You are on page 1of 24

HUKUM WARIS ADAT

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, Mata Kuliah Hukum
Adat Dalam Perkembangan, Semester IV, Tahun Akademik 2014 2015
Disusun Oleh :
Yadi Supriatna

131000303

Di bawah Bimbingan
Sisca Ferawati B, S.H., M.Kn.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN
Jalan Lengkong Besar No. 68 Bandung
Telp. (022) 4205945, 4262226
www.hukum.unpas.ac.id

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat dan
karunianya kami diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah
mengenai Hukum Waris Adat dengan lancar. Dalam penyusunan makalah ini
saya selaku penyusun berterimakasih banyak kepada para pihak yang memberikan
saran dan kritiknya. Terimakasih juga kepada para penulis buku yang telah saya
kutip pendapatnya dalam isi makalah ini.
Makalah ini menjelaskan mengenai hukum waris adat yang ada di Indonesia. Baik
hukum waris adat bagi garis keturunan patrilineal, matrilineal maupun parental.
Yang mana dalam sistem waris adat tersebut memang terdapat beberapa
perbedaan yang mejadikan sebuah alasan dari sulitnya dalam mengkodifikasikan
hukum waris yang ada di Indonesia saat ini.
Semoga materi dalam makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang
bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis
sampaikan terimakasih.
Bandung, 10 April 2015
Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

...............................................................................................i

Daftar Isi

..............................................................................................ii

Bab I : Pendahuluan ..............................................................................................1


A. Latar Belakang ..................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................1

Bab II : Tinjauan Pustaka

..................................................................................2

Bab III : Pembahasan ..............................................................................................6


A. Pembagian Hukum Waris Menurut Hukum Adat ..................................6
B. Harta Waris Adat ..................................................................................7
C. Hukum Waris Menurut Garis Keturunan : ..........................................10
1. Hukum Waris Adat Patrlinial ........................................................10
2. Hukum Waris Adat Matrillinial
............................................12
3. Hukum Waris Adat Parental/Bilateral
................................13

Bab IV : Penutup

............................................................................................18

A. Kesimpulan
................................................................................18
B. Saran
........................................................................................................19

Daftar Pustaka

............................................................................................iii

ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat,
termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris
diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW, hukum Islam, dan adat.
Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.
Hukum

adat

waris

mempunyai

sistem

kolektif,

mayorat,

dan

individual.Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama,


dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin
memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang
lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua,
dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik
perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya
sendiri.Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi
oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.
Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun
sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing
pihak.Hal

ini

sangat

berbeda

dengan

kewarisan

hukum

BW

dan

hukum Islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah
meninggal dunia.Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum
meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum Islam
bisadisebut sebagai hibah.
Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat,
menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus
disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pembagian waris menurut hukum adat?
2. Bagaimana & Seperti apakah harta waris adat?
3. Bagaimana pembagian waris adat berdasarkan garis keturunan?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat
dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW)1. Hal ini adalah akibat warisan hukum yang
dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono
Projodikoro (19911 : 58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial
normatif dalam cara berpikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat
tertentu2.
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat
lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud
dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia kepada
keturunnya.3
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris
Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal
dunia kepada ahli warisnya.
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan
dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya
adalah :4
1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi
1. Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat.
Seminar Pembinaan KuRikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS,
Kaliurang, 1980.hlm 1-20.
2. Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009), hlm. 86
3. http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2
4. Ibid.

atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta
warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian
mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris
Islam.
3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu
penting, karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian
pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan
pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika dicermati berbagai asas tersebut
sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu
Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh.Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga
dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas
keselarasan.Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap
berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa
(tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah
asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan
keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan
tuntas.
Hukum

waris menurut

hukum

adat

pada

dasarnya merupakan

sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi


selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai berikut :
a. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.
Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan
selalu aktual dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian
proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan, pengoperan dan
penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu dari

generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan


pewarisan individual.
b. Harta benda materiil dan imateriil.
Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh
keluarga itu, yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut
harta keluarga (gezinsgoed), dapat diperoleh dengan cara, antara lain : (1)
harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari orang
tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum
perkawinan, (3) harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa
perkawinan, dan (4) harta yang ketika menikah kepada pengantin (suami
istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya memiliki beberapa
fungsi :
1) Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang
dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah tangga.
2) Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuankesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh keturunan.
3) Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada
kesatuan-kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan
itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan keluarga.
4) Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka
pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau
pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.
Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka
dalam hukum waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :
a) Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang
dibagi-bagikan pada ahli warisnya yaitu kepada anak-anaknya.
b) Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu
meninggal, maka : hartanya menjadi harta pusaka yang dimiliki
oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya
ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan
yang tidak dapat dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, mayorat
(sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli waris) dan

kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang


dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat
(famili)).
c. Satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan
(generasi).
d. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.
Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat
meliputi tiga cara yaitu sebagai berikut :
1) Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam
tiga sistem yaitu waris parental, waris patrilineal, dan waris
matrilineal.
2) Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu
memberikan sutau barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang
diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi emnajdi
dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang
langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat
(pembagian barang milik seseorang yang tidak selalu diikuti
penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat
barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi
sudah meninggal dunai). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah
si pemberi meninggal.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat


Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda,
seluruh harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut:
1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda
mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan
janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.
2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai
anak (jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka
semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling)
menurut pasal 842 BW. Jadi masing masing cucu mendapat 1/20 bagian.
3. Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun
perempuan, anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of
eerstegeboorte).5
Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat,
secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat
terdiri dari tiga sistem, yaitu:6
a. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan
pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli
waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari
harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
b. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu
kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada
anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos
Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki
termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
5 Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII
Press, 2005), hal. 78
6 Lihat Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012), hal 260

c. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris
mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masingmasing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan
masyarakat tanah Batak.

B. Harta Waris Adat


Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris
kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta
waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta
pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.
1. Harta asal
Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris
sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu
berupa harta peninggalan maupun harta bawaan.
Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap
tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga harta
bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami.
Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan
harta peninggalan yang dapat dibagi.Dalam pewarisan yang banyak
membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi, karena
terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk
memiliki secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta
peninggalan tidak terbagi dalam hukum adat kita disebabkan karena sifat
dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa, harta
peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana
misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus
mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan
terjamin bila diadakan pembagian.
Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang,
sawah atau peladangan.Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka
adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat pengusaannya.Harta
peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan melainkan

secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu
tersebut.
Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon
penguasaannya dipimpin oleh mamak kepala waris di Minangkabau, kepala
dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta peninggalan tak terbagi
karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus
seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta
peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang menggantikan
kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudarasaudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta
peninggalan hanya dikuasai dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan,
pada umumnya banyak harta peninggalan tetap tinggal tidak dibagi-bagi
dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga
yang ditinggalkan. ( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).
Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya
terdapat pada masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di
Jawa, dan tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah yang harta
peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman dan merenggangnya
sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat
dibagi. Demikian juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi
atau tetap terbagi-bagi hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta
diluar harta tubang dapat dibagi.Harta yang dapat dibagi biasanya
merupakan harta pencaharian atau harta bawaan.
Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri
sebelum perkawinan.Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan
harta bawaan isteri.Harta bawaan itu ada yang terikat dengan kerabat dan
ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat dengan
kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke
tempat kediaman isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di
Minangkabaum harta yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih
gadis di Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman suaminya
(patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan yang

tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami
selagi masih bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan), harta
penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta
perempuan ataupun harta laki-laki. Kedua harta ini dalam masyarakat kita
mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai dengan bentuk masyarakat itu.
2. Harta pemberian
Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena
pemberian, baik pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang
tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-hadiah perkawinan
atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan dengan harta asal,
sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian
ada setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa
masyarakat terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada
anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak tersebut
dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si isteri
ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali
pada kerabatnya. Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman
sekerja. Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak
suami-isteri, sama halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif
pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya didasarkan rasa
kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang lain
karena rasa persahabatan dan sebagainya.
3. Harta pencaharian
Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri,
suami saja atau isteri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri
atau salah satu pihak. Secara umum harta yang diperoleh dalam
perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa
masyarakat ada harta pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si
isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan sistim kekerabatannya.
Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa
gono-gini, di Kalimantan harta perpantanganm di Bugis dan Makasar
dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah karena harta bawaan,

10

harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang
diberikan tersebut.

C. Hukum Waris Adat Berdasarkan Garis Keturunan


1. Hukum Waris Adat Patrilineal
Patrilineal adalah

suatu adat masyarakat yang

mengatur

alurketurunan berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan


dengan patriarkat atau patriari,

meskipun

pada

dasarnya

artinya

berbeda. Patilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang
berarti "ayah", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi,
"patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak
ayah".
Sementara

itu patriarkat berasal

dari

dua

kata

yang lain,

yaitupater yang berarti "ayah" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti
"memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan berada di tangan ayah
atau pihak laki-laki".7
Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam
hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali.
Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang
telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi
anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris
orang tuanya yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal
seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan dalam
masyarakat Batak pada umumnya.8 Titik tolak anggapan tersebut, yaitu:
a. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;
b. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi
oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal.
c. Perempuan tidak mendapat warisan;

7 http://id.wikipedia.org/wiki/PatRilineal
8 Eman Suparman, Hukum Waris Ri dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung:
Refika Aditama, 2005), hlm. 43

11

d. Perkataan naki-naki menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk


tipuan, dan lain-lain.
Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya
menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam
cerita dan dalam kesusasteraan klasik, kaum wanita tidak kalah peranannya
dibandingkan dengan kaum laki-laki.9
Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan
ahli waris pada masyarakat patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa
faktor sebagai berikut:
1) Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak
dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
2) Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak
memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam
keluarga (marga) suaminya;
3) Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia
masuk anggota keluarga suaminya;
4) Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua
(ibu);
5) Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak
menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli
waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.
Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan
kelompok keutamaan maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan yang
dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat Bali
menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum adat di
Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde
Pudja adalah :
1) Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak
pewaris sendiri.
2) Anak itu harus laki-laki.

9. Ibid. Hlm. 66

12

3) Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang
karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.
4) Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka
kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok
ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak
penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu.10
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa
ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya
sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki,
sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari
harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di
Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan,
sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan,
agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka
pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara pemerasan dan
diumumkan di hadapan masyarakat.11
Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan
anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan
sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya.
Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang
meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik
harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena
di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai
marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris
bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan
ahli waris dari orang tuanya.

10 I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu
Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha
Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.
11.http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf,
hal. 17, 06-11-2013, 07.10 WIB

13

Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggotaanggotanya

menarik

garis

keturunan

melalui

garis

bapak.Sifat

kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan masyarakat


Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur.Pola
pembagian harta warisan masyarakat parental adalah :
a) Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki
b) Kakek, jika tidak memiliki anak laki- laki
c) Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada

2. Hukum Waris Adat Matrilinial


Di RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa
atau kelompok etnik yang ada.Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem
garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem sukusuku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara
lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh
berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut
walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya.12
Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat
tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang
terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.Demikian pula halnya
dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di
Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik
garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa
merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan.Hal itu
mungkin

disebabkan

karena

kekhasannya

dan

keunikannya

bila

dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain


di Indonesia ini.Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di
Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu
yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara
12 Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 4

14

perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun


perempuan.
Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat
menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi
yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta
pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.

3. Hukum Waris Adat Parental/Bilateral


Sistem parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa,
Madura,

Sumatera

Timur,

Riau,

Aceh,

Sumatera

Selatan,

seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.Berbeda


dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan
sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki
ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yangmerupakan ahli waris adalah
anak laki-laki maupun anak perempuan.Mereka mempunyai hak yang sama
atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan
sejumlah hartakekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan
anak perempuan mempunyai
bentuk sistem

kekeluargaan

hak untuk
yang

diperlakukan sama. Tiga

sangat

menonjol

senantiasa

merupakan contoh pembahasan.


Hal tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di
antara ketiga sistem kekeluargaan itu perbedaannya sangat prinsipil karena
seolah-olah

sistem

patrilineal merupakan

kebalikan

dari

sistem

matrilinial.Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem


yang mengambil unsur dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem parental
atau bilateral.
Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak
yang sama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami
dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk keluarga dari
pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak lakilaki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari

15

kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga
termasuk saling mewarisi.
Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya
kepada anak, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan
umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan
sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual
artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau
pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.
Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang
pada umumnya di pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari
beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok,
pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi
hubungan antara pewaris dengan ahli waris.Dari segi ini juga ada dua
kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan
perkawinan suami dan istri.Kelompok kedua adalah kelompok hubungan
kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok
keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris,
canggah pewaris dan seterusnya ke bawah sampai galih asem.Kelompok
asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu
dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut
perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki dan
perempuan.Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari
pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan
seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai
anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak
cucunya.
Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut
keutamaan sebagai mana sistem hukum warisan matrilinial.Menurut
Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau bilateral,

16

artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok
ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh.13
Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum
yang menentukan di antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak
atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok pertama diutamakan dari
kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga
dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat
hukum, bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan
kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai kelompok
ketujuh.Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan
parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena
kelompok ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui
jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga kedudukan ahli waris lakilaki dan perempuan sama sebagai ahli waris
Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan,
sehingga perolehan harta warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu
berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan bagian
perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan
adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok
perempuan bervariasi ada dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat
bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya variasi
itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam
perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding
satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan
mendapat satu bagian, (lihat Quran Surat An-Nisa ayat 11 dan 12).
Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki
dengan perempuan, ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental
khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari hukum Islam, meskipun
dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan
Islam.

13. http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/27 May 2013/ 12:16

17

Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggotaanggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu dan garis
bapak. Pola pembagian harta waris :
a. Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua,
yaitu harta benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli
warisnya adalah :
1) Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian
sama rata,
2) Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang
masih hidup,
3) Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari
yang meninggal (orang tua), bila yang tertua tidak ada, harta asal
jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut (saudara
laki- laki).
b. Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh
pada famili kedua belah pihak.

BAB IV
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Hukum

adat

waris

mempunyai

sistem

kolektif,

mayorat,

dan

individual. Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih
hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris adalah
harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik
yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi
dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak
dan kewajiban yang diwariskan.
Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam
hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali.Yang
menjadi ahli waris hanya anak laki-laki.
Dalam system matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris
dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka
rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan
jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya
adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.
Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri
pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak
perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan
orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari
pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak
untuk diperlakukan sama. Berikut perbandingan tiga sistem kewarisan :

18

19

No. Sistem

Ciri-ciri

Kelebihan

Kekurangan

Kewarisan
Harta peninggalan Para waris dapat Pecahnya harta
1.

Individual

itu

dibagi- bebas mengusai warisan

bagikankepemilik-

dan

memiliki meregangnya

annya kepada para harta


waris

dan

warisan tali kekerabatan.

bagiannya tanpa
dipengaruhi
anggota-anggota
keluarga

yang

lain
Harta peninggalan Dapat
2.

Kolektif

diteruskan

dan apabila

dialih-kan

harta

kepemilikan-nya

itu

dari

terlihat menimbulkan
fungsi cara

berpikir

kekayaan yang

terlalu

sempit, kurang

pewaris diperuntukkan

terbuka karena

kepada ahli waris bagi

selalu

sebagai

terpancang pada

kesatuan kelangsungan

yang tidak terbagi- harta


bagi

keluarga

penguasaannya

tersebut.

anggota kepentingan
keluarga saja

dan pemilikannya.
Harta peninggalan Terletak
3.

Mayorat

pada Tampak apabila

diwarisi

kepemimpinan

keseluruhan-nya

anak tertua yang ternyata

atau
besar

sebagian mengganti-kan
(sejumlah kedudukan

harta pokok dari orang


suatu

keluarga) yang

tidak

mampu
mengurus harta

tuanya kekayaan orang


telah tuanya itu

oleh seorang anak meninggal untuk


saja.

anak tertua ini

mengurus harta.

B.

SARAN
Dalam sistem waris nasional kini sangat sulit untuk diadakan sebuah
kodifikasi, karena dalam sebuah sistem waris nasional terdapat beberapa garis
keturunan dalam sistem hukum adat yang memang amat sangat jauh berbeda dan
apabila dikodifikasikan maka akan hilangnya jati diri negara kita yang terdiri dari
beberapa adat yang berkembang. Memang pada dasarnya apabila seseorang
memiliki keyakinan dan asumsi lain maka akan berubah akan sistem kewarisanya
karena disebabkan oleh beberapa faktor.
Setiap karakter bangsa ini nantinya memang sangatlah menentukan ciri
dari bangsa kita yaitu negara dengan keberanekaragaman adat dan sistem
hukumnya tapi memang hal tersebut sedikit menghambat karena terjadi sebuah
permasalahan yang kompleksitas dimana jika diseragamkan maka akan hilang
sebagian yang menjadi kekhasan negara kita dan apabila tida maka itu dia menjadi
sebuah permasalahan yang membingungkan.
Saran kami selaku penulis memang harus dikodifikasikan tanpa
menghilangkan esesnsi dari sistem hukum adat dari masing-masing adat tersebut
dengan kata lain dikodifikasikan dengan memuat ketentuan-ketentuan khusus
didalamnya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII


Press,2005).
Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Eman Suparman, Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat dan BW,
(Bandung: Refika Aditama, 2005).
http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2
http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal.
http://library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf, hal. 17,
06-11-2013, 07.10 WIB
http://kompasiana.com/post/opini
I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu
Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya
disingkat I Gde Pudja I).
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009).
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012)

You might also like