You are on page 1of 14

Demokrasi Internal Partai: Pengaruh Kepemimpinan,

Bentuk Partai dan Anggota Partai

Pendahuluan
Partai politik merupakan pilar penting dalam sistem demokrasi.
Keberadaan partai politik merupakan hal yang mutlak selama sistem
demokrasi berlaku. Namun untuk mewujudkan pemerintahan yang
demokratis, juga hal yang sangat penting bagi partai untuk mewujudkan
demokrasi di internal partai sendiri, sebab hal yang aneh apabila partai
sebagai penopang demokrasi namun dalam pengelolaan internalnya tidak
demokratis. NDI menawarkan model sederhana tentang intra party
democracy, sebuah partai yang tumbuh dari nalar yang demokratis, diisi
dengan sumber daya yang demokratis, dan memiliki serangkaian tata
laksana program dan organisasi yang demokratis.1
Maka, kami tertarik untuk membahas demokrasi internal partai pada
makalah ini. Tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan, yaitu apa
indikator internal partai yang demokratis? Lalu, akan kami kaitkan dengan
apakah bentuk partai khususnya kartelisasi mempengaruhi demokrasi
internal partai? Itu akan dijelaskan melalui analisis dari studi kasus yang
dilakukan oleh Karl Loxbo dalam tulisannya yang berjudul The Fate of IntraParty Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass
Party and The Cartel Party.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu terdapat beberapa konsep
yang akan kami pakai untuk menjelaskanya, pertama, akan dijelaskan
mengenai konsep demokrasi dalam konteks internal partai, ini bertujuan
untuk mengetahui indikator demokrasi telah diterapkan atau belum. Kedua,
1 Dalam Suwandono, Miftah Adi Ikhsanto, dan Andi Ali said dalam Agung
Djojosoekarto dan Utama Sandjaja(eds.), Transformasi Demokratis Partai Politik di
Indonesia: Model, Strategi dan Praktik (Jakarta: Kemitraan, 2008) hlm.91

konsep kepemimpinan dan organisasi oleh Robert Michels. Konsep ini dipilih
karena kepemimpinan dan keorganisasian adalah faktor penentu suatu
partai demokratis atau justru oligarkis.2 Ketiga, tentang fungsi rekriutmen
partai. Konsep kepemimpinan, organisasi dan rekruitmen saling
berhubungan, itu dipakai karena dari ketiga konsep tersbut dapat diketahui
tidak hanya praktik demokrasi internal partai juga hubungannya dengan
bentuk dan pengelolaan partai. Keempat, konsep kartelisasi partai, ini terkait
studi kasus yang akan dibahas. Terakhir, konsep-konsep tersebut akan
dibenturkan dengan studi kasus yang telah disebutkan dimuka, ini sekaligus
akan membuktikan asumsi di dalam konsep-konsep tersebut apakah sesuai
dengan realita atau tidak?
Demokrasi dalam Konteks Internal Partai
Sebagai pembuka pembahasan mengenai demokrasi internal partai perlu
diketahui apa yang dimaksud demokrasi khususnya dalam konteks internal
partai. Menjawab pertanyaan ini dapat kita pinjam pendapat Rahat.3 Ia
mengusulkan untuk mempertimbangkan dua presepsi umum terkait
demokrasi. Pertama, presepsi positif tentang demokrasi; yakni demokrasi
sebagai sebuah sistem yang memungkinkan semua warga berpartisipasi
dalam memilih di antara calon dan kelompok yang bersaing, yang
mengklaim paling mewakili kepentingan dan nilai mereka. Dalam prespektif
ini, sistem yang lebih demokratis adalah yang secara optimal, bukan yang
ideal, menyeimbangkan partisipasi, kompetisi, representasi, dan
responsivitas; bukan sebuah sistem yang sepenuhnya memenuhi semua
tujuan tersebut pada saat yang sama.
Kedua, dengan pandangan negatif tentang demokrasi. Gagasan negatif
tentang demokrasi ini menganggap segala bentuk kekuasaan adalah
2 Lihat penjelasan Lipset mengenai pemikiran Robert Michels dalam Robert Michels,
Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi (Jakarta: Rajawali, 1984)
3 Rahat dalam Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia
(Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism (IDW), 2011) hlm.99

potensial terjadinya penyimpangan (korup), tidak peduli apakah itu di


tangan rakyat atau sebuah oligarki, dan karenanya menekankan
pembatasan kekuasaan. Dari sudut pandang tersebut partai disebut lebih
demokratis apabila terjadi distribusi kekuasaan sehingga memungkinkan
mekanisme checks and balances.
Sehingga gagasan utama demokrasi internal partai terletak pada
apakah partisipasi di internal partai telah berjalan dan ada tidaknya
mekanisme checks and balances melalui pembatasan kekuasaan di dalam
partai.
Konsep Oligarki Partai Politik : Pengaruh Kepemimpinan dan
organisasi Partai Politik
Kepemimpinan partai politik sangat berpengaruh dalam pengelolaan
partai. Memakai pandangan Robert Michels, kepemimpinan merupakan
sebuah kebutuhan dari setiap kehidupan berkelompok dan pemimpin
memiliki sifat superioritas (memiliki keunggulan dibanding yang lain).
Menurut penjelasan Lipset mengenai pandangan Michel tersebut, selain
merupakan kebutuhan alami, posisi unggul yang dimiliki pemimpin itulah
yang memungkinkan faktor-faktor teknis-administratif, psikologis, dan
intelektualitas yang lebih dikuasai oleh elit.4
Kemudian, dijelaskan bahwa justru keunggulan elit partai dan harapanharapan masa itulah yang secara bersama-sama membangun situasi bagi
tumbuhnya pola tingkah laku oligarkis di dalam partai atau partai dikuasai
oleh beberapa orang saja (elit). Sehingga kepemimpinan mempunyai andil
yang besar dalam mewujudkan partai tersebut bersifat demokratis atau
oligarkis.
Selain itu, domkratis atau tidaknya partai dipengaruhi pula oleh
organisasi partai tersebut. Agar lebih jelas mengenai hal itu dapat dilihat dari
4 Robert Michels, Op. cit., hlm. xiii

analisis Michels mengenai apakah partai dinilai demokratis atau oligarkis


dengan dua sudut pandang tadi, yaitu kepemimpinan dengan tiga
indikatornya yaitu ideologi, pengutamaan kepentingan dan tujuan para
pemimpin. Kedua, dari sudut pandang organisasi. Analisis tersebut dapat
digambar kan sebagai berikut:

PEMIMPIN
Progresif
Seluruh
DEMOKRATI
S

anggota
Perubahan

Ideologi
Kepentingan
Tujuan
Pemimpin/Elit

Konservati
f
Elit Partai

OLIGARKIS

Stabilitas

ORGANISASI
Ringkas

Prosedur

Anggota
dan yang

Perhatian

lain

Birokrasi
Kelompok
Inti

Sudut Pandang Kepemimpinan


1. Ideologi
Apabila pemimpin partai menerapkan sifat progresif dari
ideologi, maka partai tersebut akan menjadi demokratis karena sifat
progresif ideologi membawa partai menjadi dinamis dan
memungkinkan partisipasi anggota terwadahi. Sementara itu,
apabila sifat konservatif dari ideologi menjadi perhatian utama
pemimpin maka partai cenderung oligarkis.
Misal, sebagai contoh sederhana, suatu partai berideologi
tertentu, jika sifat progresif ideologi tersebut yang diambil maka
dapat mendorong partai selalu memperjuangkan tujuan sesuai
ideologi dan progresifitas ideologi selalu memunculkan
pembaharuan dan kemajuan termasuk dalam hal pergantian
5 Ibid., hlm. xv

kepemimpinan, kaderisasi, arah perjuangan partai dan kebijakan


partai.
Akan tetapi apabila sifat konservatif dari ideologi yang diambil
oleh pemimpin maka hasilnya ideologi tersebut akan digunakan
untuk mempertahankan nilai-nilai yang ada atau bisa juga
digunakan melanggengkan kekuasaan. Partai akan cenderung
menerima keadaan yang telah mapan, keputusan dan nilai-nilai
akan memakai ukuran yang telah ditetapkan atau dianggap baik
oleh para elit partai.
Sifat konservatif tersebut dapat berupa anggapan bahwa nilainilai ideologi partai yang diajarkan oleh pendiri partai adalah yang
terbaik dan harus dijalankan. Lalu yang menyebabkan partai
menjadi oligarkis adalah pandangan tersebut dimanfaatkan untuk
melegitimasi kepemimpinan. Misal, yang berhak menafsirkan dan
meneruskan kepemimpinan partai adalah keturunan atau orang
dekat pendiri partai, ini berarti oligarkis karena sirkulasi
kepemimpinan hanya akan berputar pada orang-orang terdekat
sementara anggota partai secara keseluruhan tertutup hanya untuk
berpartisipasi.
2. Pengutamaan Kepentingan
Pengutamaan kepentingan maksudnya bagaimana
kepemimpinan partai mewadahi dan melayani kepentingan
anggota partai. Jika kepemimpinan partai politik mampu melayani
kepentingan keseluruhan anggota maka demokrasi internal partai
akan terjamin. Namun, apabila kepemimpinan partai hanya
mengutamakan kepentingan sekelompok kecil atau para elit partai
maka partai menjadi oligarkis.

3. Tujuan Pemimpin
Jika tujuan pemimpin adalah merealisir kemajuan dan perubahan
maka partai akan terdorong menuju demokratisasi. Sebaliknya jika

tujuan pemimpin memelihara stabilitas partai maka mendorong


partai menjadi oligarkis.6
Sudut Pandang Organisasi
1. Prosedur
Penjelasan Lipset mengenai gagasan Robert Michels
menyebutkan bahwa jika organisasi dikelola dengan
disederhanakan dan didasarkan pada saling pengertian maka partai
akan mendekati demokratis. Sebaliknya, jika organisasi sudah
berkembang menjadi sedemikian besar dan hubungan di dalamnya
begitu dikendalikan oleh suatu sistem birokrasi maka partai akan
menjadi oligarki.7 Jika tata cara organisasi partai dikelola dengan
prinsip saling pengertian berarti ada kesetaraan dan penghargaan
hak dari setiap anggota di situ, dan hal itu memungkinkan adanya
partisipasi dari seluruh anggota, ini sesuai dengan demokrasi.
Sebaliknya organisasi partai yang bersifat birokratis, hirarkis dan
kaku berpotensi memunculkan penguasaan partai pada pucukpucuk struktur tersebut atau elitnya saja, hal ini menyebabkan
partai menjadi oligarkis.
2. Perhatian
Penjelasannya, suatu organisasi apalagi yang sangat besar akan
menggantungkan keputusan pada kelompok inti organisasi atau
kepemimpinan pusat. Inilah yang mendorong partai menjadi oligarki
(dikuasai oleh beberapa orang).

Mengukur Demokrasi Internal Partai dari Fungsi Rekruitmen Politik

6 Ibid., hlm. xiv


7 Loc. Cit.

Fungsi Rekruitmen Politik merupakan fungsi yang sangat penting dalam


partai politik,

demokrasi internal partai, hal itu dikarenakan rekruitmen

politik partai dapat menjelaskan banyak hal dari dinamika politik partai, 8
diantaranya dapat menunjukkan lokus kekuasaan, apakah oligarkis atau
menyebar. Kedua,menggambarkan perjuangan kekuasaan internal partai dan
distribusi kekuasaan. Ketiga, menunjukkan representasi politik internal
partai. Keempat, menggambarkan sirkulasi elit partai terjadi. Kelima, pasca
rekruitmen, dapat menggambarkan wajah partai dimata public atau identitas
partai.9
Dalam prosesnya, rekrutmen politik di dalam partai ditentukan oleh
agen pembuat keputusan. Norris dan Lovenduski (1995;2-8 dalam
Pamungkas, 2011;97) membagi agen pembuat keputusan dalam rekruitmen
politik berdasar, yaitu (1) dimensi bagaimana kekuasaan disebarkan, yaitu
tersentralisasi di pusat, reginal, atau lokal; dan (2) bagaimana formalisasi
keputusan dibuat, apakah secara formal atau informal. Informal berarti tidak
ada standar norma yang dibakukan dan terdapat sedikit aturan dan regulasi
konstitusional yang mengikat; dan formal berarti terdapat standarisasi
prosedur yang dibakukan dan dieksplisitkan dalam proses rekruitmen.
Proses rekruitmen :
Agen Pembuat Keputusan
Pusat

Regional

lokal

Proses Informal
Proses Formal
(Norris dan Lovenduski, 1995:4 dalam Pamungkas, 2011:97)

Apabila dianalisis menggunakan konsep demokrasi yang ditawarkan


oleh Rahat seperti yang telah diterangkan pada bab sebelumnya maka
8 Sigit Pamungkas, Op. cit., hlm. 90
9 Ibid., hlm.90-91

proses formal dan terlokal dianggap paling demokratis. Sebab, ketika


kekuasaan pemilihan kandidat semakin disebarkan diantara sejumlah actor
politik yang berbeda-beda, semakin menciptakan keseimbangan kekuasaan
(checks and balances)10. Selain itu adanya standarisasi (formal), rekruitmen
yang dilakukan akan berjalan dengan adil dan memperkecil kemungkinan
terjadinya kecurangan atau intervensi kekuasaan internal partai.

Partai Kartel
Partai kartel merupakan penggabungan partai di parlemen atau kekuatan
politik diparlemen dan apparatus negara serta kelompok-kelompok
kepentingan. Tujuan utamanya adalah mempertahankan kekuasaan
eksekutif.11Menurut Wolinezt, orientasi partai ini adalah pencari jabatan
(office seeking) sehingga debat internal tentang kebijakan partai terbatas
dan kalaupun ada kurang fokus dan terbatas pada pimpinan partai atau
komite kebijakan.12Pendapat konsep kartelisasi menunjukkan partai model ini
dalam pembuatan kebijakan sangat bergantung pada elit. Dengan kata lain
partai kartel cenderung oligarkis dan demokrasi internal partai tidak
berjalan.
Berbicara mengenai perkembangan partai tentu perlu membandingkan
antara model partai dalam kasus ini partai model kartel yang dianggap
mewakili model partai modern dengan partai pada perkembangan
sebelumnya, seperti partai massa. Beberapa sarjana terkemuka berpendapat
bahwa organisasi partai yang modern sudah meninggalkan cita-cita dan
praktek yang berhubungan dengan partai massa-misalnya partisipasi,
10 Ibid., hlm. 100
11 Ibid., 39
12 Ibid., 40

musyawarah, dan akuntabilitas kepemimpinan (misalnya Hopkin,2004;645). 13


Dengan demikian, ketika membandingkan pembuatan kebijakan antara
partai massa dengan elit partai kartel, berdasar konsep beberapa ahli
menunjukkan ada penurunan demokrasi.
Studi Kasus : Partai Sveriges Socialdemokratiska Arbetareparti
(SAP)14
Pada tulisan yang berjudul The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership
Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party, Karl
Loxbo mencoba membuktikan hipotesis yang tersebar luas yang menyatakan
bahwa demokrasi internal partai telah menurun semenjak perkembangan
partai dari model partai massa berubah menjadi partai kartel. Untuk menguji
itu ia melakukan penelitian dengan membandingkan antara dua proses
pembuatan kebijakan pada partai Partai Sosial Demokrat Swedia (bahasa
Swedia : Sveriges socialdemokratiska arbetareparti, SAP), yaitu pada tahun
1950an saat berbentuk partai masa dan pada tahun 1990 yang berubah
menjadi model kartel. Hasilnya dapat dapat dilihat dari table ini :

Perkemban
gan model

Pembuatan Kebijakan internal

Propaganda pers

partai
Partai Massa

Pemimpin partai mengesahkan

kebijakan resmi partai, padahal

yang dikontrol pemimpin

para aktivis/anggota sebenarnya


-

memiliki alternatif lain.


Tidak ada pertimbangan kritis

Partai memiliki media

partai
Publikasi hanya
menyangkut kebijakan

13 Karl Loxbo, The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and


Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party, Jurnal Sage, Vol. 19(4), 15
Januari 2011, hlm. 538
14 Bab penjelasan ringkas dari Karl Loxbo, The Fate of Intra-Party Democracy:
Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party,
Jurnal Sage, Vol. 19(4), 15 Januari 2011

saat kongres, anggota


-

cenderung menerima saja.


Kongres-kongres tidak memberi

resmi saja
Perdebatan ideologi
internal partai tidak

kesempatan untuk

dipublikasi

memperdebatkan keputusan
Partai Kartel

Sama , pemimpin masih

berperan dalam menentukan

tidak sekuat dulu walau

arah kebijakan.
Kongres dibanjiri anggota partai,

sebenarnya pada masa ini


pemimpin partai jauh

ada kebebasan
-

Kontrol masih ada tetapi

berpotensi mengontrol,

mengungkapkan pandangan.
Pemimpin berusaha kongres

tapi kenyataannya tidak,


justru artikel banyak

menerima keputusan akhir,

ditulis secara independen

namun karena terjadi


perdebatan akhirnya keputusan

diambil setelah berkompromi

dan lebih bebas


Artikel tentang kebijakan
resmi justru berkurang

dengan aktivis/anggota dan

dan banyak artikel

pemimpin partai menyetujui

membahas tentang hal

tuntutan anggota.

lain terkait partai


-

tersebut.
Perdebatan ideologi
internal partai justru
banyak mewarnai tulisan
di media partai (62%
ditahun 1992 & 1997).

Hasil diatas melemahkan pendapat bahwa semakin kartel suatu partai


maka partai tersebut kehilangan sisi demokratis dan mengarah pada
olirgakis. Menengok penjelasan mengenai konsep demokrasi internal partai

yang bertumpu pada argument bahwa kepemimpinan partai sangat


menentukan praktik demokrasi internal partai, sesuai dengan pendapat
Robert Michels. Demikian juga pada konsep rekruitmen politik, pada akhirnya
rekruitmen pun akan ditentukan oleh agen pembuat keputusan. Pendapat
tersebut semakin kuat dalam menjelaskan praktik oligarki ketika dibahas
dalam konteks partai kartel. Partai kartel yang mengedepankan niai-nilai
konservatis mendukung tumbuh suburnya oligarkis dan menghalangi adanya
partisipasi luas dari anggotanya demi perubahan. Namun sekali lagi,
penelitian Karl Loxbo melemahkan pendapat-pendapat itu.
Studi kasus melihat pada masalah pembuatan kebijakan internal dan
propaganda pers di partai SAP. Perbedaan proses pembuatan kebijakan
internal antara sebelum menjadi partai kartel dan sesudah kartelisasi. Ketika
masih menjadi partai massa, kebijakan internal partai SAP justru lebih
didominasi oleh pemimpin partai. Meskipun anggota lain memiliki alternatif
lain namun pemimpin partai tetap mengesahkan kebijakan. Anggota partai
mengajukan suatu alternatif lain mengenai reformasi pensiun, namun
keputusan pemimpin partai tidak dapat diubah dengan alasan partai
mencoba menghindari debat internal yang mampu merusak partai.
Anggota partai SAP ketika masih berbentuk partai massa cenderung
diam saja dan menerima hasil ketika kongres. Anggota partai tidak
memberikan pertimbangan yang kritis saat kongres. Hal ini didukung pula
dengan tidak diberikannya kesempatan untuk memperdebatkan keputusan
oleh kongres. Seharusnya cita-cita partisipasi anggota partai massa dapat
diwujudkan oleh partai SAP.
Perubahan kemudian terjadi ketika partai SAP mengalami kartelisasi.
Meskipiun pemimpin partai masih berperan dalam proses pembuatan
kebijakan, setidaknya kran partisipasi anggota mulai terbuka. Kongres partai
mulai dibanjiri anggota partai, tidak seperti sebelumnya yang membatasi
kebebasan bersuara anggota, kali ini anggota diberikan kebebasan untuk
memberikan pandangan mereka. Selain itu, terjadi perdebatan mengenai

keputusan kongres yang sebelumnya ketika masih menjadi partai massa


perdebatan itu tidak diperbolehkan. Keputusan kali ini tidak hanya
ditentukan oleh satu pihak, keputusan kali ini merupakan hasil dari
kolaborasi dari tuntutan anggota. Hal-hal tersebut menunjukkan peningkatan
partisipasi anggota di parta SAP. Dengan demikian, partai SAP yang
merupakan partai kartel ternyata justru masih memiliki nilai demokratis di
dalamnya yang mampu mengalahkan dominasi elit partai.
Hal penting yang harus dicermati adalah adanya perbedaan antara
pemimpin partai era partai massa dan partai kartel. Pemimpin partai pada
era partai kartel seharusnya dapat mempengaruhi secara penuh atas
pertimbangan kebijakan dan aktivis, namun dari studi kasus terlihat
pemimpin partai memiliki pengaruh yang sangat kurang dibandingkan
pengaruh aktivis dan anggota partai. Kemudian kontrol proganda pers pun
yang seharusnya mampu dijadikan alat pengontrol justru lepas dari tangan
pemimpin partai.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk partai tidak selalu
berkolerasi pada praktik demokrasi internal partai. Juga dengan pendapat
bahwa kepemimpinan akan selalu menjadi kekuatan penentu dalam
mengarahkan partai apakah demokratis atau justru oligarkis. Kasus SAP
membuktikan bahwa demokrasi internal partai dapat diwujudkan justru dari
kekuatan anggota/aktivis partai, meski bentuk partai kartel berpotensi
memunculkan oligarki namun bila kekuatan anggota mampu mengimbangi
elit dan berhasil melakuan kompromi dan tekanan, demokrasi internal partai
dapat didorong. Partipsipasi dapat terwujud dan pembatasan kekuasaan
serta checks and balances juga dapat berjalan.
Kesimpulan
Dari penjelasan konsep dan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa
hal terutama dalam menjawab pertanyaan yang menjadi rumusan masalah,
pertama, indikator demokrasi dapat diukur dari apakah adanya partisipasi

bagi seluruh anggota dan adakah pembatasan kekuasaan serta mekanisme


checks and balances.
Kedua, praktik demokrasi internal partai yang dijelaskan melalui
konsep kepemimpinan, organisasi dan rekruitmen politik pada akhirnya
ketiganya berargumen bahwa kekuatan pemimpin sangatlah berpengaruh
dalam membawa arah partai apakah demokratis atau oligarkis. Pada
rekruitmen politik bila dilihat bahwa fungsi ini termasuk dalam mekanisme
pembuatan kebijakan internal partai ternyata pada akhirnya akan bermuara
pada agen pembuat keputusan, jadi rekruitmen pun tidak bisa lepas dari
siapa yang memutuskan. Konsep tersebut semakin kuat apabila digunakan
dalam menjelaskan model partai yang berubah menjadi partai kartel. Partai
kartel yang dikuasai elit dalam menentukan pembuatan kebijakan sangat
sesuai dengan argument dari ketiga konsep diatas.
Namun, dari hasil pnelitian Karl Loxbow menunjukkan hipotesis
tersebut dapat dilemahkan. Kesimpulan terakhir pada makalah ini bahwa
bentuk partai tidak selalu berkolerasi pada praktik demokrasi internal partai.
Juga dengan pendapat bahwa kepemimpinan akan selalu menjadi kekuatan
penentu dalam mengarahkan partai apakah demokratis atau justru oligarkis.
Kasus SAP membuktikan bahwa demokrasi internal partai dapat diwujudkan
justru dari kekuatan anggota/aktivis partai, meski bentuk partai kartel dan
berpotensi memunculkan oligarki namun bila kekuatan anggota mampu
mengimbangi elit dan berhasil melakuan kompromi dan tekanan, demokrasi
internal partai dapat didorong. Partipsipasi dapat terwujud dan pembatasan
kekuasaan serta checks and balances juga dapat berjalan.

Daftar Pustaka
Loxbo, Karl. 2011. The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership
Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party.
Jurnal Sage, Vol. 19(4), 15 Januari 2011
Djojosoekarto, Agung dan Sandjaja, Utama (eds.). 2008. Transformasi
Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi dan Praktik. Jakarta:
Kemitraan
Michels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam
Birokrasi. Jakarta: Rajawali
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia.
Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism (IDW)

You might also like