You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli


melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra
posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani. Uretra dilengkapi dengan sfingfter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior (Purnomo, 2010).
Trauma uretra merupakan kasus yang jarang, dan lebih sering ditemukan pada
pria yang biasanya berhubungan dengan fraktur pelvis atau straddle injury. Trauma
uretra ini jarang dialami oleh wanita dan biasanya berkaitan dengan fraktur pelvis.
Cedera ini biasanya berhubungan dengan laserasi vagina dan merupakan petunjuk
utama untuk mengarah ke diagnosis. Tetapi, cedera ini sering terlewatkan karena
pemeriksaan vagina, biasanya hanya dilakukan pada cedera yang berat. Bermacammacam bagian dari uretra dapat terkena laserasi,transeksi, ataupun kontusio.
Tatalaksananya pun berbeda-beda tergantung dari tingkat cederanya (Purnomo,
2010).
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior, Hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal
etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya (Purnomo, 2010).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Uretra


Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna
yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra
interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatetik sehingga
pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra terdiri atas otot
bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatic. Aktivitas sfingter uretra eksterna
ini dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing,
sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang
uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa, kurang lebih
23-25 cm. perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan
pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria (Purnomo, 2010)

Gambar 1. Anatomi Uretra (Ivyrose, 2006)

Urethra masculine panjangnya sekitar 8 inci (20 cm) dan terbentang dari
collum vesicae urinaria sampai ostium uretra eksternum pada glans penis.
Uretra masculine dibagi menjadi tiga bagian yaitu pars prostatica, pars
membranacea dan pars cavernosa (Snell, 2006).
Sedangkan panjang urethra feminine kurang lebih 1,5 inci (3,8 cm). uretra
terbentang dari collum vesicae urinaria sampai ostium urethane externum yang
bermuara kedalam vestibulum sekitar 1 inci (2,5 cm) distal dari clitoris. Urethra
menembus sphincter urethrae dan terletak tepat didepan vagina. Disamping
ostium urethrae externum terdapat muara kecil dari ductus glandula
paraurethralis. Urethra dapat dilebarkan dengan mudah (Snell, 2006).
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika dan uretra pars
membranacea. Urethra pars prostatica panjangnya 3 cm (1 inci), sesuai
namanya berada/melewati prostat. Pada dinding posterior urethra pars
prostatica terdapat peninggian longitudinal yang dinamakan crista urethralis,
pada tiap-tiap sisi terdapat celah sempit dinamakan sinus prostaticus yang
terdiri dari 15-20 muara kelenjar prostat. Pada kira-kira pertengah crista
urethralis terdapat tonjolan disebut colliculus seminalis (verumontanum) yang
membuka ke arah utriculus prostaticus. Colliculus seminalis merupakan saluran
yang tak tampak, panjangnya sekitar 5 mm, berjalan turun dari lobus medius
prostat. Bagian ini diyakini ekuivalen dengan vagina pada wanita. Pada sisi lain
orificium dari utriculus prostaticus terdapat pembukaan ductus ejaculatorius,
yang dibentuk dari gabungan ductus vesicula seminalis dengan ujung vas
deferens. Sedangkan Urethra pars membranacea panjangnya sekitar 1,25 cm
(0,5 inci), menembus sphincter externa urethra (sphincter volunter vesica
urinaria) dan membrana fascia perinealis yang menutupi bagian superficial
sphincter. Bagian ini merupakan bagian urethra yang paling tidak bisa
dilebarkan (Snell, 2006).
Uretra anterior pada pria merupakan bagian uretra yang dibungkus oleh
korpus spongiosum penis. Uretra pasr spongiosa terdiri atas : (1) pars bulbosa,
(2) pars pendularis, (3) fossa navikularis dan (4) metaus uretra eksterna. Urethra
3

pars spongiosa panjangnya sekitar 15 cm (6 inci), berada dalam corpus


spongiosum penis. Pada mulanya berjalan ke atas dan ke depan untuk
menempati bagian bawah symphisis pubis kemudian sedikit demi sedikit akan
menekuk ke bawah dan ke depan. Ostium urethrae extrenum merupakan bagian
yang tersempit dari seluruh urethra. Bagian urethra yang terletak di dalam glans
penis melebar membentuk fossa navikularis (fosa terminalis) (Purnomo, 2010,
Snell, 2006).

Gambar 2. Letak bagian-bagian uretra dan organ lain (Ivyrose, 2006).


Daerah potensial untuk cedera dapat disimpulkan dari studi lebih lanjut
tentang anatomi uretra. Uretra pars membranosa rentan terhadap cedera dari
fraktur panggul karena ligamen puboprostatic mengikat puncak kelenjar prostat
ke tulang panggul dan dengan demikian menyebabkan adanya kerusakan dari
uretra ketika panggul bergeser. Uretra pars bulbar rentan terhadap cedera benda
tumpul karena adanya jalan sepanjang perineum. Cedera kangkang (straddle
injury) karena jatuh atau tendangan ke daerah perineum dapat menyebabkan
trauma bulbar. Sebaliknya, uretra penis memiliki sedikit kemungkinan terluka
dari kekerasan eksternal karena mobilitasnya, tetapi cedera iatrogenik dari

kateterisasi atau manipulasi dapat juga terjadi pada fossa navicularis


(Cummings, 2013).
2.2 Trauma Uretra
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam
hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan serta prognosisnya (Purnnomo,
2010)
Ruptur uretra adalah kerusakan kontinuitas uretra yang disebabkan oleh
ruda paksa yang datang dari luar (patah tulang panggul atau straddle injury)
atau dari dalam (kateterisasi, tindakan-tindakan melalui uretra) (Purnomo,
Daryanto, Seputra, 2010).
Trauma pada uretra laki-laki harus didiagnosis efisien dan efektif diobati
agar mencegah gejala sisa jangka panjang yang serius. Pasien dengan penyakit
striktur uretra sekunder akibat peristiwa traumati jika tidak dikelola dengan
baik cenderung memiliki masalah berkemih yang signifikan dan berulang serta
membutuhkan intervensi lebih lanjut (Cummings, 2013).
2.3 Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan
cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang
menimbulkan

fraktur tulang pelvis

menyebabkan ruptur uretra pars

membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle


injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau
businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena fals route atau salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans uretra
dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenic (purnomo, 2010).
Dalam banyak hal peristiwa traumatis, etiologi cedera uretra dapat
diklasifikasikan sebagai trauma tumpul atau penetrasi. Di uretra posterior,
cedera tumpul hampir selalu terkait dengan kejadian akibat perlambatan seperti
jatuh dari beberapa jarak atau tabrakan kendaraan. Pasien-pasien ini paling
sering mengalami patah tulang panggul yang melibatkan panggul anterior.
5

Trauma tumpul ke uretra anterior paling sering terjadi pada pukulan ke segmen
bulbar seperti terjadi ketika mengangkangi suatu objek atau dari serangan
langsung atau tendangan ke perineum..Trauma uretra anterior tumpul kadangkadang diobservasi jika terdapat fraktur penis (Cummings, 2013)
2.4 Gambaran klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan
peruretram, yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum
setelah mengalami trauma. Perdarahan peruretram ini harus dibedakan dengan
hematuria yaitu urine bercampur darah. Pada trauma uretra yang berat,
seringkali mengalami retensi urine. Pada keadaan ini tidak boleh dilakukan
pemasangan kateter, karena tindakan pemasangan kateter dapat menyebabkan
kerusakan uretra yang lebih parah. (Purnomo, 2010).
Sedangkan menurut Cummings (2013), diagnosis

cedera

uretra

membutuhkan indeks kecurigaan yang cukup tinggi. Cedera uretra harus


dicurigai dalam setiap kejadian fraktur panggul, trauma kateterisasi, luka
tumpul pada selangkangan (straddle injury), atau cedera penetrasi dekat
uretra. Gejala termasuk hematuria atau ketidakmampuan untuk berkemih.
Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan adanya darah pada meatus atau kelenjar
prostat yang melayang pada pemeriksaan colok dubur. Ekstravasasi darah di
sepanjang jalur fasia perineum merupakan indikasi cedera pada uretra. Adanya
temuan pie in the sky dapat diungkapkan dengan cystography biasanya
menunjukkan adanya gangguan uretra.

Gambar 3. Gambaran Teardrop atau pie in the sky pada pasien fraktur pelvis
Diagnosis trauma uretra dibuat dengan dengan urethrography retrograde,
yang harus dilakukan sebelum pemasangan kateter uretra untuk menghindari
cedera lebih lanjut pada uretra. Ekstravasasi kontras menunjukkan lokasi
kerusakan. Pengelolaan selanjutnya didasarkan pada temuan urethrography
dalam kombinasi dengan kondisi umum pasien (Cummings, 2013).
Gejala klinis yang sering terjadi menurut Purnomo, Daryanto dan Seputra
(2010) adalah sebagai berikut :
1. Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury,
ruptur uretra posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis
pubis).
2. Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur
anterior maupun posterior.
3. Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan
miksi, sedangkan pada ruptur uretra anterior didapatkan
hematoma atau pembengkakan di daerah kantong buah zakar,
kadang-kadang disertai pula dengan pembengkakan perineum dan
batang penis, disebut sebagai hematoma kupu-kupu.
4. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior,
kemungkinan besar terjadi kerusakan organ ganda (multipel).

Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling
penting dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan
melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan infeksi pada
periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi
complete

laserasi.

Cedera

uretra

karena

pemasangan

kateter

dapat

menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau
sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah
dapat meluas jauh tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah
timbul infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi
infeksi. Adanya darah pada ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya
uretrografi untuk menegakkan diagnosis
2.5 Pemeriksaan Radiologi
Urethrography retrograde

dinamis

adalah

standar

emas

untuk

mengevaluasi trauma uretra. Gambaran radiology uretra memungkinkan untuk


klasifikasi cedera dan manajemen selanjutnya. Investigasi X-ray tambahan
seperti CT-Scan diindikasikan terkait politrauma pada pasien (Pienero, dkk
2010).
Urethrography retrograde adalah studi pencitraan standar untuk diagnosis
cedera uretra. Hal ini dilakukan dengan menggunakan injeksi lembut 20-30 mL
kontras ke dalam uretra.Pemeriksaan dibuat untuk ekstravasasi, yang dapat
diketahui dengan adanya titik-titik dan lokasi dari gambaran air mata pada
uretra urethral tear (Cummings, 2013)

Gambar 4. Uretra normal pada pemeriksaan uretogram (Radiopedia.org)

Gambar 5. Hasil uretrogram pada partial urethral disruption (Radiopedia.org)

Gambar 6. Uretra posterior terkompresi akibat adanya hematoma


(Radiopedia.org)
Jika dicurigai terjadi trauma uretra posterior, maka kateter suprapubik
dimasukan

dan

untuk

menyingkirkan

trauma

leher

kandung

kemih

menggunakan cystogram. Cystogram simultan dan uretrogram dapat dilakukan

untuk menilai tempat, tingkat keparahan dan lamanya cedera dan fungsi dari
leher kandung kemih (Pieneiro, dkk, 2010).
Cystography statis memungkinkan untuk cedera kandung kemih yang
terjadi secara bersamaan, untuk dikecualikan dalam penatalaksanaan akut.
Ketika mempertimbangkan untuk perbaikan, voiding cystography (dilakukan
melalui kateter suprapubik) menunjukkan leher kandung kemih dan anatomi
uretra pars prostatika dan memungkinkan untuk perencanaan bedah yang tepat
(Cummings, 2013).
Ketika uretra proksimal tidak dapat divisualisasikan menggunakan
cystogram dan uretrogram, maka dapat digunakan MRI pada uretra posterior
dan endoskopi melalui saluran suprapubik (Pieneiro dkk, 2010).
Pemeriksaan endoskopi (Urethroscopy) tidak digunakan dalam diagnosis
awal trauma uretra posterior pada laki-laki. Namun endoskopi diperlukan untuk
informasi gangguan parsial dari urtra anterior distal. Pada wanita uteroskopi
merupakan tambahan penting untuk identifikasi dan derajata trauma uretra
(Pieneiro, 2010).
2.6 Ruptur Uretra Posterior
Trauma uretra posterior (uretra pars membranosa dan prostatika)
merupakan cedera yang klasik menyertai fraktur pelvis (Eliastam, Sternbach
dan Michael, 1998).
Ruptura uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang
pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra prostatomembranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta bulibuli akan terangkat ke parsial (Purnomo, 2010).
a. Klasifikasi Ruptur Uretra Posterior
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976)
membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis :

10

1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching


(perengangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea,
sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram
menunjukkan ekstravasai kontras yang masih terbatas di atas
diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa
sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan
ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai ke
perineum

Gambar 7. Klasifikasi menurut Colapinto


b. Diagnosis
Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali datang dalam
keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis/cedera organ lain yang
menimbulkan banyak perdarahan. Ruptur uretra posterior seringkali
memberikan gambaran klinis yang khas berupa : (1) perdarahan per-uretram,
(2) retensi urine dan (3) pada pemeriksaan colok dubur terdapat floating
prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan

11

ultrasonografi retrograde mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi


kontras pada pars prostate membranasea (Gambar 6) (Purnomo, 2010).

Gambar 8. A. cedera selangkangan menyebabkan rupture uretra pars


bulbosa. B. lapisan yang membungkus uretra mulai dari korpus mulai dari
ksopus spongiosum (k.s), fascia buck (f.B), dan fasia Colles (f.C). C dan D.
robekan uretra dengan fasia buck masih utuh menyebabkan hematoma
terbatas pada penis (h.p) E dan F Robekan fasia bucks menyebabkan
hematom meluas sampai ke skrotum sebagai hematoma kupu-kupu (h.k)
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan
terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding
prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra
posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadangkadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya
kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal
mungkin adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting
12

untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan
dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa
menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa
c. Tindakan
Ruptur uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ
lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa
perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya dibidang urologi perlu melakukan
tindakan yang invasive pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan
menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis
dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur
neurovascular

di

sekitarnya.

Kerusakan

neurovascular

menambah

kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia (Purnomo, 2010).


Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan
sistostomi untuk diversi urine. Setelah keadaan stabilsebagian ahli urology
melakukan primary endoscopic realignment yaitu melakukan pemasangan
kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini
diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan.
Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupturdan kateter uretra
dipertahankan selama 14 hari. Sebagian ahli urologi lain mengerjakan
reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi
bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan
rekronstruksi membuahkan hasil yang lebih baik (Purnomo, 2010).
Menurut Tanagho dkk (2008), penanganan trauma uretra posterior
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Tatalakasana segera (Immediate Management).
Tatalaksana awal meliputi sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan
urin. Vesika urinaria dan prostat biaasnya terangkat kea rah superior oleh
hematoma periprostatic dan hematoma perivesikal. Vesika rinaria biasanya

13

mengalami distensi karena volume urin yang banyak yang terakumulasai


sebelum resusitasi dan persiapan operasi Urin biasanya bebas dari darah,
teteapi dapat terjadi hematuria massif. Vesika urinaria harus dibuka dan
dilihat apakah ada laserasi atau tidak, vesika urinaria ditutup dengan
benang jahit yang dapat di absorpsi dan sistostomi di masukkan ke dalam
untuk drainse urin. Sistostomi suprapubik ini dipertahankan selama 3
bulan. Hal ini untuk menunggu resolusi dari hematoma pelvis,prostat dan
vesika urinaria akan kembali ke posisi anatomisnya secara perlahan.
Laserasi inkomplit dari uretra posterior akan sembuh spontan, dan
sistostomi suprapubik dapat di lepaskan setelah 2-3 minggu. Sistostomi ini
tidak boleh dilepaskan sebelum terbukti tidak adanya ekstravasasi dengan
pemeriksaan sistouretrografi.
2. Rekonstruksi urtera tunda (Delayed urethral reconstruction)
Rekonstruksi uretra setelah putus dari prostat dapat dilakukan dalam
waktu 3 bulan, jika tidak ada abses pelvis atau infeksi pelvis yang
persisten. Sebelum rekonstruksi, dilakukan sistogram dan uretrogram untuk
mengetahui secara pasti panjang dari striktur uretra. Striktur ini biasanya 12 cm dan berada si posterior dari tulang pubis. Rekonstruksi yang
dilakukan biasanya single-stgae reconstrusction dari ruptur uretra dengan
eksisi langsung pada striktur uretra dan anastomosis dari bulbus uretra
langsung ke bagian apeks prostat. Setelah itu dimasukkan kateter silicon
16F dengan sistostomi suprapubik. Kateter dilepaskan sekitar satu bulan,
dan pasien bisa berkemih seperti biasa.
3. Immediate Urethral Ligament
Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk menyetel kembali uretra
segera. Insiden striktur, impotensi, dan inkontinensia tampaknya lebih
tinggi dibandingkan dengan cystostomy segera dan rekonstruksi tertunda.

14

Namun, beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan penataan


kembali uretra segera.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan
reparasi 2- 3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir
(railroading)

Gambar 9. Cara pemasangan kateter Foley secara langsir (Rail Roading)


Cara pemasangan kateter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra
2. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui
sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting
yang dirasa di tempat ruptur
3. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde
dari buli-buli
4. Sonde dicabut dari uretra
5. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter
Foley yang dijahit pada kateter Nelaton
6. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli

15

7. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga


balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi
di buli-buli ditutup
d. Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptur uretra adalah striktur uretra yang
seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi
ereksi terjadi pada 13-30 % kasus disebabkan karena kerusakan saraf
parasimpatetik atau terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih
jarang terjadi, yaitu 2-4 % yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra
eksterna. Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktur (12-15
%) yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih
bisa kambuh lagi, striktur ini biasanya tidak memerlukan tindakan
uretroplasti ulangan (Purnomo, 2010).

2.7 Ruptur Uretra Anterior


Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior
adalah straddle injury (cedera selangkangan), yaitu uretra terjepit diantara
tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa:
kontusio dinding uretra, ruptur parsial, atau ruptur total dinding uretra
(Purnomo, 2010).
a. Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia
buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture beserta korpus spongiosum, darah
dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck, dan secara
klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia buck
ikut robek, ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles
sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau dinding abdomen. Oleh

16

karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga


disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu (Purnomo, 2010).

Gambar 10. Hematoma kupu-kupu atau Butterfly Hematom


b. Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram
atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat
adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini
seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi retrograde pada
kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ektravasasi kontras, sedangkan
pada rupture uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars
bulbosa (Purnomo, 2010).
c. Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan tindakan khusus, tetapi mengingat
cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari,
maka setelah 4-6 bulan diperlukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada
rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi
untuk mengalihkan aliran urine. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2
minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi
bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktur uretra.

17

Namun jika timbul striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse
(Purnomo, 2010).
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine
dan hematom yang luas sehinga diperlukan debridement dan insisi
hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan
Sedangkan tatalaksana trauma uretra anterior menurut Tanagho dkk
(2008) dialkukan beberapa tindakan sebagai berikut :
1. Tindakan Umum
Kehilangan banyak darah biasanya tidak terjadi. Jika pendarahan berat
tidak terjadi, maka tekanan lokal untuk pengendalian dan diikuti oleh
resusitasi diperlukan.
2. Tindakan Spesifik
a. Urethral Contusion
Pasien dengan luka memar uretra menunjukkan tidak ada bukti
pengeluaran darah, dan uretra tetap utuh. Setelah urethrography,
pasien diperbolehkan untuk buang air; dan jika buang air terjadi
seperti biasanya, tanpa rasa sakit atau pendarahan, tidak ada
perlakuan tambahan diperlukan. Jika pendarahan terus berlanjut,
drainase kateter uretra dapat dilakukan.
b. Urethral Laceration
Sebuah irisan kecil garis tengah di daerah suprapubik dengan
mudah mengekspose kubah kandung kemih sehingga tabung
suprapubik cystostomy dapat disisipkan, sehingga memungkinkan
pengalihan

kemih

lengkap

dimana

sementara

itu

terjadi

menyembuhkan luka uretra. Percutaneous cystostomy mungkin juga


dapat digunakan dalam luka tersebut. Penyembuhan pada tempat
cedera dapat menghasilkan pembentukan striktur. Sebagian besar
striktur tidak parah dan tidak membutuhkan bedah rekonstruksi.
kateter cystostomy suprapubik mungkin dilepaskan jika tidak ada
ekstravasasi yang terjadi. Tindak lanjut dengan dokumentasi dari laju

18

aliran kemih akan menunjukkan apakah terjadi obstruksi uretra akibat


striktur.
c. Urethral Laceration with extensive urinary extravasation
Setelah luka besar, pengeluaran darah mungkin melibatkan
perineum, skrotum, dan perut bagian bawah. Drainase pada area
tersebut diindikasikan. Suprapubik cystostomy untuk pengalihan
kemih diperlukan. Infeksi dan pembentukan abses umum terjadi dan
membutuhkan terapi antibiotik.
d. Immediate Repair
Perbaikan segera luka uretra dapat dilakukan, tetapi prosedur
ini sulit dan insiden timbulnya striktur tinggi.
2.8 Indikasi dan Kontraindikasi pemasangan kateter urin
Secara umum, tujuan kateterisasi urin adalah sebagai berikut :
1. Membantu memenuhi kebutuhan pasien untuk mengosongkan kandung
kemih, terutama pada pasien yang mengalami penyakit akut, akan
operasi, sakit hebat, terbatas pergerakannya atau pasien dengan
penurunan kesadaran.
2. Menjaga agar kandung kemih tetap kosong, penyembuhan luka,
pengobatan beberapa infeksi dan operasi suatu organ dari sistem urin
dimana kandung kemih tidak boleh tegang sehingga menekan unsur
lain.
3. Menjaga agar pasien dengan keluhan inkontinensia urin ( urin
terkumpul di kandung kemih karena tidak dapat dikeluarkan) tetap
kering bagian perineumnya , sehingga kulit tetap utuh dan tidak
terinfeksi.
4. Mengukur jumlah produksi urin oleh ginjal secara akurat.
5. Membantu melatih kembali atau memulihkan pengendalian kandung
kemih secara normal.
Indikasi pemasangan kateter urine adalah sebagai diagnostic dan terapi :
19

1. Sebagai diagnostic (secepatnya dilepas)


Mengambil sample urin untuk kultur urin
Mengukur residu urine
Memasukan bahan kontras untuk pemeriksaan radiology
Urodinamik
Monitor produksi urine atau balance cairan.
2. Sebagai Terapi (dilepas setelah tujuan dicapai)
Retensi urine
Self interniten kateterisasi (CIC)
Memasukan obat-obatan
Viversi urine
Sebagai splin
Sedangkan kontraindikasi pemasangan urine jika ditemukan adanya
ruptur uretra akibat trauma dan/atau pasien yang mampu untuk berkemih
spontan
2.9 Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma,
abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis.
Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra. Khusus
pada ruptur uretra posterior dapat timbul komplikasi impotensi dan
inkontinensia (Sjamsuhidajat, 2010).

20

BAB III
KESIMPULAN

Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tersebut harus didiagnosis efisien
dan efektif diobati agar mencegah gejala sisa jangka panjang yang serius.
Trauma uretra secara klinis dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis
menyebabkan ruptur uretra pars membranasea (Uretra pars posterior), sedangkan
trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptur
uretra pars bulbosa (uretra pars anterior).
Uretrography retrograde dinamis adalah standar emas untuk mengevaluasi
trauma uretra. Gambaran radiology uretra memungkinkan untuk klasifikasi cedera
dan manajemen selanjutnya.
Tatalaksana trauma uretra berbeda-beda, tergantung dari berapa derajat
kerusakanya.

21

DAFTAR PUSTAKA

Cummings, M. James. 2013. Urethral Trauma. Deaprtement Of Surgery, Division Of


Urology.

University

of

Missouri

School

of

Medicine.

(http://emedicine.medscape.com/article/451797 ) diakses 4 juli 2015.


Eliastam, M., Sternbach L. George, Michael J.B. 1998. Penuntun Kegawatdaruratan
Medis.alih bahasa: Hunardja Santana. Ed. 5. Jakarta:EGC. Hal 162.
Ivy-Rose.

2006.

The

Blader

and

Urethral

Male.

(http://www.ivyroses.com/HumanBody/Urinary/Urinary_Bladder_Urethra_Male.
php), diakses 4 juli 2015.
Pienero Luis M., et all. 2010. EAU Guidelines on Urethral Trauma. European
Association Of Urology (http://uroweb.org/wp-content/uploads/2010-UrethralTrauma.pdf ), diakses 4 juli 2015.
Purnomo B. 2010. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto. Hal .188-192
Purnomo B., Daryanto B., Seputra P. Kenta. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi
(SMF Urologi Laboratorium Ilmu Bedah). RSU Dr. Saiful Anwar:Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
Sjamsuhidajat R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. ed : Hartanto,
Huriawati, dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

22

Tanagho EA, et all. 2008. Injuries to the genitourinary tract. In : McAninch, editor.
Smiths general urology. 17th Edition. United States of America : Mc Graw Hill
Radiopedia.

Urtehral

Injuries.

(http://radiopaedia.org/articles/urethral-injuries),

diakses 4 juli 2015.

23

You might also like