You are on page 1of 8

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

Penggunaan Asam Salisilat


dalam Dermatologi

Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Asam salisilat merupakan bahan keratolitik tertua. Selain memiliki efek keratolitik,
bahan ini juga memiliki efek keratoplastik, anti-pruritus, anti-inflamasi, analgetik,
bakteriostatik, fungistatik, dan tabir surya. Asam salisilat telah teruji dalam terapi berbagai
penyakit kulit dengan manifestasi hiperkeratosis. Selain itu, asam salisilat merupakan terapi
tambahan pada dermatomikosis superfisialis, moluskum kontagiosum, akne, dan kerusakan
kulit akibat sinar matahari. Meskipun secara umum penggunaan asam salisilat topikal aman,
bahan ini dapat diabsorbsi melalui kulit dan menimbulkan toksisitas. Hal tersebut jarang
terjadi, namun berpotensi menimbulkan komplikasi serius. Makalah ini membahas sifat kimia,
mekanisme kerja, penggunaan klinis, efek samping, toksisitas akibat absorbsi perkutan, dan
kontraindikasi asam salisilat dalam bidang dermatologi. J Indon Med Assoc. 2012;62:277-84.
Kata kunci: asam salisilat, dermatologi, indikasi, efek samping

Korespondensi: Sri Katon Sulistyaningrum,


Email: ningrum_dr@yahoo.com

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

277

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi

The Use of Salicylic Acid in Dermatology


Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi
Department of Dermatovenereology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract: Salicylic acid is the oldest known keratolytics. Besides its keratolytic properties, salicylic
acid also has keratoplastic, anti-pruritic, anti-inflammatory, analgetic, bacteriostatic, fungistatic,
and photo-protective effects. It is a well-established treatment for many dermatologic conditions,
manifest as hyperkeratosis, and can be used as an additional therapy for superficial dematomycosis,
moluscum contagiosum, acne, and photo-damaged skin. In general, topical salicylic acid is safe,
but it is readily absorbed from the skin. Toxicity from percutaneous absorption is rare but serious
complications have been reported. This paper reviewed its chemistry, mechanism of action,
clinical usage, side effect, percutaneous toxicity and contraindication in dermatotherapy. J Indon
Med Assoc. 2012;62:277-84.
Keywords: salicylic acid, dermatology, clinical use, side effects

Pendahuluan
Asam salisilat telah digunakan sebagai bahan terapi
topikal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu.1 Dalam bidang
dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal dengan khasiat
utama sebagai bahan keratolitik.2 Hingga saat ini asam salisilat
masih digunakan dalam terapi veruka, kalus, psoriasis, dermatitis seboroik pada kulit kepala, dan iktiosis.3 Penggunaannya semakin berkembang sebagai bahan peeling dalam
terapi penuaan kulit, melasma, hiperpigmentasi pascainflamasi, dan akne.4,5
Di Amerika Serikat, berbagai sediaan mengandung
preparat asam salisilat dalam konsentrasi 1-40%.6 Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Efek samping lokal
yang sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat adalah
dermatitis kontak.7,8 Beberapa kepustakaan melaporkan
adanya toksisitas sistemik akibat absorpsi perkutan. Toksisitas asam salisilat, meskipun jarang, dapat menimbulkan
komplikasi yang serius.3
Farmakologi Asam Salisilat Topikal
Sifat Kimia
Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic
acid atau orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia
C7H6O3. Asam salisilat memiliki pKa 2,97.9 Asam salisilat
dapat diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen,
spearmint, dan sweet birch.9,10 Saat ini asam salisilat telah
dapat diproduksi secara sintetik.9,11 Bentuk makroskopik
asam salisilat berupa bubuk kristal putih dengan rasa manis,
278

tidak berbau, dan stabil pada udara bebas. Bubuk asam


salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam
lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya
terbatas pada lapisan epidermis.9
Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat Topikal
Efek Keratolitik dan Desmolitik
Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi
topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan
keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874.12 Berbagai
penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan
penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu
menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselular,
dan melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit.3,13,14
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan menghilangkan ikatan kovalen lipid interselular yang berikatan
dengan cornified envelope di sekitar keratinosit.15 Mekanisme kerja zat ini adalah pemecahan struktur desmosom yang
menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit.
Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja
asam salisilat topikal.1,16 Efek desmolitik asam salisilat
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi.1 Asam
salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih besar (20-60%),
menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap
digunakan pada terapi veruka dan kalus.1,17
Pengelupasan secara mekanik dapat meningkatkan
efektivitas kerja asam salisilat topikal. Pasien dapat diedukasi

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi


untuk mengusap kulit dengan spon halus atau handuk basah
saat mandi. Pada terapi kalus, pengelupasan dapat pula
dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini akan
menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit
diberikan asam salisilat topikal selama beberapa hari.18
Efek Keratoplastik
Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabilisasi stratum korneum yang menyebabkan efek keratoplastik.19 Mekanisme belum diketahui secara pasti, namun
hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi homeopatik, yaitu asam salisilat menyebabkan rangsangan keratolitik lemah yang menyebabkan peningkatan keratinisasi.18
Efek Anti-Pruritus
Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan.10 Efek
ini dapat diamati pada konsentrasi 1-2%.19 Mekanisme kerja
asam salisilat sebagai antipruritus belum diketahui secara
pasti.
Efek Anti-Inflamasi
Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki
khasiat anti-inflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam
asetil salisilat) telah digunakan secara luas sebagai analgesik,
anti-piretik, dan anti-inflamasi sistemik. Asam salisilat
menghambat biosistesis prostaglandin11 dan memiliki efek
anti-inflamasi pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0,55%.20
Efek Analgetik
Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan analgesia. Metil salisilat topikal (sebagai contoh: minyak gandapura)
memiliki sifat sebagai counter irritant ringan. Zat ini kerap
dikombinasikan dengan mentol sebagai sediaan topikal yang
digunakan dalam pengobatan nyeri pada otot dan persendian.11
Efek Bakteriostatik dan Disinfektan
Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampak terutama
terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp.,
Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa.1 Solusio
asam salisilat 1:1000 dapat digunakan sebagai kompres pada
luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan
dari solusio permanganas kalikus maupun rivanol, karena
tidak mengotori pakaian atau mewarnai kulit.19
Efek Fungistatik
Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam
salisilat topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp.
dan Candida spp. Efek ini diamati pada konsentrasi rendah
2-3g/l (<1%).3,6 Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan
kemungkinan efek desmolitik asam salisilat yang membantu
penyembuhan infeksi jamur superfisial, bukan efek fungistatik langsung.21
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

Efek Tabir Surya


Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai
tabir surya.22,23 Mekanisme efek tabir surya kimiawi tersebut
melalui transformasi cincin benzen aromatik pada pajaran ultraviolet (UV). 9 Selain itu, asam salisilat juga memiliki efek
absorpsi sinar ultraviolet B (UVB) terutama pada gelombang
300-310 nm. Pada psoriasis, penggunaan asam salisilat topikal
yang tidak dibersihkan sebelum fototerapi dapat mempengaruhi hasil terapi.3 Sebagai tabir surya kimiawi, asam
salisilat diklasifikasikan dalam golongan non-PABA (para
amino benzoic acid). Daya proteksi asam salisilat sebagai
tabir surya lebih rendah 40% bila dibandingkan golongan
PABA.22
Penggunaan Klinis Asam Salisilat Topikal
Psoriasis
Asam salisilat merupakan bahan tradisional yang
digunakan pada terapi psoriasis. Zat tersebut kerap dikombinasikan dengan ter maupun sulfur dalam vehikulum vaselin.
Asam salisilat sering dikombinasikan dengan sediaan antralin
untuk mencegah oksidasi.10 Efek desmolitik asam salisilat
terbukti meningkatkan penetrasi kortikosteroid topikal.24
Pengobatan bertahap dilakukan menggunakan mometason
furoat 0,1% dan asam salisilat 5% selama 7 hari, dilanjutkan
dengan mometason furoat 0,1% saja selama 14 hari. Pendekatan pertama lebih efektif mengeliminasi lesi psoriasi
dibandingkan dengan aplikasi mometason furoat 0,1% saja.25
Penggunaan kombinasi asam salisilat dan betametason
dipropionat sama efektif dengan salap kalsipotriol dalam
mengobati psoriasis kuku selama 3 bulan terapi.26
Dermatitis Seboroik dan Psoriasis pada Skalp
Gatal dan skuama pada kepala dapat ditemukan sebagai
manifestasi klinis pada pasien dermatitis seboroik dan psoriasis. Berbagai sampo terapeutik mengandung asam salisilat
2-3%, serta kombinasi sulfur dan ter. Sampo tersebut cukup
efektif dalam mengatasi psoriasis pada skalp dan dermatitis
seboroik yang bermanifestasi sebagai seborrhea capitis
sicca dan cradle cap.27
Iktiosis
Iktiosis merupakan penyakit gangguan keratinisasi
akibat kelainan genetik yang bermanifestasi kulit kering
dengan skuama yang berlebihan. Tata laksana iktiosis kerap
kali kurang memuaskan. Terapi bertujuan mengurangi
manifestasi klinis penyakit ini melalui efek hidrasi, lubrikasi,
dan keratolitik.28 Preparat asam salisilat 3-6% dalam vehikulum
salap bermanfaat untuk mengeliminasi skuama tebal pada
iktiosis vulgaris, x-linked ichthyosis, iktiosis lamelar, dan
hiperkeratosis epidermolitik. Oklusi meningkatkan efektivitas
terapi. 9 Kerusakan sawar yang terjadi pada iktiosis menyebabkan klinisi harus berhati-hati dalam memberikan asam
salisilat pada area yang luas, terutama pada anak. Pemberian
asam salisilat sebaiknya diprioritaskan pada area yang tebal
279

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi


untuk mencegah kejadian absorpsi dan toksisitas sistemik.29
Hiperkeratosis Lokalisata dan Kalus
Asam salisilat 50% dalam sediaan plester maupun
salap (10-50%) dengan oklusi dapat digunakan untuk terapi
kalus .3,9Asam salisilat 6% dalam sediaan gel (1x/hari selama
2 minggu) terbukti cukup efektif mengatasi hiperkeratosis
lokalisata pada tumit, jari tangan, dan siku.1
Veruka
Asam salisilat merupakan bahan terapi veruka yang
terbukti efektif dan relatif aman.9,17, 29 Asam salisilat topikal
merupakan terapi lini pertama pada veruka.30 Efektivitas asam
salisilat dalam terapi veruka berkaitan erat dengan efek
desmolitiknya. Selain itu, asam salisilat menyebabkan iritasi
ringan pada kulit, sehingga mampu menginduksi respons
imun yang membantu mengeliminasi virus.18,30 Sediaan asam
salisilat topikal untuk terapi veruka bervariasi antara 10-60%.
Terdapat pula sediaan kombinasi dengan asam laktat maupun
podofilin. Masa terapi bervariasi sekitar 6-12 minggu.30
Bruggink melakukan uji klinis efektivitas bedah beku
N2 dibandingkan dengan preparat asam salisilat topikal 40%
dalam gel dan mendapatkan hasil terapi yang sama efektif
antar keduanya.31 Uji klinis terapi veruka vulgaris antara
kombinasi asam salisilat/ asam laktat (setiap hari selama 3
minggu) dengan bedah beku (1x/minggu, selama 3 minggu),
memberikan hasil yang tidak berbeda secara bermakna dalam
efektifitas pengobatan. Uji kinis lainnya memperlihatkan
kombinasi terapi bedah beku ditambah terapi topikal asam
salisilat dan asam laktat lebih baik daripada bedah beku
saja.30
Moluskum Kontagiosum
Leslie32 meneliti penggunaan asam salisilat gel 12% (2x/
minggu) sebagai terapi moluskum kontagiosum pada anak
dan mendapatkan bahwa sediaan ini cukup efektif dibandingkan plasebo (alkohol 70%). Ohkuma33 meneliti penggunaan povidon iodine 10% dilanjutkan dengan plester asam
salisilat 50% (1x/hari) untuk terapi moluskum kontagiosum.
Kesembuhan total lesi dicapai dalam rata-rata 26 hari.
Dermatomikosis Superfisialis
Salap Whitfield yang mengandung asam salisilat 6%
dan asam benzoat 12% telah lama digunakan sebagai
preparat terapi tinea. Konsentrasi asam salisilat dan asam
benzoat dapat diturunkan menjadi 3% dan 6% untuk
mengurangi kejadian iritasi, namun kini penggunaannya
sudah digantikan oleh preparat yang lebih efektif.3,9
Akne Vulgaris
Asam salisilat memiliki efek komedolitik ringan. Zat ini
telah digunakan sejak tahun 1950 dalam berbagai preparat
terapi akne yang meliputi krim, pembersih wajah, astringen,
medicated pads, dan sabun.1,9 Di Amerika Serikat, konsentrasi

280

maksimal yang diperbolehkan dalam obat bebas adalah 2%


dan digunakan paling banyak pada pembersih wajah.34
Penggunaan asam salisilat topikal 30% sebagai bahan peeling dalam terapi akne vulgaris semakin berkembang di
Asia.5,35,36 Zat yang bersifat lipofilik ini mampu berpenetrasi
ke dalam unit pilosebaseus dan memberikan efek komedolitik,
meskipun tidak sekuat retinoid. Asam salisilat topikal dianggap cukup aman dan efektif dalam terapi akne. Zat ini
kerap digunakan sebagai terapi topikal alternatif pada pasien
yang tidak dapat menggunakan retinoid maupun benzoil
peroksida, atau sebagai terapi tambahan terhadap modalitas
terapi lain yang lebih efektif.37
Photoaging
Asam salisilat 14% merupakan salah satu bahan aktif
dalam solusio Jessner yang digunakan sebagai bahan peeling untuk mengatasi melasma, akne, hiperpigmentasi, dan
kerusakan kulit akibat sinar UV.38 Mekanisme asam salisilat
sebagai agen peeling kimiawi berkaitan dengan trauma pada
epidermis yang selanjutnya akan mengaktivasi sel basal epidermis dan fibroblas. Hal tersebut menyebabkan efek
regenerasi pada kulit yang rusak akibat sinar UV. Pada
konsentrasi yang lebih rendah, asam salisilat digunakan
sebagai bahan eksfoliatif untuk meningkatkan deskuamasi
dan memperbaiki tampilan kulit menua. 9
Efek Samping Asam Salisilat Topikal
Absorpsi Sistemik
Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih
aman dan memiliki efek samping minimal bila dibandingkan
dengan rute pemberian sistemik, namun terapi topikal memiliki
potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi
obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai.39
Penggunaan asam salisilat pada area yang luas dapat mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah yang signifikan.40 Asam
salisilat diabsorpsi secara cepat karena sifatnya yang
cenderung lipofilik, terutama bila diberikan dalam vehikulum
minyak/salap dengan atau tanpa oklusi.11 Bioavailibilitas
absopsi asam salisilat melalui kulit bervariasi antara 11,8%30,7%.41 Asam salisilat yang diberikan secara topikal tidak
melalui metabolisme awal di hati, sehingga tidak mengalami
penurunan signifikan jumlah zat aktif sebelum bekerja. Hal
inilah yang menyebabkan asam salisilat relatif aman bila
diberikan secara oral, namun dapat memberikan mani-festasi
gejala kelainan saraf pusat akibat toksisitas pada pemberian
secara topikal dalam dosis yang sama.41 Batas maksimal
pemberian asam salisilat adalah 2g/24 jam.18
Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Sistemik dan
Toksisitas
Absorpsi Perkutan
Toksisitas asam salisilat perkutan berkorelasi langsung
dengan absorpsi perkutan. Terdapat beberapa faktor yang

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi


mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu konsentrasi obat,
vehikulum, penggunaan oklusi, luas permukaan aplikasi,
frekuensi dan durasi aplikasi, serta keadaan kulit. Semakin
tinggi konsentrasi obat maka akan semakin tinggi kemungkinan absorpsi sistemik. Penggunaan vehikulum
minyak/ salap akan lebih mudah diserap dibandingkan krim.41
Semakin luas permukaan aplikasi, semakin sering frekuensi
aplikasi dan semakin lama durasi pengunaan asam salisilat
topikal, serta oklusi akan meningkatkan absorpsi sistemik.
Keadaan kulit, terutama fungsi sawar, berpengaruh terhadap
absorpsi asam salisilat perkutan. Asam salisilat telah terdeteksi dalam urin dalam 24 jam setelah aplikasi topikal pada
penderita eritroderma. Penggunaan asam salisilat 3% dengan
frekuensi 3x/hari pada seluruh area kulit kecuali wajah dan
leher menyebabkan toksisitas sistemik pada hari ke-5.3
Usia
Populasi bayi, anak, dan lanjut usia memiliki risiko
kejadian toksisitas lebih besar dibandingkan dewasa. Bayi
dan anak memiliki perbandingan volume dan luas permukaan
tubuh yang besar.41 Selain itu fungsi detoksifikasi dan
ekskresi belum berkembang secara sempurna.29 Pada usia
lanjut, volume cairan ekstravaskular juga lebih rendah.41
Fungsi Hati dan Ginjal
Asam salisilat mengalami metabolisme di retikulum
endoplasmik dan mitokondria sel hati, serta di eksresi melalui
ginjal sebagai asam salisilat bebas, salicyluric acid, dan asam
gentisat. 11 Kegagalan fungsi hati akan menyebabkan kadar
asam salisilat dalam plasma meningkat sedangkan kegagalan
fungsi ginjal akan menyebabkan ekskresi asam salisilat dan
metabolitnya menurun, sehingga meningkatkan akumulasinya dalam plasma.
Toksisitas Sistemik
Kejadian toksisitas sistemik akibat absorpsi asam
salisilat melalui kulit jarang dijumpai, namun berpotensi
menimbulkan gangguan serius, bahkan kematian. Lin dan
Nakatsui3 melakukan telaah pada publikasi berbahasa Inggris
dan mendapatkan 32 kasus toksisitas sistemik akibat
penggunaan asam salisilat topikal. Sebagian besar pasien
yang mengalami toksisitas sistemik asam salisilat adalah
pasien psoriasis (14) dan iktiosis (10). Gejala umumnya timbul
pada awal inisiasi terapi (2-3 hari setelah terapi dimulai).
Kematian terjadi pada 2 kasus.
Toksisitas akut asam salisilat melalui absorpsi topikal
belum pernah diteliti pada manusia. Toksisitas perkutan asam
salisilat pada kelinci, sangat rendah, dengan LD 50 >500mg/
kg berat badan. Dosis letal LD 50 adalah dosis zat yang
menyebabkan kematian pada 50% populasi. Pada penelitian
toksisitas subkronik asam salisilat topikal, dosis metil salisilat
>5g/kg BB diduga bersifat nefrotoksik, namun data pendukung yang tersedia sangat terbatas.41 Gejala toksisitas

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

dapat diamati pada kadar plasma 200-400 g/ml. Manifestasi


klinis toksisitas sistemik pada berbagai sistem organ adalah
sebagai berikut:
1. Salisilism
Salisilism merupakan suatu sindrom toksisitas asam
salisilat yang bersifat kronik. Gejala yang timbul meliputi
nyeri kepala, pusing, tinitus, gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan perilaku (bingung, lesu,
rasa kantuk), halusinasi, hiperventilasi, berkeringat, haus,
dan gangguan saluran pencernaan; yaitu: mual, muntah,
sampai dengan diare.11 Risiko kejadian salisilism meningkat
pada penggunaan jangka panjang meliputi area yang luas,
anak, serta pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.42
2. Efek Neurologik
Pada toksisitas asam salisilat dapat terjadi gangguan
neurologis berupa: pusing, rasa kantuk, vertigo, tinitus,
gangguan pendengaran pada nada tinggi, delirium, dan
psikosis. Pada keadaan toksisitas berat, pasien dapat pingsan
bahkan koma. Tinitus dan gangguan pendengaran diduga
terjadi akibat peningkatan tekanan pada labirin dan gangguan
terhadap sel rambut koklea. Hal itu merupakan akibat sekunder
terhadap vasokonstriksi pembuluh darah auditorik.11
3. Efek Respiratorik
Asam salisilat mampu menstimulasi pusat pernapasan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Gejala dan
tanda toksisitas respiratorik meliputi hiperventilasi, alkalosis respiratorik, dan asidosis metabolik. Efek ini mulai dapat
diamati pada kadar plasma 350 g/ml. Keadaan hiperventilasi pernafasan dapat diamati secara jelas pada kadar plasma
500 g/ml. Bila keadaan ini terus berlanjut dapat terjadi depresi
pernafasan yang berakhir pada kegagalan sistem pernafasan.11
4. Efek Metabolik
Asam salisilat mampu menginduksi sekresi steroid oleh
kelenjar adrenal. Efek inilah yang dimanfaatkan sebagai efek
anti-inflamasi.11 Pada dosis tinggi asam salisilat dapat
mempengaruhi penggunaan glukosa yang berpotensi
menyebabkan status hipoglikemik pada pasien.3
5. Efek Teratogenik
Pada kejadian absorpsi sistemik dalam dosis terapeutik
sistemik, asam salisilat tidak terbukti memiliki efek teratogenik.
Ibu yang mengkonsumsi salisilat dan turunannya dalam
jangka waktu panjang selama masa kehamilan ternyata
melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Penggunaan asam salisilat dalam jangka panjang pada trimester
ke-3 dapat meningkatkan mortalitas perinatal akibat penutupan prematur duktus arteriosus, anemia, perdarahan antepartum dan postpartum, dan komplikasi pada proses

281

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi


persalinan. 11
6. Interaksi Obat
Saat mengalami absorpsi sistemik, 80-90% asam salisilat
pada plasma berikatan dengan protein (terutama albumin).
Asam salisilat berkompetisi dengan berbagai obat yang
terikat pada albumin, yaitu tiroksin, triodotironin, penisilin,
fenitoin, kaptopril, probenesid, dan berbagai obat antiinflamasi nonsteroid. Penggunaan asam salisilat secara
bersamaan dengan antikoagulan lain (sebagai contoh: warfarin dan heparin), obat hipoglikemia, dan metotreksat perlu
berhati-hati. Asam salisilat dapat meningkatkan toksisitas
obat-obat tersebut.11
Klinisi perlu mempertimbangkan pendekatan sistemik
secara rasional, misalnya: fototerapi atau terapi sistemik
alternatif pada pasien dengan kelainan kulit yang luas.
Pengetahuan ini mampu menjadi panduan dalam memaksimalkan efektivitas dan tolerabilitas asam salisilat sebagai
bahan dermatoterapi topikal.40
Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak iritan merupakan efek samping yang
paling sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat
topikal, terutama pada penggunaan konsentrasi tinggi.11
Tiong dan Kelly43 melaporkan dua kasus luka bakar derajat 2
pada penggunaan plester asam salisilat 40% untuk mengobati
veruka pada lengan. Penggunaan asam salisilat konsentrasi
tinggi oleh pasien di rumah hendaknya dibekali dengan
edukasi tentang penggunaannya dengan tepat.
Asam salisilat memiliki potensi sebagai bahan sensitizer lemah. 3,9,43,44 Kepustakaan yang melaporkan sensitisasi
akibat kontak terhadap asam salisilat topikal sangat terbatas.45
Lin dan Nakatsui,3 melaporkan enam kasus pasien yang
mendapatkan terapi asam salisilat topikal dan memiliki hasil
uji tempel yang positif terhadap asam salisilat. Hidson46
melaporkan satu kasus kejadian dermatitis kontak alergik
terhadap metil salisilat yang diperberat dengan pemberian
aspirin secara oral.
Pasien yang diduga mengalami dermatitis kontak alergik
terhadap asam salisilat topikal dapat memberikan hasil uji
tempel yang negatif terhadap asam salisilat. Pasien dapat
mengalami dermatitis kontak alergik terhadap kom-ponen lain
yang terkandung dalam sediaan asam salisilat topikal
tersebut.9
Kontraindikasi
Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Zat ini
digunakan sebagai obat bebas di Amerika Serikat dalam
konsentrasi 1-40%. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat
diberikan dengan kewaspadaan dan edukasi penggunaan
yang tepat. Pasien dengan riwayat sensitivitas atau alergi
kontak terhadap asam salisilat topikal sebaiknya tidak
diberikan preparat ini.6
Tidak terdapat penelitian penggunaan asam salisilat
282

topikal pada ibu hamil maupun ibu menyusui. Asam salisilat


diekskresi pada ASI dan berpotensi menimbulkan abnormalitas trombosit dan perdarahan pada bayi. Penggunaan
aspirin pada ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan. Asam
salisilat masuk dalam kategori C oleh FDA.47 Terdapat laporan
kasus kejadian sindrom Reye pada penggunaan aspirin peroral pasien dengan varisela sehingga salisilat dan turunannya
tidak direkomendasikan pada pasien yang menderita varisela,
enam minggu pasca- varisela, dan pasien yang baru mendapat
vaksinasi varisela.47
Produk dan Peresepan Dalam Racikan
Asam salisilat telah menjadi bahan aktif utama dalam
berbagai produk terapi topikal. Sediaan asam salisilat dapat
berupa salap, krim, solusio, gel, plester, maupun sampo.10,27
Saat ini dikenal pula berbagai vehikulum baru yaitu liposom
yang mampu membawa asam salisilat dalam konsentrasi tinggi
ke sel target dengan efek iritatif yang minimal.48
Sediaan asam salisilat bervariasi dengan konsentrasi
0,5%-60%.17 Selain itu asam salisilat juga kerap menjadi bahan
kombinasi dengan zat aktif lain untuk meningkatkan penetrasi
dan aktivitas zat aktif tersebut (efek sinergistik).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam sifat
kimia, asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah
larut dalam lemak. Kelarutan dalam air dapat ditingkatkan
dengan menambahkan amonium sitrat, kalium sitrat, dan
natrium fosfat. Pemberian asam salisilat dengan oxydum
zincicum akan membentuk senyawa salicylicum zincicum
yang tidak aktif. Asam salisilat tidak dapat dicampurkan ke
dalam vanishing cream, sebab cincin aromatiknya akan
menghancurkan komponen sabun yang diperlukan dalam
pembentukan emulsi.3 Pencampuran asam salisilat dengan
kalsipotrien tidak dianjurkan karena membuat senyawa yang
tidak stabil.1
Kombinasi asam salisilat dengan kortikosteroid topikal,
misalnya pada terapi psoriasis, sebaiknya memperhatikan
faktor kestabilan jenis kortikosteroid dalam asam. Jenis kortikosteroid yang stabil dalam kondisi asam adalah flusinolon.18
Kombinasi asam salisilat dengan sulfur memiliki efek
sinergistik yaitu meningkatkan aktivitas keduanya sebagai
bahan keratolitik dan antipruritus. Demikian pula penambahan
asam salisilat pada preparat antralin memiliki efek menguntungkan, yaitu mencegah oksidasi antralin.3
Untuk bekerja dengan optimal, pembuatan produk yang
mengandung asam salisilat harus memerhatikan pKa, yaitu
pH optimal yang menyebabkan konsentrasi bentuk senyawa
terionisasi dan tidak terionisasi berada dalam keadaan
seimbang. Formulasi sediaan asam salisilat yang efektif ialah
yang memiliki pH mendekati 2,97, sehingga memiliki efek
deskuamasi yang optimal.3
Penutup
Asam salisilat sebagai bahan keratolitik tertua masih
digunakan secara luas pada dermatoterapi topikal dan pengJ Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi


gunaannya semakin berkembang. Asam salisilat sebagai zat
aktif utama maupun tambahan tersedia dalam berbagai produk
dengan beragam vehikulum. Meskipun penggunaan asam
salisilat relatif aman, dapat terjadi absorpsi sistemik yang
berpotensi menimbulkan toksisitas sistemik. Penggunaan
asam salisilat harus tetap berhati-hati dan tidak boleh
diberikan pada area yang luas dalam jangka panjang. Populasi
bayi, anak, wanita hamil, usia lanjut, pasien dengan gangguan
fungsi hati dan/ ginjal, dan pasien diabetes melitus yang
mendapatkan asam salisilat topikal harus mendapatkan
edukasi dan pengawasan yang baik. Penggunaan pada area
yang luas dalam jangka waktu panjang sebaiknya dihindari.
Klinisi perlu memahami interaksi antara konsentrasi obat,
bioavailibilitas penetrasi yang bervariasi sesuai vehikulum
dan prosedur oklusi, serta prinsip manajemen berbagai
penyakit kulit secara holistik untuk meminimalkan risiko
toksisitas pada pemberian asam salisilat topikal.
Daftar Pustaka
1.

2.

3.
4.
5.

6.

7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.
14.

15.

Del Rosso J. Pharmacotherapy update: current therapies and


research for common dermatologic conditions. The many roles
of topical salicylic acid. Skin and Aging. 2005;13:38-42.
Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. Agents used for treatment
of hyperkeratosis. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive
dermatologic drug therapy. 2 nd Ed. Philadelphia: WB Saunders;
2007;41:745-60.
Lin AN, Nakatsui T. Salicylic acid revisited. Int J Dermatol.
1998;37:335-42.
Lee HS, Kim IH. Salicylic acid peels for the treatment of acne
vulgaris in Asian patients. Dermatol Surg. 2003;29:11969.
Grimes PE. The safety and efficacy of salicylic acid chemical
peels in darker racial-ethnic groups. Dermatol Surg. 1999; 25:1822.
Fung W, Orak D, Re TA, Haughey DB. Relative bioavailability of
salicylic acid following dermal application of a 30% salicylic acid
skin peel preparation. J Pharmaceutical Sciences. 2008;
97(3):1325-8.
Collier AP, Freeman SR, Dellavalle RP. Acne Vulgaris. In: Williams H, editor. Evidence-based dermatology. 2nd Ed. Singapore:
Blackwell Publishing; 2008. p. 83-104.
Gibbs S. Local treatments for cutaneous warts. In: Williams H,
editor. Evidence-based dermatology. 2nd Ed. Singapore: Blackwell
Publishing; 2008. p. 347-53.
Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. Agents used for treatment
of hyperkeratosis. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007.
p. 745-60.
Parish LC, Witkowski JA. Tradisional therapeutic agents. Clin
Dermatol. 2000;18:5-9.
Burke A, Smyth E, FitzGerald GA. Analgesic-Antipyretic agents;
Pharmacotherapy of gout. In: Brunton LL, editor. Goodman &
Gilmans The Pharmacological basis of therapeutics. 11 th Ed.
New York: Pergamon Press; 2005. p. 671-715.
Jabarah A, Gilead LT, Zlotogorski Z. Salicylate intoxication from
topically applied salicylic acid. J Eur Acad Dermatol Venereal.
1997;8:41-2.
Davies M, Marks RL. Studies on the effect of salicylic acid on
normal skin. Br J Dermatol. 1976;95:187.
Roberts DL, Marshal R, Marks R. Detection of the action of
salicylic acid on the normal stratum corneum. Br J Dermatol.
1980;102:191-6.
Imayama S, Ueda S, Isoda M. Histologic changes in the skin of
hairless mice following peeling with salicylic acid. Arch Dermatol.

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

2000;136:1360-5.
16. Leveque JL, Saint-Leger D. Salicylic acid and derivatives. In:
Leyden JJ, Rawlings AV, editors. Skin moisturization. New York:
Marcel Dekker; 2002. p. 353-64.
17. Burkhart CN, Katz KA. Other topical medications. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatologic in general medicine. 7th Ed.
New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2130-7.
18. Baden HP, Baden LA. Keratolytic agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitz Patrick Dermatology in General. 5th Ed. New York: Mc Graw
Hill medical. 2003; p. 2352-5.
19. Djuanda A. Pengobatan topikal dalam dermatologi. Maj Kedok
Indon. 1994;(Suppl):S15-6.
20. Draelos ZD. Salicylic acid in the dermatologic armentarium.
Cosmet Derm. 1997;10(suppl 4):S7-8.
21. Bashir SJ, Dreher F, Chew AL, Zhai H, Levin C, Stern R, et al.
Cutaneous bioassay of salicylic acid as a keratolytic. Int J Pharmaceutics. 2005;292:187-94.
22. Lim HW. Photoprotection and sun-protective agents. In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatologic in general medicine. 7th Ed.
New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2137-41.
23. Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rooks textbook of dermatology. Singapore:
Wiley Blackwell; 2010. p. 1-52.
24. Lebwohl M. The role of salicylic acid in the treatment of psoriasis. Int J Dermatol. 1999;38:16-24.
25. Tiplika GS, Salavastru CM. Mometasone furoate 0.1% and salicylic acid 5% vs. mometasone furoate 0.1% as sequential local
therapy in psoriasis vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venerol.
2009;23:905-12.
26. Tosti A, Piraccini BM, Cameli N, Kokely F, Plozzer C, Cannata
GE, et al. Calcipotriol ointment in nail psoriasis: a controlled
double-blind comparison with betamethasone dipropionate and
salicylic acid. Br J Dermatol. 1998;139:655-9.
27. Brodell RT, Cooper KD. Therapeutic shampoos. In: Wolverton
SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 719-29.
28. Rubeiz N, Kibbi AG. Management of ichtiosis in infants and
children. Clin Dermatol. 2003;21:3258.
29. Gibbs S, Harvey S. Topical treatments for cutaneous warts.
[Cochrane review] In: The Cochrane Library, issue 1, 2009.
Wiley Intersience.
30. Micali G, DallOglio F, Nasca MR, Tedeschi A. Management of
cutaneous warts: An evidence-based approach. J Clin Dermatol.
2004;5:311-7.
31. Bruggink SC, Gussekloo J, Berger MY, Zaaijer K, Assendelft WJJ,
de Wall MWM, et al. Cryotherapy with liquid nitrogen versus
topical salicylic acid application for cutaneous warts in primary
care:randomized controlled trial. Canad Med Associat J.
2010;182:1624-30.
32. Leslie KS, Dootson G, Sterling C. Topical salicylic acid gel as a
treatment for molluscum contagiosum in children. J Dermatol
Treatment. 2005;16:336-40.
33. Ohkuma M. Molluscum contagiosum treated with iodine solution
and salicylic acid plaster. Pharmacol and therapeutics.
1990;29:6:443-5.
34. Akhavan A, Bershad S. Topical acne drugs: review of clinical
properties, systemic exposure, and safety. Am J Clin Dermatol.
2003;4:473-92.
35. Garg KV, Sinha S, Sarkar R. Glycolic acid peels versus salicylic
Mandelic acid peels in active acne vulgaris and post-acne scarring
and hyperpigmentation: a comparative study. Dermatol Surg.
2009;35:59-65
36. Dainichi T, Ueda S, Imayama S, Furue M. Excellent clinical
results with a new preparation for chemical peeling in acne: 30%
salicylic acid in polyethylene glycol vehicle. Dermatol Surg.
283

Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi


2008;34:8919.
37. Bole WP, Shalita AR. Effective over the counter acne treatments. J S Cutan Dermatol. 2008;170-6.
38. Sharquie K, Al Tikreety MM, Al Mashhadani SA. Lactic acid
chemical peels as a new therapeutic modality in melasma in
comparison to Jessners solution chemical peels. Dermatol Surg.
2006;32:142936.
39. Bergstrom KG, Strober BE. Principles of topical therapy. In:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, editors. Fitzpatricks dermatologic in general medicine. 7th
Ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2091-6.
40. Aronson PJ. Systemic adverse effects due to topical medications.
In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug
therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 803-12.
41. Belsito D, Bickers D, Bruze M, Calow P, Greim H, Hanifin JM, et
al. A toxicologic and dermatologic assessment of salicylates when
used as fragrance ingredients. J Food and Chemical Toxicol.
2007;45:(Suppl.)318-61.

284

42. Fox LP, Merk HF, Bickers. Dermatological pharmacology. In:


Brunton LL, editor. Goodman & Gilmans The pharmacological
basis of therapeutics. New York: Pergamon Press; 2005. p. 1679706.
43. Tiong WHC, Kelly EJ. Salicylic acid burn induced by wart
remover:A report of two cases. Burns. 2009;35:139-40.
44. Goh CL, Ng SK. Contact allergy to salicylic acid. Contact Dermatitis. 1986;14:114.
45. Rudzki E, Koslowska A. Sensitivity to salicylic acid. Contact
Dermatitis. 1976;178-82.
46. Hindson C. Contact eczema from methyl salicylate reproduced
by oral aspirin. Contact Dermatitis. 1977;3:348-9.
47. Physician desk reference. 56th Ed. New York: Medical Economics Company Inc; 2002.
48. Thau P, Tech P. Controlled delivery and enhancement of topical
activity of salicylic acid. In: Rosen MR, editor. Delivery systems
handbook for personal care and cosmetic product. New York:
William Andrew; 2005. p. 873-90.

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012

You might also like