Professional Documents
Culture Documents
Claudia Fetricia
102012318
D9
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email: f3tricia@yahoo.com
Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DHF) pada saat ini merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Oleh menteri Kesehatan Republik Indonesia.
DHF telah ditetapkan menjadi salah satu penyakit menular yang harus dilaporkan
dalam wakti satu kali dua puluh empat jam. Hal ini disebabkan karena angka
kematian yang tinggi, angka kesakitan cenderung meningkat dari tahun ke tahun,
daerah yang terjangkit semakin meluas khususnya di daerah perkotaan yang padat dan
adanya beberapa Kejadian Luar Biasa (KLB) yang berdampak pada bidang
pariwisata.
Penyakit DHF dalam dua puluh tahun terakhir merupakan penyakit yang
menimbulkan keresahan masyarakat karena menyerang terutama pada anak-anak dan
terjadinya kematian yang mendadak sesudah demam tinggi yang timbul mendadak,
serta menyerang beberapa anggota keluarga secara bersamaan atau selang beberapa
hari dan penyakit ini sulit diramalkan kesudahannya.
Penyebab penyakit DHF adalah virus dengue yang termasuk dalam group B
arbovirus. Sebelum pertengahan abad ke-20 virus dengue dikenal hanya menyebabkan
penyakit demam dengue (demam klasik) dengan gejala utama yaitu demam tinggi,
nyeri pada sendi atau anggota tubuh, kadang-kadang timbul ruam makulo-papular dan
sembuh dalam waktu 5 hari dengan atau tanpa pengobatan. DHF pertama kali
dilaporkan di Manila pada tahun 1953. Pada saat wabah menyerang anak-anak dengan
tanda demam tinggi disertai perdarahan dan shock. Tahun-tahun berikutnya menyebar
ke Asia Tenggara dan ke Kepulauan Pasific.
Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang banyak terdapat di perkotaan
dan Aedes Albopictus (transmitan co-vector) di perdesaan.
Penularan DHF berkaitan dengan musim penghujan khususnya pada permulaan dan
pada akhir musim penghujan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypty di luar rumah sehingga populasi nyamuk Aedes
aegypti yang meningkat.
A. Epidemiologi
1. Agent (penyebab penyakit)
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga Flaviviridae. Virus
yang berukuran kecil (50 nm) ini mengandung RNA berantai tunggal. Virionnya
yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat
terinfeksi dan kemungkinan merupakan pejamu reservoir walaupun signifikansi
epidemiologik dari observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat
tumbuh dengan baik pada kultur jaringan serangga dan sel mamalia setelah
diadaptasikan.1
Infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko untuk DHF, termasuk juga
antibodi-pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan faktor risiko untuk terkena
DHF, tidak semua tipe liar virus berpotensi menimbulkan epidemi atau
mengakibatkan kasus yang parah. Terakhir, usia pasien dan genetik pejamu juga
termasuk faktor risiko terhadap DHF. Walaupun DHF dapat dan memang menyerang
orang dewasa, kebanyakan kasusnya ditemukan pada anak-anak yang berusia kurang
dari 15 tahun, dan bukti tidak langsung memperlihatkan bahwa beberapa kelompok di
masyarakat mungkin justru lebih rentan terhadap sindrom pecahnya pembuluh darah
daripada kelompok lainnya.1
Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat
yang lainnya. Karena penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu pusat sumber
penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk.
Semakin tinggi mobilitas, semakin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan. Hal ini berkaitan engan pengetahuan. 1
4. Transmisi
Nyamuk Aedes (Stegomyia) betina biasanya akan terinfeksi virus dengue saat
menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam (viremik) akut
penyakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar air liur
nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan ketika nyamuk yang infektif
menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain. Setelah masa
inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari), sering kali terjadi
awitan mendadak penyakit ini, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mialgia,
hilang nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala nonspesifik lain termasuk mual,
muntah, dan ruam kulit.1
Viraemia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum awitan gejala dan akan
berlangsung selama rata-rata 5 hari setelah awitan penyakit. Ini merupakan masa yang
sangat kritis karena pasien berada dalam tahap yag paling infektif untuk nyamuk
vektor ini dan akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika pasien
tidak dilindungi dari gigitan nyamuk.1
Ada bukti yang memperlhatkan bahwa penularan vertikal virus dengue dari
nyamuk betina yang terinfeksi kepada anak-anaknya ditemukan terjadi pada beberapa
spesies termasuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus. ini mungkin merupakan mekanisme
yang penting bagi virus untuk bisa bertahan, tetapi dalam kejadian epidemi
tampaknya tidak terlalu penting.1
5. Lingkungan
Lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DHF adalah tempat
penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes
aegypti, ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk dan virus DHF. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari
1.000 meter diatas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti, curah
hujan pada musim hujan yang di atas normal merupakan tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air.
Telur-telur yang belum sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan
kelembaban udara juga akan meningkat, yang akan berpengaruh bagi kelangsungan
hidup nyamuk dewasa, dimana selama musim hujan, jangka waktu hidup nyamuk
lebih lama dan berisiko penularan virus lebih besar.1
B. Managemen Program Pemberantasan DHF
I.
II.
III.
Perencanaan
Perencanaan suatu program bisa kita pakai analisis situasi berdasarkan data
sebelumnya seperti penanggulangan DHF, pengobatan DHF kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam upaya pencegahan DHF. Jika program terdahulu
berhasil, program tersebut bisa kita pakai untuk acuan kita untuk merencanakan
program sekarang yang sedang direncanakan. Dalam membuat perencanaan
diperlukan dokumen yang menjadi acuan dalam pembuatan perencanaan yang
berkaitan dengan penanggulangan DHF.2 Selain itu perencanaan anggaran perlu
diperhitungkan secara cermat demi kelancaran progam tersebut. Dalam
menyusun perencanaan diperlukan data-data dari puskesmas seperti:
a) Jumlah kasus sebelumnya
b) Data jumlah penderita
c) Jumlah penduduk
d) Besar wilayah
e) Jumlah rumah
f) Jumlah tenaga yang ada
g) Sarana yang ada
h) Data situasi DHF sebelumnya
i) Angka Bebas Jentik
Rendahnya angka bebas jentik sangat berhubungan erat dengan peningkatan
kasus DHF dan diharapkan dengan meningkatnya cakupan Angka Bebas
Jentik dapat menekan insiden Penyakit DHF
Pengorganisasi
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengorganisasian petugas yang terlibat
dalam penanggulangan DHF adalah dengan cara menyebarkan informasi terkait
dengan kasus. Setelah informasi disebarkan maka masing-masing petugas
kelurahan akan langsung turun ke lapangan. Informasi bisa didapat dari warga
yang melapor ataupun media massa.
Untuk melaksanakan kegiatan di lapangan, semua Puskesmas Kelurahan
memiliki koordinator DBD, petugas jumanti di setiap RT, dan petugas fogging
tiap wilayah.
Petugas kecamatan tinggal mengkoordinir saja. Petugas tersebut akan
melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang sudah ditetapkan dari awal.
Contoh: petugas fogging, kalau penyelidikan epidemiologi positif maka segera
dilakukan fogging.3
Pelaksanaan
a) Penyelidikan epidemiologi (PE)
Tenaga untuk melaksanakan Penyelidikan epidemiologi adalah petugas DBD
yang dibantu oleh jumantik serta masyarakat. Setelah data kasus diterima
kemudian diinformasikan ke kelurahan sesuai dengan alamat kasus, petugas
puskesmas kelurahan yang akan melaksanakan PE. PE dilakukan jika ada
kasus baik yang bersumber dari internet maupun yang langsung dilaporkan
Manipulasi lingkungan
Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan sarana
fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempat-tempat
perindukan atau tempat istirahat serangga dan bersifat tidak
permanen. Contohnya adalah melancarkan got yang tersumbat
2.
Pengendalian kimia
Pada pendekatan ini dilakukan penggunaan beberapa golongan
insektisida. Pengendalian kimia untuk DHF dapat dilaksanakan dengan
menggunakan mineral oils, paris green, insektisida sintetis seperti
chlorpyrofos, abate, dan malathion. Kebaikan cara pengendalian ini ialah
dapat dilakukan dengan segera, meliputi daerah yang luas sehingga
dapat menekan populasi serangga dalam waktu singkat. Penggunaan
insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada
lingkungan serta kematian beberapa pemangsa dan organisme yang
bukan target. Selain itu, pengendalian kimia dengan cara penyemprotan
banyak ditolak oleh penduduk setempat. Hal ini disebabkan karena
khawatir binatang peliharaaan mati.
3.
Pengendalian fisik
Pada cara pengendalian ini digunakan alat fisika untuk pemanasan,
pembekuan, dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angin,
penyinaran yang dapat membunuh atau mengganggu kehidupan
serangga. Di Indonesia, cara ini dapat dilihat di hotel, restoran, dan pasar
swalayan yang memasang hembusan angin keras di pintu masuk.
Memasang lampu kuning dapat menghalau nyamuk.
4.
Pengendalian biologi
Pengendalian biologi bertujuan untuk mengurangi pencemaran
lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan
beracun.7
Pengendalian ini dilakukan dengan memperbanyak pemangsa dan
parasit sebagai musuh alami bagi serangga. Beberapa parasit yang
bertujuan mengendalikan larva yaitu:
Nematoda (Romanomersis iyengari merupakan cacing yang dapat
menembus badan larva nyamuk dan hidup sebagai parasit hingga
larva mati dan mencari hospes baru)
Bakteri
Protozoa (Pleistophora culicis dan Nosema algerae dapat menjadi
parasit larva nyamuk)
Jamur (Tolypocladium cylindrosporum dan Culicinomyces
clavisporus yang bertujuan untuk pengendalian larva Anopheles,
Aedes, Culex, Simulium, dan Culicoides)
Virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk.
Arthopoda juga dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa.
Predator atau pemangsa yang baik untuk pengendalian larva nyamuk
terdiri dari:
Ikan
Beberapa jenis ikan yang cocok untuk pengendalian larva ialah:
Panchax panchax (ikan kepala timah)
Lebistus reticularis ( Guppy = water ceto)
Gambusia affinis (ikan gabus)
5.
Pengendalian genetik
Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan yaitu:
Steril male technique
Perusakan DNA di dalam kromosom tanpa mengganggu proses
pematangan dengan zat kimia (preparat TPA atau dengan radiasi
Cobalt 60, antimitotik, antimetabolit, dan bazarone) atau cara
radiasi, Setelah dilakukan perusakan DNA, serangga tersebut
dilepaskan di aam bebas, tempat populasi serangga bahaya tadi.
Citoplasmic incompatibility
Dilakukan dengan cara mengawinkan antar strain nyamuk sehingga
sitoplasma telur tidak dapat ditembus sperma dan tidak terjadi
pembuahan.
Chorosomal translocation
Radiasi yang dapat mengubah letak susunan dalam kromosom.
Hybrid strerility
Mengawinkan serangga antar spesies terdekat akan mendapatkan
keturunan jantan yang steril.
Untuk pengendalian antilarva dapat kita terapkan 3 pengendalian yaitu
pengendalian lingkungan, pengendalian kimia, dan pengendalian biologi.
Dalam upaya pengendalian terhadap nyamuk dewasa, beberapa merode di
bawah ini dapat dilakukan yaitu:
1.
2.
Space spray
Penyemprotan ruangan ini dapat menggunakan ekstrak pyrethrum
maupun residual insektisida.
3.
Pengendalian genetik
Cara-cara untuk melakukan pengendalian genetik di antaranya steril
male technique, cytoplasmic incompatibility, chromosom translocation,
dan sex distortion.
Untuk pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan tindakan-tindakan
berikut ini yaitu:
1. Pemasangan mosquito net (kelambu)
2. Pelaksanaan screening
3. Penggunaan repellent (kimia)
Repellent (penolak nyamuk) yang digunakan mengandung zat kimia
seperti diethyltoluamide, indalon, atau dimethyl karbote.
Pengendalian vektor DHF adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk
menekan kepadatan nyamuk dan jentik nyamuk yang berperan sebagai
vektor penyakit DHF di rumah atau bangunan yang meliputi perumahan,
perkantoran, tempat umum, sekolah, gudang, dan sebagainya.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Vektor demam berdarah dengue khususnya Aedes
aegyti sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di
tempat yang berisi air bersih dan jarak terbang maksimal nyamuk ini hanya
100 meter. Tetapi karena vektor tersebut tersebar luas maka untuk
keberhasilan pemberantasan perlu dilakukan total coverage (meliputi seluruh
wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.
Langkah-langkah kegiatan berhubungan dengan pengendalian vektor demam
berdarah dengue yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu:8
1. Survalensi tempat perindukan vektor
Pendataan rumah/bangunan di wilayah kerja
Pemeriksaan tempat perindukan vektor pada rumah atau bangunan
Pengolahan data hasil pemeriksaan tempat perindukan vektor
Rekomendasi kepada petugas kesehatan dan sektor terkait
Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait
Penyebarluasan (sosialisasi informasi) hasil survalensi atau
pengamatan
2. Pengendalian vektor
Investigasi rumah atau bangunan dan lingkungan yang berpotensi
jentik di wilayah kerja melalui survey lingkungan
3.
4.
5.
6.
c)
f)
Melakukan fogging
Melakukan fogging dengan malanthion untuk membunuh nyamuk dewasa
setidak-tidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari. Pengasapan hanya
dilakukan bila di lokasi ditemukan 3 kasus positif DHF dengan radius 100
meter (40 rumah) dan bila di daerah tersebut ditemukan banyak jentik
nyamuk DHF.9 Misalnya di daerah yang terkena wabah dan di daerah endemi
DHF yang indeks kepadatan nyamuknya relatif tinggi dengan cara
pemantauan kepadatan populasi nyamuk. Pengukuran kepadatan populasi
nyamuk yang belum dewasa (stadium jentik) dilakukan dengan cara
pemeriksaan tempat-tempat perindukan di dalam atau di luar rumah dari 100
rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan
Pemantauan dan pelaksanaan PSN di sekolah
Pemantauan dan pelaksanaan PSN di sekolah dilakukan oleh petugas UKS.
Petugas UKS akan membuat kartu dan mereka diberikan tugas untuk
memeriksa jentik di rumah masing-masing seminggu sekali. Apabila terdapat
jentik di rumah, mereka harus menulisnya di kartu yang dibagikan. Kartu
tersebut dikumpulkan kepada petugas UKS kemudian dibuat laporan kepada
puskesmas setiap 3 bulan sekali
IV.
Pengawasan
Metode pengawasan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a) Pengawasan langsung (dilakukan ketika ada kegiatan penanggulangan DHF).
Waktu pengawasan dilaksanakan ketika kegiatan berlangsung
b) Pengawasan tidak langsung (melalui laporan kegiatan)
Waktu pengawasan dilakukan setiap bulannya dari hasil laporan kegiatan.
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan membuat mini lokakarya. Mini
lokakarya ini dilaksanakan dengan mempresentasikan semua hasil kegiatan
Puskesmas. Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan setiap bulan, 3 bulan sekali,
atau 6 bulan sekali. Evaluasi bertujuan untuk membandingkan hasil yang ada
dengan indikator yang ingin dicapai saat perencanaan.
V.
Abatisasi
Teknik abatisasi ini lebih mudah dilaksanakan daripada fogging. Tujuannya agar
kalau sampai telur nyamuk menetas, jentik nyamuk tidak akan menjadi nyamuk
dewasa.
Semua TPA (Tempat Penampungan Air) yang ditemukan jentik Aedes aegypti
ditaburi bubuk abate seduai dengan dosis 1 sendok makanan penuh (10 gram)
abate (temephos) atau altosid untuk 100 liter air.1,8,9 Bubuk abate dapat diperoleh
di Puskesmas atau di apotik.
Bubuk abate juga diberikan pada bak mandi. Konsekuensinya adalah kita jangan
menyikat bak/TPA tersebut selama kurang lebih 3 bulan. Hal ini disebabkan
lapisan abate yang sudah terbentuk di dinding yang berpotensi membunuh jentik
nyamuk ini mampu bertahan sampai 3 bulan. Jika dinding TPA atau bak mandi
disikat sebelum 3 bulan maka lapisan abate tersebut akan terkelupas dan hilang.
Meskipun abatisasi bisa dilakukan pada semua tempat penampungan air namun
secara bijaksana kita bisa melakukan abatisasi pada tempat-tempat yang potensi
nyamuk bersarang dan bertelur yaitu pada tempat-tempat yang jarang digunakan
atau diganti airnya. Untuk tempat-tempat lain bisa dilakukan pengurasan setiap
hari.
C. Problem solving cycle
D. Evaluasi program
1. Penilaian terhadap masukan : pemanfaatan sumber tenaga, dana, dan sarana
10
11
13
1.
2.
3.
4.
5.
14
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
15