Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Fenomena baru yang muncul di dunia seiring dengan keberhasilan
pembangunan adalah populasi lansia yang meningkat (Araujo & Ceolim, 2010).
Peningkatan populasi lansia tersebut merupakan dampak dari adanya peningkatan
usia harapan hidup penduduk. Peningkatan usia harapan hidup terjadi di
negara maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia (Prayitno, 2002).
Indonesia
merupakan
negara
yang
menduduki
peringkat
keempat
jumlah lansia terbanyak di dunia setelah China, India, dan Amerika. Kepala
BKKBN Dr. Sugiri Syarief, MPA mengatakan bahwa pada sensus penduduk
tahun 2010 didapatkan data jumlah lansia yang meningkat secara signifikan.
Jika pada tahun 1970-an, jumlah
lansia
keseluruhan penduduk, saat ini sudah mencapai hampir 10 persen dari jumlah
keseluruhan penduduk (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
2011).
bahwa jumlah lansia di Indonesia yaitu 23.992.553 jiwa (9,77 persen dari
keseluruhan penduduk). Prediksi jumlah lansia ini akan meningkat menjadi
28.822.879 jiwa (11,34 persen dari keseluruhan penduduk) pada tahun 2020
(Wahyuningsih, 2011).
Wahyuningsih (2011), menyatakan bahwa lima provinsi dengan jumlah
lansia paling banyak di Indonesia, yaitu: DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Timur menempati peringkat
kedua terbanyak setelah DI Yogyakarta dengan persentase lansia yaitu 9,36
persen dari keseluruhan penduduk (Wahyuningsih, 2011). Kabupaten Jember
adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki jumlah
lansia terbanyak kedua setelah Kabupaten Malang (Yunita, 2010). Jumlah
lansia
di
keseluruhan
dengan
memperhatikan
kebutuhan
lansia
Kebutuhan
fisiologis dasar manusia, termasuk lansia yang harus dipenuhi, yaitu higiene,
nutrisi, kenyamanan, oksigenasi, cairan elektrolit, eliminasi urin, eliminasi
fekal, dan tidur (Potter & Perry, 2005). Kaplan & Saddock (1997, dalam
Erliana, 2009) menambahkan bahwa kebutuhan dasar yang sering kali tidak
disadari peranannya adalah kebutuhan tidur dan istirahat.
Tidur adalah keadaan saat terjadinya proses pemulihan bagi tubuh dan
otak serta sangat penting terhadap pencapaian kesehatan yang optimal
(Maas, 2011). Kebutuhan tidur termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan
tidur merupakan kebutuhan primer yang menjadi syarat dasar bagi kelangsungan
hidup manusia (Asmadi, 2006). Pada masa neonatus, kebutuhan untuk tidur
sekitar 18 jam, berkurang menjadi 13 jam pada usia satu tahun, sembilan jam pada
usia 12 tahun, delapan jam pada usia 20 tahun, tujuh jam pada usia 40
tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun, dan enam jam pada usia 80 tahun
(Amir, 2007; Prayitno, 2002).
Proses penuaan membuat lansia lebih mudah mengalami gangguan tidur,
selain mengakibatkan perubahan normal pada pola tidur dan istirahat lansia
(Maas, 2011). Keluhan-keluhan seputar masalah tidur merupakan masalah umum
yang terjadi di masyarakat luas, khususnya pada lansia (Roland, 2011).
Frost (2001, dalam Amir, 2007), menyatakan bahwa prevalensi gangguan
tidur
pada lansia
cukup
tinggi
yaitu
sekitar
67%.
Lansia
seringkali
lingkungan. Kim & Moritz (1982, dalam Maas, 2011) menyatakan bahwa
faktor yang menyebabkan gangguan pola tidur pada lansia yaitu faktor internal
dan eksternal.
2008). Magee & Carmin (2012) mengemukakan bahwa kecemasan adalah faktor
resiko terjadinya gangguan tidur. Papadimitriou & Linkowski (2005, dalam Galea,
2008) menyatakan
bahwa
60-70%
lansia
yang
mengalami
kecemasan
lainnya dapat mengganggu tidur lansia (Maas, 2011). Ruangan yang terlalu hangat
atau dingin juga seringkali menyebabkan lansia gelisah (Potter & Perry, 2005).
Faktor gaya hidup seperti penggunaan alkohol dan rokok dalam kehidupan
juga mempengaruhi tidur lansia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh KeHsin Chueh (2009), didapatkan bahwa lansia perempuan di Taiwan yang
mengkonsumsi alkohol memiliki kualitas tidur yang buruk. Lexcen & Hicks
(1993, dalam Maas, 2011), menyatakan bahwa perokok lebih cenderung
melaporkan keluhan seperti kesulitan tertidur dan keluhan perasaan mengantuk
di siang hari dibandingkan dengan kelompok nonperokok.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk tersebut
dapat dijadikan acuan dalam pencegahan gangguan tidur pada lansia.
Penatalaksanaan gangguan tidur pada lansia meliputi pencegahan primer,
sekunder, dan tersier. Pencegahan primer adalah upaya untuk menghindari
penyakit atau kondisi kesehatan tertentu. Pencegahan primer yang dapat dilakukan
terhadap gangguan tidur lansia adalah dengan melakukan higiene tidur yang baik.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apa saja faktor yang
berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia di Desa Wonojati
Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember?
1.3
Tujuan
yang
berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia di Desa Wonojati
Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember.
d.
1.
e.
pada
lansia;
menganalisis hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur yang
f.
g.
1.4
Manfaat
gerontik.
Pengetahuan akan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia
dapat memberikan
masukan
intervensi
yang
tepat
dalam
pencegahan
gangguan tidur yang terjadi pada lansia. Instansi pendidikan juga dapat
mengembangkan keilmuannya secara mendalam terkait dengan intervensi pada
setiap faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia.
1.5
Keaslian Penelitian
Penelitian terdahulu terkait dengan kualitas tidur adalah penelitian
penelitian ini yaitu kualitas tidur yang buruk sedangkan variabel dependen
pada penelitian terdahulu adalah kualitas tidur. Analisis bivariat pada penelitian
ini menggunakan uji t independen dan ANOVA sedangkan analisis bivariat
pada penelitian terdahulu adalah chi square.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Lansia
dalam tiga kategori, yaitu: lansia dini (55-64 tahun), lansia (65-70 tahun),
dan lansia resiko tinggi (lebih dari 70 tahun).
terjadi
penyakit
degeneratif.
Proses
menua
adalah
proses
kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang sampai pada keseluruhan sistem (Stanley & Beare, 2006).
Proses
penuaan merupakan
akumulasi
secara
progresif
dari
berbagai
Perubahan Fisik
Perubahan fisik pada lansia mencakup perubahan pada sel, sistem indra,
2) Sistem Indera
Perubahan penglihatan yang terjadi pada kelompok lanjut usia erat
kaitannya dengan adanya kehilangan kemampuan akomodatif mata.
yang
kabur,
sensitivitas
terhadap
cahaya,
penurunan
pendengaran
pada
lansia
erat
kaitannya
dengan
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia terjadi pada jaringan
penghubung, kartilago, tulang, otot, maupun sendi. Kolagen sebagai
pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan
pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
Perubahan pada kolagen tersebut menimbulkan dampak berupa nyeri,
penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, dan hambatan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Perubahan yang terjadi pada
jaringan kartilago mengakibatkan sendi mengalami peradangan, kekakuan,
nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari (Azizah,
2011).
Kepadatan tulang pada lansia mengalami pengurangan. Tulang akan
kehilangan
cairan
dan
makin
rapuh
(Nugroho,
2000).
Hal
ini
6) Sistem Perkemihan
Dalam
sistem
perkemihan,
terjadi
perubahan
yang
signifikan
Inkontinensia urin juga meningkat pada lansia (Ebersole and Hess, 2001,
dalam Azizah, 2011).
Perubahan Kognitif
Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang merupakan salah satu
kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya (Azizah,
2011). Nugroho (2000) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi
perubahan kognitif pada lansia, yaitu: perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat
pendidikan, keturunan, dan lingkungan.
c.
Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam kehidupan lansia
(Maslow, 1976, dalam Azizah, 2011). Nugroho (2000) menyatakan bahwa lansia
makin teratur dalam menjalankan rutinitas kegiatan keagamaannya sehari-hari.
Lansia juga cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian
(Azizah, 2011).
d.
Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial yang dialami oleh lansia, yaitu masa pensiun,
pensiun
akan
mengalami
berbagai
kehilangan,
yaitu:
kegiatan.
Lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian yang
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Fungsi
dengan berbagai gangguan fisik. Menurut Kuntjoro (2002), faktor psikologis yang
menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas, yaitu: rasa tabu atau malu
bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Sikap keluarga dan
masyarakat juga kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya
(Azizah, 2011).
f.
dalam sistem saraf. Bagian korteks otak dapat berperan sebagai inhibitor pada
sistem terjaga dan fungsi inhibisi ini menurun seiring dengan pertambahan usia.
Korteks frontal juga mempengaruhi alat regulasi tidur (Bliwise, 1994, dalam
Maas, 2011). Penurunan aliran darah dan perubahan dalam mekanisme
neurotransmiter dan sinapsis memainkan peran penting dalam perubahan tidur dan
terjaga yang dikaitkan dengan faktor pertambahan usia. Faktor ekstrinsik, seperti
pensiun, juga dapat menyebabkan perubahan yang tiba-tiba pada kebutuhan untuk
beraktivitas dan kebutuhan energi sehari-hari serta mengarah pada perubahan pada
kebutuhan tidur. Keadaan sosial dan psikologis yang terkait dengan faktor
kehilangan dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya depresi pada lansia, yang
kemudian dapat mempengaruhi pola tidur-terjaga lansia. Pola tidur dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, bukan seluruhnya akibat proses penuaan
(GarciaGarcia & Drucker-Colin, 1999, dalam Maas, 2011).
2.2
Konsep Tidur
dan
rutinitas
pekerjaan. Perubahan
dalam
suhu
tubuh
juga
Kedas, Lux, & Amodes (1989, dalam Maas, 2011) menyatakan bahwa
siklus tidur yang umum terjadi terdiri atas tahap 1 NREM, diikuti oleh tahap 2, 3,
dan 4 NREM dengan kemungkinan kembali lagi ke tahap sebelumnya, yaitu tahap
3 dan 2 NREM, sebelum dimulainya tahap REM. Fase NREM terjadi pada sekitar
75% sampai 80% dari waktu tidur total. Tidur REM terjadi selama 20% sampai
25% waktu tidur dalam. Tahap REM dimulai kurang lebih 60 menit dalam siklus
tidur, dan umumnya empat sampai enam siklus tidur NREM sampai siklus tidur
REM terjadi setiap malam (Carskadon & Dement, 1994 dalam Maas, 2011).
dalam
individu.
REM
penting
untuk
pemulihan
kognitif.
Tidur
REM
Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk
ketidakmampuan
untuk
tertidur,
seringkali
terbangun,
konstruksi
bangunan
yang
bising,
ataupun
pengalaman
yang
menimbulkan ansietas;
3) insomnia kronis,
insomnia ini berlangsung selama tiga minggu atau seumur hidup dan
disebabkan
oleh
kebiasaan
tidur
yang
buruk,
masalah
psikologis,
Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode
24 jam, dengan keluhan tidur yang berlebihan. Penyebab hipersomnia ini masih
bersifat spekulatif tetapi dapat berhubungan dengan ketidakaktifan, gaya
hidup yang membosankan, ataupun depresi. Lansia dengan hipersomnia dapat
menunjukkan kantuk di siang hari. Keluhan tentang keletihan, kelemahan,
dan kesulitan mengingat juga merupakan hal yang seringkali terjadi (Stanley &
Beare, 2006).
c.
Apnea Tidur
Stanley & Beare (2006), menyatakan bahwa apnea tidur (sleep apnea) adalah
penyakit lainnya (Buysse et al, 1988). Potter & Perry (2005), juga menambahkan
pentingnya kualitas tidur terbaik dalam upaya peningkatan kesehatan dan
pemulihan individu yang sakit.
Kualitas tidur adalah karakteristik subjektif dan seringkali ditentukan oleh
perasaan energik atau tidak setelah bangun tidur (Kozier, 2008). Kualitas
tidur adalah
kepuasan
terhadap
tidur,
sehingga
orang
tersebut
tidak
Sagala, 2011) menyatakan bahwa kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah tidur.
Tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda
psikologis. Tanda fisik kekurangan tidur meliputi ekspresi wajah (area gelap
di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva berwarna kemerahan,
dan mata cekung), kantuk yang berlebihan ditandai dengan seringkali menguap,
tidak mampu untuk berkonsentrasi, dan adanya tanda-tanda keletihan seperti
penglihatan kabur, mual, dan pusing. Tanda psikologis dari kekurangan tidur
meliputi menarik diri, apatis dan respon menurun, bingung, daya ingat berkurang,
halusinasi, ilusi penglihatan atau pendengaran, dan kemampuan memberikan
pertimbangan atau keputusan menurun (Hidayat, 2006 dalam Sagala, 2011)
Kualitas tidur individu dapat dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium
yaitu electroencephalography (EEG) yang merupakan rekaman arus listrik
dari otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala
dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan
tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang
EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta (Guyton &
Hall, 2007).
Tidur adalah pengalaman subjektif. Closs (1988, dalam Potter & Perry,
2005) menyatakan bahwa salah satu metode yang singkat dan efektif untuk
mengkaji kualitas tidur adalah dengan menggunakan skala analog visual. Perawat
membuat sebuah garis horizontal kurang lebih 10 cm. Perawat menuliskan
ini
dapat
diberikan
berulang-ulang
untuk
total waktu tidur, dan sleep latency (menit). Item 5-18 menggunakan skala Likert,
yaitu 0 = tidak selama satu bulan terakhir, 1 = kurang dari sekali seminggu, 2 =
sekali atau dua kali seminggu, 3 = tiga kali atau lebih dalam seminggu.
Item
keseluruhan, yaitu 0 = very good, 1 = fairly good, 2 = fairly bad, 3 = very bad
(Eser et al, 2007). Item tambahan yang dinilai oleh teman sekamar tersebut hanya
digunakan
dari instrumen ini (Buysse et al, 1988, dalam Eser et al, 2007).
Sembilan belas item pernyataan menilai berbagai faktor yang berkaitan
dengan tidur yang berkualitas dan dikelompokkan dalam tujuh komponen,
yang masing-masing memiliki skala 0-3. Ketujuh komponen skor tersebut
kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan skor global dari PSQI yang memiliki
jangkauan skor 0-21. Skor global PSQI > 5 mengindikasikan ukuran yang
sensitif dan spesifik dari kualitas tidur yang buruk pada individu. Semakin tinggi
skor global yang didapat semakin buruk pula kualitas tidur individu tersebut
(Buysse et al, 1988; Smyth, 2012).
2.3
tidur yang buruk pada lansia yaitu fisiologis, penyakit, psikologis, gangguan tidur
primer, perilaku sosial, dan lingkungan. Kim & Moritz (1982, dalam Maas, 2011),
menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan gangguan pola tidur pada lansia
yaitu penambahan usia, penyakit, nyeri, depresi, kecemasan, lingkungan, dan gaya
hidup.
2.3.1 Usia
Faktor usia merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
kualitas
tidur
lansia.
Bliwise
(1993,
dalam
Potter
&
Perry,
2005),
Ohayon
et
al
(2004,
dalam
Galea,
2008)
menyatakan
bahwa
penurunan efisiensi tidur terbukti dari umur 40 tahun. Efisiensi tidur mengalami
penurunan sebesar tiga persen setiap dekadenya. Hal ini mengindikasikan bahwa
usia lansia berkaitan dengan perubahan kualitas tidur, terutama dalam segi jumlah
dan waktu yang mengganggu tidur. Hasil penelitian lainnya tentang analisis
faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada lansia di Panti
Wredha Wening Wardoyo Ungaran tahun 2006 mengungkapkan hasil yang
berbeda. Hasil penelitian ini menghasilkan p value sebesar 0,633 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan tidur.
Penyakit
pernapasan
seringkali
mempengaruhi
tidur. Lansia
yang
menderita penyakit paru kronik seperti emfisema dengan napas pendek, seringkali
tidak dapat tidur tanpa dua atau tiga bantal untuk meninggikan kepala.
Asma, bronchitis, dan rinitis alergi mengubah irama pernapasan dan mengganggu
tidur. Lansia dengan influenza mengalami kongesti nasal, drainase sinus, dan
nyeri tenggorokan, yang dapat mengganggu pernapasan dan kenyamanan
dalam beristirahat (Potter & Perry, 2005).
Lansia
dengan
penyakit
jantung
koroner
seringkali
mengalami
frekuensi terbangun yang sering dan perubahan tahapan selama tidur, seperti
supresi tidur tahap 3 dan 4 serta tidur REM. Hal ini dikarenakan adanya
episode nyeri dada yang tiba-tiba dan denyut jantung yang tidak teratur (Potter &
Perry, 2005).
Hipertensi,
hipotiroidisme
dan
tukak
peptik
juga
mempengaruhi
tidur kembali. Lansia yang mengalami kram kaki pada malam hari bermasalah
pada sirkulasi arteri. Lansia juga seringkali mengalami restless leg syndrome
yang terjadi pada saat sebelum tidur. Sensasi gatal sangat dirasakan di otot dan
dapat berkurang apabila individu tersebut menggerakkan kakinya. Hal ini
dapat menghambat timbulnya relaksasi dan tidur pada lansia (Potter & Perry,
2005).
2.3.3 Depresi
Depresi adalah suatu perasaan berduka abortif yang menggunakan
mekanisme represi, supresi, penyangkalan, dan disosiasi (Stuart, 2006).
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri
rendah, rasa bersalah, putus asa, dan perasaan kosong (Keliat, 1996, dalam
Azizah, 2011).
Faktor resiko terjadinya depresi pada individu, yaitu adanya episode
depresi sebelumnya, riwayat keluarga tentang depresi, percobaan bunuh diri
sebelumnya, jenis kelamin wanita, usia saat awitan depresi kurang dari 40 tahun,
masa pascapartum, kurang dukungan sosial, peristiwa kehidupan yang penuh
stres, riwayat personal tentang penganiayaan seksual, dan penyalahgunaan
zat (Stuart, 2006). Stuart & Sundeen (1998, dalam Azizah, 2011) mengemukakan
bahwa ada empat sumber utama stresor yang dapat mencetuskan depresi,
yaitu kehilangan keterikatan, peristiwa besar dalam kehidupan, peran dan
ketegangan peran, serta perubahan fisiologi diakibatkan oleh obat-obatan atau
penyakit fisik.
Sadavoy et al (2004, dalam Azizah, 2011), menyatakan bahwa gejalagejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS, yaitu gangguan pola tidur (sleep)
pada lansia yang dapat berupa keluhan sukar tidur, mimpi buruk dan bangun lebih
awal dan tidak dapat tidur kembali, penurunan minat dan aktivitas (interest), rasa
bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai
tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir (concentration),
nafsu makan menurun (appetite), gerakan lambat dan lebih sering duduk
terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly).
Maslim (1997, dalam Azizah, 2011) juga menyatakan bahwa gejala depresi ringan
yaitu kehilangan minat dan kegembiraan, konsentrasi dan perhatian kurang,
menurunnya aktifitas, harga diri dan kepercayaan diri kurang. Azizah (2011) juga
menambahkan bahwa perilaku atau gejala yang berkaitan dengan depresi dapat
tercermin dalam beberapa aspek, yaitu fisiologis, afektif, kognitif, dan perilaku.
Aspek fisiologis merupakan salah satu aspek pencerminan gejala depresi
yang ditinjau dari segi fisiologis. Aspek fisiologis meliputi nyeri abdomen,
anoreksia, sakit punggung, nyeri dada, pusing, keletihan, sakit kepala, impotensi,
gangguan pencernaan, insomnia, kelesuan, mual, makan berlebihan, gangguan
tidur, dan perubahan berat badan (Azizah, 2011).
Gejala depresi juga dapat ditinjau dari segi afektif atau sikap individu.
Aspek afektif ini meliputi kemarahan, ansietas, apatis, penyangkalan perasaan,
rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,
kesedihan, dan rasa tidak berharga (Azizah, 2011).
kognitif
individu.
Aspek
ini
meliputi
ambivalensi, kebingungan,
fisik,
kemunduran
kesehatan,
penyakit
fisik,
akan
menyebabkan
lansia
mengalami
kesedihan yang mendalam yang berujung pada terjadinya depresi. Gejalagejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang
termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, pengkajian dengan alat yang
terstandarisasi dan dapat dipercaya harus dilakukan (Azizah, 2011).
Salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
depresi adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan
oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia.
Keunggulan alat ukur ini yaitu tidak memerlukan keterampilan khusus dari
pengguna dan mudah digunakan. Instrumen GDS memiliki sensitivitas 84% dan
specificity 95%. Tes reliabilitas alat ini yaitu 0,85 (Burns, 1999, dalam Azizah,
2011).
Alat ukur Geriatric Depression Scale (GDS) terdiri dari 30 poin
pertanyaan yang dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS
menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab ya
atau tidak pada setiap pertanyaan. Pengisian GDS membutuhkan waktu sekitar
5-10 menit. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan
depresi ringan, dan skor 21-30 menunjukkan depresi sedang atau berat (Azizah,
2011).
Lansia yang depresi seringkali mengalami perlambatan untuk jatuh tidur,
seringkali terjaga, perasaan tidur yang kurang, munculnya tidur REM secara dini,
peningkatan total waktu tidur serta terbangun lebih awal (Bliwise, 1993
dalam Potter & Perry, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Adriyani
(2008), didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat depresi dengan
kejadian insomnia di Panti Werdha Budhi Darma Yogyakarta. Sukagewa
(2003, dalam Galea, 2008) juga melakukan penelitian yang melibatkan 2.023
lansia dengan rata-rata usia 74,2 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji
hubungan antara kualitas tidur dan depresi. Alat ukur yang digunakan yaitu
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan Geriatri Depression Scale (GDS).
Mengacu pada skor GDS, lansia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen (n=634) dan kelompok kontrol (n=1389). Hasil dari penelitian ini
yaitu lansia dengan depresi memiliki efisiensi tidur yang lebih rendah, kualitas
tidur yang buruk, dan masalah tidur dibandingkan dengan lansia yang tidak
mengalami depresi.
Samiun (2006, dalam Azizah, 2011) menyatakan bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang memadai akan kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stres. Azizah (2011) menyatakan ada
beberapa upaya penanggulangan depresi pada lansia yang meliputi pendekatan
psikodinamik,
perilaku
belajar,
kognitif,
humanistik
eksistensial,
dan
belajar
mengatasi
kurangnya
penghargaan
atas
diri
sendiri.
Pendekatan kognitif bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikir tentang
keberhasilan masa lalu dan masa sekarang. Pendekatan humanistik eksistensial
bertujuan untuk membantu
sedangkan
individu
menyadari
keberadaannya
di
dunia
pilihan alternatif.
2.3.4 Kecemasan
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak
koping
sebagai
upaya
melawan
kecemasan.
Intensitas
dan terengah-engah.
Respon
pada
regio
abdomen
meliputi
kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen,
nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati, dan diare. Respon pada regio
ekstremitas meliputi refleks meningkat, reaksi terkejut, insomnia, tremor,
rigiditas, gelisah, kelemahan umum, tungkai lemah, dan berkeringat di telapak
tangan. Respon pada regio pelvis meliputi tidak dapat menahan kemih dan sering
berkemih (Stuart, 2006).
Respon kognitif terhadap kecemasan meliputi perhatian terganggu,
konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi,
hambatan berpikir, lapang persepsi menurun, dan kreativitas menurun.
Produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan
objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut
cedera atau kematian, kilas balik, dan mimpi buruk juga termasuk dalam respon
kognitif yang diberikan individu terhadap adanya kecemasan (Stuart, 2006).
Respon perilaku terhadap kecemasan meliputi gelisah, ketegangan fisik,
tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami
cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari
masalah, menghindar, hiperventilasi, dan sangat waspada. Respon afektif terhadap
kecemasan meliputi mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,
ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa
bersalah, dan malu (Stuart, 2006).
Kecemasan dan kualitas tidur yang buruk memiliki asosiasi yang sama
dengan depresi dan kualitas tidur yang buruk. Magee & Carmin (2012)
mengemukakan bahwa kecemasan adalah faktor resiko terjadinya gangguan tidur.
Papadimitriou & Linkowski (2005, dalam Galea, 2008) menyatakan bahwa
60-70% lansia yang mengalami kecemasan tergolong dalam poor sleepers.
Penelitian kohort yang dilakukan Jense et al (1998, dalam Galea, 2008) juga
mendapatkan hasil bahwa gangguan tidur memiliki hubungan yang signifikan
dengan kecemasan. Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin di dalam darah
melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Hal ini berdampak pada pengurangan
tidur tahap 4 NREM dan tidur REM pada lansia (Kozier, 2008).
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Handayani (2009)
menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan
pada lanjut usia. Adanya dukungan keluarga akan membantu menurunkan
kecemasan pada lansia. Dukungan keluarga ini mencakup dukungan informasi,
emosional, instrumental, dan penilaian.
Maryam et al (2008) menyatakan beberapa tindakan yang dapat digunakan
untuk mengatasi kecemasan pada lansia selain dengan memaksimalkan dukungan
keluarga yaitu membicarakan rasa khawatir dan mencoba menentukan penyebab
yang mendasar; memberikan rasa aman pada lansia dengan penuh empati;
bila penyebab kecemasan tidak jelas dan mendasar, berikan alasan-alasan yang
dapat diterima lansia; dan mengkonsultasikan dengan dokter bila penyebabnya
tidak dapat ditentukan dan berbagai cara telah dilakukan namun kecemasan tidak
dapat dihilangkan.
dari tidur tahap 1, sedangkan suara yang keras membangunkan lansia pada
tahap tidur 3 dan 4. Ruangan yang terlalu hangat atau dingin juga
seringkali menyebabkan lansia gelisah (Potter & Perry, 2005).
obat
dapat mengganggu
tidur
secara
serius.
Hipnotik
dapat
juga
dapat
menyebabkan
2.4
(2008) menyatakan
bahwa
higiene
tidur
yang
baik
b.
waktu bangun yang teratur di pagi hari. Hal ini akan memperkuat
siklus sirkadian dan menyebabkan awitan tidur yang teratur;
c.
jumlah latihan yang stabil setiap harinya akan dapat memperdalam tidur;
d.
e.
f.
g.
h.
i.
alkohol dapat memudahkan orang untuk tidur, namun hal ini akan
menyebabkan tidur menjadi terputus-putus;
j.
lansia yang merasa marah ataupun frustasi karena tidak dapat tidur
tidak boleh mencoba terlalu keras untuk tidur. Hal yang dapat dilakukan
yaitu menyalakan lampu dan melakukan kegiatan lain terlebih dahulu;
k.
b.
suhu kamar harus cukup dingin (kurang dari 24oC) sehingga cukup nyaman;
c.
d.
latihan sedang di siang hari atau sore hari merupakan hal yang dianjurkan.
Galimi (2010), juga menambahkan higiene tidur yang baik yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
menjaga suhu kamar tidur yang nyaman dan waktu tidur yang teratur
b.
c.
jika tidak dapat tidur, bangun dan pindah ke ruangan lain, dan kembali ketika
benar-benar mengantuk;
d.
menggunakan alarm dan bangun di waktu yang sama setiap pagi tanpa
mempedulikan jumlah jam tidur di malam hari, hal ini membantu tubuh
menetapkan irama tidur-bangun yang konstan;
e.
pertahankan
kondisi
yang
kondusif
untuk
tidur,
yang
mencakup
bantu lansia untuk rileks pada saat menjelang tidur dengan memberikan
usapan punggung, masase kaki atau kudapan tidur bila diinginkan.
Latihan pasif dan gerakan mengusap memberikan efek yang menidurkan;
c.
berikan posisi yang tepat, beri kehangatan dengan selimut, dan bantu untuk
menghilangkan nyeri serta anjurkan lansia untuk mandi air hangat;
d.
hindari memberikan kafein (kopi, teh, atau coklat) di sore atau malam hari;
e.
f.
anjurkan lansia untuk tidur siang, namun tidak boleh lebih dari dua jam;
g.
upaya terakhir yang dapat dilakukan yaitu dengan penggunaan obat yang
menginduksi tidur, seperti L-Triptofan, Sherry, Difenhidramin antihistamin, dan
Perubahan-perubahan yang
terjadi pada lansia:
a. Perubahan Fisik
b. Perubahan Kognitif
c. Perubahan Spiritual
d. Perubahan Psikososial
e. Penurunan Fungsi dan
Potensi Seksual
f. Perubahan Pola Tidur
dan Istirahat
Gangguan tidur
pada lansia:
1. Insomnia
2. Hipersomnia
3. Apnea Tidur
Pencegahan
kualitas tidur yang
buruk:
a. Pencegahan
primer
b. Pencegahan
sekunder
c. Pencegahan
tersier
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1
Kerangka Konseptual
Jenis gangguan
tidur utama pada
lansia:
1. Insomnia
2. Hipersomnia
3. Apnea Tidur
Upaya pencegahan
kualitas tidur yang
buruk:
a. Pencegahan
primer
b. Pencegahan
sekunder
c. Pencegahan
tersier
3.2
Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan
ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia dini, lansia,
dan lansia resiko tinggi;
b.
ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang tidak
sakit dengan lansia yang sakit;
c.
ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang tidak
depresi, lansia yang depresi ringan, dan lansia yang depresi sedang atau
berat;
d.
ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang tidak
cemas dan lansia yang cemas;
e.
ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang
a.
f.
ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang gaya
hidupnya baik dan lansia yang gaya hidupnya buruk
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional
4.2
4.2.1 Populasi
Populasi adalah sejumlah besar
tertentu (Sastroasmoro & Ismael, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah
semua lansia di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah. Data dari program
posyandu lansia di Puskesmas Jenggawah Bulan Februari tahun 2012 menyatakan
bahwa terdapat 85 lansia yang tersebar dalam empat dusun di Desa
Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasi (Sastroasmoro & Ismael, 2008).
Sampel dalam penelitian ini yaitu sebagian lansia dengan kualitas tidur yang
= 25/85 x 70 = 21 jiwa
= 20/85 x 70 = 16 jiwa
Dusun Krajan
= 22/85 x 70 = 18 jiwa
proses
penelitian,
jumlah
sampel
mengalami
pengurangan
= 13 jiwa
= 9 jiwa
Dusun Krajan
= 14 jiwa
4.3
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Wonojati, Kecamatan Jenggawah,
Kabupaten Jember.
4.4
Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal penelitian pada bulan
Maret sampai April 2012. Penelitian dilakukan pada awal bulan Mei 2012.
Penyusunan laporan penelitian pada akhir bulan Mei sampai Juni 2012.
4.5
Definisi Operasional
Definisi operasional terdiri dari dua variabel, antara lain variabel
Variabel
variabel bebas:
faktorfaktor
yang
berhubungan
dengan kualitas
tidur yang buruk
a. Usia
Definisi
Segala sesuatu yang
dapat mempengaruhi
terjadinya masalah
kesehatan khususnya
kualitas tidur yang
buruk pada lansia
Waktu hidup
seseorang sejak
dilahirkan sampai
saat ini yang
dinyatakan dalam
tahun.
Indikator
b. Respon
terhadap
penyakit
Gangguan berupa
perasaan sakit atau
nyeri yang
menyebabkan
seseorang terbangun
dari tidur.
1.
2.
3.
4.
5.
kesulitan bernapas
nyeri tenggorokan
pusing
nyeri dada
keinginan
berkemih di
malam hari
6. kram
7. nyeri lambung
c. Tingkat
Depresi
Tingkatan atau
jenjang dari
gangguan alam
perasaan yang
ditandai oleh
1. minat aktivitas
2. perasaan sedih
3. perasaan sepi dan
bosan
4. perasaan tidak
Alat Ukur
Skala
Hasil
Ordinal
Lansia Dini
=0
Lansia = 1
Lansia
Resiko
Tinggi = 2
Kuesioner 2
Ordinal
Tidak Sakit
=0
Sakit = 1
Kuesioner 2
Ordinal
Tidak
Depresi = 0
Depresi
ringan = 1
Depresi
kesedihan dan
perasaan berduka
berdaya
5. perasaan bersalah
6. perhatian/konsent
rasi
7. semangat atau
harapan terhadap
masa depan
Sedang
atau Berat
=2
d. Tingkat
Kecemasan
Tingkatan
kekhawatiran yang
berkaitan dengan
perasaan tidak pasti
dan tidak berdaya.
1. somatic
symptoms and
autonomic arousal
2. symptoms of
tension and
distress
3. mental state
symptoms: fear
and concern
Kuesioner 2
Ordinal
Tidak
Cemas = 0
Cemas = 1
e. Lingkungan
fisik
Kondisi sekitar
yang dapat
mempengaruhi
kenyamanan tidur
lansia.
1. suhu terlalu
hangat
2. suhu terlalu
dingin
3. suara bising
4. kekerasan tempat
tidur
5. kenyamanan
kamar tidur
6. penggunaan
lampu ketika tidur
Kuesioner 2
Ordinal
Baik = 0
Kurang = 1
f. Gaya hidup
Perilaku yang
dilakukan dan dapat
berpengaruh pada
kenyamanan tidur
lansia
1. kebiasaan
menggunakan
alkohol
2. kebiasaan
merokok
3. penggunaan obat
tidur
4. kebiasaan
konsumsi kafein
5. kebiasaan makan
Kuesioner 2
Ordinal
Baik = 0
Buruk = 1
4.6
Pengumpulan Data
data primer
Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung oleh
peneliti dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu oleh peneliti. Data dikumpulkan secara langsung dari
responden melalui teknik wawancara terstruktur terkait dengan kualitas
tidur dan faktorfaktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang
buruk pada lansia di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten
Jember.
b.
data sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak langsung
oleh peneliti. Peneliti mendapatkan data jumlah lansia di Kabupaten Jember
melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Data jumlah lansia di Desa
Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember didapatkan peneliti
melalui Puskesmas Jenggawah. Data sekunder tersebut digunakan untuk
menentukan besarnya populasi penelitian.
kualitas
tidur
lansia
dan
kuesioner
yang
pada
lansia. Pertanyaan
yang
terdapat
dalam
kuesioner
adalah
pertanyaan yang bersifat tertutup dan responden hanya menjawab salah satu
jawaban yang telah disediakan (Sugiyono,
2009).
Pengisian
kuesioner
Skor 0-10
pada
lansia
Jenggawah Kabupaten
yang
berada
di
Desa
Jenggawah
Jember
dengan
karakteristik
yang
Kecamatan
sama
dengan
depresi dipublikasikan
pada
tahun
1983
oleh
Yesavage
dkk.
item
(Riwidikdo, 2007).
4.7
Editing
Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian kuesioner
Coding
Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2010). Peneliti memberikan tanda atau kode
tertentu pada setiap jawaban responden dalam kuesioner yang bertujuan
untuk lebih memudahkan peneliti saat menganalisis data. Pemberian kode
pada penelitian ini terdiri dari:
1) sub variabel usia, terbagi atas tiga kategori yaitu kode 0 = lansia dini, kode 1
= lansia, dan kode 2 = lansia resiko tinggi.
2) sub variabel respon terhadap penyakit, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0
= tidak sakit, kode 1 = sakit.
3) sub variabel tingkat depresi, terbagi atas tiga kategori yaitu kode 0 = tidak
ada depresi, kode 1 = depresi ringan, dan kode 2 = depresi sedang
atau berat.
4) sub variabel tingkat kecemasan, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0 =
tidak cemas dan kode 1 = cemas.
5) sub variabel lingkungan fisik, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0
baik, kode 1 = kurang.
6) sub variabel gaya hidup, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0 = baik,
kode 1 = buruk.
c.
Entry
Entry adalah proses memasukkan jawaban-jawaban dari masing-masing
Cleaning
Cleaning adalah proses pembersihan data (Notoatmodjo, 2010). Cleaning
hubungan
antara
variabel
independen
(faktorfaktor
yang
adalah kategorik dan numerik, maka analisis yang digunakan adalah uji t
independen pada sub variabel independen yang memiliki dua nilai (respon
terhadap penyakit, tingkat depresi, tingkat kecemasan, lingkungan fisik, gaya
hidup) dan uji ANOVA pada sub variabel independen yang memiliki lebih dari 2
nilai (usia).
4.8
Etika Penelitian
persetujuan tentang
hak
dan
kewajiban
selama
penelitian.
dijamin
oleh
peneliti
(Brockopp
&
Tolsma,
2000).
Kerahasiaan pada penelitian saat ini dilakukan oleh peneliti dengan cara
penggunaan anonimity untuk mendokumentasikan responden (identitas lansia)
dalam pendokumentasian hasil penelitian.
apapun,
karena
peneliti
tidak
memberikan
kualitas tidur yang baik atau kualitas tidur yang buruk serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.