum dalam aturan hukum yang sah (perundangundangan). Akibatnya penggunaan atau perujukan pada asas hukum dalam memberikan
argumentasi suatu pendapat hukum atau dalam menetapkan putusan hukum kurang
mendapat perhatian. Antara lain disebabkan oleh diabaikannya perujukan pada asas hukum
dalam argumentasi yuridis dalam upaya menerapkan berbagai aturan perundang-undangan
yang saling berkaitan. Maka implementasi konsepsi negara hukum dalam praktek menjadi
jauh dari yang diidealkan (misalnya kasus Tempo pada masa Orde Baru).
Yang terwujud dalam praktek adalah Negara Hukum formal saja, yang menjauhkan hukum dari
keadilan. Memang dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang mendasar seperti di
Indonesia, maka semua nilai-nilai dan asas hukum yang sangat fundamental untuk mewujudkan
keadilan justru dapat menjauhkan hukum dari keadilan atau kebutuhan hukum riil dari masyarakat
yang sesungguhnya (W. Friedmann).
Diabaikannya studi teori Argumentasi Yuridis (legal reasoning) dalam pendidikan hukum,
memperkuat kecenderungan berpikir positivistik (legalistik) dalam praktek hukum.
Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti
luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai
pada keputusan atas kasus yang dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut
aspek psikologi dan aspek biographi.
Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu
keputusan. Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Berkaitan dengan jenis-jenis
argumentasi, hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan keputusan, serta ketepatan alasan
atau pertimbangan yang mendukung keputusan. (Golding, 1984: 1)
Menyelesaikan masalah hukum secara yuridis dalam intinya berarti menerapkan aturan hukum
positif terhadap masalah (kasus) tersebut. Menerapkan aturan hukum positif hanya dapat
dilakuhan secara kontekstual menginterpretasikan aturan hukum tersebut untuk
menemukan kaidah hukum yang tercantum di dalamnya, dalam kerangka tujuan
kemasyarakatan dari pembentukan aturan hukum (teleologikal) yang dikaitkan pada asas

hukum yang melandasinya dengan melibatkan juga berbagai metode interpretasi lainnya
(gramatikal, historikal, sistematikal, sosiologikal). Banyak contoh kasus hukum yang
menggambarkan bahwa cara penalaran hukum yang melibatkan asas hukum dan tujuan
kemasyarakatan aturan hukum terkait sering diabaikan.

Pemecahan Masalah Hukum


Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial. Dari sekian banyak masalah-masalah
sosial itu kita harus mampu menemukan atau menyeleksi masalah hukumnya, untuk
kemudian dirumuskan dan dipecahkan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyeleksi masalah
hukum dari masalah-masalah sosial, yang sering tumpang tindih dengan masalah hukum dan sulit
untuk dicari batasnya, seperti misalnya masalah politik, masalah kesusilaan, masalah agama dan
sebagainya. Di sinilah pentingnya kemampuan untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan
masalah hukum (legal problem identification).
Sebagai contoh konkret dapat dikemukakan kegiatan Hakim dalam memeriksa perkara.
Setelah peristiwa konkretnya diseleksi melalui proses tanya-jawab dengan argumentasi
masing-masing pihak, maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk dikonstatasi
dan sekaligus dirumuskan dan diidentifikasi bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa
hukum.
Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, masih perlu diketahui
masalah hukum itu masalah hukum bidang apa, hukum perdata, hukum dagang, hukum
agraria, hukum pidana dan sabagainya. Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum
pidana sering tidak tajam batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan
pidana, antara penggelapan dan pencurian.
Setelah diketemukan masalah hukumnya dengan menggunakan penemuan hukum, maka
harus dicari pemecahannya (legal problem solving). Kalau misalnya sudah diketahui bahwa
masalah itu merupakan utang-piutang, harus dipecahkan siapakah yang bersalah atau
bertanggungjawab dan dicari hukumnya untuk diterapkan. Kalau terjadi pembunuhan harus dicari
siapa pelakunya dan hukumnya untuk diterapkan. Sehingga dalam mempelajari hukum, dihadapkan
pada peristiwa konkret, kasus atau konflik yang memerlukan pemecahan dengan mencari
hukumnya. Bekal untuk memecahkan konfik itu adalah pengetahuan tentang norma hukum,
sistem hukum dan penemuan hukum. Setelah pemecahan masalah hukum perlu diberi
hukumnya, haknya atau hukumannya. Dengan kata lain, harus diambil keputusan (decision
making).
Penting mendapatkan perhatian dan mutlak untuk dikuasai, ialah the power of solving legal
problems, karena di bidang profesi hukum manapun seorang sarjana hukum bekerja selalu akan dihadapkan pada masalah hukum yang harus dipecahkannya. Maka dengan demikian, norma hukum,
sistem hukum dan penemuan hukum, adalah merupakan bekal yang digunakan dalam
memecahkan masalah hukum.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, seorang sarjana hukum yang bekerja sesuai
dengan profesinya, terutama dalam penegakan hukum, harus mempunyai sikap ilmiah, yaitu
antara lain jujur, berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta berani mengakui
kesalahan dan memperbaikinya, terbuka untuk pendapat atau kritik orang lain dan tidak
merasa dirinyalah yang selalu benar, objektif tidak memihak, tidak bersikap emosional dan a
priori terhadap pendapat orang lain, kritis dan kreatif yang konstruktif.

Argumentasi Hukum dan Logika Hukum

Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu argumentasi secara


cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argurnentasi
yang jelas dan rasional. Isu utama adalah kriteria universal dan kriteria yuridis yang spesifik
yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi hukum. (Feteris, 1994: 2)
Kata logika sebagai istilah, berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti
ketepatan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang
jelas mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk pemikiran
yang lain, mulai yang paling sederhana ialah pengertian atau konsep (concept), proposisi atau
pernyataan (proposition, statement) dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian
(konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk rnemahami penalaran, maka ketiga bentuk
pemikiran harus dipahami bersama-sama. (Soekadijo, 1985: 3)
Satu dalil yang kuat, satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan
kata lain adalah suatu conditio sine qua non agar suatu keputusan dapat diterima, adalah
apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan
syarat mutlak dalam berargumentasi. (Brouwer, 1982: 32)
Argumentasi hukum merupakan satu model argumentasi khusus. Terdapat dua hal yang menjadi
dasar kekhususan argumentasi hukum :
1)
Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa.
Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu
keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang berlanjut.
Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru. Orang
dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam hukum positif untuk
mengambil keputusan-keputusan baru.
2)
Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum, berkaitan dengan
kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional (drie niveaous van
rationele juridische argumentatie) dan diskusi rasional.

Langkah Pemecahan Masalah Hukum


Pengumpulan Fakta
Fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah perbuatan
hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum, di bawah umur adalah suatu keadaan. Pengumpulan
fakta hukum didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti.
Seorang lawyer pertama kali berhadapan dengan klien harus mendengar paparan klien
menyangkut fakta hukum. Sikap lawyer terhadap klien adalah sikap skeptik dalam rangka
mengorek kebenaran fakta hukum yang dipaparkan klien. Dengan berhati-hati lawyer
mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta hukum secara lengkap.
Untuk dapat mengajukan pertanyaan tentunya harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dan asas
hukum yang relevan.
Misalnya, fakta hukum berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, tentunya lawyer
dalam mengajukan pertanyaan beranjak dari ketentuan Pasal 1365 BW.

Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum

Klasifikasi hakekat permasalahan hukum pertama-tama berkaitan dengan pembagian


hukum positif. Hukum positif diklasifikasikan atas hukum publik dan hukum privat yang
masing-masing terdiri atas berbagai disiplin. Misalnya, hukum publik terdiri atas Hukum Tata
Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Internasional Publik, sedangkan hukum privat
terdiri atas Hukum Dagang, Hukum Perdata, di samping ada disiplin fungsional yang memiliki
karakter campuran (misalnya, hukum perburuhan).
Hakekat permasalahan hukum dalam sistem peradilan, berkaitan dengan lingkungan
peradilan yang dalam penanganan perkaranya berkaitan dengan kompetensi absolut
pengadilan.

Identifikasi dan Pemilihan Isu Hukum yang Relevan


Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan
tentang fakta pada akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang sebenarnya yang didukung
oleh alat-alat bukti. Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali dengan statute
approach, yang kemudian diikuti dengan conseptual approach. Dengan demikian identifikasi
isu hukum berkaitan dengan konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar,
dipilah-pilah elemen-elemen pokok.
Misal malpraktek dokter, apakah permasalahannya merupakan tindakan wanprestasi ataukah
perbuatan melanggar hukum.
Dalam menganalisa masalah tersebut, pertama-tama harus dirumuskan isu hukum yang berkaitan
dengan konsep wanprestasi. Analisis pada dasarnya mengandung makna pemilahan dalam unsurunsur yang lebih kecil. Dengan konsep demikian, analisis atas isu wanprestasi dilakukan dengan
memilah-milah unsur-unsur mutlak wanprestasi, yaitu :
1)

Adakah hubungan kontraktual dalam hubungan dokter-pasien?

2)

Adakah cacat prestasi dalam tindakan dokter terhadap pasien?

Untuk isu perbuatan melanggar hukum, dapat dirumuskan isu berikut :


1)

Apakah tindakan dokter merupakan suatu perbuatan hukum?

2)
Apakah tindakan dokter merupakan perbuatan melanggar hukum? Apa kriteria melanggar
hukum?
3)

Apa kerugian yang diderita pasien?

4)

Apakah kerugian itu adalah akibat langsung perbuatan dokter?

Selanjutnya masing-masing isu tersebut dibahas dengan mendasarkan pada fakta (hubungan dokterpasien) dikaitkan dengan hukum dan teori serta asas hukum yang berlaku. Terhadap setiap isu yang
diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat. Pada akhirnya ditarik simpulan (opini)
terhadap setiap isu. Berdasarkan simpulan (opini) atas setiap isu, ditarik simpulan atas pokok
masalah, yaitu ada tidaknya wanprestasi dan/atau perbuatan melanggar hukum dalam hubungan
dokter-pasien.

Penemuan Hukum yang Berkaitan Dengan Isu Hukum

Dalam pola civil law system, hukum utamanya adalah legislasi. Oleh karena itu langkah dasar
pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 1
angka 2, bahwa peraturan perundang-undang adalah produk hukum tertulis yang dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang, yang isinya mengikat umum. Langkah ini
merupakan langkah pertama yang dikenal sebagai statute approach.
Langkah berikutnya (langkah kedua) adalah mengidentifikasi norma. Rumusan norma
merupakan suatu proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakekat proposisi, norma
terdiri atas rangkaian konsep. Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami
konsep. Inilah langkah ketiga yang dikenal dengan conceptual approach.
Misalnya norma Pasal 1365 BW, setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian,
mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian. Dalam norma
tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan, adalah :

Konsep perbuatan
Kalau konsep ini tidak dijelaskan akan menimbulkan kesulitan, misalnya apakah kerugian yang
ditimbulkan oleh gempa bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW.
Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan.
Pertanyaan menyusul adalah hal itu perbuatan siapa, dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa
yang bertanggungjawab.

Konsep melanggar hukum


Harus dimaknai secara jelas unsur-unsur melanggar hukum. Dalam bidang hukum perdata orang
berpaling kepada yurisprudensi.
Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal :
.

melanggar hak orang lain;

bertentangan dengan kewajiban hukumnya;

melanggar kepatutan;

melanggar kesusilaan.

Konsep kerugian
Unsur-unsur kerugian meliputi :
.

schade, kerusakan yang diderita;

winst, keuntungan yang diharapkan;

kosten, biaya yang dikeluarkan.

Dengan contoh di atas, bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis
langsung diterapkan pada fakta hukum. Rumusan norma bersifat abstrak dan konsep pendukungnya

dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dengan kondisi yang
demikian, langkah ketiga seperti dijelaskan di muka, adalah merupakan langkah penemuan hukum.

Penerapan Hukum
Setelah rnenemukan norma konkret, langkah berikutnya adalah penerapan pada fakta
hukum. Seperti contoh di atas setelah menemukan norma konkret dari perbuatan dalam
konteks Pasal 1365 BW dapat dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan hukum,
apakah gempa bumi merupakan perbuatan?
Contoh lain, berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Unsur pertama
adalah penyalahgunaan wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang, dengan
sendirinya sulit dijadikan parameter untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan
merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang. Salah konsep mengakibatkan kesalahan
mengambil kesimpulan.
Dalam logika dikenal rumus Ex Falso Quo Libet. Artinya, dari yang palsu (salah), bisa benar bisa
salah. Faktor kebetulan berperan dalam hukum, bisa terjadi kesewenang-wenangan dan bahkan
muncul penyalahgunaan wewenang baru, misal oleh Jaksa atau, Hakim atau pun Pengacara.

Dasar Hukum Positif


Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, mengandung
pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan
ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Merdeka,
berarti bebas, maka dengan demikian kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk
menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau
kebebasan hakim, merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana, baik di negara-negara
Eropah maupun di Amerika, Jepang, Indonesia dan lainnya. Yang dimaksudkan dengan
kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Peradilan atau hakim yang
bebas, ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisiil.
Secara teknis kebebasan hakim dibatasi oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan,
Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim, terutama dalam
perkara perdata, terikat pada apa yang dikemukakan oleh para pihak. Pada dasarnya tidak
dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. Putusannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Secara politis dibatasi oleh sistem pemerintahan, ekonomi,
kebudayaan dan sebagainya.
Dalam menemukan hukum, ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,
bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya
itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya
itu ada, tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, kemudian diciptakan. Dikatakan
oleh Scholten, bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan

setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya
sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.

Perbedaan Persepsi Pada Tataran Konsep


Bagaimana Hakim memutus perkara menjadi sangat penting; karena melalui putusan Hakim para
pihak yang berperkara bisa memperoleh hak yang diperjuangkan dan atau sebaliknya bisa
kehilangan haknya. Jika putusan Hakim tidak adil, maka putusan itu akan mengakibatkan kerugian
moral bagi pihak yang dirugikan, karena putusan itu telah memberikan stigma kepada orang yang
bersangkutan sebagai pelanggar hukum.
Ada tiga persoalan yang selalu muncul dalam setiap perkara, yaitu:
a)

apa yang sesungguhnya terjadi (fakta)?

b)

hukum apa yang relevan berlaku dalam kasus demikian (hukum)?

c)
jika hukum menolak memberi kompensasi, apakah hal demikian tidak adil dan jika
dianggap tidak adil, haruskah Hakim mengabaikan hukum demikian dan mengabulkan
permohonan ganti rugi tersebut (hubungan antara modal politik dan ketaatan hukum)?
Antara penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Pengacara) kadangkala berselisih paham tentang
patokan apa yang harus dipergunakan untuk menentukan hukum apa yang relevan bagi
suatu kasus. Mereka kadangkala tidak sepakat tentang apakah dasar hukum dalam suatu kasus
tertentu telah terpenuhi atau tidak. Perselisihan ini disebut ketidaksepakatan teoritis tentang hukum
dan perbedaan pendapat tentang apa yang sesungguhnya menjadi konsep hukum berkenaan dengan
kompensasi itu, karena mereka tidak sepakat apakah undang-undang atau putusan Hakim telah
secara tuntas menelaah dasar hukum yang relevan. Perselisihan ini disebut perselisihan empiris
tentang hukum, yaitu perbedaan pendapat tentang kata-kata apa yang sebenarnya tercantum
dalam undang-undang dengan cara sama mereka tidak sepakat tentang jumlah fakta lain.

Mengapa Perbedaan Pendapat itu Ada


Mentakjubkan bahwa ilmu hukum tidak memiliki teori yang masuk akal berkenaan dengan sengketa
teoritis tentang konsep negara hukum. Ahli filsafat hukum tentunya sadar bahwa sengketa teoritis
ini bersifat problematis. Sengketa teoritis tentang hukum tidak lebih dari sekedar ilusi bahwa
sebenarnya baik Polisi/Jaksa/Pengacara maupun Hakim sepakat tentang dasar hukum suatu
pandangan diterima sebagai konsep hukum. Apa yang menjadi hukum hanyalah soal apa
yang telah diputuskan oleh institusi-institusi hukum. Mengapa Hakirn dan Jaksa/Pengacara
kadangkala masih juga tidak sepakat secara teoritis tentang konsep hukum? karena ketika
mereka tampaknya secara teoritis bersengketa tentang apa sebenarnya hukum itu
seharusnya. Persoalan sebenarnya tidak lebih tentang soal moralitas dan pentaatan cermat,
bukan tentang konsep hukum itu sendiri.
Opini populer dalam masyarakat bahwa Hakim-Hakim dalam mengambil keputusan harus
mengikuti hukum ketimbang mencoba mengembangkan hukum yang sudah ada. Sayangnya
ada beberapa Hakim tidak menerima batasan yang bijak ini dan secara sembunyi-sembunyi atau
justru terang-terangan mereka membengkokkan hukum demi tujuan-tujuan penguasa atau
kepentingan mereka sendiri.
Dari pandangan di atas dapat diambil simpulan bahwa putusan-putusan institusional tidak
hanya sekali-kali, tetapi setiap kali, tidak jelas atau ambigu atau tidak lengkap, bahkan

kadang putusan-putusan demikian kerap inkonsisten ataupun sekaligus inkoheren, (dalam


kenyataan tidak pernah ada hukum tentang segala apapun, namun hanya Hakim-Hakim
yang membungkus putusan-putusan mereka dengan retorika yang faktual dipengaruhi oleh
preferensi kelas atau ideologis), walaupun di sisi lain dipahami bahwa pandangan ini akan
ditolak dalam pemikiran yang diberikan kepada kerja para Hakim dan Pengacara dalam
praktek mereka sehari-hari.
Apa yang sesungguhnya dipersengketakan dan kemudian mengkonstruksikan dan mengajukan
suatu teori tentang dasar-dasar yang layak bagi suatu konsep hukum. Praktek hukum berbeda dari
gejala sosial lainnya karena praktisi hukum sifatnya argumentative.

Simpulan
Argumentasi hukum, adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas,
berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu
pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan
peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum.
Suatu argumentasi bermakna, hanya dibangun atas dasar logika, adalah suatu conditio sine
qua non agar suatu keputusan dapat diterima, yakni apabila didasarkan pada proses nalar,
sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.
Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan
hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan
merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu
perkembangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan
menentukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari
asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.
Konsep rule of law melahirkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang menggambarkan,
bahwa hak-hak kebebasan politik, harus disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi,
sosial dan budaya. Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi formil, tetapi juga
kesejahteraan seluruh rakyat. Negara Hukum mempunyai sifat di mana alat perlengkapannya hanya
dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh
alat perlengkapannya.

Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. adalah Dosen Fakultas Hukum Univ. Wisnuwardhana
Malang.

Referensi :
Benditt, Theodore M., 1978, Law as Rule and Principle (Problems of Legal Philosophy),
California: Stanford University.
Brouwer, P.W., A. Soeteman, 1982, Logica en Recht, WEJ. Tjeenk Willink, Zwolle.
Budiardjo, Miriam, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Feteris, E.T., 1994, Redelijkheid in Jurisdische Argumentatie, Een Overzicht van Theorieen Over
Het Rechtvaardigen van Juridische Beslissingen, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Friedmann, W., 1996, Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Garner, Bryan A., 1999, Blaks Law Dictionary, Sevent Editions, St. Paul Min.: West Group.
Golding, Martin P., 1984, Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc.
Hartono, CFG Sunaryati, 1976, Apakah Rule of Law itu ?, Bandung: Alumni.
Rakhmad, Jalaluddin, 1995, Kamus Filsafat, Jakarta: Rosda Karya.
Ranuhandoko, IPM,1996, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Rumokoy, Donald A, dalam SF Marbun, et.al., 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, Yogyakarta: UII-Press.
Soekadijo, RG., 1985, Logika Dasar, Tradisional; Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia.
Sudarsono, Kamus Hukum, 1992, Jakarta: Rineka Cipta.
Velden, WG. Van der, 1988, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Lelystad: Koninklijke
Vermande.
Wojowasito, S., 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

You might also like