You are on page 1of 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia, yang berhubungan dengan ketidak normalan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein yang disebabkan oleh resistensi insulin, gangguan pada sekresi insulin, atau disebabkan
oleh keduanya (Dipiro et al., 2005). Insulin merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, yang dihasilkan oleh sel- pada pankreas. Diabetes melitus pada
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskuler dan gangguan
sistem saraf (American Diabetes Association, 2012).
Jumlah penderita diabetes melitus di dunia diperkirakan akan semakin meningkat tiap
tahunnya. Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2013, terdapat sekitar
382 juta jiwa penderita diabetes di dunia. Lebih dari 128,2 juta jiwa berasal dari Western
Pacific (WP) Region, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 201,8 juta jiwa pada tahun 2035.
Indonesia termasuk dalam peringkat kedua negara dengan jumlah penduduk penderita diabetes
melitus terbesar diantara 22 negara lainnya yang tergabung di dalam WP Region, yaitu sekitar 8,5
juta jiwa. Peringkat pertama adalah Cina sekitar 98,4 juta jiwa, dan ketiga adalah Jepang dengan
7,2 juta jiwa (Chan, Cho, Tajima, & Shaw, 2014).
Dalam penanggulangan

kasus

diabetes

diperlukan

adanya

pelayanan

kesehatan,

mencakup pelayanan kefarmasian dalam proses pengobatan atau pencegahan penyakit diabetes
melitus. Oleh sebab itu, setiap tenaga medis terutama tenaga kefarmasian harus memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai tata laksana terapi diabetes melitus, baik terapai secara
nonfarmakologis dan farmakologis, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
optimal kepada masyarakat

1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengkaji lebih dalam mengenai terapi
diabetes

melitus,

meliputi algoritma

terapi diabetes

melitus,

terapi

non-farmakolgi,terapi
1

farmakologi, serta monitoring terapi diabetes melitus. Selain itu, melalui makalah ini penulis
berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan perhatian pembaca mengenai terapi dan
pencegahan diabetes melitus, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan pembaca terhadap
faktor- faktor penyebab diabetes melitus.

BAB 2
ISI

2.1. Terapi Diabetes Mellitus


2.1.1.

Tujuan Terapi Diabetes MellitusTujuan

mengurangi

resiko

terjadinya

penyakit

terapi diabetes melitus berutujuan

komplikasi

mikrovaskular

(neuropati,

untuk

nefropati,

retinoparti) dan dan makrovaskular dan komplikasi akut lainnya, meminimalisir kemungkinan
terjadinya hipoglikemia, mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Agar
tercapainya tujuan tersebut, pemerolehan kondisi yang sebisa mungkin mendekati normoglikemia
menjadi faktor yang sangat penting yang dapat dibantu dengan edukasi pasien dengan cara yang
tepat. Penentuan jenis terapi yang akan diterapkan pada pasien diabetes melitus bergantung pada
sasaran glikemia, tingkat Self-monitoring of blood glucose (SMBG), hasil uji hemoglobin
A1c, tekananan darah, level lipid, hasil pengecekan perkembangan komplikasi secara reguler, pola
makan dan olahraga, serta waktu penggunaan obat.

2.1.2. Jenis Terapi Diabetes Mellitus


Secara umum terapi diabetes melitus terbagi atas dua bagian, yaitu terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.
2.1.2.1. Terapi Non-Farmakologi
Terapi non-farmakologi merupakan langkah terapi awal yang sangat direkomendasikan
bagi pasien diabetes melitus baik tipe 1 atau pun tipe 2. Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam terapi non-farmakologi adalah makanan, aktivitas, pengaturan berat badan, dan psikologis.
Pengaturan asupan makanan penting dalam terapi non-farmakologi agar tercapai
metabolisme yang optimal di dalam tubuh. Bagi penderita diabetes mellitus tipe 1, fokus terapi
yang dilakukan adalah bagaimana caranya mengatur keseimbangan antara administrasi insulin dan
asupan makanan yang masuk kedalam tubuh sehingga tercapai berat badan yang ideal. Sementara
pada pasien diabetes mellitus tipe 2, biasanya ditetapkan batas kalori yang dikonsumsi untuk
penurunan berat badan. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar diabetes

mellitus tipe 2 terjadi akibat adanya obesitas. Namun, kembali lagi aturan diet yang ditetapkan
bergantung dari body mass index (BMI).
Sementara dengan beraktivitas dengan olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin
dan mengurangi faktor resiko kardiaovaskular karena berkaitan dengan penurunan berat badan.
Aktivitas yang dipilih hendaknya yang disukai oleh pasien tersebut sehingga bisa dilakukan secara
kontinu berkala. Namun, perlu diperhatikan bagi pasien-pasien tertentu seperti pasien yang sudah
tua, pasien yang tidak kuat bergerak banyak, pasien dengan faktor resiko kardiovaskular multipel,
pasien

komplikasi kelainan

mikrovaskular.

Untuk

pasien

yang

memiliki

arterosklerosis,

pengukuran evaluasi kardiovaskular dapat diukur untuk mengetahui batas aktivitas yang dapat
dilakukan oleh pasien tersebut. Di sisi lain, psikologis berkaitan dengan perasaan letih dari pasien
diabetes mellitus terhadap penyakit yang dimilikinya sehingga akan mempengaruhi dari segi
masalah kepatuhan obat.
2.1.2.2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi merupakan terapi dengan melibatkan pengobatan. Sampai tahun 1995
pengobatan secara farmakologis hanya terbatas pada penggunaan sulfonilurea dan metformin.
Pengobatan kemudian terus berkembang sehingga sekarang banyak jenis obat yang dapat
digunakan untuk pengobatan bagi pasien diabetes mellitus tipe 2 seperti -glikosidase inhibitor,
biguanida, meglitnides, reseptor , tiazolidindion,DPP-IV inhibitors dan sulfonilurea.

2.1.3 Algoritma Terapi Diabetes


Algoritma terapi diabetes dibedakan antara tipe 1 dengan tipe 2. Pada penderita diabetes
mellitus tipe 1, pasien harus menggunakan insulin karena sel pankreas yang tidak mampu
memproduksi insulin. Prinsip terapi diabetes mellitus tipe 1 adalah menyeimbangkan antara
makanan yang masuk dan insulin yang diadministrasi. Pemilihan jenis insulin yang digunakan juga
diperngaruhi dari onset dan durasi jenis insulin tersebut dan asupan gizi yang masuk. Pada terapi
diabetes mellitus tipe 1 dikenal konsep basal-bolus, yaitu kombinasi penggunaan
intermediate atau long-acting insulin sebagai komponen basal dan short-acting insulin sebegai
komponen bolus agar dapat mereplikasi insulin fisiologis normal. Secara umum, insulin basal
dapat digunakan 50% dari total dosis per hari, sisanya diisi dengan dosis bolus pada makanan tiga
4

kali sehari. Sebagai dosis awal, pasien diabetes mellitus diberikan 0,6 unit/kg per hari. Dosis umum
pasien diabetes mellitus tipe 1 adalah 0,6-1unit/kg per hari.
Selain konsep basal-bolus, ada konsep lainnya yang disebut dengan continous
subcutaneous insulin infusion (CSII). Konsep CSII hanya menggunakan short-actinginsulin seperti
lispro atau aspart sebanyak tiga kali sehari 30 menit sebelum makan. Konsep ini lebih efektif untuk
mengontrol kadar gula di dalam darah.
Penderita diabetes mellitus tipe 2 berbeda dengan tipe 1 karena sel pankreas masih bisa
mengeluarkan insulin namun kurang sensitivitas. Dalam terapi diabetes mellitus 2, beberapa target
sasaran yang harus terpenuhi adalah:
A1c 6,5%
Kadar SMBG puasa 110 mg/dl
Kadar SMBG 2 jam setelah makan 140-180 mg/dl
Sebagai langkah awal, terapi non-farmakologi selalu diupayakan untuk mencapai target
tersebut. Bila dengan terapi non-farmakologi targetnya terpenuhi, maka kadar A1c harus dicek
selama 3-6 bulan. Bila target tidak terpenuhi, terapi farmakologi bisa digunakan dengan
menggunakan antidiabetik oral tunggal.

2.1.3. Algoritma Terapi Diabetes Mellitus


2.1.3.1. Algoritma Terapi Diabetes Mellitus Tipe 1
Pilihan terapi untuk DM tipe 1 hanya insulin. Permasalahan terapinya hanya pada bagaimana
pemberian insulin tersebut berbeda pada setiap pasien. Pengobatan modern DM tipe 1 adalah
dengan menyeimbangkan karbohidrat yang dimakan dengan proses penurunan glukosa dan juga
dengan olahraga. Secara sederhana, sekresi insulin dapat dibagi menjadi basal (kadar insulin yang
relative konstan selama periode sebelum makan dan setelah absorbsi makanan) dan bolus
(peningkatan tajam kadar insulin setelah makan). Sensitivitas dan sekresi insulin tidak konstan
sehingga regimen insulin diberikan dengan konsep basal-bolus untuk meniru insulin fisiologis,
dan hal ini berkaitan dengan pemberian jumlah injeksi insulin dalam sehari.

Gambar. Variasi kadar insulin dalam tubuh mengikuti variasi kadar glukosa

Satu injeksi sediaan insulin mampu

tidak akan bias meniru fisiologi normal insulin sehingga

pasien akan memerlukan lebih dari satu injeksi insulin dalam sehari. Konsep basal-bolus adalah
konsep pemberian insulin sebagai usaha untuk meniru fisiologi normal insulin dengan kombinasi
intermediate insulin atau long acting insulin untuk memberikan komponen basal dan short-acting
insulin atau rapid acting insulin untuk memberikan komponen bolus. Intermediate acting insulin
contohnya adalah NPH, long acting insulin contohnya insulin glargine dan insulin detemir, short
acting insulin contohnya adalah insulin regular sedangkan rapid-acting insulin contohnya adalah
insulin lispro, insulin aspart, insulin glulisin dan insulin exubera. Berikut adalah contoh regimen
terapi insulin secara intensif.

2.1.3.2. Algoritma Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2

Target terapi untuk diabetes adalah HbA1c 6,5%, Fasting SMBG 110 mg/dL, dan Post
Prandial SMBG 140-180 mg/dL. Terapi pertama untuk pasien diabetes adalah terapi non
farmakologi atau gaya hidup yaitu edukasi diabetes, modifikasi pada nutrisi dan olahraga. Untuk
pasien dengan HbA1c 6,5-7%, perubahan gaya hidup diperkirakan cukup untuk menurunkan kadar
HbA1c 6,5%. Pasien dengan HbA1c awal 7% tetapi 8% dapat diobati dengan antidiabetik oral
tunggal atau kombinasi dengan dosis rendah. Pasien dengan HbA1c awal 8% dapat diberikan
terapi awal dengan kombinasi 2 antidiabetik oral atau dengan insulin. Pasien dengan HbA1c 9%10% biasanya membutuhkan lebih dari 2 kombinasi antidiabetik untuk mencapai target.
Terapi awal untuk pasien diabetes dengan obesitas adalah dengan metformin yang dititrasi
dosisnya sampai 2000 mg/hari. Sedangkan pasien dengan berat badan normal dapat diterapi
dengan sulfonylurea. Jika terjadi kegagalan terapi awal dalam mencapai target, maka obat dapat
ditambah dengan obat diabetes lain yang mekanismenya berbeda. Terapi awal pasien dengan
HbA1c 9-10% dilakukan dengan kombinasi antidiabetik oral, biasanya kombinasi metformin
dengan

sulfonylurea.

Tiazolidindion

dapat

menggantikan

metformin

jika

pasien

memiliki

intoleransi pada metformin, tetapi penggunaan TZD harus hati-hati pada penderita gagal jantung.
Ketika penurunan glukosa pasien masih kurang adekuat untuk mencapai target, dapat digunakan
kombinasi 3 antidiabetik oral, dengan penambahan TZD, exenatide, DPP IV inhibitor, insulin
basal.
Terapi harus disesuaikan dengan kadar HbA1c, FPG, biaya, keuntungan tambahan (seperti
penurunan berat badan), kontraindikasi dan efek samping. Jika dengan kombinasi antidiabetik oral
kadar HbA1c masih 8,5-9%, maka harus diberikan terapi insulin dengan penghentian penggunaan
sulfonylurea ketika terapi insulin sudah diberikan. Jika pasien mengalami obesitas dan HbA1c
8,5%, untuk kombinasi antidiabetik oral ketiga dapat menggunakan exenatide atau inhibitor DPP
IV.

2.2. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan diabetes memiliki tujuan utama, yaitu menjaga agar kadar glukosa
plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya
komplikasi diabetes. Terdapat dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes. Pertama,
8

pendekatan non farmakologis dan yang kedua adalah pendekatan farmakologis.

Dalam

penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan non
farmakologis berupa pengaturan diet dan olah raga. Jika pada langkah pertama tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa
terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral (OHO), atau kombinasi keduanya (Holt, R.I.,
Cockram, C.S., Flyvbjerg, Allan., Goldstein, B.J., 2010).

Tabel 2. 1. Target terapi diabetes melitus


Parameter
Kadar glukosa plasma puasa
Kadar

puncak

Kadar ideal yang diharapkan


70-130 mg/dL

glukosa <180 mg/dL

plasma post-pranidal
Kadar HBA1C

<7%

Kadar HDL

>45 mg/dL (pria), >55 mg/dL (wanita)

Kadar LDL

< 100 mg/dL

Kadar Trigliserida

< 200 mg/dL

Tekanan darah

< 140/80 mmHg

2.3. Terapi Non-Farmakologi


2.3.1. Pengaturan Nutrisi
Pengaturan nutrisi atau diet merupakan kunci utama keberhasilan penatalaksanaan DM.
Jumlah asupan kalori disesusaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
fisik. Pada dasarnya, diet bertujuan utama untuk mempertahankan berat badan ideal. Penurunan
berat badan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel pankreas
terhadap stimulus glukosa (DiPiro, J.T., et al., 2005).

Pada penderita DM tipe 1, difokuskan pada regulasi administrasi insulin dengan diet
seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Diet yang dianjurkan yaitu diet
karbohidrat dalam jumlah cukup dan rendah lemak, dengan gizi seimbang. Pada penderita DM
tipe 2, diet rendah kalori harus dilakukan untuk mencapai penurunan berat badan (DiPiro, J.T., et
al., 2005).

2.3.2. Olahraga
Olah raga teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Jenis dan
porsi olah raga harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan pasien DM. Beberapa contoh
olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga
akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa (DiPiro, J.T., et al., 2005).

2.4. Terapi Farmakologi


2.4.1. Terapi dengan Insulin
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi leh sel pulau Langerhans kelenjar pankreas.
Secara kimia, insulin adalah protein yang terdiri dari 51 asam amino, 30 di antaranya membentuk
satu rantai polipeptida (rantai A) dan 21 asam amino lainnya membentuk rantai kedua (rantai B).
Kedua rantai tersebut dihubungkan dengan ikatan disulfida. Insulin menstimulasi pemasukan
glukosa ke dalam sel untuk diguanakn sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan
glikogen di dalam sel otot dan hati.
Insulin penting untuk kelangsungan hidup individu dengan diabetes tipe 1, yang-sel telah
rusak. Ini juga memainkan peran utama dalam terapi individu dengan diabetes tipe 2 bila gejala
mereka tidak dapat dikontrol dengan diet dan olahraga saja atau kombinasi dari agen antidiabetes.
Insulin juga digunakan pada pasien dengan diabetes tipe 2 selama kehamilan atau periode penyakit
penyerta atau stres misalnya, pembedahan.

10

2.4.1.1.Mekanisme Insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme.
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel pancreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui
vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek
kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam
sel.
Insulin membantu masuknya glukosa ke sel otot rangka dan adiposa dengan merangsang
fosforilase intrasel yang kompleks dan berakhir dengan pembentukan transporter glukosa
(GLUT4). GLUT4 ditranslokasi ke dinding sel, glukosa plasma masuk ke sel melelIU GLUT4.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke
dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan
bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energy sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai
pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun
metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta
meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam
modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat
menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan
jaringan tubuh

2.4.1.2.Klasifikasi Insulin
Insulin dapat diklasifikasikan berdasarkan asal insulin serta berdasarkan lama kerjanya.
Adapun klasifikasinya yaitu:
a. Berdasarkan asalnya

Insulin Babi
Insulin babi memiliki perbedaan 1 asam amino dengan insulin manusia yaitu treonin, asam

amino ke-30 pada rantai A disubstitusi dengan alanin.substitusi ini hanya memiliki efek
minimal pada struktur

molekul protein,

memungkinkan antibodi tubuh lebih

sedikit

berinteraksi dengan insulin babi dibandingkan dengan insulin sapi.

Insulin Sapi

11

Insulin sapi memiliki perbedaan 3 asam amino dengan insulin manusia, yaitu pada rantai
A treonin asam amino ke-30 dan ke-8 disubstitusi dengan alanin, dan isoleusin asam amino 10
disubstitusi dengan valin.

Insulin Manusia
Kebanyakan insulin manusia diproduksi menggunakan modifikaasi genetik. Proses ini

melibatkan DNA rekombinan teknologi menggunakan E.Coli.

b. Berdasarkan Lama Kerjanya

Rapid Acting Insulin


Insulin Lispro merupakan insulin analog yang dihasilkan melalui teknolgi rekombinan,

dimana 2 asam amino pada rantai B dimodifikasi yaitu proline pada B28 dipindah ke B29 dan
lisin pada B29 dipindah ke B28. Insulin Aspart adalah insulin dimana terdapat asam aspartat
pada rantai B28. Insulin glulisin adalah

insulin dimana 2 asam amino pada rantai B

dimodifikasi yaitu lisin B29 dipindah ke B3 dan glutamat pada B3 dipindah ke B29. Ketika
disuntikkan secara subkutan, insulin Lispro dan Aspart diabsorpsi dengan cepat dan mencapai
kadar maksimum dalam darah setelah 1-2 jam. Insulin Lispro dan Aspart diadministrasi 20-60
menit sebelum makan, memiliki onset 15-30 menit dan durasi kerja sekitar 3-4 jam.
Insulin Lispro dan Aspart merupakan sediaan insulin yang jernih. Insulin jenis ini dapat
diberikan secara intravena pada keadaan hiperglikemia yang sangat parah untuk mendapatkan
efek hipoglikemia yang cepat. Namun durasi kerja insulin yang diberikan secara intravena
hanya berlangsung selama 30 menit.

Gambar 1.

Contoh Rapid

Acting

Insulin

Short Acting Insulin


12

Contohnya insulin regular (Kristal zink insulin, CZI). CZI merupakan suatu larutan
mengandung zink yang diperlukan dalam proses pemurnian dan kristalisasi. Bentuk asam
mempunyai titik isoelektris (pH dimana daya larut minimal) 5,3 dan bentuk netral mempunyai
pH 7,4, karena itu insulin jenis ini mudah larut dalam cairan tubuh dan dapat diabsorpsi dengan
cepat dari tempat suntikan
Insulin regular memiliki onset 30 menit 1 jam setelah pemberian secara subkutan. Kadar
maksimum diperoleh setelah 2-3 jam. Durasi insulin regular adalah 3-6 jam. Pada injeksi
subkutan, regular insulin membentuk gumpalan kecil yang disebut dengan hexamer yang
kemudian mengalami konversi menjadi dimer yang diikuti menjadi monomer sebelum
absorbsi sistemik terjadi. Oleh karena itu, pasien harus diberitahukan untuk menyuntikan
regular insulin secara subkutan 30 menit sebelum makan. Insulin regular dapat diberikan secara
intravena pada keadaan hiperglikemia yang parah dan diabetes ketoasidosis. Regular insulin
adalah satu-satunya insulin yang dapat diberikan secara intravena.

Gambar 2.Contoh Short Acting

Insulin

Intermediate Acting Insulin


Merupakan hasil penelitian jangka panjang modifikasi insulin kerja sedang dan merupakan

campuran antara PZI (Protamina Zink Insuline) dan CZI. Dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.

13

Insulin Semilente adalah insulin zinc amorf. Insulin Lente adalah campuran 30% insulin
zinc amorf dan 70% kristal zinc insulin. Isophane atau Neutral Protamine Hagedorn (NPH)
merupakan kompleks insulin zinc kristalin dan insulin zinc protamin. Ketiganya terdapat
dalam bentuk suspensi.

Insulin Lente memiliki onset 3-4 jam. Kadar maksimum dicapai

setelah 6-12 jam setelah pemberian. Durasi kerja insulin Lente adalah 12-18 jam. NPH
memiliki onset 2-4 jam. Kadar maksimum dicapai setelah 4-6 jam setelah pemberian. Durasi
kerja insulin Lente adalah 8-12 jam

Gambar 3. Contoh Intermediate Acting Insulin

Long Acting Insulin


Insulin Ultralente adalah suspensi kristal zinc insulin yang sukar larut. Insulin Ultralente

memiliki onset 6-10 jam. Kadar maksimum dicapai setelah 10-16 jam. Durasi kerja insulin
Ultralente adalah 18-20 jam. Kerja insulin Ultralente yang terlalu lama dapat menyebabkan
akumulasi insulin dan hipoglikemia yang berbahaya pada pasien. Ada 2 macam insulin dengan
kerja panjang yang disetujui digunakan di US. Glargine dan detemir didesain sebagai dosis
tunggal insulin. Insulin glargine beda 3 asam amino dengan regular insulin, menyebabkan
kelarutannya rendah pada pH 4, yang akan mengendap pada pemberian subkutan. Glargine
tidak dapat diberikan secara intravena atau dicampur dengan produk insulin lainnya. Baik
glargine maupun detemir tidak memberikan konsentrasi puncak pada serum dan dapat
diberikan tanpa menghiraukan waktu atau adanya makanan. Selain itu jenis insulin yang
mempunyai kerja panjang adalah ultralente, yaitu suspense dari insulin zinc Kristal yang
kelarutannya buruk dengan durasi sampai dengan 35 jam.
14

Gambar 4. Contoh Long Acting Insulin

Insulin Campuran
Beberapa kombinasi insulin telah tersedia secara komersial. NPH tersedia dalam

kombinasi 70/30 dan 50/30 dengan insulin regular. Campuran dua macam insulin dengan masa
kerja pendek juga telah tersedia. Campuran dua macam insulin dengan masa kerja pendek juga
telah tersedia. Campuran Humalog 75/25 yang terdiri dari 75% suspensI insulin lispro
protamine dan 25% insulin lispro. Camouran Novolog 70/30 yang terdiri dari 70% insulin
aspart protamine dan 30% insulin aspart. Suspensi insulin lispro dan aspart dikembangkan
secara khusus pada produk campuran dan tidak tersedia secara komersial dalam keadaan
terpisah (sediaan tunggal).

Gambar 5. Insulin Campuran

15

Tabel 1. Sediaan Injeksi Insulin

Tabel 2. Profil Farmakokinetik Injeksi Insulin

2.4.1.3.Indikasi Terapi Insulin


16

Indikasi terapi dengan insulin, yaitu :


DM tipe 1, memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada atau
hampir tidak ada.
DM tipe 2, membutuhkan insulin bila
- Terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah.
- Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan miokard akut atau
stroke.
DM gestasional dan DM dengan kehamilan membutuhkan insulin bila perencanaan makan
saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Ketoasidosis diabetik.
Pengobatan sindroma hiperglikemi hiperosmolar non ketotik.
DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk
memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin
eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode
resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.

2.4.1.4.Dosis Insulin
Dalam tipe 1 DM, kebutuhan harian rata-rata untuk insulin adalah 0,5-0,6 unit / kg, dengan
sekitar 50% yang diberikan sebagai insulin basal, dan 50% sisanya diberikan untuk mencukupi
kebutuhan insulin setelah makan. Selama penyakit akut atau dengan ketosis atau keadaan resistensi
insulin relatif, diperlukan insulin dosis tinggi. Pada tipe 2 DM dosis yang lebih tinggi diperlukan
untuk pasien dengan resistensi insulin yang signifikan. Dosis bervariasi tergantung pada resistensi
insulin yang mendasari dan bersamaan penggunaan obat oral.

2.4.1.5.Efek Samping
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan efek samping yang paling umum dari penggunaan insulin, lebih
sering terjadi pada pasien DM tipe 1. Perlu dilakukan monitoring kadar gula darah, mengurangi
17

dosis insulin, memberikan glukosa, glukagon. Apabila terjadi hipoglikemi maka cara
penanganannya adalah:
-

Glukosa (10-15 g) yang diberikan secara oral direkomendasikan untuk diberikan pada
pasien yang sadar.

Dekstrosa secara intravena mungkin dibutuhkan oleh pasien yang hilang kesadaran.

Glukagon sebanyak 1 g secara intramuskular merupakan cara penanganan pilihan saat


pemberian IV tidak berhasil pada pasien yang hilang kesadaran

b. Alergi
Setidaknya terdapat 5 jenis antibodi insulin ketika melakukan terapi insulin, yaitu IgA, IgD,
IgE, IgG, IgM. Alergi insulin atau hipersensitivitas adalah kondisi yang jarang ditemukan
dimana terjadi urtikaria lokal atau sistemik akibat pelepasan histamin dari jaringan sel mast
yang diinduksi oleh antibodi anti insulin IgE. Pada beberapa kasus, risiko anafilaksis juga
terjadi. Alergi yang dapat terjadi berupa gatal, ruam merah sekitar situs injeksi, mual, muntah.
c. Penambahan berat badan
Berat badan pasien yang bertambah umum terjadi bila terapi insulin dilakukan secara intensif.
Penambahan berat badan ini kurang baik bila terjadi pada penderita DM tipe 2 karena dapat
meningkatkan resistensi insulin. Bagi penderita DM tipe 1 yang pada umumnya berberat badan
rendah, penambahan berat badan tidak berdampak buruk. Oleh sebab itu, pasien DM tipe 2
perlu berolahraga secara teratur untuk menjaga berat badannya.
d. Lipodistrofi pada tempat penyuntikan
Terdapat 2 bentuk lipodistrofi, yaitu lipohipertrofi dan lipoatrofi. Lipohipertrofi disebabkan
injeksi yang dilakukan pada satu area injeksi secara berulang-ulang. Aksi anabolik insulin
akan meningkatkan massa lemak yang dapat terlihat pada area injeksi. Lipoatrofi, disebabkan
reaksi imun antibodi insulin, ditandai oleh destruksi lemak yang terdapat di area injeksi. Injeksi
yang jauh dari area sebelumya dengan insulin yang dimurnikan direkomendasikan. Oleh
karena itu, rotasi tempat penyuntikan dapat dilakukan untuk mencegah lipodistrofi.

18

2.4.1.6.Obat yang Mempengaruhi Kontrol Glikemik


Tabel 3. obat-obatan yang mempengaruhi kontrol glikemik
Obat

Efek pada Gukosa

Mekanisme/Komentar

ACE inhibitor

Sedikit mengurangi

Meningkatkan sensitivitas insulin

Alkohol

Mengurangi

Mengurangi produksi glukosa hati

Interferon alfa

Meningkatkan

Tidak jelas

Diazoksid

Meningkatkan

Mengurangi
mengurangi

sekresi

insulin,

penggunaan

glukosa

perifer
Diuretik

Meningkatkan

Dapat

meningkatkan

resistensi

insulin
Glukokortikoid

Meningkatkan

Merusak, menghambat aksi insulin

Asam nikotinat

Meningkatkan

Merusak, menghambat aksi insulin,


meningkatkan resistensi insulin

Kontrasepsi oral

Meningkatkan

Tidak jelas

Pentamidin

Menurunkan,

Toksik pada sel beta; melepaskan

kemudian

simpanan insulin sampai habis

meningkatkan
Fenitoin

Meningkatkan

Menurunkan sekresi insulin

Beta bloker

Mungkin

Menurunkan sekresi insulin

meningkatkan
Salisilat

Menurunkan

Menghambat IKK-beta (hanya pada


dosis tinggi, cth 4-6g/hari)

Simpatomimetik

Sedikit meningkatkan

Meningkatkan

glikogenolisis

dan

glukoneogenesis
Klozapin

dan Meningkatkan

Tidak jelas, kenaikan berat badan

olanzapin

19

2.4.1.7.Rute Pemberian Insulin


a. Subkutan.
Absorpsi setelah pemberian insulin subkutan bervariasi dan bergantung pada lokasi
penyuntikan dan variasi individu. Pada umumnya suntikan dengan sudut 90 0 . Pada pasien kurus
dan anak-anak, kulit dijepit dan insulin disuntikkan dengan sudut 450 agar tidak terjadi
penyuntikkan otot (intra muskular).

Gambar. Cara Penyuntikan Subkutan


Bila kadar glukosa darah tinggi, sebaiknya disuntikkan di daerah perut dimana penyerapan
akan lebih cepat. Namun bila kondisi kadar glukosa pada darah rendah, hindarilah
penyuntikkan pada daerah perut.

Gambar. Area penyuntikan Insulin

20

Secara urutan, area proses penyerapan paling cepat adalah dari perut, lengan atas, paha dan
bokong. Penyuntikkan insulin pada satu daerah yang sama dapat mengurangi variasi
penyerapan dan dapat merangsang terjadinya perlemakan sehingga menyebabkan gangguan
penyerapan insulin. Daerah suntikkan sebaiknya berjarak 1inchi (+ 2,5cm) dari daerah
sebelumnya. Lakukanlah rotasi di dalam satu daerah selama satu minggu, lalu baru pindah ke
daerah yang lain.
Hal lain yang Perlu Diperhatikan Saat Penyuntikan Insulin :

Penyuntikan tidak boleh terkena pembuluh darah karena insulin yang diharapkan bekerja
lambat akan masuk dengan cepat ke sirkulasi sistemik sehingga menimbulkan efek
hipoglikemia yang cepat

Jangan melakukan kerja berat setelah menyuntikan

insulin namun belum

mendapatkan

asupan makanan

Jangan menyuntikan insulin di malam hari

Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula
kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja

b. Intravena
Insulin yang diberikan secara intravena akan bekerja cepat, 2-5 menit setelah penyuntikan
akan tampak efek penurunan glukosa darah. Insulin yang diberikan secara intravena
merupakan sediaan insulin yang berupa larutan, yairu insulin kerja cepat. Pemberian secara
intravena umumnya dilakukan pada keadaan darurat seperti ketoasidosis diabetikum dan
hiperglikemia hiperosmolar.

Setelah kadar glukosa darah stabil, terapi insulin dapat

dilanjutkan melalui subkutan

2.4.1.8.Peralatan untuk Pemberian Insulin


a. Alat suntik dan jarum
Ukuran alat suntik ini pada umumnya adalah 1 cc dan 0,5 cc agar mempermudah penentuan
dosis insulin. Panjang jarum suntik yang digunakan biasanya adalah 12,7 mm dan 8 mm.
Penggunaan jarum suntik yang berulang dapat meningkatkan resiko infeksi dan membuat jarum
menjadi tumpul. Alat ini sudah tidak lagi digunakan di pasaran.

21

Gambar Cara menyuntikkan insulin menggunakan alat suntik

b. Pen injeksi insulin


Berupa pen dan memiliki fitur pengatur jumlah unit insulin yang disuntikkan ke dalam tubuh.
Cara menggunakan Pen injeksi Insulin :

Persiapkan penyuntikan insulin dengan mencuci tangan terlebih dahulu kemudian homogenkan
catrige insulin sebelum dimasukkan ke pen insulin

22

Buka cover pembungkus ja rum

Pasang jarum insulin pen

Buka pembungkus jarum

Caranya menekan pen diatas


meja hingga bunyi klik

Buka pembungkus ke dua jarum

Putar pengatur dosis 1-2 unit untuk mengetes apakah insulin dapat keluar, Bila insulin keluar,
putar kembali pengatur dosis sesuai dosis yang akan digunakan

c. Pompa insulin
Berupa alat elektronik yang dapat mengatur jumlah insulin yang disuntikkan ke dalam tubuh
pada waktu tertentu. Kateter dimasukkan ke tubuh. Penggunaannya agak tidak nyaman karena
alat yang digunakan cukup besar. Alat ini sudah tidak digunakan lagi di pasaran.
23

Gambar Alat pompa insulin

2.4.1.9.Penyimpanan
Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran produsen obat yang bersangkutan. Berikut
beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Insulin harus disimpan di lemari es pada temperatur 2-8o C. Insulin vial Eli Lily yang sudah
dipakai dapat disimpan selama 6 bulan atau sampai 200 suntikan bila dimasukkan dalam lemari
es. Vial Novo Nordisk insulin yang sudah dibuka, dapat disimpan selama 90 hari bila
dimasukkan lemari es.

Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20o C bila seluruh isi vial akan
digunakan dalam satu bulan. Penelitian menunjukkan bahwa insulin yang disimpan pada suhu
kamar lebih dari 30 C akan lebih cepat kehilangan potensinya. Penderita dianjurkan untuk
memberi tanggal pada vial ketika pertama kali memakai dan sesudah satu bulan bila masih
tersisa sebaiknya tidak digunakan lagi.

Penfill dan pen yang disposable berbeda masa simpannya. Penfill regular dapat disimpan pada
temperatur kamar selama 30 hari sesudah tutupnya ditusuk. Penfill 30/70 dan NPH dapat
disimpan pada temperatur kamar selama 7 hari sesudah tutupnya ditusuk.

Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan yang sering terjadi bila
insulin dingin disuntikkan, dianjurkan untuk mengguling-gulingkan alat suntik di antara
telapak tangan atau menempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum disuntikkan.

2.4.2. Golongan Sulfonilurea


24

Struktur umum

Ar dan R bagian dari struktur umum ini memberikan karakter lipofilik sedangkan -SO2NH - CO - NH- bagian hidrofilik . Semua kelompok fungsional ini diperlukan untuk aktivitas,
tetapi yang lipofilik kelompok Ar dan R digunakan dalam memperhitungkan perbedaan potensi (
pengikatan reseptor SU) , metabolisme, durasi, dan rute eliminasi. Arylsulfonylureas adalah asam
organik lemah ( pKas = 5-6 ) dan sebagian besar terionisasi di pH fisiologis. Ionisasi ini
memberikan kontribusi signifikan terhadap potensi afinitas obat terhadap reseptor SU, berikatan
dengan protein plasma > 95 %. Alkalinisasi urin meningkatkan ionisasi dan eliminasi sehingga
waktu paruh lebih pendek.

2.4.2.1. Mekanisme kerja


Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang memiliki afinitas tinggi yang
berkaitan dengan sal.K-ATP

pada sel pankreas, terjadi penurunan efluks kalium dan terjadi

depolarisasi pada membran. Hal ini akan mmbuka kanal Ca 2+ sehingga terjadi efluks kalsium yang
akan meningkatkan pengeluaran insulin.

2.4.2.2. Metabolisme
Berikata dengan protein serum 90-99% dan dimetabolisme di hati oleh enzym
Cytochrome P450 (CYP450) 2C9. Hasil metabolisme diekskresikan melalui ginjal. Kewaspadaan
tinggi pada penggunaan Chlorpropamide pada pasien geriatri dan pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal karena efeknya yang panjang dan potensi akumulasi

yang dapat

mengakibatkan hipoglikemia.

25

2.4.2.3. Efikasi
Pada penggunaan obat golongan sulfonylurea dapat menurunkan HbA1c sebesar 1,5-2 % dan
menurunkan

fasting plasma glucose 60 to 70 mg/dL. Respon positif pada pasien dengan kadar

fasting plasma glucose < 250 mg/dL dan kadar C- peptide yang tinggi.

2.4.2.4. Klasifikasi
Sulfonylurea di kalsifikasikan menjadi dua yaitu generasi pertama (first generation) dan
generasi

ke

dua

(second

generation).

Generasi

pertama

terdiri

dari

acetohexamide,

chlorpropamide, tolazamide, tolbutamide dan generasi kedua erdiri dari glimepiride, glipizide,
glyburide. Perbedaan klasifikasi didasarkan pada perbedaan dalam potensi relatif dan pengikatan
serum protein plasma.
Generasi pertama
1. Tolbutamide
Durasi kerja obat singkat, dikarenakan inaktivasi metabolisme dari oksidasi metabolisme
p-methyl (benzylic), hydroxymethylene alkohol primer dan inaktivasi asam.

Onset kerja obat

: 1 jam

Durasi

: 6-24 jam

Distribusi

: Vd 0,15 L/kg, ikatan protein 95%


26

Metabolisme

: hidroksilasi di hati oleh CYP2C9 isoenzym.

Metabolit

:carboxytolbutamide, hydroxymethyltolbutamide.

Ekresi

: urine 75-85%

2. Tolazamide

Waktu paruh

: 7 jam

Durasi

: 14-24 jam

Onset

: 20 menit

Ikatan protein

: 94%

Metabolisme

: di hati

Ekskresi

: urine (85%) feces (7%)

3. Acetohexamide

27

4. Chlorpropamide

Waktu paruh

: 25-48 jam

Ikatan protein

: 60-90%

Vd

: 0,13-0,23 L/Kg

Metabolisme

: di hati oleh CYP2C9 isoenzym.

Metabolit

: Hydroxychlorpropamide
28

Ekskresi

: urine 80-90%

Generasi kedua
1. Glyburide /glibenclamide

Onset

: 15-60 menit

Durasi

:< 24 jam

Vd

: 9-10 L

Ikatan protein

: 99%

Metabolisme

: di hati

Metabolit

: 4- trans- hydroyglyburide, 3-cis-hydroxyglyburide

Ekskresi

: urine 50% dan feces 50%

2. Glipizide

Durasi

: 12-24 jam

Waktu paruh

: 2-5 jam

Vd

: 10-11 L

Ikatan plasma

: 98-99%

Metabolisme

: di hati oleh CYP2C9 isoenzym.

Metabolit

: derivat hydroxycyclohexyl

3. Glimepiride

29

Durasi

: 24 jam

Waktu paruh

: 5-9 jam

Vd

: 8,8 L

Ikatan protein

: 99,5 %

Metabolisme

: di hati oleh CYP2C9 isoenzym.

Metabolit

: derivat cyclohexyl hydroxy methyl (M1) dan asam karboksilat

(M2)
Ekskresi

: urine (60%) feces (40%)

Metabolisme glimepiride

Efek samping
Hipoglikemia
Reaksi alergi (ruam kulit, purpura, pruritus)
Gangguan pencernaan
Cholestastic jaundice (jarang terjadi)
30

Anemia hemolitik

Kontra indikasi:
Pasien dengan gangguan hati dan ginjal
Ibu hamil

Interaksi obat
Obat

Mekanisme

Efek

-substitisi sulfonilurea dari ikatan plasma

Hipoglikemia

senyawa lain
Sulfonamida

protein
-berkompetisi terhadap enzim oksidatif di
hati
Salisilat

-menggantikan

sulfonilurea

dari

ikatan

Hipoglikemia

berkompetisi terhadap enzim oksidatif di

Hipoglikemia

protein.
Fenilbutazon

hati
Allopurinol

mengurangi ekskresi sulfonilurea

Hipoglikemia

Menginhibisi

metabolisme

Hipoglikemia

Derivat

-substitisi sulfonilurea dari ikatan plasma

Hipoglikemia

pirazolon

protein

Probenesid
Kloramfenicol

enzim

sulfonilurea di hati

Ca
bloker

chanel

Penurunan efluk calsium penurunan

Hiperglikemia

pelepasan insulin

31

2.4.3. Golongan Non-Sulfonilurea (Short-Acting Insulin Secretagogues)


2.4.3.1.Farmakologi
Golongan Meglitinide terdiri dari 2 obat yaitu nateglinid dan repaglinid. Keduanya bekerja
mirip seperti Sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pancreas. Repaglinide
merupakan turunan dari asam benzoate dan nateglinid merupakan turunan asam amino fenilalanin.
Saat kadar glukosa berkurang sampai normal maka stimulasi sekresi insulin juga akan berkurang.

2.4.3.2.Farmakokinetik
Nateglinid dan repaglinid mempunyai kerja cepat dan diabsorbsi secara cepat (0,5-1 jam)
dan mempunyai mempunyai waktu paruh (1-1,5 jam). Nateglinid mempunyai ikatan protein yang
tinggi,

terutama

dengan

albumin,

tetapi

juga

dengan

1-acid

glycoprotein.Nateglinid

dimetabolisme oleh CYP2C9 (70%) dan CYP3A4 (30%) menjadi metabolit yang kurang aktif.
Konjugasi glukoronid membuat nateglinid dieliminasi dengan cepat melalui ginjal. Repaglinid
dimetabolisme oleh sistem CYP3A4 menjadi metabolit inaktif yang disekresi melalui empedu.

2.4.3.3.Efikasi
Dalam monoterapi, keduanya secara signifikan menurunkan glukosa postprandial dan
menurunkan level HbA1c. Dosis repaglinid 4 mg 3xsehari. Dosis nateglinid 120 mg 3xsehari pada
populasi yang sama dapat menurunkan nilai HbA1c sebesar 0,8 %. Obat ini dapat digunakan untuk
meningkatkan sekresi insulin ketika makan.

2.4.3.4. Efek Samping


Hipoglikemia adalah efek samping utama pada kedua agen tersebut. Resiko hipoglikemik
yang terjadi lebih rendah daripada sulfonylurea karena pelepasan insulin terkait erat dengan
konsentrasi glukosa atau glucose-sensitive. Jika konsentrasi normal, maka stimulasi pelepasan
insulin sedikit yang terjadi. Pada 2 penelitian, nateglinid mempunyai resiko hipoglikemia 3% dan
repaglinid 15 % dibandingkan dengan gliburid dan glipizid 15% dan 19%. Penambahan berat
badan 2-3 kg pada penggunaan repaglinid dan netaglinid < 1 kg.

32

2.4.3.5.Interaksi Obat
Kontrol glikemik dan hipoglikemia harus dimonitoring secara seksama ketika inducer atau
inhibitor CYP3A4 diberikan bersama repaglinid. Gemfibrozil merupakan obat yang sering dipakai
untuk pengobatan hipertrigliseridemia pada DM, lebih dari 2 kali waktu paruh repaglinid dan
menyebabkan perpanjangan reaksi hipoglikemik. Nateglinid menunjukkan inhibitor yang lemah
pada CYP2C9 terutama metabolism tolbutamid.

2.4.3.6.Dosis dan Pemberian


Nateglinid dan Repaglinid diberikan 30 menit sebelum makan. Rekomendasi dosis awal
untuk repaglinid 0,5 mg pada pasien dengan HbA1c <8% atau yang belum pernah dan dapat
ditingkatkan tiap minggu dengan dosis maksimal 16 mg. Dosis maksimal efektif repaglinid 2 mg
tiap makan. Dosis nateglinid 120 mg diberikan sebelum makan. Jika melewatkan waktu makan,
maka obat tidak perlu dikonsumsi. Jika makan makanan dengan kandungan karbohidrat yang
sangat rendah maka obat tidak perlu dikonsumsi. Kedua agen ini dapat digunakan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal dan merupakan alternative yang baik untuk pasien yang mengalami
hipoglikemia dengan sulfonylurea dosis rendah. Perhatian untuk pasien dengan gangguan fungsi
hati sedang sampai parah.
Nama

Merek

Dosi

Rekomendasi

Ekivale

Generik

Dagan

Dosis awal

n Dosis Maksimu

Dewa

Geriat

Terapet

sa

ri

ik

(mg/hari)

60

120

120

120

mg,

mg

mg

3xsehari

120

denga

denga

mg

makan

makan

Dosis

Duras

Metabolisme

i Aksi

Shortacting
insulin
secretagogu
es
Nateglinid

Starlix

mg Samp
ai
jam

Dimetabolis

4 me

oleh

sitokrom
P450

33

(CYP450),
CYP2C9,
dan
CYP3A4
menjadi
metabolit
kurang aktif,
dieliminasi
melalui
ginjal
Repaglinid

Prandi

0,5

0,5-1

0,5-1

16 mg

Samp

mg,

denga

denga

ai

1,2

jam

mg

makan

makan

Dimetabolis

4 me

oleh

CYP3A4
menjadi
metabolit
inaktif

dan

diekskresi
melalui
empedu

2.4.3.7.Kekuatan Sediaan
Repaglinid (Novonorm) 0,5 mg dan Nateglinid (Starlix) 60 mg, 120 mg

34

2.4.4. Golongan Biguanida


2.4.4.1.Indikasi
Metformin digunakan sebagai menejemen DM tipe 2 NIDDM sebagai monoterapi ketika
hiperglikemia tidak dapat diatasi dengan diet atau latihan. Penggunaan off label digunakan untuk
PCOS (Polycysstic Ovary Syndrome).

2.4.4.2.Farmakologi
Metformin

merupakan

meningkatkan sensitivitas

satu-satunya

reseptor

insulin

biguanid
pada

yang

hepatic

ada
dan

di

pasaran.

jaringan

Metformin

peripheral (otot).

Meningkatkan uptake glukosa pada jaringan.

2.4.4.3.Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral metformin sekitar 50%-60%, kelarutan dalam lipid rendah. Metformin
tidak dimetabolisme dan tidak berikatan dengan protein plasma. Metformin dieliminasi melalui
sekresi tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus. Waktu paruh metformin 6 jam meskipun secara
farmakodinamik efek antihiperglikemik metformin > 24 jam.

2.4.4.4.Efikasi
Metformin secara konsisten menurunkan level HbA1c 1,5%-2%, menurunkan level FPG
(Fasting Plasma Glucosa) 60-80 mg/dL, menurunkan level FPG ketika sangat tinggi (>300
mg/dL). Metformin dapat menurunkan trigliserida plasma dan LDL-C 8%-15% dan meningkatkan
HDL-C 2%. Metformin menurunkan plasminogen activator inhibitor-1 sehingga menyebabkan
penurunan berat badan 2-3 kg.

2.4.4.5.Komplikasi
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara terapi dengan metformin dengan insulin dan
sulfonilurea untuk

mengurangi komplikasi mikrovaskuler.

Pada

komplikasi makrovaskular

metformin secara signifikan mengurangi penyebab kematian dan risiko stroke dibandingkan
perawatan intensif dengan sulfonilurea atau insulin. Metformin juga mengurangi kematian terkait
diabetes dan miokard infark. Metformin merupakan satu-satunya obat antihiperglikemik yang
terbukti mengurangi risiko mortalitas total.
35

2.4.4.6. Efek Samping


Metformin menyebabkan efek samping pada GI, termasuk rasa tidak nyaman di perut,
sakit perut, dan atau diare pada sekitar 30% pasien. Anoreksia dan rasa perut yang penuh dapat
menyebabkan nafsu makan pasien berkurang sehingga berat badan menurun. Efek samping
terhadap GI bersifat sementara dan akan berkurang keparahannya selama beberapa minggu.
Apabila mengalami gangguan GI, pastikan pasien menggunakan metformin dengan atau setelah
makan dan mengurangi dosis metformin hingga pada dosis yang tidak menyebabkan efek
gangguan GI, dan dosis dapat ditingkatkan kembali setelah beberapa minggu. Terapi metformin
dapat menyebabkan asidosis laktak, namun sangat jarang terjadi (3 kasus per 100.000 pasien per
tahun). Hipoperfusi jaringan, seperti yang disebabkan CHF (Congestive Heart Failure), hipoksia,
syok, atau septicemia dapat meningkatkan produksi asam laktat, severe liver disease dan alkoholik
juga menyebabkan penurunan pembuangan asam laktat di hati, semua itu dapat meningkatkan
resiko asidosis laktat. Gejala klinik pada asidosis laktat tidak spesifik, diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan laboraatorium.

Metformin dikontraindikasikan

pada insufisiensi ginjal

dengan nilai serum kreatinin 1,4 mg/dL pada wanita dan 1,5 mg/dL pada pria karena metformin
dieliminasi melalui ginjal. Pada geriatric yang telah terjadi penurunan massa otot, harus diketahui
berapa kecepatan filtrasi glomerulus dengan pengumpulan kreatin urin 24 jam. Jika filtrasi
glomerulusnya < 60 mL/menit, metformin tidak boleh diberikan karena resiko gagal ginjal akut
selama prosedur terapi.

2.4.4.7.Interaksi Obat
Simetidin dengan metformin menyebabkan persaingan dalam proses sekresi di tubulus
ginjal sehingga akan meningkatkan konsentrasi Metformin dalam serum. Obat Kationik dapat
berinteraksi seperti procainamide, digoksin, quinidine, trimethropin, dan vancomisin. Obat-obat
yang dapat meningkatkan efek/toksisitas metformin : cephalexin, cimetidine. Obat yang dapat
menurunkan efek metformin : kortikosteroid sistemik, luteinizing hormone relasing hormon,
somatropin.

36

2.4.4.8.Dosis dan Pemberian


Dosis metformin immediate-release 500 mg 2xsehari setelah makan untuk meninimilkan
efek samping pada GI. Dosis metformin dapat ditingkatkan 500 mg semingu sekali sampai target
glikemik atau 2,000 mg/hari tercapai. Metformin dengan dosis 850 mg digunakan 1xsehari dan
dapat ditingkatkan setiap 1-2 minggu sehingga dosis maksimu 850 mg 3xsehari (2550 mg/hari).
Dosis metformin lepas lambat 500 mg sehari setelah makan malam dan ditingkatkan setiap minggu
500 mg/hari sampai dosisnya 2000 mg/hari. Metformin lepas lambat dapat membantu mengurangi
efek samping GI dan meningkatkan control glikemik. Metformin lepas lambat

750 mg dapat

ditingkatkan seminggu sekali sampai dosis maksimum 2250 mg/hari.


Nama

Merek

Dosi Rekomendasi Dosis Ekivale

Generik

Dagang

awal

Dosis

n Dosis Maksimu

Dewas

Geriatri

Terapet

ik

(mg/hari)

Duras

Metabolism

i Aksi

Samp

Tidak

Biguani
d
Metform

Gluchopa

500

500

Berdasark

2550 mg

in

ge

mg,

mg 2x an Fungsi

ai 24 dimetabolis

850

sehari

jam

ginjal

mg

me,
disekresi dan
diekskresi
melalui
ginjal

Metform

Glucopag

500

500

in

e SR

mg,

mg

Extende

850

1000

mg

mg

Release

Berdasark
- an Fungsi
ginjal

2550 mg

Samp

Digunakan

ai 24 setelah
jam

makan
malam

1xseha
ri
setelah
makan
malam
37

2.4.4.9.Kekuatan Sediaan
500 mg, 850 mg. Nama Dagang : Benofomin, Diabex, Glikos, Glufor, Gradiab, Heskopaq,
Metformin HCL OGB Dexa, Nevox/Nevox SR, dll.

2.4.5. Inhibitor -Glukosidase


2.4.5.1. Mekanisme Kerja
Inhibitor -glukosidase Menginhibisi enzim pada usus halus seperti glukoamilase, maltase,
isomaltase, sukrase sehingga memperlambat pemecahan kompleks karbohidrat (polisakarida dan
disakarida) dan sukrosa menjadi glukosa. Inhibitor -glukosidase memperlambat penyerapan
glukosa dari usus halus sehingga menurunkan kenaikan gula darah pasca makan (postprandial
hyperglicemy) (Holt, et al. 2010).

38

Gambar Mekanisme Inhibitor -glukosidase

2.4.5.2. Farmakokinetik
Acarbose terdegradasi oleh amilase di usus kecil dan usus oleh bakteri dan sebagian besar
dieliminasi lewat urin dalam waktu 24 jam. Miglitol hampir sepenuhnya diserap dan dieliminasi
lewat urin (Holt, et al. 2010).

2.4.5.3. Indikasi dan Kontra Indikasi


Inhibitor -glukosidase dapat digunakan sebagai monoterapi, biasanya untuk pasien
dengan DM Tipe 2 dengan pasca - hiperglikemia prandial. Namun, obat ini lebih sering digunakan
sebagai tambahan untuk terapi lain, untuk mencapai target pasca hiperglikemia prandial. Inhibitor
-glukosidase juga dapat digunakan untuk memperpanjang periode pasca - prandial untuk
mengurangi glikemik interprandial atau hipoglikemia pada individu penerima sulfonylurea dan /
atau insulin. Acarbose juga telah ditunjukkan untuk mencegah perkembangan IGT untuk DM Tipe
2.
Ketika memulai terapi dengan inhibitor -glukosidase pasien harus disarankan untuk diet
yang mengandung karbohidrat kompleks. Inhibitor -glukosidase harus diberikan dengan
makanan, mulai dengan dosis rendah (misalnya 50 mg / hari acarbose) dan perlahan-lahan selama
beberapa minggu. Pemantauan pasca glikemia prandial sering membantu.
Inhibitor -glukosidase dikontraindikasikan untuk pasien dengan riwayat penyakit usus
kronis, dan dosis tinggi acarbose sesekali dapat meningkatkan konsentrasi enzim hati; sehingga
dianjurkan untuk mengukur konsentrasi transaminase secara berkala pada pasien yang menerima
dosis maksimum (200 mg acarbose tiga kali sehari) (Holt, et al. 2010).

2.4.5.4. Efek Samping


Efek samping gastrointestinal merupakan masalah utama pada inhibitor -glukosidase.
Jika dosis terlalu tinggi, oligosakarida yang tidak tercerna akan masuk ke dalam usus besar. Ini
akan difermentasi dan menyebabkan kembung, perut tidak nyaman dan kadang-kadang diare
(Holt, et al. 2010).

39

2.4.5.5. Interaksi Obat


1. Inhibitor -glukosidase

goksin

2. Acarbose + preparat enzim akan menurunkan efek acarbose sehingga penggunaan bersama
harus dihindari
3. Acarbose + neomisin/kolestiramin menyebabkan peningkatan efek acarbose sehingga perlu
penurunan dosis
4.

as ranitidin hingga 60%

5.
(Sweetman, 2009)

2.4.5.6. Dosis dan Contoh Sediaan yang Beredar


Dosis awal inhibitor -glukosidase (baik acarbose ataupun miglitol) adalah 25 mg (1
sampai 3 kali sehari) dan setelah beberapa bulan dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 50 mg
(3 kali sehari) untuk pasien 60 kg atau 100 mg (3 kali sehari) untuk pasien >60 kg. Obat diminum
setelah suapan pertama dari makanan sehingga obat sudah ada di saluran cerna (usus halus) untuk
menghambat aktivitas enzim (Dipiro, 2008). Kekuatan sediaan acarbose yang tersedia adalah 50
mg dan 100 mg (Glucobay) sedangkan miglitol tersedia dalam 25 mg dan 50 mg (Migtor).

2.4.6. Analog GLP-1


GLP-1 (Glucagon-like peptide-1) merupakan salah satu hormone inkretin. Hormone
inkretin menyebabkan peningkatan respons sekresi insulin pada glukosa yang diabsorbsi melalui
saluran cerna dibandingkan dengan pemberian glukosa secara intravena. Peningkatan sekresi
insulin yang terjadi sampai 60%. Hormone inkretin dihasilkan pada sel L enteroendokrin dari usus
dan diekskresikan pada aliran darah ketika makanan yang mengandung lemak, protein hidrolisat,
dan atau glukosa memasuki duodenum.
GLP-1 menurunkan kadar glukosa dengan cara meningkatkan sekresi insulin, menekan
sekresi glucagon dan memperlambat waktu pengosongan lambung. Pada pasien DM tipe 2,
respons sekresi inkretin menurun sehingga efek penurunan glukosa juga berkurang. Untuk
memperbaiki respon inkretin pada penderita DM tipe 2, maka diberikan terapi analog GLP-1.
Permasalahan utama pengaruh GLP-1 fisiologis pada penurunan glukosa adalah degradasinya
40

yang cepat oleh DPP IV pada situs pengenalan pada ujung N. Hal itu menyebabkan GLP-1
memiliki t yang sangat singkat (<2 menit). Oleh karena itu, pada analog GLP-1 dilakukan
modifikasi struktur untuk memperpanjang durasi kerjanya. Contoh dari analog GLP-1 adalah
exenatide dan liraglutide.
2.4.6.1.Exenatide
Exenatide merupakan analog dari exendin-4, yaitu peptida yang diisolasi dari saliva kadal
Gila (Heloderma suspectum). Exenatide berikatan dengan reseptor GLP-1, terutama reseptor di
otak dan pancreas. Exenatide tidak memiliki situs pengenalan oleh DPP-4 sehingga t lebih
panjang.
a. Farmakokinetika:
Exenatide dapat dideteksi dalam darah 10-15 menit setelah injeksi subkutan. Memiliki T 3,3
4 jam dan dieliminasi oleh filtrasi glomerulus
b. Efektivitas:
Exenatide menurunkan HbA1c 0,9% bergantung nilai HbA1c sebelumnya. Obat ini secara
signifikan menurukan glukosa postprandial, tapi efeknya sedikit pada FPG sehingga pasien
diabetes dengan peningkatan FPG harus dikoreksi dengan obat lain dengan penambahan exenatide
c. Efek samping:
o Pada saluran pencernaan: muntah dan diare
o ES berhubungan dengan dosis dimulai dengan 5 mcg 2x sehari dan dititrasi sampai 10 mcg
2x sehari
o Muntah disebabkan rasa penuh pada lambung pasien diinstruksikan agar makan dengan
lambat dan berhenti makan setelah merasa kenyang
o Hipoglikemia ketika dikombinasikan dengan sulfonylurea atau insulin
d. Interaksi obat:
Exetanide menunda pengosongan lambung sehingga menunda absorbsi obat-obatan lain
e. Dosis dan pemberian:
41

Dosis awal 5 mcg 2x sehari dan dititrasi 10 mcg 2x sehari dalam 1 bulan. Exenatide harus
diinjeksikan 0-60 menit sebelum sarapan dan makan malam. Jika pasien tidak sarapan, maka
injeksi pertama dapat diberikan pada saat makan siang
f.

Contoh sediaan yang beredar:

2.4.6.2.Liraglutide
Liraglutide merupakan analog GLP-1 yang mengalami asilasi. Liraglutide memiliki t 914 jam dan dimetabolisme oleh DPP-4 dan endopeptidase. Liraglutide dapat menurunkan HbA1c
sebanyak 1,6% dari kadar awal dan menurunkan berat badan 2,5 kg selama 30 minggu. Obat ini
memiliki efek samping mual dan muntah.
Dosis awal Liraglutide 0,6 mg/hari selama 1 minggu dan kemudian ditingkatkan sampai
1,2 mg/hari. Jika kontrol glikemik belum tercapai maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,8
mg/hari. Pemberian secara subkutan pada perut, paha dan lengan atas dan dapat diberikan
kapanpun, tidak bergantung pada makanan. Berikut adalah contoh sediaan yang beredar

42

2.4.7. Inhibitor Dipeptidil Peptidase IV (DPP-IV)


DPP IV Inhibitor (Dipeptidyl peptidase - 4 Inhibitors) yaitu enzim yang berperan dalam
menghambat kerja DPP IV, yang akan menyebabkan t GLP 1 menjadi lebih lama.
DPP IV inhibitor terdiri dari:
1. Sitagliptin
2. Vildagliptin

2.4.7.1. Mekanisme kerja


1. Makanan masuk kedalam sistem pencernaan, lalu dicerna dalam usus halus.
2. Kemudian akan merangsang pengeluaran GLP 1. GLP 1 akan bekerja pada;
a.

Pankreas, didalam pankreas GLP 1 berfungsi untuk:


Menekan sekresi glukagon dan meningkatkan sekresi insulin
Meningkatkan konsentrasi incretin endogen

yang dapat meningkatkan sekresi

insulin yang diinduksi oleh nutrisi (makanan)


b.

Otak,

pada otak GLP akan mengirimkan sinyal rasa kenyang ke lambung dan

pengosongan lambung melalui via vagus, sehingga dapat mempengaruhi berat badan,
tetapi efeknya tidak terlalu besar, hanya sedikit yang mempengaruhinya.
3. Tetapi, GLP 1 akan didegradasi cepat oleh DPP IV sehingga t GLP 1 menjadi singkat (<
2 menit)
4. Sehingga dibutuhkan obat penghambat kerja DPP IV untuk mencegah percepatan
degradasi GLP 1 sehingga t tidak menjadi singkat.

43

44

Obat

HbA 1c

Efek samping

Sitaglipin

0.7 - 1%

Infeksi

(Dipiro

7th

Ed,
Hal.1226)

Intekasi

sal.

nafas Tidak

Kontra indikasi
memiliki riwayat

atas, sakit kepala, dan interaksi


nasopharingitis.

yang hipersensitifitas

signifikan.

Rekasi

Digoxin

terhadap obat ini


dan

: cyclosporine:

hipersensitifitas
anaphylaxis,

AUC

angioedema,
urticaria,

rash,

sindrom

dan

Stevens-

Johnson
(martindale 36th

Ed,

hal 460)
Vildagliptin

pusing, sakit kepala,

Disfungsi

Edema

(martindale

perifer,

konstipasi,

hati
36th

Ed, hal 464)

nasopharyngitis,
infeksi saluran

nafas

atas, arthralgia.
(martindale 36th

Ed,

hal 464)

45

Sitagliptin

Vildagliptin

T max

1-4 jam

< 2 jam

Ikatan plasma

38 %

9%

8-14 Jam

1,5-4,5 jam

Metabolisme

Hati CYP3A4 dan CYP206

Renal CYP450

Eksresi

79 % urin

85 % urin

Dosis

50-100 mg

50-100 mg

Aktivitas

- 50 mg dapat menginhibisi - 50 mg dapat menginhibisi 70%

penghambatan DPP IV

80% aktivitas enzim DPP

aktivitas enzim DPP IV selama

IV selama 12 jam

12 jam

- 100 mg dapat menginhibisi - 100

mg dapat menginhibisi

80% aktivitas enzim DPP

90% aktivitas enzim DPP IV

IV selama 24 jam

selama 12 jam

2.4.8. Golongan Tiazolidindion


2.4.8.1. Mekanisme Kerja
Sebagian besar efek antidiabetes dari tiazolidindion tampaknya dicapai melalui stimulasi
PPAR- untuk meningkatkan sensitivitasnya terhadap insulin. PPAR- banyak ditemukan dalam
jaringan adiposa, dan lebih sedikit dalam otot dan hati. Ketika PPAR- diaktifkan, maka akan
membentuk kompleks heterodimeric dengan reseptor retinoid X dan membentuk ikatan dengan
urutan nukleotida (AGGTCAXAGGTCA) yang disebut elemen respon peroxisome proliferator
response element (PPRE) terletak di daerah promotor PPAR - gen responsif. Dalam hubungannya
dengan koaktivator seperti PGC - 1, ini mengubah aktivitas transkripsi dari sensitivitas terhadap
insulin dan gen lainnya. Banyak dari gen ini berpartisipasi dalam metabolisme lipid dan
karbohidrat. Stimulasi PPAR- oleh tiazolidindion menyebabkanan diferensiasi dari pra - adiposit
ke adiposit dewasa: adiposit kecil yang baru ini sangat sensitif terhadap insulin, dan menunjukkan
peningkatan ambilan (uptake) asam lemak dengan peningkatan lipogenesis. Hal ini akan
mengurangi sirkulasi asam lemak bebas pada siklus glukosa - asam lemak (Randle), memfasilitasi

46

penggunaan glukosa dan membatasi ketersediaan asam lemak sebagai sumber energi untuk
glukoneogenesis hepatik. Dengan mengurangi asam lemak yang beredar, deposisi lipid ektopik
dalam otot dan hati berkurang yang selanjutnya memberikan kontribusi untuk perbaikan
metabolisme glukosa.
Tiazolidindion juga meningkatkan penyerapan glukosa ke dalam jaringan adiposa dan otot
rangka melalui peningkatan ketersediaan GLUT 4 glukosa transporter. Perbaikan sensitivitas
insulin kemungkinan akan dibantu dengan berkurangnya produksi beberapa adiposit - berasal dari
pro- inflammatory cytokines, yang telah terlibat dalam resistensi insulin di otot. Tiazolidindion
juga meningkatkan produksi adiponektin, yang meningkatkan aksi insulin. Karena PPAR-
diekspresikan dalam sebagian kecil di jaringan, tiazolidindion dapat mempengaruhi gen responsif
di lokasi tersebut, dan meningkatkan "efek pleotropic" (Holt, et al. 2010).

Gambar: mekanisme tiazolidindion


2.4.8.2.Farmakokinetik
Penyerapan rosiglitazone dan pioglitazone cepat dan hampir lengkap, dengan konsentrasi
puncak pada 1-2 jam, tapi sedikit tertunda ketika diberikan dengan makanan. Kedua obat
dimetabolisme secara ekstensif oleh hati. Rosiglitazone dimetabolisme terutama oleh sitokrom
P450 isoform CYP2C8 untuk menjadi inaktif atau metabolit aktif yang sangat lemah dengan t 1/2
plasma 100 - 160 jam dan sebagian besar dieliminasi dalam urin.
Pioglitazone dimetabolisme terutama oleh CYP2C8 dan CYP3A4 menjadi metabolit aktif
yang dieliminasi dalam empedu. Rosiglitazone dapat berinteraksi dengan gemfibrozil. Kedua
tiazolidindion ini hampir sepenuhnya terikat pada protein plasma (Holt, et al. 2010).

47

Tabel Profil farmakokinetik tiazolidindion


Obat

Dosis

Durasi

Metabolit

Eliminasi

Pioglitazon

15-45 mg

~24 jam

Aktif

Bile > 60%

Rosiglitazon

4-8

~24 jam

Inaktif

Urin ~64%

2.4.8.3.Indikasi dan Kontra Indikasi


Tiazolidindion dapat digunakan sebagai monoterapi pada pasien non-obesitas dan obesitas
dengan DM Tipe 2 yang dengan perubahan gaya hidup tidak mencapai kontrol glikemik yang
memadai. Pada umumnya tiazolidindion digunakan sebagai monoterapi jika metformin tidak
ditoleransi. Tiazolidindion sering digunakan dalam kombinasi dengan obat antidiabetes lain,
khususnya metformin. Kombinasi dari tiazolidindion dengan insulin dapat meningkatkan kontrol
glikemik sekaligus mengurangi dosis insulin, terutama pada pasien obesitas.
Jika tidak ada kontraindikasi, rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan pada orang
tua. Tiazolidindion juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan gangguan ginjal ringan, tetapi
dengan mempertimbangkan potensi edema. Penggunaan tiazolidindion tidak dianjurkan pada
wanita hamil (Holt, et al. 2010).
2.4.8.4.Efek samping
Troglitazon (Thiazolidinediones yang pertama kali digunakan untuk pengobatan DM)
menyebabkan idiosinkrasi hepatotoksisitas. Sekitar 1,9% pasien yang mengkonsumsi Troglitazon
mengalami peningkatan kadar ALT (Alanin aminotransferase) lebih dari 3 kali lipat dari batas
normalnya. Sedangkan untuk penggunaan pioglitazon dan rosiglitazon belum ada bukti yang
menunjukkan terjadi hepatotoksisitas pada pasien yang mengkonsumsi kedua obat ini. Walaupun
begitu, sebaiknya pasien yang menggunakan kedua obat ini harus dimonitor kadar ALTnya.
Dianjurkan untuk mengetahui nilai ALT pasien sebelum memulai terapi. Jika nilai ALT >2,5%
dari nilai normal maka sebaiknya tidak memulai terapi dengan obat tersebut. Jika nilai ALT >3%
dari nilai normal maka terapi dengan obat tersebut harus dihentikan.

48

Efek samping pioglitazon dan rosiglitazon yang terpenting adalah terjadinya retensi cairan.
Penyebab terjadinya retensi cairan in belum terlalu jelas, tetapi mungkin berkaitan dengan
vasodilasi perifer dan atau peningkatan sensitisasi insulin yang menyebabkan terjadinya
peningkatan sodium ginjal dan retensi air. Peningkatan berat badan juga dapat terjadi pada
penggunaan pioglitazon dan rosiglitazon, karena terjadinya retensi cairan dan penumpukan lemak.
Selain itu, ternyata di samping menstimulasi diferensiasi sel lemak, Thiazolidinediones juga
menurunkan kadar leptin yang berperan dalam mengatur nafsu makan (Dipiro, 2008).
2.4.8.5.Interaksi obat
Tidak ada interaksi obat yang signifikan. Penggunaan bersama antara Rosiglitazon atau
Pioglitazon dengan obat yang merupakan induser atau inhibitor kuat enzim CYP2C8 dan CYP2C9
serta CYP3A4 dan CYP2C8 (seperti Gemfibrozil dan Rifampin) memerlukan pemantauan ketat
sebab Rosiglitazon dan Pioglitazon merupakan induser atau inhibitor enzim tersebut (Dipiro,
2008).
2.4.8.6.Dosis dan Contoh Sediaan yang Beredar
Dosis awal untuk rosiglitazon adalah 4 mg per hari (sebagai dosis tunggal atau dua kali
sehari). Jika dalam 8-12 minggu tidak memberikan respon yang baik, maka dosis dapat dinaikkan
menjadi 8 mg per hari (dosis maksimum), baik sebagai dosis tunggal maupun dua kali sehari (Lacy,
et al, 2006). Di Indonesia kekuatan sediaan rosiglitazon yang tersedia adalah 4 dan 8 mg (Avandia
)

dan dalam bentuk kombinasi 2 mg rosiglitazon + 1000 mg metformin.


Dosis awal untuk pioglitazon adalah 15-30 mg per hari (sebagai dosis tunggal). Jika tidak

memberikan respon yang baik, maka dosis dapat dinaikkan menjadi 45 mg per hari (dosis
maksimum), sebagai dosis tunggal. Untuk pasien CHF, dosis awal yang diberikan adalah 15 mg
per hari (sebagai dosis tunggal) dan dapat dinaikkan setelah beberapa bulan.

Di Indonesia

kekuatan sediaan pioglitazon yang tersedia adalah 15 dan 30 mg (Actos , Deculin, dan Pionix)
dan dalam bentuk kombinasi 15 mg pioglitazon + 850 mg metformin (Actosmet dan Pionix).

49

BAB 3
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia (kadar glukosa dalam darah terlampau tinggi), berhubungan dengan ketidak
normalan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh resistensi insulin,
gangguan pada sekresi insulin, atau disebabkan oleh keduanya. Banyak komplikasi yang dapat
ditimbulkan dari penyakit DM, oleh sebab itu diperlukan terapi pengobatan yang tepat untuk
mengobatinya. Terapi untuk DM terdiri dari terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi
nonfarmakologi dapat dilakukan dengan pengaturan pola makan dan berolah raga. Sedangkan
terapi farmakologi dapat dilakukan dengan terapi insulin dan terapi dengan obat-obat antidiabetik
oral yang terdiri dari obat golongan sulfonilurea, non-sulfonilurea, biguanida, inhibitor glukosidase,inhibitor dipeptidil peptidase-IV (DPP-IV), dan thiazolidindion. Selain itu, untuk
mengetahui efektifitas dari terapi yang dijalankan maka perlu adanya monitoring terapi yang
dilakukan secara rutin, terutama pengontrolan kadar glukosa darah dengan Self-Moniotoring Blood
Gucose (SMBG) dan pengecekan HbA1c.

50

DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2009. Koda-Kimble and Youngs
Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &Wilkins.
Aquilante, C. L. (2010). Sulfonylurea pharmacogenomics in type 2 diabetes : the influence of drug
target and diabetes risk polymorphisms, Expert Rev Cardiovasc Ther., 8(3): 359372. doi:10.1586/erc.09.154
Brunton L., Parker, K., Blumenthal D., and Buxton I. (2008). Goodman &
Gilmans Manual of Pharmacology and Therapeutics. The McGraw-HillCompanies, Inc., United
States, p. 1050-1052.
Chisholm-Burns, M. A., et al. (2008). Pharmacotherapy Principles & Practice. TheMcGrawHill Companies, Inc., United States of America, p. 653-656.
Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas
(2009). Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, p. 490-491.

Indonesia.

DeRuiter, J. (2003). Overview of the antidiabetic agents. Endocrine Pharmacotherapy Module,


Spring.
DiPiro, Joseph T., et al. (2005). Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 6th edition.
The McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, p.1347-1349.
Gunawan,S.G. 2007. Farmakologi dan Terapan. Departemen Far,akologi dan Terapetik Fakultas
Kedokteran : Universitas Indonesia.
Holt, R.I., Cockram, C.S., Flyvbjerg, Allan., Goldstein, B.J. (2010). Textbook of
Diabetes, Fourth Edition. London: Blackwell Publishing Ltd.
Lacy, C. F., Amstrong, L. L., Goldman, M. P., and Lance, L. L. (2005). Drug Information
Handbook 13th edition Book II. Lexi Comp Inc., Ohio, p.1560-1561.
Lacy, C. F., Amstrong, L. L., Goldman, M. P., and Lance, L. L. (2005). Drug Information
Handbook International with Canadian and International Drug Monograph. Lexi Comp Inc.,
Ohio, p. 705-709.
McPhee, S. J. and Papadakis M. A. (2010). Current Medical Diagnosis and Treatment fortyninth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc., United States, p. 1090-1092.

51

Panda, B. B., Ray, B., Gardia, D., and Sahu, P. K. (2013). Inhibition of glucose lowering effect of
sitagliptin on concurrent use with amlodipine on adrenaline induced hyperglycemic cardiotoxic
rat. Asian J Pharm Clin Res, 6(3),128-131.
Pastromas,S., Koulouris,S. 2006. Thiazolidinediones: Antidiabetic Drug With Cardiovaskular
Effect. Helenic J Cardiolol 47:352-360
Proks, P., Reimann, F., Green, N., Gribble, F., and Ashcroft F. (2002). Sulfonylurea Stimulation
of Insulin Secretion, Diabetes, 51(3), S368- S376.

Smith, C. J., Fisher, M., and McKay, G. A. (2010). Drugs for diabetes : part 2 sulphonylureas, Br.
J. Cardiol., 17(6): 279-282
Sukandar, E. Y., et al. (2009). ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
Tan Hoan Tjay dan Rahardja, K. (2008). Obat-obat Penting. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,
p. 748.
Triplitt, C. (2006). Drug Interactions of Medications Commonly Used in Diabetes.
Diabetes Spectrum, 19(4).

52

You might also like