You are on page 1of 15

Program Pemberantasan DHF di PKM

Claudia Fetricia
102012318
D9
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email: f3tricia@yahoo.com

Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DHF) pada saat ini merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Oleh menteri Kesehatan Republik Indonesia.
DHF telah ditetapkan menjadi salah satu penyakit menular yang harus dilaporkan
dalam wakti satu kali dua puluh empat jam. Hal ini disebabkan karena angka
kematian yang tinggi, angka kesakitan cenderung meningkat dari tahun ke tahun,
daerah yang terjangkit semakin meluas khususnya di daerah perkotaan yang padat dan
adanya beberapa Kejadian Luar Biasa (KLB) yang berdampak pada bidang
pariwisata.
Penyakit DHF dalam dua puluh tahun terakhir merupakan penyakit yang
menimbulkan keresahan masyarakat karena menyerang terutama pada anak-anak dan
terjadinya kematian yang mendadak sesudah demam tinggi yang timbul mendadak,
serta menyerang beberapa anggota keluarga secara bersamaan atau selang beberapa
hari dan penyakit ini sulit diramalkan kesudahannya.
Penyebab penyakit DHF adalah virus dengue yang termasuk dalam group B
arbovirus. Sebelum pertengahan abad ke-20 virus dengue dikenal hanya menyebabkan
penyakit demam dengue (demam klasik) dengan gejala utama yaitu demam tinggi,
nyeri pada sendi atau anggota tubuh, kadang-kadang timbul ruam makulo-papular dan
sembuh dalam waktu 5 hari dengan atau tanpa pengobatan. DHF pertama kali
dilaporkan di Manila pada tahun 1953. Pada saat wabah menyerang anak-anak dengan
tanda demam tinggi disertai perdarahan dan shock. Tahun-tahun berikutnya menyebar
ke Asia Tenggara dan ke Kepulauan Pasific.
Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang banyak terdapat di perkotaan
dan Aedes Albopictus (transmitan co-vector) di perdesaan.
Penularan DHF berkaitan dengan musim penghujan khususnya pada permulaan dan
pada akhir musim penghujan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypty di luar rumah sehingga populasi nyamuk Aedes
aegypti yang meningkat.
A. Epidemiologi
1. Agent (penyebab penyakit)
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga Flaviviridae. Virus
yang berukuran kecil (50 nm) ini mengandung RNA berantai tunggal. Virionnya

mengandung nukleokapsid berbentuk kubus yang terbungkus selubung lipoprotein.


Genome virus dengue berukuran panjang sekitar 11.000 pasangan basa, dan terdiri
dari tiga gen protein struktural yang mengodekan nukleokapsid atau protein into
(core, C), satu protein terikat membrane (membrane, M), satu protein penyelubung
(envelope, E), dan tujuh gen protein nonstructural (nonstructural, NS). Selubung
glikoprotein berhubungan dengan hemaglutinasi virus dan aktivitas netralisasi.
Virus dengue membentuk kompleks yang khas di dalam genus Flavivirus
berdasarkan karakteristik antigenik dan biologisnya. Ada empat serotipe virus yang
kemudian dinyatakan sebagai DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi yang
terjadi dengan serotipe manapun akan memicu imunitas seumur hidup terhadap
serotype tersebut. Walaupun secara antigentik serupa, keempat serotipe tersebut
cukup berbeda di dalam menghasilkan perlindungan silang selama beberapa bulan
setelah terinfeksi salah satunya.
Virus dengue dari keempat serotipe tersebut juga dihubungkan dengan
kejadian epidemi demam dengue saat bukti yang ditemukan tentang DHF sangat
sedikit atau bahkan tidak ada. Keempat virus serotipe tersebut juga menyebabkan
epidemic DHF yang berkaitan dengan penyakit yang sangat berbahaya dan
mematikan.1
2. Vektor
Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes
(Ae.) dari subgenus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemik yang paling
penting, sementara spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota
kelompok Ae. Scutellaris, dan Ae. (Finlaya) niveus juga diputuskan sebagai vektor
sekunder. Semua spesies tersebut, kecuali Ae. aegypti memiliki wilayah
penyebarannya sendiri, walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk
virus dengue, epidemi yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh Ae.
aegypti. 1

Gambar 1. Proses perkembangan biakan Aedes aegypti


3. Host (Pejamu)
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih
rendah. Manusia merupakan reservoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian

yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat
terinfeksi dan kemungkinan merupakan pejamu reservoir walaupun signifikansi
epidemiologik dari observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat
tumbuh dengan baik pada kultur jaringan serangga dan sel mamalia setelah
diadaptasikan.1
Infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko untuk DHF, termasuk juga
antibodi-pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan faktor risiko untuk terkena
DHF, tidak semua tipe liar virus berpotensi menimbulkan epidemi atau
mengakibatkan kasus yang parah. Terakhir, usia pasien dan genetik pejamu juga
termasuk faktor risiko terhadap DHF. Walaupun DHF dapat dan memang menyerang
orang dewasa, kebanyakan kasusnya ditemukan pada anak-anak yang berusia kurang
dari 15 tahun, dan bukti tidak langsung memperlihatkan bahwa beberapa kelompok di
masyarakat mungkin justru lebih rentan terhadap sindrom pecahnya pembuluh darah
daripada kelompok lainnya.1
Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat
yang lainnya. Karena penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu pusat sumber
penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk.
Semakin tinggi mobilitas, semakin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan. Hal ini berkaitan engan pengetahuan. 1
4. Transmisi
Nyamuk Aedes (Stegomyia) betina biasanya akan terinfeksi virus dengue saat
menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam (viremik) akut
penyakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar air liur
nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan ketika nyamuk yang infektif
menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain. Setelah masa
inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari), sering kali terjadi
awitan mendadak penyakit ini, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mialgia,
hilang nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala nonspesifik lain termasuk mual,
muntah, dan ruam kulit.1
Viraemia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum awitan gejala dan akan
berlangsung selama rata-rata 5 hari setelah awitan penyakit. Ini merupakan masa yang
sangat kritis karena pasien berada dalam tahap yag paling infektif untuk nyamuk
vektor ini dan akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika pasien
tidak dilindungi dari gigitan nyamuk.1
Ada bukti yang memperlhatkan bahwa penularan vertikal virus dengue dari
nyamuk betina yang terinfeksi kepada anak-anaknya ditemukan terjadi pada beberapa
spesies termasuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus. ini mungkin merupakan mekanisme
yang penting bagi virus untuk bisa bertahan, tetapi dalam kejadian epidemi
tampaknya tidak terlalu penting.1
5. Lingkungan
Lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DHF adalah tempat
penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes
aegypti, ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk dan virus DHF. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari
1.000 meter diatas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti, curah
hujan pada musim hujan yang di atas normal merupakan tempat perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air.
Telur-telur yang belum sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan
kelembaban udara juga akan meningkat, yang akan berpengaruh bagi kelangsungan
hidup nyamuk dewasa, dimana selama musim hujan, jangka waktu hidup nyamuk
lebih lama dan berisiko penularan virus lebih besar.1
B. Managemen Program Pemberantasan DHF

I.

II.

III.

Perencanaan
Perencanaan suatu program bisa kita pakai analisis situasi berdasarkan data
sebelumnya seperti penanggulangan DHF, pengobatan DHF kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam upaya pencegahan DHF. Jika program terdahulu
berhasil, program tersebut bisa kita pakai untuk acuan kita untuk merencanakan
program sekarang yang sedang direncanakan. Dalam membuat perencanaan
diperlukan dokumen yang menjadi acuan dalam pembuatan perencanaan yang
berkaitan dengan penanggulangan DHF.2 Selain itu perencanaan anggaran perlu
diperhitungkan secara cermat demi kelancaran progam tersebut. Dalam
menyusun perencanaan diperlukan data-data dari puskesmas seperti:
a) Jumlah kasus sebelumnya
b) Data jumlah penderita
c) Jumlah penduduk
d) Besar wilayah
e) Jumlah rumah
f) Jumlah tenaga yang ada
g) Sarana yang ada
h) Data situasi DHF sebelumnya
i) Angka Bebas Jentik
Rendahnya angka bebas jentik sangat berhubungan erat dengan peningkatan
kasus DHF dan diharapkan dengan meningkatnya cakupan Angka Bebas
Jentik dapat menekan insiden Penyakit DHF
Pengorganisasi
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengorganisasian petugas yang terlibat
dalam penanggulangan DHF adalah dengan cara menyebarkan informasi terkait
dengan kasus. Setelah informasi disebarkan maka masing-masing petugas
kelurahan akan langsung turun ke lapangan. Informasi bisa didapat dari warga
yang melapor ataupun media massa.
Untuk melaksanakan kegiatan di lapangan, semua Puskesmas Kelurahan
memiliki koordinator DBD, petugas jumanti di setiap RT, dan petugas fogging
tiap wilayah.
Petugas kecamatan tinggal mengkoordinir saja. Petugas tersebut akan
melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang sudah ditetapkan dari awal.
Contoh: petugas fogging, kalau penyelidikan epidemiologi positif maka segera
dilakukan fogging.3
Pelaksanaan
a) Penyelidikan epidemiologi (PE)
Tenaga untuk melaksanakan Penyelidikan epidemiologi adalah petugas DBD
yang dibantu oleh jumantik serta masyarakat. Setelah data kasus diterima
kemudian diinformasikan ke kelurahan sesuai dengan alamat kasus, petugas
puskesmas kelurahan yang akan melaksanakan PE. PE dilakukan jika ada
kasus baik yang bersumber dari internet maupun yang langsung dilaporkan

oleh warga. PE dilaksanakan di rumah pasien DHF dan rumah-rumah di


sekitar penderita DHF. Hasil dari kegiatan PE berupa laporan dapat
mengetahui perlu atau tidaknya fogging di daerah tersebut
b) Pengendalian vektor DHF
Ada beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam pengendalian arthopoda
antara lain:4-6
1. Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol
arthopoda karena hasilnya dapat bersifat permanen serta tidak merusak
keseimbangan alam dan tidak mencemari lingkungan.
Pengendalian lingkungan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
Modifikasi lingkungan
Cara ini berkaitan dengan mengubah sarana fisik dan hasilnya
bersifat permanen. Contoh modifikasi lingkungan yaitu:
Pengaturan sistim irigasi
Penimbunan tempat-tempat yang dapat menampung air dan
tempat-tempat pembuangan sampah
Penimbunan tempat pengaliran air yang menggenang menjadi
kering
Pengubahan rawa menjadi sawah
Pengubahan hutan menjadi pemukiman

Manipulasi lingkungan
Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan sarana
fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempat-tempat
perindukan atau tempat istirahat serangga dan bersifat tidak
permanen. Contohnya adalah melancarkan got yang tersumbat

2.

Pengendalian kimia
Pada pendekatan ini dilakukan penggunaan beberapa golongan
insektisida. Pengendalian kimia untuk DHF dapat dilaksanakan dengan
menggunakan mineral oils, paris green, insektisida sintetis seperti
chlorpyrofos, abate, dan malathion. Kebaikan cara pengendalian ini ialah
dapat dilakukan dengan segera, meliputi daerah yang luas sehingga
dapat menekan populasi serangga dalam waktu singkat. Penggunaan
insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada
lingkungan serta kematian beberapa pemangsa dan organisme yang
bukan target. Selain itu, pengendalian kimia dengan cara penyemprotan
banyak ditolak oleh penduduk setempat. Hal ini disebabkan karena
khawatir binatang peliharaaan mati.

3.

Pengendalian fisik
Pada cara pengendalian ini digunakan alat fisika untuk pemanasan,
pembekuan, dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angin,
penyinaran yang dapat membunuh atau mengganggu kehidupan
serangga. Di Indonesia, cara ini dapat dilihat di hotel, restoran, dan pasar
swalayan yang memasang hembusan angin keras di pintu masuk.
Memasang lampu kuning dapat menghalau nyamuk.

4.

Pengendalian biologi
Pengendalian biologi bertujuan untuk mengurangi pencemaran
lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan
beracun.7
Pengendalian ini dilakukan dengan memperbanyak pemangsa dan
parasit sebagai musuh alami bagi serangga. Beberapa parasit yang
bertujuan mengendalikan larva yaitu:
Nematoda (Romanomersis iyengari merupakan cacing yang dapat
menembus badan larva nyamuk dan hidup sebagai parasit hingga
larva mati dan mencari hospes baru)
Bakteri
Protozoa (Pleistophora culicis dan Nosema algerae dapat menjadi
parasit larva nyamuk)
Jamur (Tolypocladium cylindrosporum dan Culicinomyces
clavisporus yang bertujuan untuk pengendalian larva Anopheles,
Aedes, Culex, Simulium, dan Culicoides)
Virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk.
Arthopoda juga dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa.
Predator atau pemangsa yang baik untuk pengendalian larva nyamuk
terdiri dari:
Ikan
Beberapa jenis ikan yang cocok untuk pengendalian larva ialah:
Panchax panchax (ikan kepala timah)
Lebistus reticularis ( Guppy = water ceto)
Gambusia affinis (ikan gabus)

5.

Pengendalian genetik
Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan yaitu:
Steril male technique
Perusakan DNA di dalam kromosom tanpa mengganggu proses
pematangan dengan zat kimia (preparat TPA atau dengan radiasi
Cobalt 60, antimitotik, antimetabolit, dan bazarone) atau cara
radiasi, Setelah dilakukan perusakan DNA, serangga tersebut
dilepaskan di aam bebas, tempat populasi serangga bahaya tadi.
Citoplasmic incompatibility
Dilakukan dengan cara mengawinkan antar strain nyamuk sehingga
sitoplasma telur tidak dapat ditembus sperma dan tidak terjadi
pembuahan.
Chorosomal translocation
Radiasi yang dapat mengubah letak susunan dalam kromosom.
Hybrid strerility
Mengawinkan serangga antar spesies terdekat akan mendapatkan
keturunan jantan yang steril.
Untuk pengendalian antilarva dapat kita terapkan 3 pengendalian yaitu
pengendalian lingkungan, pengendalian kimia, dan pengendalian biologi.
Dalam upaya pengendalian terhadap nyamuk dewasa, beberapa merode di
bawah ini dapat dilakukan yaitu:

1.

Residual spray yang terdapat pada tabel 1


Tabel 1 Pengendalian nyamuk dengan insektisida
Residual
Dosis
Durasi
spray
g/m2
(bulan)
DDT
1-2
26-12
Lindane
0,5
3
Malathion
2
3

2.

Space spray
Penyemprotan ruangan ini dapat menggunakan ekstrak pyrethrum
maupun residual insektisida.

3.

Pengendalian genetik
Cara-cara untuk melakukan pengendalian genetik di antaranya steril
male technique, cytoplasmic incompatibility, chromosom translocation,
dan sex distortion.
Untuk pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan tindakan-tindakan
berikut ini yaitu:
1. Pemasangan mosquito net (kelambu)
2. Pelaksanaan screening
3. Penggunaan repellent (kimia)
Repellent (penolak nyamuk) yang digunakan mengandung zat kimia
seperti diethyltoluamide, indalon, atau dimethyl karbote.
Pengendalian vektor DHF adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk
menekan kepadatan nyamuk dan jentik nyamuk yang berperan sebagai
vektor penyakit DHF di rumah atau bangunan yang meliputi perumahan,
perkantoran, tempat umum, sekolah, gudang, dan sebagainya.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Vektor demam berdarah dengue khususnya Aedes
aegyti sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di
tempat yang berisi air bersih dan jarak terbang maksimal nyamuk ini hanya
100 meter. Tetapi karena vektor tersebut tersebar luas maka untuk
keberhasilan pemberantasan perlu dilakukan total coverage (meliputi seluruh
wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.
Langkah-langkah kegiatan berhubungan dengan pengendalian vektor demam
berdarah dengue yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu:8
1. Survalensi tempat perindukan vektor
Pendataan rumah/bangunan di wilayah kerja
Pemeriksaan tempat perindukan vektor pada rumah atau bangunan
Pengolahan data hasil pemeriksaan tempat perindukan vektor
Rekomendasi kepada petugas kesehatan dan sektor terkait
Laporan kepada atasan langsung dan sektor terkait
Penyebarluasan (sosialisasi informasi) hasil survalensi atau
pengamatan
2. Pengendalian vektor
Investigasi rumah atau bangunan dan lingkungan yang berpotensi
jentik di wilayah kerja melalui survey lingkungan


3.

4.

5.

6.

Menentukan jenis pengendalian vektor sesuai dengan permasalahan


di wilayah kerja
Melakukan pemberantasan vektor
Penyuluhan dan pergerakan masyarakat
Melakukan identifikasi masalah sesuai dengan sasaran
Menentukan jenis media penyuluhan sesuai dengan sasaran
Menentukan materi penyuluhan pengendalian vektor
Melaksanakan penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam
rangka pengendalian vektor khususnya tempat perindukan
Menghimpun umpan balik yang diberikan oleh sasaran
Sosialisasi, advokasi, dan kemitraan
Melakukan pertemuan untuk sosialisasi terhadap lintas program,
lintas sektor terkait, swasta, dan masyarakat
Menentukan jumlah dan jenis pedoman yang akan disosialisasikan
Melakukan advokasi terhadap pengambilan keputusan di tingkat
kecamatan maupun kabupaten atau kota
Menjalin kerja sama baik terhadap lintas sektor maupun swasta
Hasil sosialisasi dilaporkan kepada atasan langsung dan sektor
terkait
Monitoring dan evaluasi
Pemantauan secara terus menerus terhadap hasil survalensi tempat
perindukan
Pembinaan teknis terhadap pemerintah (dinas kesehatan,
puskesmas), swasta, dan masyarakat
Peningkatan SDM
Menentukan jenis pelatihan yang sesuai dengan peserta yang dilatih
Melaksanakan pelatihan pengendalian vektor

Langkah-langkah kegiatan penanggulangan kasus demam berdarah dengue di


wilayah kerja Puskesmas meliputi penyelidikan epidemiologi (PE) yaitu
pencarian penderita atau tersangka DHF lainnya dan pemeriksaan jentik di
rumah penderita atau tersangka dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter
(di rumah penderita dan 20 rumah sekitarnya) serta tempat-tempat umum
yang diperkirakan menjadi sumber penularan. Dari hasil PE bila ditemukan
penderita DHF lain atau ada jentik dan penderita panas tanpa sebab yang
jelas > 3 orang maka dilakukan penyuluhan mengenai 3M, tindakan
larvadisasi, pengasapan. Apabila tidak ditemukan maka hanya dilakukan
penyuluhan dan kegiatan 3M
Dalam hal pemberantasan vektor, langkah kegiatannya meliputi
pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DHF) dengan
cara 3M dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali tiap desa
atau kelurahan endemis pada 100 rumah atau bangunan yang dipilih secara
acak yang merupakan evaluasi hasil kegiatan PSN DHF yang telah dilakukan
masyarakat. Kegiatan ini harus ditunjang dengan pelaksanaan promosi
kesehatan dalam bentuk penyuluhan tentang penyakit demam berdarah
dengue dan kegiatan evaluasi yang dilakukan secara aktif yaitu melalui
supervisi dan secara pasif melalui laporan hasil kegiatan.9

c)

Pemeriksaan jentik berkala di sekolah dan kelurahan


Pemeriksaan jentik berkala dilaksanakan di sekolah-sekolah dan kelurahankelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas. Pemeriksaan jentik berkala
di sekolah dilakukan oleh petugas UKS yang ada di sekolah-sekolah.
Pemeriksaan jentik berkala di kelurahan dilakukan oleh orang-orang yang
bekerja di kantor kelurahan.

d) Kunjungan rumah penderita DHF


Puskesmas melakukan kunjungan ke rumah-rumah penderita DHF untuk
mengkaji lebih lanjut masalah DHF yang ada di wilayah tersebut seperti
melakukan pemeriksaan terhadap anggota keluarga yang menderita DHF.
Selain itu, petugas kesehatan juga memeriksa 10 rumah yang ada di samping
kiri, samping kanan, depan, dan belakang dari rumah pasien. Apabila
didaptkan kasus di antara rumah yang diperiksa maka puskesmas akan
melakukan fogging di daerah tersebut.
e)

f)

Melakukan fogging
Melakukan fogging dengan malanthion untuk membunuh nyamuk dewasa
setidak-tidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari. Pengasapan hanya
dilakukan bila di lokasi ditemukan 3 kasus positif DHF dengan radius 100
meter (40 rumah) dan bila di daerah tersebut ditemukan banyak jentik
nyamuk DHF.9 Misalnya di daerah yang terkena wabah dan di daerah endemi
DHF yang indeks kepadatan nyamuknya relatif tinggi dengan cara
pemantauan kepadatan populasi nyamuk. Pengukuran kepadatan populasi
nyamuk yang belum dewasa (stadium jentik) dilakukan dengan cara
pemeriksaan tempat-tempat perindukan di dalam atau di luar rumah dari 100
rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan
Pemantauan dan pelaksanaan PSN di sekolah
Pemantauan dan pelaksanaan PSN di sekolah dilakukan oleh petugas UKS.
Petugas UKS akan membuat kartu dan mereka diberikan tugas untuk
memeriksa jentik di rumah masing-masing seminggu sekali. Apabila terdapat
jentik di rumah, mereka harus menulisnya di kartu yang dibagikan. Kartu
tersebut dikumpulkan kepada petugas UKS kemudian dibuat laporan kepada
puskesmas setiap 3 bulan sekali

IV.

Pengawasan
Metode pengawasan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a) Pengawasan langsung (dilakukan ketika ada kegiatan penanggulangan DHF).
Waktu pengawasan dilaksanakan ketika kegiatan berlangsung
b) Pengawasan tidak langsung (melalui laporan kegiatan)
Waktu pengawasan dilakukan setiap bulannya dari hasil laporan kegiatan.
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan membuat mini lokakarya. Mini
lokakarya ini dilaksanakan dengan mempresentasikan semua hasil kegiatan
Puskesmas. Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan setiap bulan, 3 bulan sekali,
atau 6 bulan sekali. Evaluasi bertujuan untuk membandingkan hasil yang ada
dengan indikator yang ingin dicapai saat perencanaan.

V.

Abatisasi
Teknik abatisasi ini lebih mudah dilaksanakan daripada fogging. Tujuannya agar
kalau sampai telur nyamuk menetas, jentik nyamuk tidak akan menjadi nyamuk

dewasa.
Semua TPA (Tempat Penampungan Air) yang ditemukan jentik Aedes aegypti
ditaburi bubuk abate seduai dengan dosis 1 sendok makanan penuh (10 gram)
abate (temephos) atau altosid untuk 100 liter air.1,8,9 Bubuk abate dapat diperoleh
di Puskesmas atau di apotik.
Bubuk abate juga diberikan pada bak mandi. Konsekuensinya adalah kita jangan
menyikat bak/TPA tersebut selama kurang lebih 3 bulan. Hal ini disebabkan
lapisan abate yang sudah terbentuk di dinding yang berpotensi membunuh jentik
nyamuk ini mampu bertahan sampai 3 bulan. Jika dinding TPA atau bak mandi
disikat sebelum 3 bulan maka lapisan abate tersebut akan terkelupas dan hilang.
Meskipun abatisasi bisa dilakukan pada semua tempat penampungan air namun
secara bijaksana kita bisa melakukan abatisasi pada tempat-tempat yang potensi
nyamuk bersarang dan bertelur yaitu pada tempat-tempat yang jarang digunakan
atau diganti airnya. Untuk tempat-tempat lain bisa dilakukan pengurasan setiap
hari.
C. Problem solving cycle

D. Evaluasi program
1. Penilaian terhadap masukan : pemanfaatan sumber tenaga, dana, dan sarana

10

2. Penilaian terhadap proses : mencakup tahap pelaksanaan program


pemberantasan dbd
3. Penilaian terhdapa keluaran: mencakup hasil keberhasilan program
4. Penilaian terhadap dampak: mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari
dilaksanakannya program puskesmas
E. Surveilens DHF
Tujuan sistem surveilans aktif adalah memungkinkan lembaga kesehatan setempat
untuk memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat dan mampu untuk
menyatakan, kapan saja, tempat berlangsungnya penyebaran, kelompok serotipe
virus yang bersirkulasi, dan jenis kesakitan yang berhubungan dengan infeksi
dengue. Untuk mencapai sasaran ini, sistem yang dilakukan harus bersifat aktif
dan mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Jika dikelola dengan
efektif, sistem surveilans semacam ini pasti dapat memberikan peringatan dini
atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit ini.
Rasionalnya adalah jika epidemi dapat diprediksikan, maka epidemi tersebut dapat
dicegah.5
Sistem surveilans tipe proaktif seperti ini harus memiliki sedikitnya tiga
komponen yang memberikan tekanan pada periode antar atau praepidemi, dan
melibatkan jaringan dokter/ klinik jaga, sistem kewaspadaan demam yang
memanfaatkan tenaga kesehatan masyarakat (kader, dan sistem penjagaan rumah
sakit. Komponen dokter/klinik jaga dan sistem kewaspadaan dibutuhkan untuk
memantau sindrom virus nonspesifik di dalam masyarakat. Komponen ini
terutama penting bagi virus dengue karena virus sering kali menetap di pusat kota
wilayah tropis di dalam siklus transmisi yang tersembunyi, sering kali tampak
sebagai sindrom virus nonspesifik. Komponen dokter/klinik jaga dan sistem
kewaspadaan demam juga sangat berguna untuk memantau penyakit infeksius
lainnya. 5
Berlawanan dengan klinik/dokter jaga, yang memerlukan lokasi penjagaan untuk
memantau sindrom virus secara rutin, sistem kewaspadaan terhadap demam
mengandalkan tenaga kesehatan masyarakat, sanitasi dan tenaga bidang lainnya
untuk menjadi waspada terhadap setiap peningkatan kasus demam yang terjadi
dalam komunitas mereka dan untuk melaporkannya ke unit epidemiologi pusat
departemen kesehatan. Investigasi selanjutnya harus dilakukan dengan segera,
tetapi tetap fleksibel. Investigasi ini bisa berupa kontak telepon untuk tindak lanjut
atau investigasi aktif yang dilakukan oleh ahli epidemiologis dengan mengunjungi
wilayah yang terserang untuk mengambil sampel. 5
Komponen rumah sakit indikator harus didesain untuk memantau penyakit
yang parah. Rumah sakit yang digunakan sebagai pusat jaga ini harus melibatkan
semua rumah sakit di komunitas yang menerima pasein dengan penyakit infeksius
parah. Jaringan kerja ini juga harus melibatkan semua dokter ahli penyakit
menular yang biasanya mengajukan kasus semacam ini. Sistem ini dapat
menargetkan semua jenis penyakit menular, tetapi khusus untuk dengue, sistem
harus mencakup semua pasien yang mengalami manifestasi perdarahan,
penyertaan diagonis ensefalitis virus, mengitis aseptik, dan/atau kematian setelah
mengalami gejala awal penyakit virus. 5
Ketiga komponen surveilans ini memerlukan dukungan laboratorium kesehatan
masyarakat yang baik untuk memberikan bantuan diagnostik di bidang virologi,
bakteriologi, dan parasitologi. Laboratorium ini tidak harus dapat menguji semua

11

agens, tetapi harus mengetahui tempat rujukan untuk pengujian spesimen,


misalnya ke badan kerjasama WHO untuk rujukan dan penelitian. 5
Sistem surveilans yang aktif didesain untuk memantau aktivitas penyakit selama
periode antar epidemi tepat sebelum penyebaran semakin meningkat. Jika sendirisendiri, ketiga komponen tersebut tidak cukup sensitif untuk memberikan
peringatan dini yang efektif, tetapi jika digabungkan, ketiga komponen itu sering
kali dapat memprediksikan aktivitas epidemi secara akurat. Perlu ditekankan di
sini bahwa begitu penyebaran epidemi berlangsung, sistem survelians aktif akan
difokuskan kembali pada penyakit yang parah bukan pada sindrom virus. Sistem
survelians harus didesain dan diadaptasikan sesuai wilayah yang akan menerapkan
sistem ini. 5
F. Preventif
a) Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
PSN yaitu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam membasmi jentik
nyamuk penularan demam berdarah dengan cara 3M Plus yaitu:
a) Menguras secara teratur (seminggu sekali), mengganti air secara teratur tiap
kurang dari 1 minggu pada vas bunga, tempat minum, atau menaburkan
abate ke TPA untuk mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur.
b) Menutup rapat-rapat tempat perkembangbiakan nyamuk penular
Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokan
sebagai berikut:7
1. Tempat penampungan air (TPA)
Tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari seperti
tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain
2. Bukan tempat penampungan air (non TPA)
Tempat-tempat menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain),
barang bekas (kaleng, botol, ban, pecahan gelas, dan lain-lain), vas
bunga, perangkat semut, penampung air dispenser, dan lain-lain
3. Tempat penampungan air alamiah
Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit
kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain.
Mekanisme penularan penyakit melalui air dibagi menjadi 4 macam yaitu:8
1. Waterborne mechanism
Di dalam mekanisme ini, kuman patogen dalam air yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia ditularkan kepada manusia melalui
mulut atau sistem pencernaan seperti kolera, tifoid, hepatitis viral,
disentri basiler, dan poliomielitis.
2. Waterwashed mechanism
Mekanisme penularan semacam ini berkaitan dengan kebersihan umum
dan perseorangan. Pada mekanisme ini terdapat tiga cara penularan
yaitu:
Infeksi melalui alat pencernaan seperti diare pada anak-anak
Infeksi kulit dan mata seperti skabies dan trachoma
Penularan melalui binatang pengerat seperti penyakit leptospirosis
3. Water-based mechanism
Penyakit ini ditularkan dengan mekanisme ini memiliki agens penyebab
yang menjalani sebagian siklus hidupnya di dalam tubuh vektor atau
12

sebagai intermediate host yang hidup di dalam air seperti skistosomiasis


dan penyakit akibat Dracunculus medinensis.
4. Water-related insect vector mechanism
Agen penyakit yang ditularkan melalui gigitan serangga yang
berkembang biak di dalam air seperti filariasis, dengue, malaria, dan
yellow fever.
c) Mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik, dan barangbarang lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi
sarang nyamuk
d) Plus adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk
dengan cara:9
1. Proteksi diri untuk mencegah terjadinya gigitan nyamuk Aedes Aegypti
Tidak seperti nyamuk yang lain, nyamuk ini menggigit pada siang hari.
Untuk mencegah hal ini bisa menggunakan salep (repellent) atau minyak
yang dioles di bagian tubuh yang terbuka. Selain menggunakan salep
yang diperuntukkan mencegah gigitan nyamuk, kita juga menggunakan
minyak sereh.
Cara lain adalah dengan menggunakan kawat nyamuk (kawat kasa) di
lubang-lubang angin di atas pintu-pintu dan jendela rumah agar nyamuk
tidak bisa masuk ke dalam rumah kita. Selain itu dapat dilakukan dengan
cara tidur dengan kelambu dan penyemprotan dinding rumah dengan
insektisida malathion.
2. Jangan mempunyai kebiasaan meletakkan pakaian di gantungan yang
terbuka seperti di belakang pintu kamar. Lipatlah pakaian atau kain yang
bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap pada pakaian
atau kain tersebut
3. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau
adukan semen
4. Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk
5. Mengusir nyamuk dengan obat nyamuk
G. Promosi Kesehatan
a) Avokasi
Advokasi berkaitan erat dengan pemerintahan. Jika terjadi wabah penyakit dan
tidak bisa diatasi biasanya dapat bekerja sama dengan pemerintahan seperti
kecamatan.
b) Mediasi
Selain melalui instansi pemerintah, untuk menyukseskan program
penangggulangan DHF kita memerlukan mediasi oleh tokoh-tokoh yang
diseganin di daerah tersebut seperti pemuka agama, kepala suku
c) Edukasi
Penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya upaya pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) dipadukan dengan penyuluhan kebersihan lingkungan lainnya
seperti sampah, pembuangan air limbah, dan lainnya yang dilakukan secara
intensif, berkesinambungan, dan dengan sasaran yang luas baik melalui media
massa (TV, radio, surat kabar, internet) dan melalui penyuluhan dengan
memberikan ceramah kepada kelompok-kelompok masyarakat (Posyandu dan
Usaha Kesehatan Sekolah).
Selain itu penyuluhan juga dilakukan untuk pertolongan pertama terhadap
penderita DHF seperti:

13

1.
2.
3.
4.

5.

Beri minum sebanyak mungkin


Kompres agar panasnya turun
Berikan obat penurun panas
Segera bawa ke Puskesmas atau rumah sakit bila:
Tidak bisa minum, muntah terus menerus
Bertambah parah
Kesadaran menurun dan hilang kesadaran
Kejang
Nyeri ulu hati dan gelisah
Ekstremitas atas dan bawah teraba dingin
Pendarahan hidung dan gusi
Muntah dan BAB berwarna hitam
Segera lapor ke RT atau RW atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila
ada anggota masyarakat yang terkena DHF

H. Kejadian Luar Biasa


Tujuh kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Permenkes 1501 tahun 2010
yaitu:1
a) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah
b) Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama tiga kurun waktu dalam
jam, hari, atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
c) Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitnya
d) Jumlah penderita baru dalam periode waktu satu bulan menunjukan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan
pada tahun sebelumnya
e) Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian sakit
per bulan pada tahun sebelumnya
f) Angka kematian kasus suatu penyakit (Case fatality rate) dalam satu kurun waktu
tertentu menunjukan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan dengan angka
kematian suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
g) Angka proporsi penyakit penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih daripada satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang
sama
Kesimpulan
Demam berdarah dengue (DBD) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan hemoragik.
Menyadari rumitnya hakikat dari perilaku, maka perlu dilaksanakan strategi
promosi kesehatan yang terdiri dari (1) pemberdayaan, yang didukung oleh (2) bina
suasana dan (3) advokasi, serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan.
Dimana program kerja puskesmas terdiri dari pemberantasan nyamuk dewasa,
pemberantasan jentik nyamuk, dengan melakukan 3 M (Menguras, Menutup, dan
Mengubur), abatisasi dan penyuluhan bagi masyarakat.

14

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Sulistyowati LS. Promosi kesehatan di daerah bermasalah kesehatan, panduan


bagi petugas kesehatan di puskesmas. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2011.h.88-92.
Djaenudin N, Ridad A. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: EGC; 2009.p.316-7.
Anies. Manajemen berbasis lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo;
2006.p.61-9.
Okti H. Demam berdarah dengue. Edisi ke-5. Yogyakarta: Kanisius; 2008.p.8.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Parasitologi kedokteran. Dalam:
Haedojo, Zulhasril, penyunting. Pengendalian vektor. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2009.p.275-8.
Indonesia Departemen Kesehatan. Pedoman kerja puskesmas. Jilid ke-3. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2004.p. G-24-5.
Budiman C. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: EGC; 2009.p.34-6, 41-2,
165-6.
Genis G. Apa yang dokter anda tidak katakan tentang demam berdarah.
Yogyakarta: Bentang Pustaka; 2009.p.14-5.
Nyoman K. Manual pemberantasan penyakit menular. Edisi ke-7. Jakarta:
Departemen Kesehatan; 2000.p.200-5.

15

You might also like