You are on page 1of 16

BAB 2

Tinjauan Pustaka
2.1. Otitis Media Supuratif Kronis
2.1.1 Definisi
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3
bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening atau berupa nanah (Helmi 2005).
2.1.2 Etiologi dan patogenesis OMSK
Ada beberapa faktor yang menjadi etiologi dari otitis media supuratif kronis antara
lain : otitis media akut dan otitis media efusi, genetik dan ras, lingkungan, disfungsi tuba
Eusthacius, refluks gastroesofagal, abnormalitas kraniofasial, defesiensi imun (Browning
2009).
Patogenesis dari OMSK tipe bahaya dengan kolesteatoma masih belum diketahui
dengan pasti. Sejumlah kasus disebabkan oleh perforasi membran timpani yang berasal
dari episode otitis media akut. Di sejumlah kasus, perforasi terkadang kering dan kasus
lainnya dengan telinga berair. Pada kasus OMSK dengan tube timpanostomi, hal
tersebut merupakan hasil superinfeksi dari mukosa telinga tengah, organisme dari
telinga luar atau nasofaring (Lee 2008).
2.1.3 Klasifikasi OMSK
OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu :
OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna)
OMSK tipe bahaya (tipe tulang=tipe maligna)
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan
biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe
aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak
terdapat kolesteatoma sedangkan OMSK tipe bahaya biasanya perforasi marginal, atik
ataupun dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau
fatal timbul pada OMSK tipe bahaya (Djaafar et al 2008)
Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai
safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis
media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction
terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).
2.2 Kolesteatoma
2.2.1 Definisi
Kolesteatoma dapat didefinisikan sebagai lesi non neoplastik dan destruktif yang
mengandung lapisan keratin pada suatu kavitas yang dilapisi oleh epitel skuamus dan
jaringan ikat subepitelial (Persaud 2007).

Istilah kolesteatoma pertama sekali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi


kebangsaan Jerman yang bernama Johannes Muller pada tahun 1838 dimana kata
kolesteatoma berasal dari kata cole berarti kolesterol, esteado berarti lemak, dan oma
yang berarti tumor, yang bila digabungkan berarti suatu tumor yang terbentuk dari
jaringan berlemak dan Kristal dari kolesterol. Istilah lain yang digunakan antara lain pearl
tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma oleh Craigie pada tahun 1891,
epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht
pada tahun 1974. Bagaimanapun kolesteatoma berasal dari epitel skuamus keratinisasi
dari membran timpani atau meatus auditori eksternal (Nunes 2010).
2.2.2 Epidemiologi
Insiden kolesteatoma berkisar antara 3 kasus dari 100.000 pada anak-anak dan 9 kasus
dari 100.000 pada dewasa dan lebih dominan terhadap laki- laki dibanding perempuan
(Nunes 2010).

Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun (1962-1988) terdapat 1146


kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur mastoidektomi. Harker et al juga
melaporkan insiden kolesteatoma sebesar 6 orang per 100.000 kasus di Iowa. Insiden
lebih tinggi pada dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012)
Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari 100.000 pertahun di
Scotland (Aquino 2012).
Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi
mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma.
Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT
RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya
menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd
Desember 2002. Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di
departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2009 31
Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011). Jumlah pasien OMSK
dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1
Januari 2006 - 31 Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013).

Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun (1962-1988) terdapat 1146


kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur mastoidektomi. Harker et al juga
melaporkan insiden kolesteatoma sebesar 6 orang per 100.000 kasus di Iowa. Insiden
lebih tinggi pada dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012)
Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari 100.000 pertahun di
Scotland (Aquino 2012).
Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi
mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma.
Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT
RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya
menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd
Desember 2002. Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di
departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2009 31
Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011). Jumlah pasien OMSK
dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1
Januari 2006 - 31 Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013).
2.2.3 Patogenesis kolesteatoma
Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi kongenital atau acquired. Kolesteatoma
acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Secondary acquired cholesteatoma
mengacu pada kolesteatoma muncul akibat perforasi membran timpani (Chloe & Nason
2009).
1. Congenital cholesteatoma
Kista keratin bisa terakumulasi karena epitel yang dihasilkan tertutup. Pada umumnya,
kista akan terbentuk sebagai kelainan pertumbuhan atau karena penyebab iatrogenik.
Kista epidermal akan ditemukan pada daerah

medial dengan membran timpani yang utuh. Menurut Derlaki dan Clemis (2005),
kolesteatoma dikatakan kongenital apabila memiliki syarat sebagai berikut yakni:
Massa putih medial dengan membran timpani utuh.
Pars tensa dan pars plaksida normal.
Tidak ada riwayat telinga berair, perforasi ataupun prosedur otologik sebelumnya.
Kemungkinan bahwa terjadinya otitis media tidak bisa disingkirkan sebagai
kriteria ekslusi dari kolesteatoma kongenital ini karena sangat jarang anak
tidak memiliki episode dari otitis media pada lima tahun pertama
kehidupannya.
2. Acquired cholesteatoma
Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary acquired
cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida, sedangkan
secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi
membran timpani, biasanya pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole &
Nason 2009)
Bentuk sisa, formasi epidermoid yang berasal dari kolesteatoma kongenital mungkin
berasal dari epitimpanum anterior. Tidak seluruh kolesteatoma kongenital berlokasi di
daerah anterosuperior dan tidak semua ditemukan menjadi kista epitelial seperti adanya
invaginasi epitel skuamosa dari liang telinga atau masuknya elemen skuamosa pada
cairan amnion (Browning 2009).
Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat yakni:
A. Teori invaginasi
Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima sebagai salah satu
mekanisme primer dalam pembentukan atik

kolesteatoma. Retraction pockets dari pars flaksida terjadi karena tekanan negatif
telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi berulang. Ketika retraction
pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat dibersihkan dari reses kemudian
terbentuk kolesteatoma. Asal dari retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah
disfungsi tuba Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga
tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap
pergerakan, biasanya sebagai sumber kolesteatoma. Sebagai hasil dari tipe
kolesteatoma ini adalah defek yang terlihat pada kuadran posterosuperior membran
timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini
menyebabkan akumulasi keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi
matriks keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi
epitel (Chole & Sudhoff 2005 ; Chole & Nason 2009).
B. Teori invasi epitel
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari
membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui
perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan
lapisan epitel yang lain, yang di sebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009).
Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena
perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum
timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa cytokeratin (CK 10),
yang merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel
skuamosa,ditemukan pada epidermis liang telinga matriks kolesteatoma tetapi tidak ada
di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan
epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka
keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga (Chole & Nason
2009).

Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologi ini pada tulang temporal
manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang temporal dapat terjadi dari
mekanisme ini. Fraktur liang telinga menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi
dengan mekanisme kontak (Chole & Sudhoff 2005).
Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai
safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis
media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction
terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).
C. Teori hiperplasia sel basal
Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars
flasida dapat menginvasi ruang sub epitelial normal yang memiliki akses untuk
membentuk kolesteatoma di atik (Chole & Nason 2009).
Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial
dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria, basal
lamina (basement membrane) menjadi berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini
dengan memperlihatkan bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi
dengan meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan basal lamina
menyebabkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan membentuk
mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan beberapa tipe kolesteatoma,
termasuk yang terbentuk di belakang membran timpani yang utuh. Mikrokolesteatoma
membesar dan mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani,
meninggalkan ciri khas kolesteatoma atik (Chole & Nason 2009).
Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks kolesteatoma telah
diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal dari marker diferensiasi epidermal,
seperti filaggrin dan involucrin, c-jun,

p53 protein, peningkatan reseptor epidermal growth factor terlihat dalam matriks
kolesteatoma telinga tengah. Peningkatan cytokeratin (CK 13 dan 16), di mana marker
diferensiasi dan hiperproliferasi juga ditemukan. Kim dkk mendemonstrasikan
peningkatan ekspresi cytokeratin CK 13 dan 16 pada area perifer pars tensa yang
diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi liang telinga dan area perifer serta sentral pars
tensa yang diinduksi kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius. Peningkatan ekspresi
human intercellular adhesion molecule-1 dan 2 terlihat yang memiliki peran terhadap
migrasi sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan proliferasi
dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan dengan kolesteatoma
(Chole & Sudhoff 2005).
Terdapat berbagai laporan bahwa respon imun terlibat dalam derajat hiperproliferasi
epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan reaksi imun dan menunjang
proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1 (Chole & Sudhoff 2005).
D. Teori Metaplasia Skuamosa
Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi
metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin.
Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada
penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum
berhasil dipaparkan (Chole & Nason 2009).
2.2.4 Inflamasi dan proliferasi sel
Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu
ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Tulang merupakan
organ dinamis yang secara konstan melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi
homeostasis kalsium dan integritas struktural. Sintesa dari matriks dilakukan oleh
osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang

bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik
oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang
karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel
prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor B
Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan
normal, osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan
osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis,
banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang
penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan
RANK untuk RANKL. Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada
kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini
menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses
inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines
(Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factoralpha (TNF) dan prostaglandin juga
diketahui meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui
lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya
memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009).
2.2.5 Gejala dan tanda
Gejala khas dari OMSK adalah telinga berair berkepanjangan melalui membran timpani
yang tidak utuh lagi. Telinga biasanya tidak terasa sakit kecuali jika bersamaan dengan
otitis eksterna ataupun jika komplikasi intrakranial atau temporal. Pasien juga
mengeluhkan telinga berair. Pemeriksaan otoskopi biasanya menemukan perforasi
membran timpani dengan mukosa telinga tengah yang sedikit edema. Pada OMSK tipe
bahaya, juga sering disertai dengan adanya jaringan granulasi pada sekitar daerah
perforasi (Lee 2008)

Menurut Djaafar (2007), tanda- tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah :
1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler
2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam
telinga tengah.
3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum
4. Sekret berbau nanah dan berbau khas
5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada rontgen mastoid
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis OMSk ditegakkan dengan beberapa tahapan (Lee et al, 2007; Chole & Nason
2009 ; Dhingra 2010, Vercryysse et al. 2010):
1. Anamnesis
Penyakit ini datang dengan perlahan lahan dan gejala yang paling sering
dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang berbau busuk,
kadangkala disertai jaringan granulasi ataupun polip, maka sekret yang keluar
berupa darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang
pendengaran atau telinga berdarah.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi menunjukkan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai
kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos proyeksi schuller berguna untuk menilai kolesteatoma,
sedangkan pemeriksaan CT Scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi
tulang temporal dan kolesteatoma.
4. Pemeriksaan audiologi
Audiogram nada murni digunakan untuk menilai hantaran udara dan tulang,
penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk
menentukan gap udara dan tulang.

Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada kasus
untuk memperbaiki pendengaran.
5. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotika
yang tepat.
2.2.7 Penatalaksanaan
Prosedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma:
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalisir
risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif
pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan
obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright
& Valentine 2008).
Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara
umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal
wall) mastoidektomi (Wright & Valentine 2008).
a. Canal wall down procedures
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding
posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung
dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Dhingra 2007; Merchant, Rosowski & Shelton
2009).
b. Intact canal wall procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior
liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum.
Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila
kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan

complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dimasuki. Diseksi matriks
kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen
kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan second look operation
setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine
2008; Chole & Nason 2009).
2.2.8. Komplikasi otitis media kronis dan kolesteatoma
Komplikasi dapat dibagi atas : ( Dhingra 2010)
A. Komplikasi Intratemporal
Petrositis
Paralisis nervus fasialis
Labirinitis
Mastoiditis
B. Komplikasi intrakranial
Abses ekstradural
Abses subdural
Meningitis
Abses otak otogenik
Tromboplebitis sinus lateralis
Hidrosefalus otikus
2.3 Stadium Kolesteatoma
Pembagian stadium pada kolesteatoma secara berguna untuk pemilihan prosedur
operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang
dipublikasikan. Pada tahun 1999, Saleh & Mills mengajukan stadium kolesteatoma
berdasarkan perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre operasi. Hal ini
menunjukkan hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya
komplikasi. Pembagian stadium pada kolesteatoma berguna untuk

pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi


timpanomastoidektomi yang dipublikasikan (Saleh & Mills 1999).
A. Berdasarkan lokasi kolesteatoma, Saleh & Mills (1999) membagi stadium
kolesteatoma menjadi:
S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal
S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal
S3 : Bila mengenai tiga lokasi
S4 : Bila mengenai empat lokasi
S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi.
Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi Saleh dan Mills
membagi stadium kolesteatoma menjadi:
C1 : Bila tidak terdapat komplikasi
C2 : Bila terdapat komplikasi
C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih (Nunes et al. 2009).
B. Menurut Japan Otological Society (JOS) stadium kolesteatoma primer terdiri atas:
(Ikihara et al 2011)
Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atic
Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi daerah atic
Stadium III : Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan sedikitnya satu komplikasi di
bawah ini:
Kelumpuhan saraf fasialis
Komplikasi intrakranial
Fistel labirin
Defek luas pada kanal telinga luar
Ganguan pendengaran sensorineural luas
Adhesi total pada membran timpani
C. Berdasarkan derajat dektruksi tulang, kolesteatoma terbagi atas : (kuczkowski et al
2011)

Mild : erosi dari skutum dan osikel


Moderate : destruksi dari tegmen dan seluruh osikel
Severe : destruksi dari seluruh osikel, labirin tulang, kanalis fasialis dan liang telinga
luar.
Sedangkan derajat invasi kolesteatoma terdiri atas 3 kelompok yaitu:
Derajat 1 : melibatkan 1 area (epitimpanum atau mesotimpanum)
Derajat 2: melibatkan 2 area (epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum
Derajat 3 : mesotimpanum, epitimpanum dan antrum
2.4. Ki-67
Proliferasi sel adalah dasar yang berperan penting terhadap proses biologis yang
dikontrol oleh mekanisme yang sangat serasi. Jaringan regulasi kompleks akan bertindak
sebagai mediasi pada embrio dan perkembangan normal serta bertanggung jawab
terhadap respon sistemik berupa inflamasi ataupun proses infeksi. Kemajuan besar
terhadap mekanisme dan regulasi dari siklus sel telah diterima akhir akhir ini. Sejumlah
siklus sel yang dihubungkan dengan sejumlah protein tidak hanya bersifat sementara
pada bagian siklus sel tetapi keberadaannya tidak selalu dihubungkan dengan sejumlah
siklus sel (Schluter 1993).
Antigen Ki-67 pertama sekali diidentifikasi karena reaksifitasnya terhadap antibodi
Ki-67. Protein ini adalah protein inti dan tidak hanya dihubungkan dengan proliferasi sel
somatik tapi juga diintegrasikan dengan jaringan regulasi protein yang menjalankan
siklus pembagian sel. Sejak protein Ki-67 diaktifkan pada fase aktif dari siklus sel
( G1,S,G2 dan mitosis tetapi tidak aktif pada fase istirahat (G0), hal ini menunjukkan
bahwa Ki-67 merupakan marker proliferasi dihubungkan dengan rangkain penyakit. Gen
Ki-67 berasal dari isoform dua protein yang dihasilkan oleh penyambung alternatif dari
prekusor M-RNA. Kedua isoform dengan 320 dan 359 kDa dikarakteristikan oleh
sejumlah tempat posforilasi seperti protein kinase c, casein kinase II, tyrosin kinase dan
cdc2 kinase. Fosforilasi dan

defosforilasi dari protein Ki-67 dikendalikan oleh kunci regulasi cyclinB/cdc2 yang
paralel untuk transit dari mitosis sel (Tian 2010 ; Schluter 1993).
Ekspresi KI-67 mencerminkan keadaan fisiologis tertentu dari sel. Walaupun fungsi yang
tepat dari protein Ki-67 selama proliferasi sel masih sulit dijelaskan. Baru- baru ini,
sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sintesis DNA dapat dihambat oleh
komplimenter oligodeoksinukleotida dari mRNA Ki-67 (Tian 2010).
Sejumlah penelitian yang menggunakan Ki-67 selain pada kolesteatoma juga sering
digunakan pada beberapa tipe kanker seperti karsinoma, sarkoma, limfoma dan glioma
(Torp 2002).
2.5. Ki-67 terhadap kolesteatoma
Kolesteatoma dianggap memiliki karakteristik proliferatif dan sejumlah penelitian telah
menguraikan mekanisme proliferatif dari kolesteatoma (Chae et al, 2000). Meskipun
telah banyak penelitian berfokus pada mekanisme pembentukan kolesteatoma,
patogenese yang tepat dari penyakit ini belum juga berhasil diungkapkan.
Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh
osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi
faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa
terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan
osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator
of Nuclear Factor B Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (MCSF). Pada keadaan normal, osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk
memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK.
Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin
tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang
berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al

(2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan


dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma
meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses
osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis
Factoralpha
(TNF)
dan
prostaglandin
juga
diketahui
meningkatkan
osteoclastogenesis (Chole & Nason 2009). Proses inilah meningkatkan aktivitas
proliferatif sel yang dinilai dengan antigen Ki-67.
Sikka et al (2011) di India melakukan penelitian untuk mendeteksi proliferasi
kolesteatoma dibandingkan kulit normal dengan menggunakan Ki-67 sebagai marker
dan menemukan kolesteatoma memiliki overekspresi yang tinggi dibandingkan kulit
normal.
Kuczkowski et al (2007) di Polandia melakukan penelitian untuk menganalisis ekspresi
Ki-67 pada kolesteatoma telinga tengah dengan jumlah sebanyak 51 spesimen
mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 pada 21 sampel (41,5%) dan menyimpulkan
bahwa Ki-67 memiliki peran penting pada proliferasi sel.
Olsweska et al (2006) di Polandia menemukan penelitian terhadap 29 pasien dengan
kolesteatoma dan menemukan ekspresi kolesteatoma meninggi sekitar 22% dibanding
kulit yakni sekitar 7 %.
Raynov et al (2005) di Bulgaria melakukan penelitian terhadap 5 pasien dengan
kolesteatoma dan menemukan bahwa ekspresi Ki-67 terjadi pada setiap fase sel, tetapi
tidak terjadi pada fase istirahat.
Huisman et al (2003) di Belanda menemukan ekspresi positif Ki-67 pada pasien dengan
kolesteatoma dan lebih dominan ditemukan di daerah basal dan parabasal epitel.
Chae et al (2000) di Korea melakukan penelitian untuk mendeteksi ekspresi pada Ki-67
pada 27 sampel dan mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 lebih tinggi pada
kolesteatoma di epitel (36, 6% 10,8%) dibandingkan pada liang telinga (23,8%
4,0%). Peneliti menemukan

You might also like