You are on page 1of 19

BAB I

Pendahuluan
Istilah somatoform berasal dari bahasa yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini
merupakan kelompok besar berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan gejala
adalah tubuh. Revisi teks edisi ke empat the Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM-IV-TR) memasukkan lima gangguan somatoform spesifik : (1) gangguan
somatisasi, yang di tandai dengan banyak keluhan fisik yang mengenai banyak system organ
(2) gangguan konversi, ditandai dengan satu atau dua keluhan neurologis (3) hipokondriasis,
ditandai dengan lebih sedikit focus gejala daripada keyakinan pasien bahwa mereka memiliki
keyakinan suatu penyakit spesifik (4) gangguan dismorfik tubuh, ditandai dengan keyakinan
yang salah satu atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh cacat dan (5)
gangguan nyeri, ditandai dengan gejala nyeri yang hanya disebabkan, atau secara signifikan
diperberat factor psikologis. DSM-IV-TR juga memiliki dua kategori diagnostic sisa
somatoform (1) gangguan somatoform yang tidak terperinci, mencaput gangguan somatorom
yang tidak dapat dijelaskan, telah ada selama 6 bulan atau lebih (2) gangguan somatoform
yang tidak tergolongkan, merupakan kategori untuk keadaan yang tidak memenuhi diagnostic
gangguan somatofom yang telah disebut diatas.1,2
Gangguan ini harus dipertimbangkan awal dalam evaluasi pasien dengan gejala yang tidak
jelas untuk mencegah intervensi yang tidak perlu dan pengujian. Keberhasilan pengobatan
dapat ditingkatkan dengan membahas kemungkinan gangguan somatoform dengan pasien di
awal proses evaluasi, membatasi perawatan diagnostik dan medis yang tidak perlu, dengan
fokus pada pengelolaan gangguan daripada mengobati nya, menggunakan obat-obatan yang
tepat dan psikoterapi untuk komorbiditas, menjaga hubungan psychoeducational dan
kolaboratif dengan pasien, dan pasien mengacu pada profesional kesehatan mental saat yang
tepat. 1,2

BAB II
1

ISI
2.1Gangguan Somatisasi
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan ditandai
oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab
kerusakan fisik. Pada gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang
mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat
ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan
emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.1,2
Gangguan somatisasi ditandai banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan dengan
adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan ini biasanya dimulai
sebelumnya usia 30, dapat berlanjut hingga tahnan, dan dikenali menurut DSM-IV-TR
sebagai kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis
Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena banyaknya
berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan banyaknya
pasien organ yang terlibat ( contohnya gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini
bersifat kronis dan disertai pendertitaan psikologis yang signifikan, hendayafungsi sosial
dan pekerjaan, serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. 1,2

2.1.1 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkirakan 0,1
sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakni bahwa. Angka sebenarnya dapat
lebih mendekati 0,5 persen. Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya melebihi
laki-laki 5 sampai 20 kali tetapi perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya tendensi dini
tidak mendiagnosis gangguan ini adalah gangguan yang lazim ditemukan. Dengan rasio
perempuan dan laki-laki 5 banding 1, prevalensi seumur hidup gangguan somatisas pada
perempuan di populasi umum mungkin 1 dan 2 persen. Diantaranya pasien yang ditemui di
tempat praktek dokter umum dan dokter keluarga, sebanyak 5 sampai 10 persen dapat
memenuhi kriteria diagnostik gangguan somatisasi. Gangguan somatisasi dimulai 30 tahun
dan paling sering di mulai masa remaja seseorang. 3,4

2.1.2Etiologi
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai
tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan
ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolism (hipometabolisme)
suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan. 1

Faktor Psikososial
Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai komunikasi sosial, akibatnya
adalah menghindari kewajiban (contohnya harus pergi ke tempat kerja yang tidak disukai),
mengekspresikan emosi (contohnya marah kepada pasangan), atau meyimbolkan suatu
perasaan atau keyakinan (contoh nyeri usus). Interpreatsi gejala psikoanalitik yang
kakubertumpu pada hipotesis bahwa gejala-gejala tersebut mengantikan impuls berdasarkan
insting yang ditekan. 1
Prospektif perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang tua,
contohnya dari orang tua, dan adat istiadat dapat mengajarkan beberapa anak untuk lebih
melakukan somatisasi daripada orang lain. Di samping itu, sejumlah pasien dengan
gangguan somatisasi datang dari keluarga yang tidak stabildan mengalami peyiksaan fisik. 1

Faktor Biologik dan Genetik


Sejumlah studi mengemukan bahwa pasin memiliki perhatian yang khas dan hendaya
kognitif yang menghasilkan persepsi dan penilaain input somatosensorik yang salah. 1
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi. Terjadi
pada 10-20% wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya cenderung
menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembaran
monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.1
2.1.3 Diagnosis
Untuk mendiagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan awitan gejala
sebelum usia 30 tahun ( tabel 1). Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki
keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksiual, dan
satu gejala pseudoneurologis, ayng seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan
fisik . 1
3

Tabel.1 Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan somatisasi


A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama 1
periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus terpenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada
waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :
(1) Empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat
atau fungsi yang berbeda (cth : kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama berkemih)
(2) Dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri
(cth mual, kembung, muntah selain selama hamil, selama menstruasi, selama
hubungan seksual, atau selama berkemih)
(3) Satu Gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain
nyeri ( cth : ketidak pedulian terhadap seks, disfungsi ereksi atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, pendarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil)
(4) Satu gejala pseudoneurologis : sekurangnya satu gejala atau deficit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi,
hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala
disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
C. Baik (1) dan (2)
(1) Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
(2) Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau di buat-buat (seperti pada gangguan buatan
atau malingering)
Dari American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text Rev. Washinton, DC American Psychiatric Association; copyright 2000,
dengan izin
2.1.4 Gambaran Klinis

Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang
mendasari keluhannya Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau
menelan, atau ada yang menekan di dalam tenggorokan. Masalah-masalah seperti ini dapat
merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang
dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam
bentuk yang lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada tangan atau kaki yang tidak
konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan
manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit
yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan. 2,5,6
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut. Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka
menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.
Gambaran keluhan gejala somatoform: 5
Neuropsikiatri:
-

Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik ;

Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya

Kardiopulmonal:
-

Jantung saya terasa berdebar debar. Saya kira saya akan mati

Gastrointestinal:
-

Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter
yang dapat menyembuhkannya

Genitourinaria:
-

Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan


namun tidak di temukan apa-apa

Musculoskeletal
-

Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu

Sensoris:
-

Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata tidak akan
membantu

Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah gangguan konversi,


hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.
2.1.5 Klasifikasi dan Diagnosis
Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi :4
F.45.0 gangguan somatisasi
F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci
F.45.2 gangguan hipokondriasis
F.45.3 disfungsi otonomik somatoform
F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
F.45.5 gangguan somatoform lainnya
F.45.6 gangguan somayoform YTT
DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ
ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh. 4
Pada bagian psikiatri, gangguan yang sering ditemukan di klinik adalah gangguan
somatisasi dan hipokondriasis. 4
2.1.6 Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Gangguan somatisasi adalah gangguan yang bersifat kronis dan sering membuat tak berdaya.
Menurut definisi, gejala harus di mulai sebelum usia 30 tahun dan harus ada selama beberpa
tahun. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya gejala yang baru dianggap
bertahan selama 6 bulan hingga 9 bulan dan dipisahkna periode yang tidak terlalu simtomatik
selama 9 hingga 12 bulan. Meskipun demikian, pasien dengan gangguan somatisasi jarang
selama lebih dari satu tahun tidak mencari perhatian medis. Sering terdapat hubungan antara
periode meningkatnya stress dan memperberat gejala. 2

2.2 Gangguan Somatoform Tidak Terperinci


Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatoform yang tidak terperinci didefinisikan sebagai
efek fisik yang tidak dapat dijelaskan, berlangsung sedikitnya selama 6 bulan dan di
bawah ambang untuk mendiagnosis gangguan somatisasi. Diagnosis DSM-IV-TR sesuai
bagi pasien dengan satu atau lebih gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh keadaan
medis yang diketahui atau secara jelas melampaui keluhan yang diperkirakan untuk suatu
6

keadaan medis, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan somatoform spesifik.
Gejala harus menimbulkan distress emosi yang signifikan atau mengganggu fungsi sosial
maupun pekerjaan mereka. 1
2.2.1Kriteria Diagnosis
Tabel 2. Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan somatoform yang Tidak Terperinci
A. Satu atau lebih keluhan fisik (cth lelah, hilang nafsu makan, keluhan gastrointestinal
atau saluran kemih)
B. Baik (1) dan (2) :
(1) Seteah pemeriksaan yang sesuai, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
keadaan medis yang diketahui atau efeknya langsung suatu zat (cth
penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum terkait keluhan fisik atau hendaya sosial
pekerjaan yang diakibatkan melebihi yang diperkirakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik atau penurunan laboratorium
C. Gejala menimbulkan distres yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, dan area fungsi penting lainnya
D. Durasi gangguan sedikitnya 6 bulan
E. Gangguan tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan jiwa lain (contohnya,
gangguan somatoform lain, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan ansietas,
gangguan tidur atau gangguan psikotik)
F. Gejala tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti malingering)
Dari American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text Rev. Washinton, DC American Psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin
Dua jenis pola gejala yang dapat dilihat pada pasien dengan gangguan somatoform yang
tidak terinci : yaitu melibatkan sistem saraf otonom dan melibatkan sensasi lemah dan lelah.
Dalam gangguan bangkitan otonom, beberapa pasien dengan gangguan somatoform yang
terbatas pada fungsi tubuh yang dipersarafi sistem saraf otonom. Pasien tersebut memiliki
keluhan yang melibatkan sistem kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, urogenital, dan
dermatologi. Pasien lain mengeluh adanya keluhan banyak aktivitas sehari-hari karena
gejalanya.
Sejumlah klinis mendiagnosis sindrom ini sebagai neurostenia, suatu pengambaran yang
terutama digunakan di Eropa dan Asia. Sindrom ini juga dapat tumpah tindih dengan
sindrom kelelahan kronis, yang telah di dalikan melibatkan faktor psikiatri, virologi, dan
imunologis. Kedua gangguan ini didiskusikan di bagian berikut.
7

2.3 Gangguan Somatoform yang Tidak Tergolongkan 1


Kategori diagnostik DSM-IV-TR gangguan somatoform yang tidak tergolongkan adalah
kategori sisa untuk pasien yang memiliki gejala yang tampaknya sesuai dengan gangguan
somatoform, tetapi tdak memenuhi kriteria diagnostik spesifik gangguan somatoform lain.
Pasien seperti ini dapat memiliki gejala yang tidak tercakupi dalam gangguan somatoform
lain ( contohnya pseudosiesis) atau dapat tidak memenuhi kriteria 6 bulan somatoform
lain. (Tabel 3)2
Tabel 3.Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan1
Kategori ini mencakup gangguan dengan gejala somatoform dan tidak memenuhi kriteria
diagnostik gangguan somatofom spesifik manapun. Contohnya mencakup :
1. Pseudosiesis : keyakinan yang salah bahwa diri seseorang hamil disertai tanda-tanda
objektif kehamilan, dapat mencakup pembesaran perut (walaupun umbilikus tidak
keluar), aliran menstruasi berkurang, amenore, sensasi subyektif adanya gerakan
janin, mual, pembesaran dan sekresi payudara, dan nyeri persalinan pada tanggal
perkiraan persalinan. Bisa terdapat perubahan endokrin, tetapi sindrom ini tidak
dapat dijelaskan dengan keadaan suatu medis umum yang menyebabkna perubahan
endokrin ( cth: tumor yang mensekresi tumor)
2. Gangguan yang melibatkan gejala hipokondriaak nonpsikotik yang durasinya kurang
dari 6 bulan.
3. Gangguan yang melibatkan keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan (cth: lelah atau
kelemahan tubuh) dengan durasi kurang dari 6 bulan dan tidak di sebabkan gangguan
jiwa lain.
Dari American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text Rev. Washinton, DC American Psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin

2.4 Gangguan Hipokondriasis


2.4.1Definisi

Hipokondriasis adalah keterpakuan (PREOKUPASI) pada ketakutan menderita, atau


keyakinan bahwa seseorang memiliki penyakit medis yang serius, meski tidak ada dasar
medis untuk keluhan yang dapat ditemukan. Berbeda dengan gangguan somatisasi
dimana pasien biasanya meminta pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali
menyebabkan terjadinya penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien
malah takut untuk makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari sakitnya.
Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang
dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya,
seperti kanker atau masalah jantung. Rasa takut tetap ada meskipun telah diyakinkan
secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Gangguan ini paling sering muncul
antara usia 20 dan 30 tahun, meski dapat terjadi di usia berapa pun. 1,2
Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan simptom fisiknya.
Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, seringkali melibatkan sistem
pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Berbeda dengan gangguan
konversi yang biasanya ditemukan sikap ketidakpedulian terhadap simtom yang muncul,
orang dengan hipokondriasis sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli pada
simtom dan hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan.
Pada gangguan ini, orang menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam
sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri.
Padahal kecemasan akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik itu sendiri,
misalnya keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Mereka memiliki lebih lanjut
kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simtom psikiatrik, dan memersepsikan
kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain. Sebagian besar juga memiliki gangguan
psikologis lain, terutama depresi mayor dan gangguan kecemasan. 1,2
2.4.2 Etiologi
Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah. Pasien
menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara berlebihan.

Sebagai

contoh, seseorang yang secara normal mempresertasikan sebagai rasa kembung, oleh
pasien hipokondriasis dirasakan sebagai sakit perut. Pasien menambahkan dan
memperbesar sensadi somatic yang dialaminya, karena rasa tidak nyaman secara fisik
mempunyai ambang dan toleransi rendah. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis
terjadi karena permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui
mekanisme repression dan displacement. Kemarahan yang dimaksud berasal dari
9

kejadian penolakan dan ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan, dapat juga
penyebabnya adalah rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien ingin menebus
kesalahannya melalui penderitaan somatik. 1,2
Teori psikoanalisis
Disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan
emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang
peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran.
Teori behavioral
terjadi karena individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Individu
berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana
seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan
bereaksi.

2.4.3 Epidemiologi
Satu studi melaporkan prevalensi 6 bulan hipokondriais sebanyak 4 hingga 6 persen di
populasi klinis medis umum, tetapi mungkin dapat setinggi 15 persen. Laki-laki dan
perempuan secara setara dapat mengalami hipokondriasis. Walaupun awitan gejala
dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini paling lazim timbul pada orang berusia
20-30 tahun. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa diagnosis hipokondriasis lebih lazim
pada orang kulit hitam daripada orang kulit putih, tetapi posisi sosial, tingkat edukasi,
dan status perkawinan tidak tampak mempengaruhi diagnosis. Keluhan hipokondriasis
dilaporkan terjadi pada kira-kira 3 persen mahasiswa kedokteran biasanya 2 tahun
pertama, tetapi umumnya hanya terjadi sementara singkat. 2,3

2.4.4 Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis


Kriteria

diagnosis

DSM-IV-TR

hipokondriasis

mengharuskan

pasien

memiliki

prekinanoupasi dengan keyakinan yang salah bahwa mereka mengalami penyakit berat
dan keyakinan yang salah bahwa mereka mengalami penyakit berat dan keyakinan yang
salah tersebut didasarkan pada kesalahan interpretasi tanda dan sensasi fisik tabel 3
keyakinan tersebut harus ada selama sedikitnya 6 bulan walaupun tanda adanya temuan
patologis pada pemeriksaan neurologis atau medis. Kriteria diagnosr=tik juga
mengharuskan bahwa keyakinan tersebut tidak memiliki intensitas waham ( lebih tepat
diagnosis sebagai gangguan waham ) dan bahwa keyakinan teresbut tidak boleh terbatas
10

pada penderitaan mengenai penampilan (lebih sesuai didiagnosis sebagai gangguan


dismorfik tubuh) gejala hipokondria harus memiliki intensitas yang menyebabkan
distress emosional atau gangguan kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam area
penting kehidupan. Klinisi dapat merinci adanya tilikan buruk. Pasien secara konsekuensi
tidak menyadari bahwa kekhawatiran mereka mengenai penyakit berlebih. 1
Tabel 3 kriteria diagnosis DSM-IV-TR Hipokondriasis
A. prekupasi dengan rasa takut atau gagasan bahwa seseorang memiliki penyakit serius
berdasarkan pada kesalahan interpretasi seseorang terhadap gejala tubuh.
B. Preokupasi tetap ada walaupun telah dilakukan evaluasi dan penjelsan medis yang
sesuai.
C. Keyakinan pada kriteria A tidak memiliki intensitas waham ( seperti pada gangguan
waham tipe somatik) dan tidak terbatas pada kekhawatiran terbatas mengenai
penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh)
D. Preokupasi ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya di
dalam fungsi sosial pekerjaan dan area fungsi penting lainnya
E. Durasi gangguan sedikitnya 6 bulan
F. Prekupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan ansietas menyeluruh,
gangguan obsesif konfulsif, ganggan panik, episode depresi berat, ansietas perpisahan
atau gangguan somatoform lain.
Tentukan jika :
Dengan tilikan buruk : jika sebagai sebagai besar wakru selama episode saat ini, orang
tersebut tidak menyadari bahwa kekhawatiran memiliki penyakit serius adalah
berlebihan dan tidak beralasan
Dari American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text Rev. Washinton, DC American Psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin
Dibujuk untuk berfikir sebaliknya. Mereka dapat mempertahankan keyakinan bahwa
mereka mengalami penyakit tertentu, seiring waktu berjalan, mereka pada penyakit lain.
Pendirian mereka bertahan meskipun hasil laboratorium negatif, perjalanan penyakit yang
di duga dari waktu ke waktu hanya bersifat ringan, dan penjelasan sesuai oleh dokter,
tetapi keyakinan mereka tidak sekuat seperti pada waham. Hipokondria sering disertai
gejala depresi dan ansietas, dan sering timbull bersamaan dengan gangguan ansietas dan
gangguan depresif. 1
2.4.5 Diagnosis Banding
11

Hipokondriasis dibedakan dengan gangguan somatisasi yaitu bahwa hipokondria menekankan


rasa takut memiliki suatu penyakit dan gangguan somatisasi menekankan kekhawatiran
mengenai banyak gejala. Pembedaan yang samar adalah bahwa pasien dengan hipokondria
biasanya mengeluh lebih sedikit gejala daripada gangguan soamatisasi. Gangguan somatisasi
biasanya awitan umur 30 tahun, sedangkan hipokonria memiliki aitan umur yang kurang
spesifik. Pasien yang somatisasi lebih banyak kelamin perempuan dibanding laki-laki,
sedangkan hipokondriasis rata untuk distribusi.1
Hipokondriasis juga harus dibedakan dengan gangguan somatoform yang lain. Gangguan
konversi bersifat akut dan umumnya singkat serta biasanya melibatkan suatu gejala,
bukannya suatu penyakit tertentu. Ada atau tidaknya belle indiference adalah ciri yang tidak
menyainkan untuk membedakan kedua keadaan tersebut. Gangguan nyeri bersifat kronis,
sepertti pada hipokondria, tetapi gejalanya terbatas pada keluhan nyeri. Pasien dengan
gangguan dismorfik tubuh berharap untuk tamppak normal tetapi yakin bahwa orang lain
melihat mereka tidak demikian, sedangkan pasien dengan hipokondria mencari perhatian
untuk dugaan penyakit mereka.1
Hipokondriasis juga bisa terjadi pada pasien dengan ganguan debresif dan gangguan ansietas.
Jika pasien memenuhi seluruh ganguan kriteria diagnosis hipokondria dan gangguan jiwa
utama lain seperti gangguan depresif berat atau gangguan jiwa utama lain seperti gangguan
depresif berat atau gangguan ansietas menyeluruhm pasien harus mendapatkan kedua
diagnosis, kecuali gejala hipokonriasisnya terjadi hanya selama periode gangguan lain .
pasien dengan gangguan panik awal dapat mengeluh bahwa mereka

terkena penyakit

( contohnya penyakit jantung), tetapi dapat dibedakan dengan gejala klasik panik.
Hipokondria dibedakan dengan gangguan buatan dengan gejala fisik dan dibedakan
malingering atau pasien dengan hipokondria yang benar-benar mengalami dan tidak
membuat-buat gejala yang mereka laporkan. 1

2.4.6 Terapi
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Bebrapa bersedia menerima terapi
psikiatrik apabila dilakukan setting medi dengan fokus menghadapi penyakit kronis.
Psikoterapi kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondria karena memberikan dukungan
sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan. Bentuk psikoterapi individual
berorientasi tilikan, terapi individual, terapi kognitif dan hipnosis. 2
12

Pemeriksaan fisik terjadwal juga dapat menenangkan pasien, bahwa dokternya tidak akan
meninggalkannya dan ditanggani dengan serius. Namun pemeriksaan invasive hanya bila ada
bukti objektif untuk dilakuakn tindakan tersebut. 2
Farmako terapi diberikan pada pasien hipokondria yang komorbiditas dengan gangguan lain
seperti gangguan cemas dan depresi atau hipokondria merupakan kondisi sekunder terhdap
gangguan mental primer lainnya. Apabila merupakan reaksi situasional sesaat, maka pasien
harus dibantu untuk mengatasi stress tanpa memperkuat perilaku sakitnya dan pemanfaatan
peran sakitnya sebagai solusi terhadap masalahnya. 2

2.5 Gangguan Konversi


Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. DSM-IV membatasi gangguan
konversi hanya pada gejala neurologik. 6,7
2.5.1 Epidemiologi
Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi diperkirakan 1-3% dari
jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda untuk setiap jenis populasi. 5-15% kasus
gangguan konversi pada pasien yang memerlukan konsultasi di sebuah rumah sakit umum
dilaporkan oleh beberapa peneliti. Di Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran dimana
25-30% pasiennya mengalami gangguan konversi. Gangguan konversi jauh lebih umum pada
wanita, populasi pedesaan, penduduk negara berkembang, orang-orang status sosioekonomi
rendah, anggota militer yang pernah terpapar medan perang, dan pengetahuan medis yang
rendah.

1,2

2.5.2 Etiologi 1,2


a. Faktor Psikoanalitik
Sesuai nama gangguan ini yaitu konversi, menurut teori psikoanalitik pasien-pasien
tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang tidak terselesaikan. Konflik terjadi
ketika muncul hasrat tetapi oleh alam bawah sadar dikenali sebagai sesuatu yang
terlarang. Konflik ini menimbulkan suatu kecemasan yang kemudian demi mengurangi
rasa cemas itu maka dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya adalah ekspresi
samar dari hasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien gangguan konversi dengan gejala
13

vaginismus mengeluarkan gejala tersebut untuk melindungi pasien dari konflik akibat
hasrat seksual yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan pada gangguan somatoform
gejala-gejalanya bersifat simbolik.
b. Faktor Pembelajaran
Ada teori yang menyebutkan gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku yang dapat
dipelajari secara classic conditioning.
c. Faktor Biologis
Terjadi

hipometabolisme

pada

area

hemisfer

serebri

yang

dominan

dan

hipermetabolisme pada area yang non-dominan


2.5.3 Gejala Klinis
Paralisis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling lazim ditemukan.
Gangguan konversi mungkn paling sering disertai gangguan kepribadian pasif-agresif,
dependen, antisosial, histrionik. Gejala hgangguan depresif dan antiansietas sering menyertai
gejaa gangguan konversi dan pasien ini memiliki bunuh diri yang baik dan cukup dan juga
harus istirahat dari tugas rumah tangga untuk sementara waktu. 4,5

Gejala Sensorik

Pada gangguan konversi gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi, terutama
pada ekstremitas semua modalitas sensorik dapat terkena dan distribusinya tidak sesuai
dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang khas misalnya anestesi kaus kaki pada,
anestesi sarung tangan, atau hemianestesia dari garis tengah tubuh. 1
Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbukan ketulian,
kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel visioon) gejalanya dapat unilateral maupun
bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak. Pada gangguan
konversi dengan kebutaan, pasien berjalan tanpa menabrak atau mencederai diri, pupil
bereaksi terhadap cahaya, dan bangkitan potensial kortikal juga normal. 1

Gejala Motorik

Gejala motor terdiri atas gerak abnormal, dangguan gaya berjalan, kelemahan dan paralisis.
Mungkin terdapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik, dan menghentak-hentak.
14

Gerakan tersebut memburuk bila pasien mendapatkan perhatian. Gangguan gaya berjalan
yang tampak pada gangguan konversi adalah atasia-abasia, yaitu gerak batang tubuh berupa
atasia hebat, terhuyung-huyung, kasar tak beraturan dengan sentakan-sentakan, disertai gerak
lengan seperti membanting dan melambai. Pasien dengan gejala ini jarang jatuh, dan
kalaupun jatuh tidak terluka. 1
Gangguan motor yang sering adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua, atau
seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari otot yang terlibat tak sesuai dengan
jaras persarafan. Refleks refleks tetap normal. Tidak terdapat faikulasi maupun atrofi otot,
kecuali setelah paralisis konversinya terjadi sudah lama. Elektromiografi normal. 1

Gejala Bangkitan

Pseudo-seizures merupakan gejala yang mungkin didapat pada gangguan konversi. Dokter
yang merawat mungkin akan menemui kesulitan membandingkan. 1
Gambaran Klinis Terakait Lain Pseudo-seizures adalah dari bangkitan yang sebenarnya bila
hanya berdasarkan observasi klinis. Namun sekitar 1/3 pasien dengan Pseudo-seizures juga
disertai dengan gangguan epilepsi. Pada Pseudosezure, pasien dapat tergigit lidahnya,
inkontinensia urin dan cedera karena terjatuh, meskipun gejala ini jarang sekali ditemui.
Refleks tercekik dan pupil tetap bertahan setelah pseudoseizure dan tak terjadi peningkatan
konsentrasi prolaktin pasca bangkitan. 1
2.5.4 Gambaran klinis lainnya
Beberapa gejala psikologis yang berkaitan dengan gangguan konversi : 1
Keuntungan primer (primary gain)
Pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan konflik internal di luar
kesadarannya. Gejala memiliki nilai simbolik, yang mencerminkan konflik pskilogis di
bawah sadar.
Keuntungan sekunder (secondary gain)
Pasien akan memperoleh keuntungan nyata dengan menajdi sakit, misalnya: dibebaskan
dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapatkan dukungan dan bimbingan

15

yang dalam situasi normal dan tidak akan di dapatkannya, dapat mengontrol perilaku orang
lain.

La belle indifference
La belle indifference adalah sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala serius yang
dialaminya. Pasien tampak tidak peduli dengan apa yang enjadi gangguan utama. Pada
beberapa pasien, ketidakacuhan yang tersamar dapat tidak ditemukan, hal ini juga terlihat
pada pasien dengan penyakit medis yang serius yang memiliki perilaku menahan diri. Ada
atau tidaknya la belle indifference adalah ukuran tidak akurat seorang pasien yang
memiliki gangguan konversi.

Indentifikasi
Pasien dengan gangguan konversi secara tidak sadar dapat meniru gejala mereka dari
seesorang yang penting bagi mereka. Sebagai contoh, seseorang atau orang tua yang baru
meninggal dapat berfungsi sebagai model bagi gangguan konversi. Selama reaksi
berkabung yang patologis, orang yang berkabung lazim memiliki gejala dari orang yang
meninggal.

Kriteria Diagnosis.1
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah :1,2
a. Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang diperkirakan
sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum lainnya
b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena permulaan atau
eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor psikologis
c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura
d. Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan secara penuh
sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat langsung dari zat, atau secara kultural
sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna secara klinis
di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut evaluasi medis

16

f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi sematamata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena gangguan mental
lainnya.
2.5.5 Perjalanan Penyakit
Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan konversi membaik
dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah
mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan saat stresor psikis
muncul kembali. 1,2
2.5.6 Tatalaksana
Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman teori gangguan
konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan pasien terhadap kecemasan
akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan mekanisme defense ini (misal melalui hypnosis)
akan membuat pasien merasa rentan dan tak berdaya, sehingga penanganan haruslah
memperhatikan stresor psikologis yang mendasari munculnya gejala konversi.2
Terapi non farmakologis
Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip dengan
gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat antara pikiran, otak, dan
tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa adanya tentang definsi dan pemahaman medis
terkini mengenai gangguan konversi serta berbicara dengan yakin bahwa gejala ini akan
sembuh dengan cepat
Wawancara pasien dibawah pengaruh amobarbital atau hypnosis2
Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik amobarbital dan
hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini membutuhkan pelatihan dan pengalaman,
dapat membantu praktisi untuk memasuki wilayah konflik intrapsikis yang sebelumnya
ditutup oleh pasien. Selama masa altered-state pasien dapat mengalami penurunan
gejala karena efek relaksasi. Amobarbital sendiri perlu diingat adalah obat anti kejang
sehingga ia dapat mengurangi gejala kejang akibat real-seizure.
Indikasi terapi ini : 5,6

Pemulihan fungsi pseudoneurologik


17

Membedakan gangguan konversi dengan malingering

Abreaksi gangguan strest pasca trauma

Pemulihan memory akibat fugue psikogenik dan amnesia

Kontraindikasi terapi ini

Kontraindikasi absolut berupa riwayat alergi dan porfiria

Infeksi atau sumbatan saluran pernapasan

Gangguan fungsi jantung, liver dan renal yang berat

Kecanduan barbiturate

Hipotensi atau hipertensi yang significant

Minimal 12 jam sesudah minum alkohol terakhir bila ada kecurigaan keracunan
alkohol

Pasien paranoid

Pasien menolak prosedur

Risiko dari terapi ini

Risiko utama adalah gangguan pernapasan yang dapat mengarah kepada apneu,
khususnya jika pemberian terlalu cepat (>50mg/min) atau dosis terlalu besar
(>500 mg)

Kolaps vasomotor dan laryngospasma, lebih jarang ditemukan

Regresi psikotik

2.5.7 Psikoterapi Psikodinamik. 7


Dapat membantu pasien memahami konflik intrapsikis dan simbolisasi
2.5.8 Prognosis

18

Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset yang akut, stresor yang
teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan pasien, gejala kelumpuhan, gejala
kebutaan. Pasien dengan gejala kejang atau tremor biasanya memiliki prognosis lebih
buruk. 1

Daftar Pustaka
1. Kaplan, H.l dan Saddock B.J. 1993. Comprehensive Textbook of Psychiatry vol.2 6th
edition. USA: Williams and Wilikins Baltimore.
2. Kusumawardhani AAAA, et al. Buku ajar Psikiatri. Jakarta : FKUI. 2010. Hal 265-8,
275-80.
3. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.

4. Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di


Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI :
Jakarta

5. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya
6. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. PenerbitErlangga : Jakarta
7. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia : Gangguan Somatoform. Ikatan Dokter Indonesia Cabang
Jakarta Barat.

19

You might also like