You are on page 1of 93

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

KATA PENGANTAR
Bencana tanah longsor merupakan fenomena alam, yang terjadi karena dipicu oleh proses
alamiah dan aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam. Proses
alamiah sangat tergantung pada kondisi curah hujan, tata air tanah (geohidrologi), struktur
geologi, jenis batuan, geomorfologi, dan topografi lahan. Sedangkan aktivitas manusia
terkait dengan perilaku dalam mengeksploitasi alam untuk kesejahteraan manusia, sehingga
akan cenderung merusak lingkungan, apabila dilakukan dengan intensitas tinggi dan kurang
terkendali.
Pemanfaatan ruang sebagai salah satu bentuk aktivitas manusia, dalam wujud penguasaan,
penggunaan, serta pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Dalam
Keppres No.32 Tahun 1990 kawasan rawan bencana longsor telah ditetapkan sebagai
kawasan lindung, namun dalam prakteknya telah terjadi pelanggaran dalam
pemanfaatannya, sehingga diperlukan upaya pengendalian terhadap pemanfaatan ruang
pada kawasan tersebut. Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana
longsor, dilakukan dengan mencermati konsistensi, baik kesesuaian dan keselarasan antara
rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang.
Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor,
merupakan produk yang diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dan pegangan bagi
stakeholders pembangunan di wilayah provinsi/kabupaten/kota, dalam pengendalian
pemanfaatan ruang. Dikaitkan dengan kebijakan yang ada, secara umum pedoman ini
merupakan penjabaran dai UU No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, serta petunjuk
teknis terhadap pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, yang tertuang dalam PP No.47
tahun 1997 Tentang RTRWN.
Kedudukan pedoman adalah sebagai bagian dan pelengkap dari Kepmen KIMPRASWIL
No.327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan dan Peninjauan Kembali RTRW
Provinsi/Kabupaten/Kota, dan bersama-sama dengan pedoman lain dapat digunakan sebagai
petunjuk operasional awal bagi pemerintah daerah, dalam pengendalian pemanfaatan ruang
di wilayahnya. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih operasional dan tepat
sasaran, pedoman ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan oleh pemerintah
daerah, sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.
Demikian pedoman ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat dan dikembangkan lebih
lanjut.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Junius Hutabarat

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
........................................................................................
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR
...........................................................................................
DAFTAR TABEL
..........................................................................................

i
ii
iv
v

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1.2 Tujuan dan Sasaran Pedoman .....................................................
1.3 Manfaat Pedoman
.....................................................................
1.4 Sistematika Pedoman ..................................................................

1-1
1-1
1-2
1-2

BAB 2 KETENTUAN UMUM


2.1 Pengertian
..............................................................................
2.2 Kedudukan Pedoman
........................
2.3 Dasar Hukum
................................

2-1
2-4
2-4

BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN


RAWAN BENCANA LONGSOR
3.1 Konsep Pengendalian
...............................................................
3.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana Longsor
Dan Banjir ...................................................................................
3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang ....................................
3.4 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana
Longsor .....................................................................................
3.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor .
BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN
BENCANA LONGSOR
4.1 Karakteristik Kawasan Rawan Bencana Longsor
.....
4.2 Klasifikasi dan Faktor Penyebab Bencana Longsor .
4.3 Tipologi Kawasan ....
4.4 Tingkat Kerawanan Kawasan Rawan Bencana Longsor ...
4.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Menurut
Tipologi
.................................................................
4.5.1 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan
Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Tinggi ...........
4.5.2 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan
Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Menengah ......
4.5.3 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan
Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Rendah ........
4.6 Mekanisme Perijinan ...................................................................
4.6.1 Umum ...........................................................................
4.6.2 Berdasarkan Tipologi ......................................................

3-1
3-1
3-2
3-4
3-4

4-1
4-2
4-2
4-5
4-6
4-7
4-17
4-18
4-18
4-18
4-24

ii

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4.7
4.8
LAMPIRAN
L.1

Kelembagaan dan Peran Masyarakat


.........................................
4.7.1 Pemerintah .....................................................................
4.7.2 Peran Serta Masyarakat
.................................................
Rekayasa Teknik
......................................................................

4-32
4-32
4-33
4-35

KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBAB BENCANA LONGSOR

iii

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 3.1
Gambar 4.1
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

4.2
L.1-1
L.1-2
L.1-3
L.1-4
L.1-5
L.1-6
L.1-7
L.1-8
L.1-9

Gamb. L.1-10
Gamb. L.1-11
Gamb. L.1-12
Gamb. L.1-13
Gamb. L.1-14
Gamb. L.1-15
Gamb. L.1-16

Kedudukan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang


di Kawasan Rawan Bencana Longsor Dalam Penataan
Ruang
.
Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana
Banjir dan Longsor .
Prosedur Ijin Lokasi
(PMNA/KBPN No.2 Tahun 1999)
..
Diagram Prosedur Pengurusan IMB di Kabupaten/Kota
Gerakan Tanah Jenis Runtuhan

Gerakan Tanah Jenis Jungkiran

Gerakan Tanah Jenis Longsoran Rotasi

Gerakan Tanah Jenis Longsoran Translasi

Gerakan Tanah Jenis Gerakan Lateral

Gerakan Lateral Majemuk

Gerakan Tanah Jenis Aliran

Gerakan Tanah Jenis Majemuk


.
Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan
Horisontal Menurun
.................................................
Perubahan Tegangan Sebelum dan Sesudah
Pembebanan
..
Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan
Vertikal Meningkat
...................................................
Retakan Susut Yang Terisi Air, Meningkatkan Tegangan
Geser
......................................................................
Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan Siklik
Perubahan Kekuatan Geser Tanah Sepanjang Bidang
Longsoran
...............................................................
Perubahan Kekuatan Geser Tanah Pada Waktu Hujan
Akibat Peningkatan Muka Air Tanah dan Penjenuhan
Perlapisan Tanah
.....................................................
Peningkatan Tekanan Air Pori pada Bidang Longsoran
Karena Perubahan Muka Air Tanah Bebas Waktu
Pengisian Air Waduk

2-4
3-2
4-22
4-23
L.1-9
L.1-9
L.1-10
L.1-10
L.1-11
L.1-11
L.1-12
L.1-14
L.1-14
L.1-15
L.1-15
L.1-15
L.1-16
L.1-17
L.1-17
L.1-18

iv

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1

Arahan Pemanfaatan Ruang

..

4-6

Tabel 4.2

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan


Rawan Bencana Longsor (Tipologi A)

4-8

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan


Rawan Bencana Longsor (Tipologi B)

4-11

Tabel 4.4

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan


Rawan Bencana Longsor (Tipologi C)

4-14

Tabel 4.5

Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


di Kawasan Rawan Bencana Longsor (Tipologi A)

4-25

Tabel 4.6

Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


di Kawasan Rawan Bencana Longsor (Tipologi B)

4-27

Tabel 4.7

Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


di Kawasan Rawan Bencana Longsor (Tipologi C)

4-29

Faktor Keamanan Minimum Kemantapan Lereng


(KepMen PU No.378/KPTS/1987)

4-36

Persyaratan Kemiringan Lereng Untuk Berbagai


Peruntukan Budidaya (Marsh, W.M., 1991)

4-38

Tabel 4.3

Tabel 4.8
Tabel 4.9

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana tanah longsor terjadi karena proses alamiah dalam perubahan struktur
muka bumi, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab:
a. Fenomena alam, seperti curah hujan, tata air tanah, struktur geologi,
b. Aktivitas manusia (Proses Man-Made) yang tidak terkendali dalam
mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan
menjadi rusak.
Sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan, perlu diupayakan
pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dengan
prioritas utama untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan.
Langkah yang diambil adalah melalui kegiatan penataan ruang, dengan
penekanan pada pengendalian pemanfaatan ruang.
Sehubungan dengan kawasan rawan bencana longsor, kegiatan pengendalian
pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui upaya penanggulangan untuk
meminimalkan dampak akibat bencana yang mungkin timbul. Substansi pedoman
mencakup semua aspek yang terkait dengan rencana dan pemanfaatan ruang di
kawasan rawan bencana longsor, serta pengendalian pemanfaatan ruang.
Asumsi yang digunakan dalam pedoman ini adalah pemerintah kabupaten/kota
telah memiliki RTRW yang sepatutnya diacu dalam pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
1.2 Tujuan dan Sasaran Pedoman
Tujuan pedoman ini adalah sebagai rujukan dan pegangan bagi stakeholders
pembangunan di wilayah provinsi dan kota/kabupaten, dalam rangka:
1. Pengendalian pemanfaatan ruang, baik di kawasan lindung maupun budidaya,
yang rawan terhadap bencana longsor;
2. Penanganan dalam rangka meminimalkan dampak bencana longsor, pada
kawasan-kawasan rawan terhadap bencana longsor;
3. Pengelolaan kawasan rawan bencana longsor.
Sedangkan sasaran pedoman adalah:
1. Terwujudnya pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana
longsor;

1- 1

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

2. Terciptanya mekanisme perijinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan


bencana longsor, yang sesuai dan mendukung upaya penerapan rencana
pemanfaatan ruang;
3. Tersusunnya prosedur penanganan yang tepat, dalam rangka meminimalkan
dampak bencana longsor pada kawasan rawan bencana.
1.3 Manfaat Pedoman
Pedoman ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pemerintah Daerah, dalam rangka pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan lindung maupun budidaya, serta
menjadi masukan dalam mekanismen perijinan pemanfaatan ruang di
kawasan rawan bencana longsor maupun normalisasi pemanfaatan ruang di
kawasan rawan bencana longsor yang telah dilandasi oleh mekanisme
perijinan yang memadai;
2. Pemerintah Daerah, sebagai acuan dalam penyusunan Peninjauan Kembali
Rencana Tata Ruang Wilayah di daerahnya masing-masing;
3. Pemerintah Daerah dan Masyarakat, sebagai acuan bersama dalam
pengendalian perijinan dan normalisasi pemanfaatan ruang pada kawasan
rawan bencana longsor;
4. Pemerintah Daerah dan Masyarakat, sebagai acuan bersama dalam
pengendalian pemanfaatan ruang, baik di kawasan lindung maupun budidaya.

1.4 Sistematika Pedoman


BAB 1

PANDAHULUAN
Memuat penjelasan tentang latar belakang penyusunan pedoman, tujuan
dan sasaran, manfaat pedoman, serta sistematika pedoman.

BAB 2

KETENTUAN UMUM
Pembahasan mencakup pengertian umum yang digunakan dalam
pedoman, kedudukan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang di
kawasan rawan bencana longsor, serta dasar hukum yang menjelaskan
keterkaitan dengan kebijakan maupun pedoman yang ada.

BAB 3

KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN


RAWAN BENCANA LONGSOR
Penjelasan meliputi konsep pengendalian, pembagian ruang yang
mempunyai potensi rawan bencana longsor dan banjir, kebijakan pokok
pemanfaatan ruang, permasalahan pemanfaatan ruang dan pemanfaatan
ruang kawasan rawan bencana longsor.
1- 2

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

BAB 4

PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN


BENCANA LONGSOR
Pada bagian ini dilakukan tinjauan terhadap karakteristik kawasan,
tipologi kawasan, tingkat kerawanan kawasan rawan bencana longsor,
pemanfaatan ruang menurut tipologi, mekanisme perijinan, kelembagaan
dan peran masyarakat, serta rekayasa teknik.

1- 3

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

BAB 2 KETENTUAN UMUM


2.1 Pengertian
Pengertian merupakan penjelasan beberapa istilah yang dipergunakan dalam
Pedoman Teknis, yaitu terdiri dari:
1. Pedoman adalah acuan bersifat umum, yang harus dijabarkan lebih lanjut
dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan Daerah
setempat;
2.

Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah


otonom yang lain, sebagai badan eksekutif daerah;

3.

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya;

4.

Tata Ruang adalah wujud dari struktur dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak direncanakan;

5.

Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan


ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

6.

Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan struktur dan pola


pemanfaatan ruang;

7.

Struktur Pemanfaatan Ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk


lingkungan secara hirarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya;

8.

Pola Pemanfaatan Ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumber
daya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;

9.

Wilayah adalah ruang sebagai kesatuan geografis beserta segenap unsur


terkait di dalamnya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional;

10. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya;
11. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan;
12. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan;
2- 1

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

13. Zona adalah kawasan dengan peruntukan khusus yang memiliki potensi atau
permasalahan yang mendesak untuk ditangani dalam mewujudkan tujuan
perencanaan dan pengembangan kawasan;
14. Area adalah bagian (sub-sistem) dari kawasan fungsional;
15. Tipologi Kawasan adalah penggolongan kawasan sesuai dengan karakter
dan kualitas kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaan
prasarana dan sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap,
dinamis, dan peralihan;
16. Bencana Alam adalah fenomena atau proses alamiah, yang sering
dipengaruhi oleh aktivitas manusia, yang mengakibatkan terjadinya korban
jiwa atau kerugian pada manusia;
17. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam;
18. Gerakan Tanah adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan
dengan arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula, karena
pengaruh gravitasi, arus air dan beban luar. Dalam pengertian ini tidak
termasuk erosi, aliran lahar, amblesan, penurunan tanah karena konsolidasi,
dan pengembangan;
19. Longsoran adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan
arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang
mantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan berbentuk rotasi
dan translasi;
20. Daerah Berpotensi Longsor adalah daerah dengan kondisi terrain dan
geologi tidak menguntungkan, dan sangat peka terhadap gangguan luar,
baik yang bersifat alami maupun aktivitas manusia sebagai faktor pemicu
gerakan tanah;
21. Longsoran Setempat adalah longsoran lokal yang tidak mencakup daerah
luas, dan umumnya sederhana;
22. Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah tata pengairan
sebagai pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai;
23. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah kesatuan wilayah tata air yang
terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan/atau mengalir ke
permukaan tanah melalui sungai, anak sungai dalam wilayah tersebut;
24. Sumber-sumber Air adalah tempat-tempat dan wadah-wadah tampungan
air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah;

2- 2

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

14. Pendayagunaan Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk


mewujudkan kemanfaatan sumber daya air secara berdaya guna, berhasil
guna, dan berkelanjutan, untuk kepentingan manusia dan mahluk hidup
lainnya yang meliputi kegiatan peruntukan, pengembangan, pemanfaatan
dan pengusahaan dari air, sumber-sumber air dan prasarana pengairan;
15. Pengelolaan Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk merencanakan,
melaksanakan,
menyelenggarakan,
mengendalikan,
menggunakan,
mengeksploitasi,
memelihara,
dan
mengevaluasi
penyelenggaraan
konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, serta
mewujudkan ketersediaannya di setiap waktu, pada lokasi yang diperlukan,
dengan jumlah yang memadai, dengan mutu yang memenuhi syarat, dan
memberikan manfaat pada masyarakat;
16. Konservasi Sumber Daya Air adalah semua upaya untuk mengawetkan,
melindungi,
mengamankan,
mempertahankan,
melestarikan,
dan
mengupayakan keberlanjutan keberadaan sumber daya air yang serasi,
seimbang, selaras dan berguna sepanjang masa;
17. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka perbandingan jumlah
luas lantai dasar terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai dengan
rencana kota;
18. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan jumlah
luas seluruh lantai terhadap luas tanah perpetakan yang sesuai dengan
rencana kota;
19. Peran Serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul
atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat
dan bergerak dalam penyelenggaraan tata ruang;
20. Ijin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perorangan atau Badan
Hukum/ Perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka
penanaman modal, yang berlaku pula sebagai ijin pemindahan hak atas
tanah dan untuk menggunakan tanah sesuai dengan tata ruang wilayah;
21. Prasarana dan Sarana adalah bangunan fisik yang terkait dengan
kepentingan umum dan keselamatan umum, seperti prasarana dan sarana
perhubungan, prasarana dan sarana sumber daya air, prasarana dan sarana
permukiman, serta prasarana dan sarana lainnya.
22. Tingkat kerawanan adalah ukuran yang menunjukkan besarnya
kemungkinan suatu kawasan dapat mengalami bencana longsor, serta
besarnya korban dan kerugian yang terjadi akibat bencana longsor tersebut.

2- 3

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

34. Tingkat Kerentanan adalah indikator tingkat kerawanan pada kawasan


yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya, dengan hanya
mempertimbangkan aspek kondisi alam, tanpa memperhitungkan besarnya
kerugian yang diakibatkan.
2.2 Kedudukan Pedoman
Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor
merupakan :
1. Penjabaran dari Undang-Undang No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan
Ruang, yang menyatakan bahwa penataan ruang terdiri dari tiga tahapan
kegiatan, yaitu perencanaan, pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata
ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang. Secara prinsip ketiga tahapan
tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu
dengan lainnya, mengingat selesainya satu kegiatan harus segera diikuti
dengan kegiatan berikutnya, atau seluruh tahapan kegiatan harus
dilaksanakan secara bersama-sama (simultan), dengan tetap berpijak pada
sistem perencanaan terpadu.
2.

Penjabaran teknis (Petunjuk Teknis) terhadap pola pengelolaan kawasan


lindung dan budidaya, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.47
Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).

Pada Gambar 2.1 disajikan Kedudukan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan


Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor dalam Penataan Ruang.

2.3 Dasar Hukum


Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor
disusun berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
terdiri dari:
1.
2.
3.
4.
5.

6.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang;


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang;
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN);

2- 4

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

7.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan;
8. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;
9. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung;
10. Permendagri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah.
11. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor
1 tentang Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran.

Gambar 2.1
Kedudukan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana Longsor Dalam Penataan Ruang
UNDANG-UNDANG
NO.24 TAHUN 1992
PP No.47 Tahun 1997
Keppres No.32 Tahun 1990
Peraturan Pemerintah
Terkait

Kepmen Kimpraswil
No.327/KPTS/M/2002
Pedoman
Penyusunan dan
Peninjauan Kembali RTRW
Provinsi/Kabupaten/Kota

Rencana Tata Ruang


Wilayah (RTRW)
Provinsi/Kabupaten/Kota

Rencana Detail Tata


Ruang (RDTR)

4 3
2 1

1.4

1.3

1.2

1.1

Pedoman
Pengendalian Pemanfaatan
Ruang di Kawasan Rawan
Bencana Longsor

Rencana Tenis
Ruang (RTR)

2- 5

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

BAB 3 KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG


KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

3.1 Konsep Pengendalian


Seperti halnya penanganan kawasan rawan banjir, dalam kaitannya dengan
pengelolaan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian
yang dilakukan, yaitu:
1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Longsor)
Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis,
terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan
longsor (salah satu literatur adalah Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang Petunjuk Perencanaan
Penanggulangan Longsoran);
2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang)
Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat
bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui
pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing,
penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan,
serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi)
pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan
ekosistem.
Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk
menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah
ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah.

3.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana


Longsor dan Banjir
Pada Gambar 3.1 disajikan konsep pembagian ruang untuk kawasan yang
mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, yaitu:
1. Kawasan Rawan Bencana Longsor
Meliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagati Kawasan Lindung;
2. Kawasan Rawan Bencana Banjir

3- 1

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Meliputi Kawasan Dataran dan Pesisir yang berfungsi sebagai Kawasan


Budidaya.

Pegunungan/Perbukitan

Rawan Longsor

Dataran Tinggi

Dataran Rendah

Rawan Banjir

Gambar 3.1
Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor
Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola
penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan
kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap
kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir.
3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang
Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur
dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan
ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang
bagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang
dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang
secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan.
Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola
pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan
terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
rawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan
keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang.
3- 2

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Secara normatif dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 32 Tahun 1990


tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pasal 33 menyatakan bahwa kawasan
rawan bencana, sebagai salah satu kawasan lindung, diidentifikasi sering
berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa
bumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan
bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung.
Pada pasal 37 Keppres RI Nomor 32 Tahun 1990, pengendalian kawasan lindung,
terutama dikaitkan dengan kawasan rawan longsor, meliputi:
(1) Di dalam kawasan lindung dilarang dilakukan kegiatan budidaya, kecuali yang
tidak mengganggu fungsi lindung;
(2) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai
dampak penting terhadap lingkungan hidup, dikenakan ketentuan-ketentuan
yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
(3) Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budi daya
mengganggu fungsi lindung, harus dicegah perkembangannya, dan fungsi
sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap.
Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor harus
memperhatikan prinsip perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem
dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang penerapannya
harus dilakukan secara seimbang atau harmonis.
Sehubungan dengan kedudukannya sebagai bagian dari rencana tata ruang, maka
konsep dasar pengelolaan kawasan rawan bencana longsor mengacu pada :
1. Kawasan rawan bencana longsor yang mutlak harus dilindungi, kebijakan
harus secara ketat mempertahankan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan
lindung;
2. Kawasan rawan bencana longsor yang tidak mengganggu fungsi lindung dan
masih dapat dibudidayakan dengan kriteria dan persyaratan tertentu,
kebijakan harus memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya, dengan tetap memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dan tetap mempertahankan kawasan
tersebut sebagai kawasan yang mempunyai fungsi lindung.

3- 3

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

3.4 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana


Longsor
Permasalahan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan
adanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/
pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/
pengelolaan longsor adalah:
1. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang
lingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan;
2. Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana longsor,
sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian;
3. Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian
dan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik
pada kawasan hulu maupun hilir.

3.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor


Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang
di kawasan rawan bencana longsor. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang,
baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain,
sebagai kesatuan paket kebijakan.
Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor adalah:
1. Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan pola
pengelolaan kawasan di sebelah hulu.
2. Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencana
longsor.
Sedangkan sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah
daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyai
potensi atau rawan terhadap longsor.
Ketidaksesuaian antara RTRW dan pembangunan (pemanfaatan ruang),
mempunyai kontribusi tinggi sebagai pemicu terjadinya longsor di suatu kawasan.
Disamping itu ketetapan kawasan rawan bencana longsor sebagai kawasan
lindung, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di lapangan, mengingat adanya
beberapa wilayah yang memanfaatkannya sebagai kawasan budi daya, sehingga
terjadi ketidaksesuaian dalam pemanfaatan.
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor,
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

3- 4

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Penetapan tipologi kawasan;


Penetapan zona tingkat kerawanan kawasan pada setiap tipologi;
Mekanisme perijinan;
Sosialisasi;
Insentif dan Disinsentif;
Penyusunan aspek pendukung untuk mengoptimalkan pengendalian
pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor.

3- 5

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

BAB 4 PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG


KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

4.1 Karakteristik Kawasan Rawan Bencana Longsor


Pada umumnya kawasan rawan longsor merupakan kawasan :
1. Dengan ingkat curah hujan rata-rata yang tinggi, atau
2. Kawasan rawan gempa, serta dicirikan dengan kondisi kemiringan lereng lebih
curam dari 20o.
Dalam kawasan ini sering dijumpai alur-alur dan mata air, yang pada umumnya
berada di lembah-lembah dekat sungai. Kawasan dengan kondisi seperti di atas,
pada umumnya merupakan kawasan yang subur, sehingga banyak dimanfaatkan
untuk kawasan budidaya, terutama pertanian dan permukiman. Kurangnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait dengan tingkat kerentanan
kawasan terhadap longsoran, mengakibatkan masyarakat kurang siap dalam
mengantisipasi bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan apabila terjadi
bencana longsor, akan menjadi lebih besar.
Disamping kawasan dengan karakteristik tersebut di atas, beberapa kawasan yang
dikatagorikan sebagai kawasan rawan longsor, meliputi:

Lereng-lereng pada Kelokan Sungai, akibat proses erosi atau penggerusan

Daerah Tekuk Lereng, yaitu peralihan antara lereng curam ke lereng landai,

Daerah yang dilalui Struktur Patahan (Sesar), yang menjadi kawasan


permukiman. Daerah ini dicirikan oleh adanya lembah/sungai dengan lereng
curam (> 40o) dan dan tersusun oleh batuan yang terkekarkan (retak-retak)
secara intensif atau rapat, serta ditandai dengan munculnya beberapa mata air
pada sungai/lembah tersebut. Retakan-retakan batuan tersebut dapat
mengakibatkan lereng mudah terganggu kestabilannya, sehingga dapat terjadi
jatuhan atau luncuran batuan apabila air meresap dalam retakan saat hujan,
atau apabila terjadi getaran pada lereng.

oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng.

yang ada permukimaannya, karena berdasarkan penelitian pada kondisi


hidrologi lereng, (Karnawati, 2000) menjelaskan bahwa daerah tekuk lereng
cenderung menjadi zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang
lebih curam. Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami
peningkatan tekanan air pori, yang akhirnya melemahkan ikatan antar butirbutir partikel tanah dan memicu terjadinya longsoran.

4- 1

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4.2 Klasifikasi dan Faktor Penyebab Bencana Longsor


Penjelasan klasifikasi dan faktor penyebab bencana longsor, disajikan secara rinci
pada Lampiran L.1.
4.3 Tipologi Kawasan
Tipologi kawasan rawan bencana longsor, diklasifikasikan menjadi:
(1) Tipologi A
Daerah lereng bukit/perbukitan, atau lereng gunung/pegunungan.
Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh beberapa karakteristik berikut :
1.a. Faktor Kondisi Alam
1. Lereng relatif cembung dengan kemiringan lebih curam dari 20 (40%).
2. Kondisi tanah / batuan penyusun lereng :
a. Lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (> 2 m), bersifat gembur dan
mudah lolos air, misalnya tanah-tanah residual, yang umumnya
menumpang di atas batuan dasamya (misal andesit, 'breksi andesit, tur,
napal, dan batulempung) yang lebih kompak (padat) dan kedap air.
b. Lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (> 2m), bersifat gembur dan
mudah lolos air, misalnya tanah-tanah residual atau tanah kolovial, yang di
dalamnya terdapat bidang kontras antara tanah dengan kepadatan lebih
rendah dan permeabilitas lebih tinggi yang menumpang di atas tanah
dengan kepadatan lebih tinggi dan permeeabilitas lebih rendah.
c. Lereng yang tersusun oleh batuan dengan bidang diskontinuitas atau
struktur retakan / kekar pada batuan tersebut.
d. Lereng yang tersusun pleh perlapisan batuan miring ke arah luar lereng
(perlapisan batuan miring searah kemiringan lereng), misainya perlapisan
batulempung, batulanau, serpih, napal dan tuf.
3. Curah Hujan
a. Curah hujan yang tinggi (dapat mencapai 100 mm/hari atau 70 mm per
jam) dengan curah hujan tahunan lehih dari 2500 mm.
b. Curah hujan kurang dari 70 mm/ jam, tetapi berlangsung menerus selama
lebih dari dua jam, hingga beberapa hari.
4. Keairan lereng.
Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutama
pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih
permeabel.

4- 2

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

5. Kegempaan.
Lereng pada daerah rawan gempa sering pula rawan terhadap gerakan tanah.

1.b. Faktor Aktivitas Manusia


1. Lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanami
tanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah./ ladang dan hutan
pinus.
2. Dilakukan penggalian/ pemotqngan lereng, misal untuk jalan atau bangunan
dan penambangan, tanpa memperhatikan struktur perlapisan tanah / batuan
pada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng.
3. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air
kolam ke dalam lereng.
4. Sistem drainase tidak memadai.
5. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar.
1.c. Jenis Gerakan Tanah (Longsor), yang dapat terjadi:
1. Jatuhan yaitu jatuhan batuan, robohan batuan, dan rebahan batuan.
2. Kuncuran baik berupa luncuran batuan, luncuran tanah, dan bahan rombakan
dengan bidang gelincir untuk lurus, melengkung atau tidak beraturan.
3. Aliran misalnya aliran tanah, aliran batuan dan aliran bahan rombakan batuan.
4. Kombinasi antara dua atau beberapa jenis gerakan tanah.
5. Dengan gerakan relatif cepat (Iebih .dari 2 m per hari hingga dapat mencapai
25 m per menit).
(2) Tipologi B
Daerah kaki bukit/perbukitan, atau kaki gunung/pegunungan.
Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh beberapa karakteristik berikut :
2.a. Faktor Kondisi Alam
1. Lereng relatif landai dengan kemiringan sekitar 10 (20%) hingga 20 (40%).
2. Kondisi tanah / batuan penyusun Iereng : umumnya merupakan lereng yang
tersusun oteh tanah lempung yang mudah mengembang apabila jenuh air
(jenis montmorillonite).
3. Curah hujan mencapai 70 mrn/jam atau 100 mml hari. Curah hujan tahunan
mencapai lebih dari 2500 mm, atau kawasan rawan gempa
4. Keairan lereng.
Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutama
pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih
permeable.

4- 3

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

2.b. Faktor Aktivitas Manusia


1. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air
kolam ke dalam lereng.
2. Sistem drainase tidak memadai.
3. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang melampaui daya
dukung tanah.
2.c. Jenis Gerakan Tanah (Longsor)
1. Jenis gerakan tanah yapg terjadipada kawasan ini umumnya berupa rayapan
tanah yang mengakibatkan retakan dan amblesan tanah.'
2. Kecepatan gerakan lat;nbat hlngga .menengah (kecepatannya kurang dari 2 m
per hari).
(3) Tipologi C
Daerah tebing/lembah sungai.
Kawasan rawan di daerah tebing sungai, dicirikan oleh beberapa karakteristik
berikut :
3.a. Faktor Kondisi Alam
1. Daerah belokan sungai (meandering) dengan kemiringan tebing sungai lebih
dari 10 (40%).
2. Lereng tebing sungai tersusun oleh tBnah residual. tanah kolovial atau batuan
sedimcn hasil endapan sungai dengan ketebalan lebih dari 2 m.
3. Curab hujar'l mencapai 70 mm/jam atau 100 mm/ hari Curah hujan tahunan
mencapai lebih dari 2500 mm. sehingga debit sungai dapat meningkat dan
mengerosi kaki tebing sungai.
4. Keairan lereng.
Sering muncul rembesan-rembesa air atau mata air pada lereng, tertitama
pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih
permeable.
5. Kegempaan.
Lereng pad a daerah raw an gempa sering pula rawan terhadap gerakan
tanah.
3.b. Faktor Aktifitas Manusia
1. Lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanami
tanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/ ladang dan hutan
pinus.

4- 4

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

2. Dilakukan penggalian / pemotongan lereng, msal untuk jalan atau bangunan


dan penambangan tanpa memperhatikan struktur perlapisan tanah batuan
pada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng.
3. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air
kolam ke dalam lereng.
4. Sistem drainase tidak memadai.
5. dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar.
3.c. Jenis Gerakan Tanah (Longsor)
1. Jatuhan yaitu jatuhan batuan, robohan batuan, dan rebahan batuan.
2. Luncuran baik berupa Iuncuran batuan, luncuran tanah, luncuran bahan
rombakan dengan bidang gelincir berbentuk Iurus, melengkung atau tidak
beraturan dengan gerakan rclatif cepat (lehih dari 2 m per hari hingga dapat
mencapai 25 m per menit).

4.4 Tingkat Kerawanan Kawasan Rawan Bencana Longsor


Tingkat kerawanan ditetapkan berdasarkan kajian atau evaluasi terhadap :

kondisi alam (dalam hal ini kemiringan lereng, lapisan tanah/batuan, struktur
geologi, curah hujan, dan geohidrologi lereng),
pemanfaatan lereng,
kepadatan penduduk dalam suatu kawasan, serta
kesiapan penduduk dalam mengantisipasi bencana longsor.

Pedoman ini disusun secara khusus untuk kawasan rawan bencana longsor, yaitu
mencakup kawasan yang rentan mengalami gerakan tanah, tetapi masih
dimanfaatkan untuk kegiatan atau kepentingan manusia, yang tingkat
kewaspadaan dan kesiapan untuk mengantisipasi terjadinya bencana longsor,
masih relatif rendah.
Variasi tingkat kerawanan suatu kawasan rawan bencana longsor, dibedakan
menjadi:
(1) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Tinggi
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan
tanah dan cukup padat pemukimannya, atau terdapat konstruksi bangunan
sangat mahal atau penting. Kawasan ini sering mengalami gerakan tanah
(longsoran), terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi.
(2) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Menengah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan
tanah, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yang
terancam relatif tidak mahal dan tidak penting.

4- 5

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

(3) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Rendah


Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan
tanah, namun tidak ada resiko terjadinya korban jiwa terhadap manusia
ataupun resiko terhadap bangunan. Kawasan yang kurang berpotensi untuk
mengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman atau
konstruksi penting/mahal, juga dikatagorikan sebagai kawasan dengan
tingkat kerawanan rendah.
Sesuai dengan tipologi dan tingkat kerawanannya, lebih lanjut kawasan rawan
bencana longsor dapat dibedakan menjadi:
(1) Tipologi A
a. Tingkat Kerawanan Tinggi
b. Tingkat Kerawanan Menengah
c. Tingkat Kerawanan Rendah
(2) Tipologi B
a. Tingkat Kerawanan Tinggi
b. Tingkat Kerawanan Menengah
c. Tingkat Kerawanan Rendah
(3) Tipologi C
a. Tingkat Kerawanan Tinggi
b. Tingkat Kerawanan Menengah
c. Tingkat Kerawanan Rendah.
4.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor
Menurut Tipologi
Pemanfaatan ruang untuk tiap tipologi kawasan rawan bencana longsor,
ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik tiap tipologi dan tingkat
kerawanan terhadap bencana longsor.
Secara garis besar, rekomendasi pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Tabel 4.1
Arahan Pemanfaatan Ruang
No

Tingkat Kerawanan

Arahan

1.

Tingkat Kerawanan Tinggi

Untuk Kawasan Lindung


(tidak layak dibangun)
sehingga MUTLAK DILINDUNGI

2.

Tingkat Kerawanan Menengah

Dapat dibangun/dikembangkan
bersyarat

3.

Tingkat Kerawanan Rendah

Dapat dibangun/dikembangkan
dengan sederhana

4- 6

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Arahan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor


menurut tipologi, disajikan pada Tabel 4.2 - 4.4.
4.5.1

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan


Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Tinggi

Pemanfaatan kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi


lebih diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upaya
untuk mengalah atau menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih
menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada.
Untuk kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi,
pemanfaatan ruang diutamakan sebagai Kawasan Lindung (Tidak Layak
Dibangun), sehingga mutlak dilindungi (Tipologi A). Sedangkan untuk Tipologi B
dan C dengan tingkat kerawanan tinggi, dapat dimanfaatkan sebagai Kawasan
Pertanian dan Pariwisata Terbatas, dengan mempertimbangkan beberapa hal
sebagai berikut:
(1) Perlindungan Sistem Hidrologi Kawasan
Upaya ini bertujuan untuk menghindari terjadinya resapan air hujan yang
masuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor, dan sekaligus
merupakan upaya terpadu dengan pengendalian banjir.
Pelaksanaan perlindungan sistem hidrologi kawasan dilakukan melalui upaya

penanaman kembali lereng yang gundul dengan jenis tanaman


yang tepat pada daerah hulu atau daerah resapan.

Penanaman vegetasi yang tepat sangat penting dalam mengendalikan laju air
yang mengalir ke arah hilir, atau kearah lereng bawah.

(2) Menghindari Penebangan Pohon Secara Sembarangan


Pohon-pohon asli (native) dan pohon-pohon yang berakar tunggang,
diupayakan untuk dipertahankan pada lereng, guna memperkuat ikatan antar
butir tanah pada lereng, dan sekaligus menjaga keseimbangan sistem
hidrologi kawasan.
(3) Menghindari Pembebanan Terlalu Berlebihan Pada Lereng
Pembebanan pada lereng yang lebih curam dari 40o (kemiringan lereng
>80%), dapat meningkatkan gaya penggerak pada lereng, sedangkan pada
lereng yang lebih landai dari 40o (<80%) pembebanan dapat berperan
menambah gaya penahan gerakan pada lereng.
Sebagai tindakan preventif, beban konstruksi yang berlebihan tidak
diperkenankan pada lereng dengan lereng dengan kerawanan tinggi,
dengan demikian untuk kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat
kerawanan sangat tinggi/tinggi, tidak direkomendasikan untuk
permukiman.
Adapun kawasan terlarang untuk permukiman ini terutama terdapat pada
areal lembah sungai yang curam (>40o atau >80%), khususnya pada
tikungan sungai, serta alur sungai yang kering di daerah pegunungan.
4- 7

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4- 8

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4- 9

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 10

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 11

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 12

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 13

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 14

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 15

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 16

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

(4) Menghindari Penggalian dan Pemotongan Lereng


Penggalian dan pemotongan lereng pada kawasan rawan bencana longsor
dengan tingkat kerawanan tinggi harus dihindari, karena dapat berakibat :
Mengurangi gaya penahan gerakan tanah dari arah lateral;
Menimbulkan getaran-getaran pada saat pelaksanaan, yang dapat
melemahkan ikatan antar butir tanah pada lereng;
Meningkatkan gaya gerak pada lereng karena lereng terpotong semakin
curam.
4.5.2

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan


Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Menengah

Ruang kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan menengah


tidak layak dimanfaatkan untuk industri (pabrik), namum dapat dimanfaatkan
bersyarat untuk beberapa kawasan budidaya.
(1) Industri/Pabrik
Tidak layak dibangun.
(2) Permukiman, Transportasi dan Pariwisata
Dapat dibangun dengan beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak mengganggu kestabilan lereng dan lingkungan.
b. Perlu dilakukan penyelidikan geologi teknik, analisis kestabilan lereng, dan
daya dukung tanah.
c. Perlu diterapkan sistem drainase yang tepat pada lereng, untuk
meminimalkan penjenuhan pada lereng.
d. Perlu diterapkan sistem perkuatan lereng untuk menambah gaya penahan
gerakan tanah pada lereng.
e. Meminimalkan pembebanan pada lereng, melalui penetapan jenis
bangunan dan kegiatan yang dilakukan.
f. Memperkecil kemiringan lereng.
g. Transportasi direncanakan dengan mengikuti pola kontur lereng.
h. Mengupas material gembur (yang tidak stabil) pada lereng
i. Mengosongkan Lereng dari Kegiatan Manusia
(3) Pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, hutan kota/rakyat/
produksi
Dapat dimanfaatkan atau dibudidayakan dengan syarat sebagai berikut:
a. Penanaman vegetasi dengan jenis dan pola tanam yang tepat.
b. Perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lereng.
c. Prasarana dan sarana transportasi direncanakan untuk kendaraan roda 4
ringan hingga sedang.
d. Kegiatan peternakan dengan sistem kandang, untuk menghindari
terjadinya kerusakan lereng.
e. Menghindari pemotongan dan penggalian lereng.
f. Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia.

4 - 17

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

(4) Pertambangan
Dapat dimanfaatkan dengan syarat meliputi:
a. Memperhatikan kestabilan lereng dan lingkungan
b. Didukung dengan upaya reklamasi lereng

4.5.3

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan


Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan Rendah

Secara umum pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor dengan


tingkat kerawanan rendah tidak layak untuk industri, namun dapat dimanfaatkan
untuk permukiman, transportasi, pertanian, pertambangan dan kegiatan budidaya
lainnya, dengan syarat-syarat seperti telah diuraikan pada sub bab 4.5.2, yaitu
untuk kawasan dengan tingkat kerawanan menengah.
4.6 Mekanisme Perijinan
4.6.1

Umum

(1) Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk


Kepentingan Umum
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terdapat
beberapa ketentuan penting menyangkut:
1. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut;
2. Penglepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya, dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah;
3. Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat;
4. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap
saling menerima pendapat dan keinginan, yang didasarkan atas kesukarelaan
antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah,
untuk memperolah kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian;
5. Ganti kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanah
dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat
penglepasan atau penyerahan hak atas tanah.
(2) Ijin Bangunan
2.a.

Ijin Mendirikan Bangunan

a)

Permohonan Ijin Bangunan (IMB)


4 - 18

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

a. Permohonan ijin dapat diajukan oleh perorangan, badan hukum,

yayasan, dan lain-lain, baik sendiri-sendiri maupun melalui kuasa yang


sah.

b. Permohonan ijin dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir yang

disediakan di bagian pelayanan (IMB).

c. Permohonan ijin untuk rumah tinggal perorangan, wajib dilampiri

dengan :
Fotocopy KTP pemohon;
Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
Gambar Rencana Bangunan;
Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.

d. Permohonan ijin untuk perumahan, perdagangan dan lain-lain dilampiri

dengan:
Fotocopy KTP pemaohon;
Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
Surat pernyataan ijin tetangga untuk bangunan dua lantai ke atas;
Ijin lokasi dan site plan;
Upaya pengelolaan lingkungan (AMDAL, UPL, UKL, SPPL, PIL Banjir);
Memperhatikan substansi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
Tentang Jasa Konstruksi;
Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.
e. Permohonan ijin yang lengkap persyaratannya selanjutnya diproses olah

dinas teknik, sedangkan permohonan yang


dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.

b)

kurang

lengkap

Putusan Permohonan Ijin Mendirikan Bangunan


a. Dinas Teknik terkait mengambil keputusan terhadap permohonan ijin

dalam waktu 14 hari kerja, setelah permohonan diterima lengkap, dan


dapat diperpanjang selama 2 x 14 hari kerja;
b. Pemohon membayar retribusi yang besarnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
c. Ijin dapat diambil oleh pemohon dengan menunjukkan telah lunas
membayar retribusi.
c)

Penolakan Ijin Mendirikan Bangunan


a. Penolakan ijin harus disertai dengan alasan-alasan mengenai penolakan

tersebut;
b. Permohonan ijin ditolak apabila:
4 - 19

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

d)

Bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi/


Kabupaten/Kota;
Bertentangan dengan rencana dan atau perkembangan/perluasan
kota.

Pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan


Bupati/Walikota dapat mencabut ijin yang telah diberikan, apabila:
a. Pemegang ijin menjadi tidak berkepentingan lagi;
b. Dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah ijin diberikan, belum
melakukan permulaan pekerjaan;
c. Pekerjaan telah dihentikan selama 3 (tiga) bulan dan ternyata tidak
dilanjutkan;
d. Ijin yang telah diberikan ternyata berdasarkan data-data yang tidak
benar;
e. Pelaksanaan pembangunan menyimpang dari rencana yang telah
disahkan.

2.b.

Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) atau Ijin Layak Huni (ILH)

a)

Permohonan Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) atau Ijin Layak


Huni (ILH)
a. Permohonan ijin dapat diajukan oleh perorangan, badan hukum,
yayasan dan lain-lainnya, baik sendiri-sendiri maupun melalui kuasa
yang sah.
b. Permohonan ijin dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir yang
disediakan di bagian pelayanan (IPB/ILH).
c. Permohonan ijin untuk rumah tinggal perorangan, wajib dilampiri
dengan :
Fotocopy KTP pemohon;
Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
Gambar Rencana Bangunan;
Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
Fotocopy IMP;
Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.
d. Permohonan ijin untuk perumahan, perdagangan dan lain-lain dilampiri
dengan:
Fotocopy KTP pemaohon;
Fotocopy tanda bukti kepemilikan tanah;
Fotocopy tanda lunas PBB tahun terakhir;
Surat pernyataan ijin tetangga untuk bangunan dua lantai ke atas;
Ijin lokasi dan site plan;
Upaya pengelolaan lingkungan (AMDAL, UPL, UKL, SPPL, PIL Banjir);
Fotocopy IMB;
Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat.
4 - 20

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

e. Permohonan ijin yang lengkap persyaratannya selanjutnya diproses olah

dinas teknik, sedangkan permohonan yang


dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.

b)

kurang

lengkap

Putusan Permohonan Ijin Penggunaan Bangunan atau Ijin Layak


Huni
a. Dinas Teknik terkait mengambil keputusan terhadap permohonan IPB

atau ILH dalam waktu 14 hari kerja, setelah permohonan diterima


lengkap, dan dapat diperpanjang selama 2 x 14 hari kerja;
b. Putusan IPB atau ILH dapat diambil oleh pemohon.
c)

Penolakan Ijin Penggunaan Bangunan atau Ijin Layak Huni


a. Penolakan IPB atau ILH harus disertai dengan alasan-alasan mengenai

penolakan tersebut;

b. Permohonan IPB atau ILH ditolak apabila:


c. Bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi/

Kabupaten/Kota;

d. Bertentangan dengan rencana dan atau perkembangan/perluasan kota.

Pada Gambar 4.1 disajikan skema prosedur ijin lokasi, sedangkan pada Gambar
4.2 ditampilkan diagram prosedur umum pengurusan IMB di Kabupaten/Kota.

4 - 21

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 22

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 23

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4.6.2

Berdasarkan Tipologi

Penjelasan mekanisme perijinan berdasarkan tipologi kawasan rawan bencana


longsor, secara umum sesuai dengan mekanisme umum yang ada. Faktor yang
membedakan adalah terkait dengan beberapa persyaratan teknis yang harus
dipenuhi. Pada Tabel 4.5 - 4.7 disajikan arahan mekanisme perijinan menurut
tipologi.
(1) Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Kawasan Rawan Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan
Tinggi
Arahan mekanisme perijinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana
longsor dengan tingkat kerawanan tinggi, tetap berpegang pada konsep
penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk mengalah atau menyesuaian dengan
kondisi alam, dengan terlebih dahulu menekankan pada upaya rekayasa kondisi
alam yang ada. Sesuai dengan rekomendasi yang diberikan, yaitu diutamakan
sebagai kawasan lindung (Tidak Layak Dibangun), maka secara prinsip Tidak
Diijinkan untuk memanfaatkan kawasan ini.
Secara rinci prioritas pemanfaatan lahan pada kawasan rawan bencana longsor
dengan tingkat kerawanan tinggi, meliputi:

Tipologi A
Tipologi B
Tipologi C

:
:
:

diutamakan untuk kawasan hutan lindung


diutamakan untuk kawasan pertanian
diutamakan untuk kawasan hutan lindung dan
Kawasan pertanian terbatas.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan perijinan, perlu dilakukan beberapa hal


terkait, yaitu:
1. Pengupayakan pengawasan ketat terhadap aktivitas yang dilakukan di kawasan
rawan bencana dengan tingkat kerawanan tinggi/sangat tinggi.
2. Melakukan monitoring di lapangan, terkait dengan pemanfaatan ruang di
kawasan tersebut.
3. Melakukan updating data dan perhitungan kembali (review) terhadap analisis
yang dilakukan, dengan skala kawasan yang lebih detail atau setempat, yang
ditunjang dengan pelaksanaan penyelidikan lapangan secara periodik.
4. Menindak tegas terhadap semua pelanggaran yang terjadi, dengan sistem
insentif dan disinsentif.
(2) Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Kawasan Rawan Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan
Menengah
Mengingat kawasan ini tidak diijinkan dimanfaatkan untuk industri (pabrik),
namun dapat dimanfaatkan secara bersyarat untuk permukiman, transportasi,
pertanian dan pertambangan.
4 - 24

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 25

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 26

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 27

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 28

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 29

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

4 - 30

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

2.a.

Industri/Pabrik
Tidak diijinkan.

2.b.

Permukiman, Pariwisata dan Transportasi


Mekanisme perijinan dilakukan sesuai dengan mekanisme standar perijinan
umum untuk pengadaan tanah dan bangunan. Mendukung rekomendasi
pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan sebelumnya, maka arahan untuk
mekanisme perijinan adalah sesuai dengan ketentuan berikut:
a. Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perijinan umum, yang

dapat dilihat pada sub bab sebelumnya.


b. Dilengkapi dengan Laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungan

dengan hasil dan rekomendasi teknis untuk :


Penyelidikan geologi teknik
Analisis Kestabilan Lereng
Analisis Daya Dukung Tanah/Lereng
Untuk kondisi tertentu perlu dilengkapi dengan AMDAL

c. Dilengkapi dengan gambar dan rencana:

2.c.

Perkuatan lereng dalam rangka penanggulangan longsoran


Gambar rencana bangunan < 2 lantai (khusus untuk permukiman,
dalam rangka meminimalkan pembebanan pada lereng
Gambar rencana lintasan (alinemen) jalan, sesuai dengan kontur
lahan
Sistem drainase lahan sebagai bagian dari satu kesatuan sistem
drainase yang lebih besar.

Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Hutan Kota/


Hutan Rakyat/Hutan Produksi
Sehubungan dengan rekomendasi untuk pertanian, mekanisme perijinan
yang terkait meliputi:
a. Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perijinan umum, yang
dapat dilihat pada sub bab sebelumnya.
b. Dilengkapi dengan Laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungan

dengan hasil dan rekomendasi teknis untuk:


Jenis tanaman yang akan dibudidayakan
Pola tanam
Gambar rencana pembuatan terasering
Sistem drainase lahan sesuai dengan kontur lahan, sebagai bagian
dari satu kesatuan sistem drainase yang lebih besar.

2.d.

Pertambangan
Persyaratan pendukung untuk mekanisme perijinan pemanfaatan kawasan
rawan bencana longsor untuk pertambangan, meliputi:
a. Memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme perijinan umum, yang
dapat dilihat pada sub bab sebelumnya.

4 - 31

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

b. Dilengkapi dengan Laporan yang memuat penjelasan rinci, sehubungan

dengan hasil dan rekomendasi teknis untuk :


Penyelidikan geologi teknik
Analisis Kestabilan Lereng
Analisis Daya Dukung Tanah/Lereng.

c. Dilengkapi dengan gambar dan rencana rinci, terkait dengan


Rencana reklamasi lahan
Estimasi volume galian dan timbunan penambangan
Rencana penanggulangan longsor atau perkuatan lereng

(3) Mekanisme Perijinan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Rawan Bencana Longsor Dengan Tingkat Kerawanan
Rendah
Secara umum mekanisme perijinan pemanfaatan ruang/pengelolaan di kawasan
rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan rendah, sesuai dengan uraian
yang dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu untuk kawasan dengan
tingkat kerawanan menengah.

4.7 Kelembagaan dan Peran Masyarakat


Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor,
dilaksanakan dengan tujuan untuk meminimalkan dampak bencana longsor.
Dalam rangka mendukung hal tersebut perlu dilakukan upaya untuk memperkuat
kelembagaan di masing-masing tingkat pemerintahan dalam lingkup kawasan,
baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta mengoptimalkan peran
serta masyarakat.
4.7.1 Pemerintah
Penguatan kelembagaan diwujudkan melalui pembentukan visi dan misi, serta
tugas pokok, lengkap dengan rincian tugas dan tanggung jawab lembaga di dalam
pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, baik pada
aspek pengawasan maupun penertiban.
Mengingat dalam aspek penertiban harus melibatkan multi instansi yang ada,
maka penguatan kelembagaan dilakukan dengan meningkatkan kemampuan
lembaga melakukan koordinasi (sinergi) dengan lembaga lain, baik intern maupun
ekstern. Dalam kegiatan penertiban pemanfaatan ruang yang telah menyimpang
dari rencana tata ruang, maka lembaga terkait yang berwenang harus melakukan
operasi yang multikompleks secara terkoordinasi.

4 - 32

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Dalam aspek pengawasan, penguatan kelembagaan dilakukan melalui pemberian


tugas dan tanggung jawab yang jelas, mulai dari monitoring, pemantauan, dan
pembuatan laporan yang rutin, menerus, dan berkelanjutan.
Oleh karena kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, di dalamnya termasuk
untuk kawasan rawan bencana longsor, merupakan kegiatan rutin yang sangat
penting untuk dilaksanakan, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu
mengalokasikan dana rutin. Pemenuhan biaya dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang pada dasarnya tidak menyalahi aturan manapun, bahkan
merupakan penunjang terhadap kegiatan yang tercantum dalam Undang-Undang
(UU) No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikaji kembali tugas pokok fungsi
(Tupoksi) lembaga pengelola penataan ruang, kemudian diangkat dan diperjelas
tugasnya berkaitan dengan kondisi lapangan di wilayah masing-masing.
Peningkatan kemampuan sumber daya manusia selaku pelaksana pengendalian
pemanfaatan ruang perlu terus ditingkatkan, mengingat permasalahan
pemanfaatan ruang semakin kompleks dan sulit diatasi, sehingga dapat diperoleh
hasil yang optimal.
4.7.2 Peran Serta Masyarakat
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahung 1992 Tentang Penataan Ruang
mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan peran serta masyarakat, seperti masyarakat hukum adat,
masyarakat ulama, masyarakat intelektual.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban, serta
peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu perencanaan,
membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan, serta mentaati keputusan-keputusan dalam rangka
penertiban pemanfaatan ruang.
Hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, adalah terdiri dari
beberapa aspek sebagai berikut.
(1)

Hak Masyarakat dalam Penataan Ruang


a. Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
b. Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah (RTRW),
rencana tata ruang kawasan (RTRK), melalui pelaksanaan lokakarya dan
sarasehan;
c. Menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai
akibat dari penataan ruang;

4 - 33

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

d. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya


sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang.
(2)

Kewajiban Masyarakat dalam Penataan Ruang


a. Menjaga, memelihara dan meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan
pada keikutsertaan masyarakat untuk lebih mematuhi dan mentaati
segala ketentuan normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang,
dan mendorong terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik;
b. Berlaku tertib dalam keikutsertaannya pada proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan mentaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.

(3)

Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang


Wilayah Kabupaten/Kota
a. Pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat atau kebiasaan yang berlaku;
b. Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan wujud
strukturat dan pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dan
perdesaan;
c. Penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan;
d. Konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alam
lainnya, untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas;
e. Perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
f. Pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang;
g. Kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan.

(4)

Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian


Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
a. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota,
termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan
ruang;
b. Bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban kegiatan
pemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang.

(5)

Prosedur Peran Serta Masyarakat untuk merealisasikan langkahlangkah Pemanfaatan Ruang


a. Peran serta masyarakat pada tingkat Kabupaten/Kota dapat berupa
penyampaian data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan,
4 - 34

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

disampaikan kepada Bupati/Walikota selambat-lambatnya 30 (tiga


Puluh) hari setelah disoialisasi dan diadaptasikan;
b. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan secara tertulis, dan
tembusannya disampaikan kepada Ketua DPRD, atau secara lisan yang
dicatat dan dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda
Kabupaten;
c. Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media
komunikasi yang tersedia;
d. Untuk menerima saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan
atau masukan dari masyarakat, informasi tentang penentuan arah
pengembangan dibahas dalam forum pertemuan yang lebih luas,
dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat beserta Bupati,
yang dibantu oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah
Kabupaten/Kota dan instansi terkait;
e. Program pemanfaatan ruang yang disusun tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agama maupun
adat dan budaya setempat;
f. Apabila dengan mekanisme tersebut masih terjadi konflik antar
stakeholder dalam memanfaatkan ruang, maka diuapayak cara-cara
musyawarah untuk tujuan akhir kemaslahatan warga yang terkena
dampak, tetapi dengan tidak meninggalkan manfaat yang lebih luas.

4.8 Rekayasa Teknik


Rekayasa Teknik memuat uraian terkait dengan langkah tindak untuk mendukung
pengendalian pemanfaatan ruang secara optimal, dengan memasukkan terapan
teknologi yang sesuai untuk wilayah masing-masing. Bentuk rekayasa teknik
disampaikan dalam bentuk umum, dan pedoman spesifik dan detail dapat
diperoleh dari Pedoman maupun Petunjuk Teknis, secara khusus pada Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang
Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran.
Sehubungan dengan arahan pemanfaatan yang telah ditetapkan sebelumnya,
secara umum rekayasa teknik yang disampaikan meliputi beberapa aspek sebagai
berikut.
a. Penyelidikan geologi teknik, analisis kestabilan lereng, dan daya dukung tanah.
Dengan pelaksanaan kegiatan ini, lebih lanjut zona-zona kritis dalam kawasan
tersebut serta daya dukung kawasan dapat diketahui, sehingga upaya
antisipasi resiko dalam pemanfaatan ruang pada kawasan tersebut dapat
dilakukan. Terkait dengan analisis kestabilan lereng yang akan dimanfaatkan
sebagai kawasan budidaya, perlu dimasukkan Faktor Keamanan, seperti yang
disajikan pada Tabel 4.8.

4 - 35

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Tabel 4.8
Faktor Keamanan Minimum Kemantapan Lereng
(KepMen PU. No.378/KPTS/1987)
Resiko *)
Tinggi
Menengah
Rendah
Keterangan:
*)

**)

Kondisi Beban
Dengan Gempa
Tanpa Gempa
Dengan Gempa
Tanpa Gempa
Dengan Gempa
Tanpa Gempa

Teliti
1,50
1,80
1,30
1,50
1,10
1,25

Parameter Kuat Geser **)


Maksimum
Sisa
Kurang Teliti
Teliti
Kurang Teliti
1,75
1,35
1,50
2,00
1,60
1,80
1,60
1,20
1,40
1,80
1,35
1,50
1,25
1,00
1,10
1,40
1,10
1,20

Resiko tinggi bila ada konsekuensi terhadap manusia cukup besar (ada permukiman), dan atau
bangunan sangat mahal, dan atau sangat penting
Resiko menengah bila ada konsekuensi terhadap manusia tetapi sedikit (bukan permukiman),
dan atau bangunan tidak begitu mahal, dan atau tidak begitu penting
Resiko rendah bila tidak ada konsekuensi terhadap manusia dan terhadap bangunan (sangat
murah).
Kekuatan geser maksimum adalah harga puncak dan dipakai apabila massa tanah/batuan yang
berpotensi longsor tidak mempunyai bidang diskontinuitas (perlapisan, retakan/rekahan, sesar
dan sebagainya), dan belum pernah mengalami gerakan;
Kekuatan Geser Residual (Sisa) digunakan apabila
9 Massa tanah/batuan yang potensial bergerak mempunyai bidang diskontinuitas, dan atau
9 Pernah bergerak, walau tidak mempunyai bidang diskontinuitas

b. Diterapkan sistem drainase yang tepat pada lereng.


Tujuan dari pengaturan sistem drainase adalah untuk menghindari air hujan
banyak meresap masuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor.
Dengan demikian perlu dibuat drainase permukaan yang mengalirkan air
limpasan hujan menjauh dari lereng rawan bencana longsor, dan drainase
bawah permukaan yang berfungsi untuk menguras atau mengalirkan air hujan
yang meresap masuk ke lereng.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan, terkait dengan sistem drainase lereng
adalah:
Jika terjadi rembesan-rembesan pada lereng, berarti air dalam tanah pada
lereng sudah berkembang tekanannya. Untuk kasus ini disarankan agar
segera dibuat saluran/sistem drainase bawah tanah, yaitu dengan
menggunakan pipa/bambu/paralon, untuk menguras atau mengurangi
tekanan air. Langkah ini hanya efektif dilakukan pada lereng yang tersusun
oleh tanah gembur, dan jangan dilakukan pada saat hujan atau sehari
setelah hujan, karena sangat mungkin gerakan massa tanah (longsoran)
dapat terjadi dan membahayakan keselamatan pekerja.
Jika telah muncul retakan-retakan tanah berbentuk lengkung agak
memanjang (berbentuk tapal kuda), maka retakan tersebut harus segera
disumbat dengan material kedap air, atau lempung yang tidak mudah
mengembang apabila kena air. Hal ini dilakukan untuk menghindari air

4 - 36

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

permukaan (air hujan) lebih banyak masuk meresap ke dalam lereng


melalui retakan tersebut. Munculnya retakan menunjukkan bahwa tanah
pada lereng sudah mulai bergerak karena terdorong oleh peningkatan
tekanan air di dalam pori-pori tanah pada lereng. Dengan disumbatnya
retakan atau terhalangnya air meresap ke dalam tanah lereng, maka
peningkatan tekanan air di dalam pori-pori tanah dapat diminimalkan.
Pengaturan sistem drainase sangat vital, terutama untuk lereng yang di
dalamnya terdapat lapisan batu lempung yang sensitif untuk mengembang
apabila jenuh air, misalnya batu lempung jenis montmorillonite. Pada saat
kering batu lempung ini bersifat kompat, bersisik dan retak-retak, namun
apabila dalam kondisi jenuh, air batulempung akan berubah plastis,
sehingga kehilangan kekuatannya.

c. Diterapkan sistem perkuatan lereng untuk menambah gaya penahan gerakan


tanah pada lereng.
Perkuatan kestabilan lereng dapat dilakukan, dengan menggunakan salah satu
atau kombinasi dari beberapa konstruksi berikut ini:
Tembok/Dinding Penahan
Angkor
Paku Batuan (Rock Bolt)
Tiang Pancang
Jaring Kawat Penahan Jatuhan Batuan
Shotcrete
Bronjong.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
Penambat berupa tembok penahan atau tiang pancang harus dipancangkan
hingga menembus batuan/tanah yang stabil. Hal ini berarti harus dilakukan
penyelidikan lereng terlebih dahulu untuk mengetahui kedalaman bidang
gelincir. Pembuatan saluran drainase permukaan dan bawah permukaan
tetap diperlukan, meskipun lereng telah diberi tembok penahan.
Pemasangan peralatan akan menjadi kurang efektif apabila drainase atau
tata air pada permukaan dan di dalam lereng, tidak dapat terkontrol. Tanpa
sistem drainase yang tepat, upaya penanggulangan yang dilakukan identik
dengan melawan alam, yang umumnya hanya bertahan sesaat dan kurang
efektif untuk penyelenggaraan jangka panjang.
d. Meminimalkan pembebanan pada lereng.
Penetapan batas beban yang dapat diterapkan dengan aman pada lereng perlu
dilakukan dengan menyelidiki struktur tanah/batuan pada lereng, sifat-sifat
keteknikan, serta melakukan analisis kestabilan lereng dan daya dukung.
Pembebanan pada lereng yang lebih curam dari 40o (>80%) dapat
meningkatkan gaya penggerak pada lereng, meskipun pembebanan juga
dapat berperan menambah gaya penahan gerakan pada lereng yang lebih
landai dari 40o (<80%). Perlu dihindari bangunan konstruksi dengan beban >
2 ton/ft2, kecuali dilengkapi dengan teknologi perkuatan lereng dan
pengendalian sistem drainase lereng.

4 - 37

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

e. Memperkecil kemiringan lereng.


Upaya memperkecil kemiringan lereng dilakukan untuk meminimalkan
pengaruh gaya-gaya penggerak dan sekaligus meningkatkan pengaruh gaya
penahan gerakan pada lereng. Besarnya kemiringan lereng yang disarankan
untuk peruntukan budidaya tertentu, disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9
Persyaratan Kemiringan Lereng Untuk Berbagai Peruntukan
Budidaya (Marsh, W.M., 1991)
Peruntukan Budidaya
Perumahan/Permukiman
Tempat Bermain
Septic Drainfield
Transportasi/Jalan:
a. Keceppatan 20 mil/jam
b. Keceppatan 30 mil/jam
c. Keceppatan 40 mil/jam
d. Keceppatan 50 mil/jam
e. Keceppatan 60 mil/jam
f. Keceppatan 70 mil/jam
Area Parkir
Industri

Kemiringan Lereng
Maksimum
20-25%
2-3%
15%

Kemiringan Lereng
Minimum
0%
0,05%
0%

Kemiringan
Optimum
2%
1%
0,05%

12%
10%
8%
7%
5%
4%
3%
3-4%

1%

0,05%
0%

1%
2%

f. Mengupas material gembur (yang tidak stabil) pada lereng


Pengupasan material dapat memperkecil beban pada lereng, yang berarti
meminimalkan besarnya gaya penggerak pada lereng, dan efektif diterapkan
pada lereng yang lebih curam dari 40o (80%).
g. Mengosongkan Lereng dari Kegiatan Manusia
Apabila gejala awal terjadinya gerakan tanah/longsoran telah muncul,
terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terus
menerus mulai pagi hingga siang dan sore/malam, segera kosongkan lereng
dari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari,
jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkan
gejala akan longsor.
h. Penanaman vegetasi dengan jenis dan pola tanam yang tepat
Kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi dan mengalami penggundulan
hutan, dapat diupayakan untuk ditanami kembali, dengan jenis tanaman
budidaya yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Disarankan untuk tidak
dipilih jenis tanaman yang tidak terlalu berat dan berakar tunggang.
Adapun jenis tanaman yang disarankan untuk dapat menguatkan tanah pada
lereng diantaranya adalah pohon kemiri, laban, dlingsem, mindi, johar, bungur,
banyan, mahoni, renghas, jati, kosambi, sonokeling, trengguli, tayuman, asam
jawa dan pilang (Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, 2001).
Penanaman pada lereng juga harus memperhatikan jarak dan pola tanam yang
tepat. Penanaman tanaman budidaya yang berjarak terlalu rapat dan lebat
4 - 38

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

pada lereng dengan kemiringan lebih dari 40o, dapat menambah pembebanan
pada lereng sehingga menambah gaya penggerak tanah pada lereng.
i. Perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lereng
Pengaturan sistem terasering bertujuan untuk melandaikan lereng, sedangkan
sistem drainase berfungsi untuk mengontrol air agar tidak membuat jenuh
massar tanah pada lereng. Hal ini mengingat kondisi air yang berlebihan pada
lereng akan mengakibatkan peningkatan bobot massa pada lereng, atau
tekanan air pori yang dapat memicu terjadinya longsoran.
Sistem drainase dapat berupa drainase permukaan untuk mengalirkan air
limpasan hujan menjauhi lereng, dan drainase bawah permukaan untuk
mengurangi kenaikan tekanan air pori dalam tanah.
j. Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia
Apabila gejala awal terjadinya gerakan tanah/longsoran telah muncul,
terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terus
menerus mulai pagi hingga siang dan sore/malam, segera kosongkan lereng
dari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari,
jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkan
gejala akan longsor.

4 - 39

Gambar 4.1
Prosedur Ijin Lokasi (PMNA/KBPN No.2 tahun 1999)

PMA
PEMOHON

UU
NO.11/1970

PEMBANGUNAN
LAINNYA

PMDN
UU
NO.12/1970

RTR
KAB/KOTA

KANTOR
PERTANAHAN/
SEKRETARIAT

SURVEI
IDENTIFIKASI
LAPANGAN

BUPATI/
WALIKOTA

RAKOR
1. Walikota/Bupati
2. BPN
3. Bappeda
4. Instansi Terkait
5. Camat/Lurah/Kades

PEMOHON INVESTOR
1. KTP Pemohon
2. Akte Pertanahan
3. Proposal
4. NPWP
5. Peta/Sket Lokasi
6. Pernyataan bersedia
membebaskan/ganti
rugi tanah
7. Data persyaratan lain
yang ditetapkan oleh
Pemerintah Kab/Kota

IZIN LOKASI
(IL)

TANPA MELALUI IL
1. Tanah sendiri
2. Sudah dikuasai
3. Kawasan industri
4. Otorita
5. Perluasan usaha
6. Kurang 15 Ha Ru
7. Kurang 1 Ha Ur
8. Tanah pemegang
saham
9. Surat keterangan
perolehan dan
penggunaan tanah
oleh Kepala Kantor
Pertanahan setempat

LUAS & WAKTU PEMBEBASAN


1. Sampai 25 Ha 1 thn
2. Luas 25-50 Ha 2 thn
3. Lebih 50 Ha 3 thn
BILA DALAM KURUN WAKTU
TERSEBUT TIDAK SELESAI
Diperpanjang 1 th bila pembebasan areal mencapai 50%1
BILA TIDAK BERHASIL
AREAL TERSEBUT DIBERIKAN
KE PERUSAHAAN LAIN YANG
BERMINAT

Tanah mana
Milik siapa
Ukuran
Luas
Harga pasar
Penggunaan
Kualitas
Status tanah
Adat istiadat
Budaya
Data lain

SURAT PERNYATAAN
PERSETUJUAN LOKASI

PEMOHON DAN
INSTANSI TERKAIT

MASYARAKAT DESA
KELURAHAN/KEC.

PENGIRIMAN SK
IJIN LOKASI (IL)

PROSES SK
IJIN LOKASI (IL)

PENERTIBAN SK
IJIN LOKASI (IL)

Gambar 4.2
Digram Prosedur Pengurusan IMB di Kabupaten/Kota

PENELITIAN
PERSYARATAN
TIDAK
LENGKAP
PEMOHON

DINAS TEKNIS
TERKAIT
LENGKAP

RTRW
Kabupaten/
Kota

PROSES

Advis
Planning

MEMENUHI

MEMBAYAR
RETRIBUSI

IMB

SURVEI
IDENTIFIKASI
LAPANGAN

DITOLAK DAN
DIKEMBALIKAN

No
1

1.

Tipologi

Tabel 4.2
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI A - DAERAH LERENG BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

Tingkat
Kerawanan

Daerah lereng
bukit, lereng
perbukitan,
lereng gunung,
dan lereng
pegunungan

Pemanfaatan Ruang/Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Prasarana


Keterangan
Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

10

11

A.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

A.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4
- Ternak dengan
sistem kandang

19

Diutamakan
untuk
kawasan
hutan lindung

Tabel 4.2
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI A - DAERAH LERENG BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)

No
1

1.

Tipologi

Lanjutan ..

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

Tingkat
Kerawanan

Daerah lereng
bukit, lereng
perbukitan,
lereng gunung,
dan lereng
pegunungan

Pemanfaatan Ruang/Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Prasarana


Keterangan
Perikanan

Pertambangan

Peruntukan Industri

Industri

Pariwisata

Permukiman

Transportasi

10

11

A.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

- Dapat dibangun
sebagai Hutan Wisata
- Pemotongan dan
penggalian lereng harus
dihindari
- Transportasi bagi
pejalan kaki dan
dilengkapi dengan
prasarana yang
memadai
- Tidak mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

A.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4
- Dipilih konstruksi
kolam dan
sistem drainase
yang tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng

Dapat ditambang
dengan syarat:
- Tidak
mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Didukung dengan
upaya reklamasi
lereng

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Tidak
mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Dilengkapi
dengan sistem
drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring
- Bangunan tidak
boleh > 2 lantai

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Telah dilakukan
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng
dan daya dukung
tanah/lereng
- Dilengkapi dengan
sistem drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring
- Bangunan tidak
boleh > 2 lantai

Dapat dibangun dengan


syarat:
- Telah dilakukan
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng
dan daya dukung
tanah/lereng
- Dilengkapi dengan
sistem drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring
- Lintasan jalan
mengikuti pola
kontur lereng

19

Diutamakan
untuk
kawasan
hutan lindung

Tipologi

Tabel 4.3
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI B - DAERAH KAKI BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

2.

No

Daerah kaki
bukit, kaki
perbukitan,
kaki gunung,
dan kaki
pegunungan

Tingkat
Kerawanan
4

Pemanfaatan Ruang/Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Prasarana


Keterangan
Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

10

11

B.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk pejalan
kaki

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk pejalan
kaki

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk pejalan
kaki

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

B.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4
- Ternak dengan
sistem kandang

19

Diutamakan
untuk kawasan
pertanian dan
pariwisata
terbatas

Tabel 4.3
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI B - DAERAH KAKI BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Tipologi

Lanjutan ..

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

2.

No

Daerah kaki
bukit, kaki
perbukitan,
kaki gunung,
dan kaki
pegunungan

Tingkat
Kerawanan
4

Pemanfaatan Ruang/Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Prasarana


Keterangan
Perikanan

Pertambangan

Peruntukan Industri

Industri

Pariwisata

Permukiman

Transportasi

10

11

B.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

- Dapat dibangun
sebagai Hutan Wisata
- Pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari
- Transportasi bagi
pejalan kaki dan
dilengkapi dengan
prasarana yang
memadai
- Tidak mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

B.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4
- Dipilih konstruksi
kolam dan
sistem drainase
yang tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng

Dapat ditambang
dengan syarat:
- Tidak
mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Didukung dengan
upaya reklamasi
lereng

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Tidak
mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Dilengkapi
dengan sistem
drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring
- Bangunan tidak
boleh > 2 lantai

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Telah dilakukan
penyelidikan
geologi teknik,
analisis
kestabilan lereng
dan daya dukung
tanah/lereng
- Dilengkapi
dengan sistem
drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Telah dilakukan
penyelidikan
geologi teknik,
analisis
kestabilan lereng
dan daya dukung
tanah/lereng
- Dilengkapi
dengan sistem
drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring
- Lintasan jalan
mengikuti pola
kontur lereng

19

Diutamakan
untuk kawasan
pertanian dan
pariwisata
terbatas

No

Tipologi

Tabel 4.4
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI C - DAERAH TEBING SUNGAI)
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

Tingkat
Kerawanan

Pemanfaatan Ruang/Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Prasarana


Keterangan
Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

3.

Daerah Tebing
Sungai

10

11

C.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk pejalan
kaki

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk pejalan
kaki

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk pejalan
kaki

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

C.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Pemotongan
dan penggalian
lereng harus
dihindari

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Dipilih jenis dan
pola tanam yang
tepat
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4
- Ternak dengan
sistem kandang

19

Diutamakan
untuk kawasan
hutan lindung
atau kawasan
pertanian
terbatas

Tabel 4.4
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI C - DAERAH TEBING SUNGAI)
Tipologi

Lanjutan ..

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

3.

No

Daerah Tebing
Sungai

Tingkat
Kerawanan
4

Pemanfaatan Ruang/Pengelolaan Kawasan Budidaya dan Prasarana


Keterangan
Perikanan

Pertambangan

Peruntukan Industri

Industri

Pariwisata

Permukiman

Transportasi

10

11

C.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Dipilih konstruksi
kolam dan
sistem drainase
yang tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Tidak mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Dilengkapi dengan
sistem drainase yang
tepat untuk penjenuhan
pada lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

C.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Menggunakan
sistem terasering
dan drainase
lahan yang tepat
- Transportasi
untuk kendaraan
roda 4
- Dipilih konstruksi
kolam dan
sistem drainase
yang tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng

Dapat ditambang
dengan syarat:
- Tidak
mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Didukung dengan
upaya reklamasi
lereng

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Tidak layak untuk


dibangun
(pemotongan dan
penggalian lereng
harus dihindari)

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Tidak
mengganggu
kestabilan lereng
dan lingkungan
- Dilengkapi
dengan sistem
drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring
- Bangunan tidak
boleh > 2 lantai

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Telah dilakukan
penyelidikan
geologi teknik,
analisis
kestabilan lereng
dan daya dukung
tanah/lereng
- Dilengkapi
dengan sistem
drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan
perkuatan lereng/
tebing dan atau
sistem terasiring

Dapat dibangun
dengan syarat:
- Telah dilakukan
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng
dan daya dukung
tanah/lereng
- Dilengkapi dengan
sistem drainase yang
tepat untuk
meminimalkan
penjenuhan pada
lereng
- Diperlukan perkuatan
lereng/tebing dan atau
sistem terasiring
- Lintasan jalan
mengikuti pola
kontur lereng

19

Diutamakan
untuk kawasan
hutan lindung
atau kawasan
pertanian
terbatas

Tabel 4.2
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI A - DAERAH LERENG BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Tipologi

Lanjutan .
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor
*)

1.

No

Tipologi Kerawanan

Arahan Pengendalian Pemanfaatan


Arahan Kebijakan

Tinggi

Menengah

Rendah

Tinggi

Menengah

Rendah

Daerah lereng

- Hutan Produksi

- Hutan Kota

bukit, lereng

- Pertanian Sawah

- Pariwisata

- Fungsi tidak berubah

perbukitan,

- Pertanian Semusim

lereng gunung,

- Peternakan

dan lereng

- Perikanan

terbatas dengan syarat:

pegunungan

- Pertambangan

a. Rekayasa teknis

camping ground, pendaki

- Peruntukan Industri

b. Jenis wisata alam

gunung

- Industri

c. Jenis usaha wisata pondokan,

(Hutan Lindung)

- Tidak diijinkan untuk kegiatan

- Diijinkan untuk kegiatan pariwisata

budidaya seperti disebutkan pada

dengan syarat:

kolom 4

a. Rekayasa teknis

- Diijinkan untuk kegiatan pariwisata

- Fungsi tidak berubah/diubah sebagai Hutan Lindung


- Diperlukan kegiatan pengawasan

b. Jenis wisata alam

secara efektif terkait dengan pola

c. Jenis usaha wisata pondokan,

pemanfaatan ruang

- Diijinkan untuk kegiatan hutan

- Ijin tidak diberikan untuk kegiatan


budidaya

10
- Jika fungsi tidak berubah sebagai kawasan hutan
lindung, maka akan diberikan insentif dan disinsentif
bagi kawasan lindung dan sekitarnya, melalui pola
bagi hasil
- Perlu dirumuskan pola dan mekanisme kerjasama
antar wilayah administrasi, yang tercakup dalam
kesatuan fisik SWS
- Dirumuskannya konsep insentif bagi pendukung

- Permukiman

camping ground, pendaki

kota dan hutan rakyat, dgn syarat:

upaya pengendalian pemanfaatan ruang kawasan

- Transportasi

gunung

a. Rekayasa teknis

rawan bencana, serta desinsentif kepada para

- Hutan Rakyat
- Perkebunan

- Diijinkan untuk kegiatan hutan


kota dengan syarat:
a. Rekayasa teknis
b. Pemilihan jenis vegetasi yang

b. Pemilihan jenis vegetasi


c. Jenis kegiatan penelitian
- Diijinkan untuk kegiatan perkebunan
dengan syarat:

mendukung fungsi daerah resap-

a. Rekayasa teknis

an dan kelestarian lingkungan

b. Pemilihan jenis vegetasi yang

c. Untuk jenis kegiatan penelitian


- Diijinkan untuk kegiatan perkebunan
dengan syarat:
a. Rekayasa teknis
b. Pemilihan jenis vegetasi yang
sesuai, serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan
- Untuk kawasan yang tidak konsisten
dalam pemanfaatan, akan dikembalikan kepada kondisi dan fungsi
semula secara bertahap

sesuai, serta mendukung konsep


kelestarian lingkungan

pelanggar ketentuan
- Sosialisasi kepada stakeholder terkait dengan
arah pengendalian pemanfaatan ruang dan
kawasan rawan bencana longsor

Tabel 4.3
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI B - DAERAH KAKI BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Tipologi

Lanjutan .
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor
*)

2.

No

Tipologi Kerawanan

Arahan Pengendalian Pemanfaatan


Arahan Kebijakan

Tinggi

Menengah

Rendah

Tinggi

Menengah

Rendah

Daerah kaki

- Peternakan

- Hutan Produksi

bukit, kaki

- Perikanan

- Hutan Kota

- Fungsi tidak berubah

perbukitan,

- Pertambangan

- Hutan Rakyat

kaki gunung,

- Peruntukan Industri

- Pertanian Sawah

dan kaki

- Industri

- Pertanian Semusim

pegunungan

- Permukiman

- Perkebunan

a. Rekayasa teknis

camping ground, pendaki

- Transportasi

- Pariwisata

b. Jenis wisata alam

gunung

(Hutan Lindung)

- Tidak diijinkan untuk kegiatan

- Diijinkan untuk kegiatan pariwisata

budidaya seperti disebutkan pada

dengan syarat:

kolom 4

a. Rekayasa teknis

- Diijinkan untuk kegiatan pariwisata


terbatas dengan syarat:

c. Jenis usaha wisata pondokan,

b. Jenis wisata alam


c. Jenis usaha wisata pondokan,

- Diijinkan untuk kegiatan hutan

- Fungsi tidak berubah/diubah sebagai Hutan Lindung


- Diperlukan kegiatan pengawasan
tinggi terhadap pemanfaatan ruang
- Ijin tidak diberikan untuk kegiatan
budidaya

10
- Jika fungsi tidak berubah sebagai kawasan hutan
lindung, maka akan diberikan insentif dan disinsentif
bagi kawasan lindung dan sekitarnya, melalui pola
bagi hasil
- Perlu dirumuskan pola dan mekanisme kerjasama
antar wilayah administrasi, yang tercakup dalam
kesatuan fisik SWS
- Dirumuskannya konsep insentif bagi pendukung

camping ground, pendaki

kota dan hutan rakyat, dgn syarat:

upaya pengendalian pemanfaatan ruang kawasan

gunung

a. Rekayasa teknis

rawan bencana, serta desinsentif kepada para

- Diijinkan untuk kegiatan hutan kota,


hutan rakyat dan hutan produksi
dengan syarat:

b. Pemilihan jenis vegetasi


c. Jenis kegiatan penelitian
- Diijinkan untuk kegiatan perkebunan

pelanggar ketentuan
- Dukungan rekayasa teknik sebagai standar/kriteria
pemanfaatan ruang

a. Rekayasa teknis

dengan syarat:

b. Pemilihan jenis vegetasi yang

a. Rekayasa teknis

arah pengendalian pemanfaatan ruang dan

b. Pemilihan jenis vegetasi

kawasan rawan bencana longsor

mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian lingkungan


c. Untuk jenis kegiatan penelitian
- Diijinkan untuk kegiatan pertanian
a. Rekayasa teknis
b. Pemilihan jenis vegetasi dan
teknik pengelolaan
- Untuk kawasan yang tidak konsisten
dalam pemanfaatan, akan dikembalikan kepada kondisi dan fungsi
semula secara bertahap

contoh : karet, kayu jati

- Sosialisasi kepada stakeholder terkait dengan

Tabel 4.4
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI C - DAERAH TEBING SUNGAI)
Tipologi

Lanjutan .
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor
*)

3.

No

Tipologi Kerawanan

Arahan Pengendalian Pemanfaatan


Arahan Kebijakan

Tinggi

Menengah

Rendah

Tinggi

Menengah

Rendah

Daerah Tebing

- Peternakan

- Hutan Produksi

Sungai

- Pertambangan

- Hutan Kota

- Peruntukan Industri

- Hutan Rakyat

- Industri

- Pertanian Sawah

- Permukiman

- Pertanian Semusim

hutan rakyat dan hutan produksi

- Transportasi

- Fungsi tidak berubah


(Hutan Lindung)

- Tidak diijinkan untuk kegiatan

- Diijinkan untuk kegiatan peternakan

budidaya seperti disebutkan pada

dengan syarat:

kolom 4

a. Rekayasa teknik

- Diijinkan untuk kegiatan hutan kota,

b. Menjaga kelestarian lingkungan


- Diijinkan untuk kegiatan

- Perkebunan

dengan syarat:

pertambangan dengan syarat:

- Perikanan

a. Rekayasa teknik

a. Rekayasa teknik

- Pariwisata

b. Pemilihan jenis vegetasi yang

b. Menjaga kelestarian lingkungan

mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian lingkungan


c. Untuk jenis kegiatan penelitian
- Diijinkan untuk kegiatan pertanian

c. Pengendalian kegiatan tambang


sesuai peraturan yang ada
- Diijinkan untuk permukiman dengan
syarat:

dan perkebunan, dgn syarat:

a. Rekayasa teknis/rumah panggung

a. Rekayasa teknik

b. Pemilihan tipe bangunan rendah

b. Pemilihan jenis vegetasi dan


teknik pengelolaan
- Diijinkan untuk kegiatan pariwisata

hingga sedang
c. Menjaga kelestarian lingkungan
- Diijinkan untuk transportasi dengan

dengan syarat:

syarat:

a. Rekayasa teknis

a. Rekayasa teknis

b. Jenis wisata air

b. Mengikuti pola kontur

- Untuk kawasan yang tidak konsisten


dalam pemanfaatan, akan dikembalikan kepada kondisi dan fungsi
semula secara bertahap

- Fungsi tidak berubah/diubah sebagai Hutan Lindung


- Diperlukan kegiatan pengawasan
tinggi terhadap pemanfaatan ruang
- Ijin tidak diberikan untuk kegiatan
budidaya

10
- Jika fungsi tidak berubah sebagai kawasan hutan
lindung, maka akan diberikan insentif dan disinsentif
bagi kawasan lindung dan sekitarnya, melalui pola
bagi hasil
- Perlu dirumuskan pola dan mekanisme kerjasama
antar wilayah administrasi, yang tercakup dalam
kesatuan fisik SWS
- Dirumuskannya konsep insentif bagi pendukung
upaya pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
rawan bencana, serta desinsentif kepada para
pelanggar ketentuan
- Dukungan rekayasa teknik sebagai standar/kriteria
pemanfaatan ruang
- Sosialisasi kepada stakeholder terkait dengan
arah pengendalian pemanfaatan ruang dan
kawasan rawan bencana longsor

No
1

1.

Tipologi

Tabel 4.5
MEKANISME PERIJINAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI A - DAERAH LERENG BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

Tingkat Kerawanan

Daerah lereng
bukit, lereng
perbukitan,
lereng gunung,
dan lereng
pegunungan

Arahan Mekanisme Perijinan


Keterangan
Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

10

11

A.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Tidak diijinkan

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

A.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Jenis tanaman
dan pola tanam
sesuai dengan
peruntukan
lahan
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Jenis tanaman
dan pola tanam
sesuai dengan
peruntukan
lahan
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Jenis tanaman
dan pola tanam
sesuai dengan
peruntukan
lahan
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

12

- Pengawasan ketat
dengan melibatkan
persyaratan teknik
yang lebih ketat
- Untuk kemudahan
dalam monitoring,
perlu dilakukan
pembaharuan ijin
secara periodik (1 th)
dengan biaya
retribusi yang
meningkat

Tabel 4.5
MEKANISME PERIJINAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI A - DAERAH LERENG BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Lanjutan .

1.

Tipologi

No

Arahan Mekanisme Perijinan

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

Tingkat Kerawanan

Daerah lereng
bukit, lereng
perbukitan,
lereng gunung,
dan lereng
pegunungan

Keterangan
Perikanan

Pertambangan

Peruntukan Industri

Industri

Pariwisata

Permukiman

Transportasi

10

11

A.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

- Memenuhi
persyaratan sesuai
dengan mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi dgn
laporan hasil
penyelidikan
geologi teknik,
analisa kestabilan
lereng dan daya
dukung tanah

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

A.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

- Memenuhi
persyaratan sesuai
dengan mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan
geologi teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Data rencana
reklamasi lereng
- Estimasi volume
galian dan timbunan
- Rencana
penanggulangan
lahan longsor

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dgn
laporan hasil
penyelidikan
geologi teknik,
analis kestabilan
lereng dan daya
dukung lereng
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase, dan
gambar
bangunan > 2 lt
serta fasilitas
lainnya

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dgn
laporan hasil
penyelidikan
geologi teknik,
analis kestabilan
lereng dan daya
dukung lereng
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase, dan
gambar
bangunan > 2 lt

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dgn
laporan hasil
penyelidikan
geologi teknik,
analis kestabilan
lereng dan daya
dukung lereng
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase
- Dilengkapi
rencana lintasan
(alinemen) jalan

12

- Pengawasan ketat
dengan melibatkan
persyaratan teknik
yang lebih ketat
- Untuk kemudahan
dalam monitoring,
perlu dilakukan
pembaharuan ijin
secara periodik (1 th)
dengan biaya
retribusi yang
meningkat

No

Tipologi

Tabel 4.6
MEKANISME PERIJINAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI B - DAERAH KAKI BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)

2.

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)
3

Daerah kaki
bukit, kaki
perbukitan,
kaki gunung,
dan kaki
pegunungan

Arahan Mekanisme Perijinan


Tingkat Kerawanan

Keterangan
Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

B.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

B.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

10

11

- Memenuhi persyaratan - Memenuhi persyaratan - Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
sesuai dengan
sesuai dengan
mekanisme
mekanisme
mekanisme
perijinan umum
perijinan umum
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

- Memenuhi persyaratan - Memenuhi persyaratan


sesuai dengan
sesuai dengan
mekanisme
mekanisme
perijinan umum
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
sistem drainase dan
pembuatan terasering
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
- Dilengkapi dengan
pola tanam sesuai
rencana jalan yang
dengan peruntukan
mengikuti pola kontur
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

12

- Diutamakan untuk
kawasan pertanian
- Pengawasan
ketat

Tabel 4.6
MEKANISME PERIJINAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI B - DAERAH KAKI BUKIT/PERBUKITAN DAN GUNUNG/PEGUNUNGAN)
Tipologi

Lanjutan .

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

2.

No

Daerah kaki
bukit, kaki
perbukitan,
kaki gunung,
dan kaki
pegunungan

Arahan Mekanisme Perijinan


Tingkat Kerawanan
4

Keterangan
Perikanan

Pertambangan

Peruntukan Industri

Industri

Pariwisata

Permukiman

Transportasi

10

11

B.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

- Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Dilengkapi rencana
perkutan lereng,
sistem drainase, dan
gambar bangunan
> 2 lt serta fasilitas
lainnya

Tidak diijinkan

B.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

- Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Data rencana
reklamasi lereng
- Estimasi volume
galian/timbunan
- Rencana
penanggulangan
lahan longsor

Tidak diijinkan

- Memenuhi persyaratan - Memenuhi persyaratan


sesuai dengan
sesuai dengan
mekanisme
mekanisme
perijinan umum
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
laporan hasil
penyelidikan geologi
penyelidikan geologi
teknik, analisis
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
daya dukung lereng
- Dilengkapi rencana
- Dilengkapi rencana
perkutan lereng,
perkutan lereng,
sistem drainase, dan
sistem drainase, dan
gambar bangunan
gambar bangunan
> 2 lt serta fasilitas
> 2 lt serta fasilitas
lainnya
lainnya

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Dilengkapi rencana
perkutan lereng,
sistem drainase
- Dilengkapi rencana
lintasasn (alinemen)
jalan
- Lintasan jalan
mengikuti pola kontur
lereng

12

- Diutamakan untuk
kawasan pertanian
- Pengawasan
ketat

No

Tipologi

Tabel 4.7
MEKANISME PERIJINAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI C - DAERAH TEBING SUNGAI)
Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

Arahan Mekanisme Perijinan


Keterangan

Tingkat Kerawanan
Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

Bencana Longsor )

3.

Daerah Tebing
Sungai

Hutan Produksi

Hutan Kota

Hutan Rakyat

Pertanian Sawah

Pertanian Semusim

Perkebunan

Peternakan

10

11

C.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus pejalan kaki

C.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus untuk
pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus untuk
pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
dengan AMDAL
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur
khusus untuk
pejalan kaki

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Jenis tanaman dan
pola tanam sesuai
dengan peruntukan
lahan
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

- Memenuhi persyaratan - Memenuhi


sesuai dengan
persyaratan
mekanisme
sesuai dengan
perijinan umum
mekanisme
- Dilengkapi rencana
perijinan umum
perkuatan lereng,
- Dilengkapi
sistem drainase dan
rencana perkuatpembuatan terasering
an lereng, sistem
- Jenis tanaman dan
drainase dan
pola tanam sesuai
pembuatan
dengan peruntukan
terasering
lahan
- Dilengkapi dgn
- Dilengkapi dengan
rencana jalan
rencana jalan yang
yang mengikuti
mengikuti pola kontur
pola kontur

12

- Diutamakan
untuk
kawasan
hutan lindung
atau
kawasan
pertanian
terbatas
- Pengawasan
ketat

Tabel 4.7
MEKANISME PERIJINAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR
(TIPOLOGI C - DAERAH TEBING SUNGAI)
Tipologi

Lanjutan .

Karakteristik
Kawasan Rawan
Bencana Longsor *)

3.

No

Daerah Tebing
Sungai

Arahan Mekanisme Perijinan


Tingkat Kerawanan
4

Keterangan
Perikanan

Pertambangan

Peruntukan Industri

Industri

Pariwisata

Permukiman

Transportasi

10

11

C.1. Tinggi
(potensi terjadi
longsoran tinggi,
serta ada resiko
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan
penting/mahal)

- Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
pembuatan terasering
- Dilengkapi dengan
rencana jalan yang
mengikuti pola kontur

Tidak diijinkan

Tidak diijinkan

- Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
gambar bangunan
> 2 lt, serta fasilitas
lainnya

Tidak diijinkan

C.2. Menengah
s.d. Rendah
(potensi terjadi
longsoran tinggi
namun kecil
resiko atau tidak
beresiko
mengakibatkan
korban jiwa dan
atau kerusakan
bangunan;
atau potensi
terjadi longsoran
rendah namun
ada resiko korban
jiwa dan atau
kerusakan
bangunan)

- Memenuhi
persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi
rencana perkuatan lereng, sistem
drainase dan
pembuatan
terasering
- Dilengkapi dgn
rencana jalan
yang mengikuti
pola kontur

- Memenuhi persyaratan Tidak diijinkan


sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Data rencana
reklamasi lereng
- Estimasi volume
galian/timbunan
- Rencana
penanggulangan
lahan longsor

Tidak diijinkan

- Memenuhi persyaratan - Memenuhi persyaratan


sesuai dengan
sesuai dengan
mekanisme
mekanisme
perijinan umum
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
laporan hasil
penyelidikan geologi
penyelidikan geologi
teknik, analisis
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
daya dukung lereng
- Dilengkapi rencana
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
perkuatan lereng,
sistem drainase dan
sistem drainase dan
gambar bangunan
gambar bangunan
> 2 lt, serta fasilitas
> 2 lt, serta fasilitas
lainnya
lainnya

- Memenuhi persyaratan
sesuai dengan
mekanisme
perijinan umum
- Dilengkapi dengan
laporan hasil
penyelidikan geologi
teknik, analisis
kestabilan lereng dan
daya dukung lereng
- Dilengkapi rencana
perkuatan lereng,
sistem drainase
- Dilengkapi rencana
lintasan (alinemen)
jalan yang mengikuti
pola kontur lereng

12

- Diutamakan
untuk
kawasan
hutan lindung
atau
kawasan
pertanian
terbatas
- Pengawasan
ketat

LAMPIRAN L.1
KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBAB
BENCANA LONGSOR

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

L.1

1.

KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBAB BENCANA


LONGSOR

Klasifikasi

Dalam petunjuk ini gerakan tanah dikelompokkan menurut klasifikasi Highway


Research Board 1958 dan 1978. Kriteria yang digunakan dalam pengelompokan ini
pertama adalah tipe gerakan tanah dan kedua jenis materialnya. Tipe gerakan
tanah dibagi menjadi lima kelompok utama yaitu : runtuhan, jungkiran, longsoran,
penyebaran lateral dan aliran. Kelompok keenam adalah majemuk yaitu kombinasi
dua atau lebih tipe gerakan tersebut di atas.
Material dibagi menjadi dua kelas yaitu batuan dan tanah. Tanah selanjutnya
dibagi menurut ukuran butirannya yaitu bahan rombakan (tanah berbutir kasar)
dan tanah berbutir halus.
Adapun keenam tipe gerakantanah dapat diuraikan sebagai berikut :

1.1 Runtuhan
Runtuhan merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik yang
diikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan ini
massa tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan
sedikit atau tanpa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran) kemudian
meluncur sebagian besar di udara seperti jatuh bebas, loncat atau
menggelundung. (Lihat Gambar L.1-1).
Runtuhan batuan adalah runtuhan massa batuan yang lepas dari batuan induknya.
Runtuhan bahan rombakan adalah runtuhan yang terdiri dari fragmen-fragmen
lepas sebelum runtuh.
Termasuk pada tipe runtuhan ini adalah runtuhan kerikil (ukuran kurang dari 20
mm), runtuhan kerakal (ukuran dari 20 mm - 200 mm), dan runtuhan bongkah
(ukuran lebih dari 200 mm).
Runtuhan tanah dapat terjadi bila material yang di bawah lebih lemah (antara lain
karena tererosi, penggalian) dari pada lapisan di atasnya. Runtuhan batuan dapat
terjadi antara lain karena adanya perbedaan pelapukan, tekanan hidrostatis
karena masuknya air ke dalam retakan, serta karena perlemahan akibat struktur
geologi (antara lain kekar, sesar, perlapisan).

L1 - 2

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

1.2 Jungkiran
Jungkiran adalah jenis gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa blok
tanah/batuan terhadap titik pusat putaran di bawah massa batuan oleh gaya
gravitasi dan atau gaya dorong dari massa batuan di belakangnya atau gaya yang
ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan batuan (lihat Gambar L.1-2).
Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak
mempunyai bidang longsoran.
1.3 Longsoran
Longsoran adalah gerakan yang terdiri dari regangan geser dan perpindahan
sepanjang bidang longsoran di mana massa berpindah melongsor dari tempat
semula dan terpisah dari massa tanah yang mantap.
Dalam hal ini, keruntuhan geser tidak selalu terjadi secara serentak pada suatu
bidang longsoran, tapi dapat berkembang dari keruntuhan geser set em pat. Jenis
longsoran dibedakan menurut bentuk bidang longsoran yaitu rotasi (nendatan)
dan translasi, dan dapat dibagi lagi : (a) material yang bergerak relatif utuh dan
terdiri dari satu atau beberapa blok dan (b) material yang bergerak dan sangat
berubah bentuknya atau terdiri dari banyak blok yang berdiri sendiri. (Lihat
Gambar L.1-3 dan L.1-4).
Longsoran rotasi adalah longsoran yang mempunyai bidang longsor berbentuk :
setengah lingkaran, log spiral, hiperbola atau bentuk lengkung tidak teratur
lainnya. Contoh yang paling umum dari tipe ini adalah nendatan yang sepanjang
bidang longsoran yang berbentuk cekung ke atas. Retakan-retakannya berbentuk
konsentris dan cekung ke arah gerakan dan dilihat dari atas berbentuk sendok.
Rotasi bisa terjadi tunggal, ganda atau berantai. Untuk longsoran translasi massa
yang longsor bergerak sepanjang permukaan yang datar atau agak bergelombang
tanpa atau sedikit gerakan memutar/miring.
Longsoran translasi umumnya ditentukan oleh bidang lemah seperti sesar, kekar
perlapisan dan adanya perbedaan kuat geser antar lapisan atau bidang kontak
antara batuan dasar dengan bahan rombakan di atasnya.
Untuk translasi berantai gerakannya menjalar secara bertahap, ke atas lereng
akibat tanah di belakang gawk sedikit demi sedikit diperlemah oleh air yang
mengisi retakan-retakan.
1.4

Penyebaran Lateral

Penyebaran lateral adalah gerakan menyebar ke arab lateral yang ditimbulkan


oleh retak geser atau retak tarik. Tipe gerakan ini dapat terjadi pada batuan
ataupun tanah (lihat Gambar L.1-5).

L1 - 3

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Penyebaran lateral dapat dibedakan dalam dua tipe yaitu :


a.

Gerakan yang menghasilkan sebaran yang menyeluruh dengan bidang geser


atau zona aliran plastis yang sulit dikenali dengan baik. Gerakan ini banyak
terjadi pada batuan dasar, terutama yang terletak pada puncak tebing (lihat
Gambar L.1-6.1).

b.

Gerakan yang mencakup retakan dan penyebaran material yang relatif utuh
(batuan dasar atau tanah), akibat pencairan (liquefaction) atau almn plastis
material di bawahnya. Blok di atasnya dapat ambles, melongaor, memutar,
hancur me~air daD mengalir. Mekanisme gerakan ini ~idak saja rotasi dan
translasi tetapi juga aliran. Karena itu penyebaran lateral ini dapat bersifat
majemuk (Iihat gambar L.1-6.2).

1.5

Aliran

Aliran adalah jenis gerakan tanah di mana kuat geser tanah kecil sekali atau boleh
dikatakan tidak ada, dan material yang bergerak berupa material kental. Termasuk
dalam tipe ini adalah gerakan yang lambat, berupa rayapan pada massa tanah
plastis yang menimbulkan retakan tarik tanpa bidang longsoran.
Rayapan di sini dianggap sama dengan arti rayapan pada mekanika bahan yaitu
deformasi yang terjadi terus menerus di bawah tegangan yang konstan. Pada
material yang tidak terkonsolidasi, gerakan ini umumnya berbentuk aliran, baik
cepat atau lambat, kering at au basah. Aliran pada batuan sangat sulit dikenali
karena gerakannya sangat lambat dengan retakan.retakan yang rapat dan tidak
saling berhubungan yang menimbulkan lipatan, lenturan atau tonjolan. Aliran
dapat dibedakan dalam dua tipe menu rut materialnya yaitu aliran tanah
(termasuk bahan rombakan) dan aliran batuan (lihat Gambar L.1-7).
1.6

Majemuk

Majemuk merupakan gabungan dua atau lebih tipe gerakan tanah seperti
diterangkan di atas (lihat Gambar L.1-8).
2.

Pengenalan Ciri-Ciri Gerakan Tanah

Gerakantanah untuk tipe runtuhan, longsoran, dan aliran dapat dikenali secara
visual di lapangan dengan memperhatikan ciri-ciri dari masing-masing tipe seperti
yang tercantum dalam Tabel L1-1.
Setiap tipe gerakan tanah mempunyai mekanisme yang berbeda satu terhadap
lainnya, sehingga setiap tipe gerakanpun menampakkan cirinya yang khusus.
Gerakan pada massa tanah menunjukkan ciri yang berbeda dengan gerakan
massa batuan, walaupun tipe gerakannya sama, karena perbedaan sifat fisik dan
L1 - 4

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

teknik antara massa tanah dan batuan. Oleh karena itu dalam mempelajari tipe
gerakan pertama kali harus dikenali dahulu jenis materialnya, yaitu : tanah atau
batuan.
Setelah mengenali betul jenis materialnya selanjutnya harus diamati secara teliti
massa yang ber. gerak dan massa yang stabil di sekelilingnya. Setiap bagian dari
kedua massa tersebut menampakkan ciri yang berbeda. Massa yang bergerak
perlu diamati dan dicatat tenting segala kenampakan di bagian kepala, badan,
kaki, dan ujung kaki; sedangkan massa yang stabil perlu diamati di bagian
mahkota, gawir utama, dan sayapnya.
Dengan mengenali jenis material massa gerakan dan ciri-ciri yang nampak di
setiap bagian tersebut di atas, maka dapatlah diperkirakan tipe gerakan tanah
yang terjadi.

3.

Faktor Penyebab

3.1

Penyebab Ditinjau Dari Peristiwa

Peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya gerakantanah dibedakan menjadi


gangguan luar dan gangguan dalam.
3.1.1 Gangguan Luar
(1) Getaran yang ditimbulkan oleh antara lain: gempa bumi, peledakan, kereta
api, dapat mengakibatkan gerakantanah sebagai contoh : gempa bumi Tes di
Sumatera Selatan pada tahun 1952 dan getaran yang ditimbulkan oleh kereta
api Jakarta - Yogyakarta di dekat Purwokerto tahun 1947.
(2) Pembebanan tambahan, temtama disebabkan oleh aktivitas manusia, misalnya adanya bangunan atau timbunan di atas tebing.
(3) Hilangnya penahan lateral, dapat disebabkan antara lain oleh pengikisan
(erosi sungai, pantai), aktivitas manusia (penggalian). Sebagai contoh :
penggalian tras di tepi jalan Bandung - Lembang (Pasirjati), erosi sungai
pada jalan Pacitan - Ponorogo, erosi pantai Bengkulu.
(4) Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan timbulnya alur pada
beberapa daerah tertentu. Erosi makin meningkat dan akhimya tejadi
gerakan tanah.
3.1.2 Gangguan Dalam
(1) Hilangnya rentangan permukaan : selaput air yang terdapat diantara butir
tanah memberikan tegangan tarik yang tidak kecil. Sebaliknya jika air
merupakan lapisan tebal, maka akibatnya akan berlawanan. Karena itu makin
banyak air masuk ke dalam tanah, parameter kuat gesemya makin
berkurang.
L1 - 5

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

(2) Naiknya berat massa tanah batuan : masuknya air ke dalam tanah menyebabkan terisinya rongga antarbutir sehingga massa tanah bertambah.
(3) Pelindian bahan perekat, air mampu melarutkan bahan pengikat butir yang
membentuk batuan sedimen. Misalnya perekat dalam batu pasir yang
dilarutkan air sehingga ikatannya hilang.
(4) Naiknya muka air tanah : muka air dapat naik karena rembesan yang masuk
pada pori antar butir tanah. Tekanan air pori naik sehingga kekuatan
gesernya turun.
(5) Pengembangan tanah : rembesan air dapat menyebabkan tanah
mengembang terutama untuk tanah lempung tertentu,jika lempung
semacam itu terdapat di bawah lapisan lain.
(6) Surut cepat ; jika air dalam sungai atau waduk menurun terlalu cepat, maka
muka air tanah tidak dapat mengikuti kecepatan menurunnya muka air.
(7) Pencairan sendiri dapat terjadi pada beberapa jenis tanah yang jenuh air,
seperti pasir halus lepas hila terkena getaran (dikarenakan gempa bumi,
kereta api dan sebagainya).
3.2

Penyebab Ditinjau Dari Konsepsi Faktor Keamanan

Dengan dasar pemikiran bahwa faktor keamanan lereng terhadap longsoran


bergantung pada angka perbandingan antara kuat geser tanah (S) dan tegangan
geser yang bekerja (tm) yang dinyatakan dengan persamaan.
FK = S l tm
Di mana:
FK = faktor keamanan terhadap longsoran
= 1 kritis
> 1 mantap/aman
< 1 longsor
S = kuat geser tanah
tm = tegangan geser yang bekerja.
Faktor pengaruh terhadap kemantapan lererlg dibagi atas 2 (dua) kelompok
utama, yaitu : gangguan luar dan gangguan dalam.
3.2.1 Gangguan Luar
Gangguan luar terjadi karena meningkatnya tegangan geser yang bekerja dalam
tanah (T m) sehingga FK < 1. Berdasarkan keadaan ini dapat diuraikan :
(1) Tegangan horizontal (aw menurun - kondisi seperti ini terjadi hila kaki lereng
tererosi oleh aliran air, akibat galian atau pembongkaran - tembok penahan.
Gambar L.1-9 memperlihatkan secara terinci lereng tererosi, lereng galian
dan tembok penahan dibongkar.

L1 - 6

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Pada keadaan semula tegangan yang bekerja pada elemen adalah sebesar
h dan h = Ko V0 dengan FK = q1 /qf1. Setelah penggerusan, galian atau
pembongkaran tembok penahan maka tegangan horisontal berubah. menjadi h - h, sedangkan - FK2 = q2/qf2 yang lebih kecil dari FK. Ini berarti
kemantapan akan terganggu, lihat Gambar L.1-10.
(2) Tegangan vertikal meningkat; - kondisi ini terjadi hila air hujan tertahan di
atas lereng, timbunan, bangunan dan lain-lain. Gambar L.1-11 memperlihatkan suatu lereng slam yang diatasnya ditimbun. Pada keadaan semula
tegangan yang bekerja pada elemen A adalah v dan h = Ko h. Setelah
penimbunan tegangan menjadi v + v dan h + h. . Bila perubahan ini
digambarkan dengan "stress path" dari keadaan 3 sampai 4, maka terlihat
bahwa FK3 = q3/qf3 lebih besar bila dibanding dengan FK4 = q4/qf4 yang
menunjukkan bahwa faktor keamanan menurun setelah pembebanan.
(3) Tekanan horizontal meningkat; kondisi ini terjadi karena adanya pengisian air
pada retakan (Gambar L.1-12).
(4) Tegangan siklik, kondisi ini terutama akibat gaya gempa dan gaya vibrasi
ledakan mesiu. Pada keadaan gcmpa bumi, 2 (dua) bush gelombang naik
daTi bawah ke at as permukaan tanah. Sebelum mencapai permukaan tanah,
rambatan gelombang melewati berbagai lapisan sehingga menimbulkan
perubahan pada sistem tegangan semula.
Kedua gelombang tersebut di atas adalah :
"body waves" terdiri atas gelombang primer atau longitudinal (P-waves)
dan gelombang transversal atau geser (S-waves).
"Surface waves" terdiri atas gelombang "Rayleigh" dan "Love".
Gelombang yang sangat menentukan dalam kemantapan lereng adalah
gelombang geser (S-waves) yang meningkatkan tegangan geser tanah
secara acak, sehingga kemantapan lereng terganggu (Gambar L.1-13.a).
Bila perubahan tegangan digambar dengan lintasan tegangan (Gambar L.113.d) maka terlihat bahwa lintasannya bergerak ke kanan sehingga FK
menurun tergantung dari waktu.
(5) Gerakan tektonik; dapat mengubah keadaan geometri lereng. Pelandaian
lereng berarti menambah kemantapan, dan sebaliknya penegakan lereng
berarti mengurangi kemantapan.
3.2.2 Gangguan Dalam
Faktor penyebab menurunnya kuat geser tanah (S):
(1) Sifat bawaan; meliputl komposisi, struktur geologi dan geometri lereng.
Komposisi, kondisi material dapat menjadi lemah (weak) pada pening katan kadar air. Hal ini teljadi pada tanah lempung terkonsolidasi lebih
(OC) dan terkonsolidasi sangat lebih (HOC) dan tanah lempung organik.

L1 - 7

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Struktur geologi dan geometri lereng, dapat berupa bidang diskon.


tinuitas (sesar, perlapisan, kekar, cermin sesar dan breksiasi), lapisan
yang berada di atas tanah lempung yang lemah atau selang-seling antar
lapisan lulus air pasir dan kedap air (lempung). Kedudukan lapisan miring
ke arah lereng.

(2) Reaksi kimia/flSika; antara lain berupa :


Hidrasi daTi mineral lempung seperti absorbsi air oleh minerallempung
sehingga kadar air meningkat. Hal ini biasanya diilc;uti dengan penurun.
an harga kohesi, contohnya lempung montmorillonit.
Penyusutan tanah lempung akibat pengeringan dapat menimbulkan
retakan susut sehingga kuat geser tanah menurun dan memberi kesempatan air mengalir masuk ke dalamnya (Gambar L.1-14).
Erosi oleh air pada tanah lempung "dispersive" menyebabkan ter.
bentuknya rongga yang menurunkan kuat geser tanah.
(3) Perubahan tekanan air pori dan be rat isi, antara lain berupa :
Berat isi bertambah karena penjenuhan. Daya apung pada kondisi jenuh
menurunkan tegangan efektif pada butir, sehingga kuat geser menurun
(Gambar L.1-15).
Muka air tanah naik karena air hujan, kolam waduk dan lainnya (Gambar
L.1-16).
(4) Perubahan sistem pembebanan; antara lain karena tegangan tanah
berkurang. Pada kondisi ini lapisan tanah lempung terkonsolidasi lebih dan
terkonsolidasi sangat lebih yang sebelumnya telah dibebani lapisan di
atasnya, kemudian lapisan alas tersebut digali (dibuang). Kemudian terjadi
perubahan beban pada lapisan lempung yang menyebabkan berkurangnya
kuat geser tanah.
Sistematika penyebab gerakantanah/longsoran ditinjau dari peristiwa maupun
ditinjau dari konsepsi faktor keamanan dapat dilihat pada bagan Gambar L.1-17
dan L.1-18.

L1 - 8

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-1 Gerakan Tanah Jenis Runtuhan

Gambar L.1-2 Gerakan Tanah Jenis Jungkiran

L1 - 9

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-3 Gerakan Tanah Jenis Longsoran Rotasi

Gambar L.1-4 Gerakan Tanah Jenis Longsoran Translasi

L1 - 10

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-5 Gerakan Tanah Jenis Gerakan Lateral

Gambar L.1-6 Gerakan Latereal Mejemuk

L1 - 11

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-7 Gerakan Tanah Jenis Aliran

L1 - 12

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-7 (Lanjutan) Gerakan Tanah Jenis Aliran

L1 - 13

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-8 Gerakan Tanah Jenis Majemuk

Gambar L.1-9 Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan Horisontal


Menurun

L1 - 14

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-10 Perubahan Tegangan Sebelum dan Sesudah Pembebanan

Gambar L.1-11 Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan Vertikal


Meningkat

Gbr L.1-12 Retakan Susut Yang Terisi Air,


Meningkatkan Tegangan Geser

L1 - 15

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-13 Gangguan Kemantapan Lereng Karena Tegangan Siklik

L1 - 16

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-14 Perubahan Kekuatan Geser Tanah Sepanjang Bidang


Longsoran

Gambar L.1-15 Perubahan Kekuatan Geser Tanah Pada Waktu Hujan Akibat
Peningkatan Muka Air Tanah & Penjenuhan Perlapisan Tanah

L1 - 17

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Gambar L.1-16 Peningkatan Tekanan Air Pori Pada Bidang Longsoran Karena
Perubahan Muka Air Tanah Bebas Waktu Pengisian Air Waduk

L1 - 18

You might also like