You are on page 1of 5

Komunikasi

26 Januari 2010
Cerdas Dari Media Dan Cerdas Bermedia
Saat ini orang-orang yang memiliki kecerdasan majemuk tak terelakkan memiliki
akses terhadap media. Mereka membaca buku atau koran, mendengarkan radio, menonton
televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa menjadi cerdas juga
memiliki kecerdasan bermedia (media literacy).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa kemudahan bagi
siapa pun memelajari ilmu dan pengetahuan dari media massa. Media seperti
perpustakaan yang koleksi bacaannya dan visualnya dapat dibawa pulang ke rumah. Tak
heran jika kita dapat membangun kecerdasan lewat akses terhadap media. Misalnya,
seorang anak yang belum masuk sekolah di Jakarta dapat menguasai bahasa Inggris tanpa
diketahui orangtuanya! Selidik punya selidik, sang anak yang istimewa ini sering
menonton film Barat di televisi. Ia cerdas berkat televisi.
Menganggap media sebagai sumber informasi yang bermanfaat semata-mata
dapat menjerumuskan manusia ke kubangan yang mereduksi kualitas hidup. Tak dapat
dimungkiri bahwa banyak produk media tidak sesuai dengan nilai-nilai sosietal yang
hendak dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup hedonis, pornografi dan pornoaksi,
agresivitas, bullying, politicking, dan konstruksi lain dengan agenda tersembunyi. Banyak
pihak melakukan persuasi kepada khalayak melalui tayangan yang cantik di media,
tetapi sebetulnya punya niat yang kurang baik. Iklan-iklan yang mengundang decak
kagum berserakan, tetapi sebetulnya mengajak kita untuk merokok.
Di sisi lain, menganggap media sebagai hal yang harus disingkirkan juga
menghilangkan peluang untuk kita mengasah kecerdasan majemuk (multiple
intelligences). Howard Gardner (1999), mengemukakan definisi kecerdasan yakni suatu
potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan dalam suatu latar
kultural untuk memecahkan masalah atau menciptakan produk-produk yang merupakan
nilai dalam suatu kultur. Jelaslah bahwa kecerdasan dapat diasah melalui media. Sehingga
menafikan
media
merupakan
tindakan
yang
tidak
bijaksana.
Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan
masalah, bagaimanakah kita menyikapi dan menyiasati realitas media agar kita mampu
mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan kita?
Kecerdasan

Bermedia

Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang


berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent)
berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media
(omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi
masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan
menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang
kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan
bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media
literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media.
Dengan kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan di media demi
membekali diri menghadapi kenyataan hidup sehari-hari. Pada dasarnya kita menghadapi
dua realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam dunia nyata dan realitas di media

(Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata adalah tempat di mana kita melakukan
kontak langsung dengan orang-orang lain, lokasi, dan peristiwa. Sebagian besar dari kita
merasa bahwa dunia nyata ini amat terbatas, sehingga kita tidak dapat mengambil semua
pengalaman dan informasi. Dalam rangka memperoleh pengalaman-pengalaman dan
informasi tersebut, kita melakukan penjelajahan melalui dunia media.
Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan
terhadap distorsi. Karena pesan-pesan di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan
representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang, dan masingmasing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi
pesan-pesan. Jadi, seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan
mengonsumsi media.
Ironisnya, justru media massa tak pernah memberikan pendidikan media literacy
secara langsung. Sebab, khalayak yang cerdas menagih kualitas manajemen media dan
pengonstruksian pesan yang pada gilirannya meniscayakan institusi media merogoh
kocek lebih dalam. Bila biaya melansir media menjadi mahal, profit akan menjadi
menipis. Tetapi kondisi ini bukan satu-satunya implikasi. Kesiapan sumberdaya
merupakan pokok masalah bagi institusi media yang baru tumbuh di Indonesia. Dengan
begitu, untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi era informasi dan pergaulan
antarbangsa diperlukan rekayasa sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang
well-informed tanpa harus menjadi buta media.
Sumber : http://faizal.student.umm.ac.id/artikel-komunikasi/
Penulis :

Nama
Kelas
No. Urut

: Yosi Permana Sutardi


: XII IPA 2
: 42

Komunikasi
19 September 2008
Infotainment, Tayangan Haram, dan Melek Media
Kritik sebagian anggota masyarakat tentang infotainment yang telah lama
disuarakan tampaknya kini bagaikan gayung bersambut saat Musyawarah Alim Ulama
dari organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama memutuskan bahwa sebagian isi
Infotainment haram hukumnya untuk ditonton, seperti yang diperbincangkan dalam
sebuah stasiun televisi swasta pada Rabu, 02/08/06 jam 22.00 WIB. Bagi pihak produser
infotainment dan televisi swasta itu sendiri, hal ini bagaikan pukulan telak. Pasalnya,
justru dari tayangan acara ini pihak insan media elektronik tersebut mampu meraup
rupiah dalam jumlah yang lumayan besar. Rating televisi selalu menyertakan program
acara infotainment. Sebab itulah televisi-televisi swasta rajin membombardir khalayaknya
dengan gosip-gosip seputar selebritas yang identik dengan infotainment.
Sebenarnya ada sedikit salah-kaprah terhadap infotainment di Indonesia.
Infotainment dimaknai sebagai informasi dari jagad hiburan (selebritas), terutama di
televisi. Padahal sejatinya infotainment dimaksudkan untuk mengkategorikan program
televisi yang menayangkan informasi dari berbagai bidang (ilmu, teknologi, pengetahuan
praktis) dengan kemasan yang menghibur.
Implikasi Demokratisasi Ruang Publik
Pihak yang mengkritik tayangan infotainment umumnya berkeberatan terhadap
isi yang melulu pada gosip ataupun fakta yang tak berbobot dan tak sehat. Masyarakat
Indonesia masih belum maju dalam ilmu dan teknologi. Sehingga, tayangan-tayangan di
televisi seyogyanya berisi informasi yang membawa masyarakat kepada proses
pembelajaran yang mendidik dan bermartabat bertumpu pada nilai etika, kesopanan,
maupun kecakapan dalam ilmu dan teknologi. Dengan demikian, tayangan yang
mengarah pada isi faktabahkan gosipseputar aib kehidupan pribadi menjadi kontraproduktif atau tidak berbobot.
Namun, implikasi dari demokratisasi ruang publik adalah mencuatnya kesadaran
terhadap penghargaan akan hak memeroleh informasi yang kian besar dari khalayak, dan
ini yang ditangkap dengan cerdas oleh para pekerja media. Di mana pun di dunia,
demokrasi selalu diimbangi dengan munculnya kekuatan mekanisme pasar. Programprogram televisi menjadi komoditas berlandaskan hukum pasar. Bila pasar menghendaki
suatu tayangan, maka pekerja media akan segera memenuhi selera pasar itu. Celakanya,
sering selera pasar berharap televisi dengan karakteristiknya menyajikan suguhan sekadar
memuaskan dahaga khalayak terhadap hiburan yang sensasional. Sebab, persepsi
khalayak terhadap televisi telanjur mengental bahwa media elektronik yang satu ini hanya
merupakan ajang mencari hiburan. Dengan sifatnya yang audio-visual, televisi
menawarkan harga yang paling murah dibandingkan dengan ajang hiburan lainnya. Ini
sah saja. Yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana menjembatani konflik
kepentingan antara yang pro dan kontra terhadap tayangan infotainment?

Melek Media Sebagai Modal


Terhadap keberatan tayangan televisi yang kurang berbobot, pihak televisi telah
bersiap mengadakan perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Ilham Bintangsalah-satu
tokoh berbagai infotainmentpada wawancara di sebuah stasiun televisi swasta
(02/08/06) dalam rangka menanggapi fatwa haram untuk tayangan televisi yang
menggunjingkan aib kehidupan pribadi yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama, bahwa
ke depan produser infotainment akan mengadakan perubahan. Tetapi, hal ini tidak
sepenuhnya menjamin perbaikan program infotainment. Sebenarnya terdapat beberapa
instrumen yang mampu mengurangi maraknya tayangan gosip di infotainment.
Pertama, kalangan media mesti lebih mengetatkan lagi penegakan etika penyiaran
di kalangan mereka sendiri. Selama ini khalayak belum banyak melihat langkah-langkah
profesional menghukum media yang melanggar etika penyiaran atau kode etik profesi
mereka. Ada kesan profesionalisme di kalangan media masih kedodoran, terlihat dari
masih adanya ungkapan menurut informasi orang-orang yang dekat dengan, ketika
berita ini kami klarifikasikan, yang bersangkutan handphone-nya tidak aktif atau
suara presenter yang sejenisnya. Kedua, kalangan yang dirugikan dapat lebih pro-aktif
mengadukannya kepada pihak yang berwenang. Ini dimungkinkan karena perangkat
hukum telah mengaturnya. Sayangnya pihak yang dirugikan biasanya adalah orang yang
diberitakan secara negatif, sedangkan penonton yang merasa dirugikan dengan berita
yang menurutnya tidak sesuai dengan harapannya tidak mampu berbuat banyak. Ketiga
yang masih jarang diperhatikanadalah peningkatan keterampilan melek media (media
literacy) sebagai modal berinteraksi dengan media.
Melek media, gerakan untuk memperluas gagasan mengenai kemelekan terhadap
media pasca-cetak yang kuat yang mendominasi tataran informasional kita, membantu
masyarakat memahami, memproduksi, dan menegosiasikan makna dalam suatu budaya
yang terbentuk dari citra-citra, kata-kata, dan suara-suara yang kuat. Seseorang yang
melek mediadan setiap orang seharusnya memiliki peluang terhadap hal itudapat
menafsirkan simbol, mengevaluasi, menganalisis, dan memproduksi pesan baik media
cetak maupun elektronik (Aufderheide & Firestone, 1993). Melek media diperlukan
karena dalam hidup ini kita menghadapi selain realitas sehari-hari juga realitas di media.
Kita tak dapat melarikan diri dari media. Kendatipun secara fisik mampu, kita tetap
dipengaruhi oleh media karena orang-orang kepada siapa kita berkomunikasi telah
dipengaruhi oleh media. Pesan media sering bukanlah representasi dari fenomena,
melainkan konstruksi realitas yang perlu dicerna dengan cerdas melalui melek media.
Dengan demikian, kita tidak terlalu banyak menyalahkan infotainment yang memang
tidak selalu salah.
Sumber : http://faizal.student.umm.ac.id/artikel-komunikasi/
Penulis : Heru Puji Winarso

Nama
Kelas
No. Urut

: Yosi Permana Sutardi


: XII IPA 2
: 42

You might also like