You are on page 1of 71

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Fenomena baru yang muncul di dunia seiring dengan keberhasilan

pembangunan adalah populasi lansia yang meningkat (Araujo & Ceolim, 2010).
Peningkatan populasi lansia tersebut merupakan dampak dari adanya peningkatan
usia harapan hidup penduduk. Peningkatan usia harapan hidup terjadi di
negara maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia (Prayitno, 2002).
Indonesia

merupakan

negara

yang

menduduki

peringkat

keempat

jumlah lansia terbanyak di dunia setelah China, India, dan Amerika. Kepala
BKKBN Dr. Sugiri Syarief, MPA mengatakan bahwa pada sensus penduduk
tahun 2010 didapatkan data jumlah lansia yang meningkat secara signifikan.
Jika pada tahun 1970-an, jumlah

lansia

hanya sekitar dua persen dari

keseluruhan penduduk, saat ini sudah mencapai hampir 10 persen dari jumlah
keseluruhan penduduk (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
2011).

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, didapatkan data

bahwa jumlah lansia di Indonesia yaitu 23.992.553 jiwa (9,77 persen dari
keseluruhan penduduk). Prediksi jumlah lansia ini akan meningkat menjadi
28.822.879 jiwa (11,34 persen dari keseluruhan penduduk) pada tahun 2020
(Wahyuningsih, 2011).
Wahyuningsih (2011), menyatakan bahwa lima provinsi dengan jumlah
lansia paling banyak di Indonesia, yaitu: DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa

Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Timur menempati peringkat
kedua terbanyak setelah DI Yogyakarta dengan persentase lansia yaitu 9,36
persen dari keseluruhan penduduk (Wahyuningsih, 2011). Kabupaten Jember
adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki jumlah
lansia terbanyak kedua setelah Kabupaten Malang (Yunita, 2010). Jumlah
lansia

di

Kabupaten Jember adalah 128.485 jiwa yang tersebar dalam 31

kecamatan (Dinas Kesehatan Jember, 2010). Data Badan Pusat Statistik


(2010) menunjukkan bahwa pada sensus penduduk tahun 2000 di Kabupaten
Jember didapatkan data jumlah lansia dengan rentang usia 5564 tahun sebesar
5.469 orang dan lansia dengan usia 65 tahun sebesar 3.682 jiwa.
Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia, Prof. Dr. Haryono Suyono
menyatakan bahwa jumlah lansia yang banyak di Indonesia haruslah
ditangani secara

keseluruhan

dengan

memperhatikan

kebutuhan

(Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2011).

lansia

Kebutuhan

fisiologis dasar manusia, termasuk lansia yang harus dipenuhi, yaitu higiene,
nutrisi, kenyamanan, oksigenasi, cairan elektrolit, eliminasi urin, eliminasi
fekal, dan tidur (Potter & Perry, 2005). Kaplan & Saddock (1997, dalam
Erliana, 2009) menambahkan bahwa kebutuhan dasar yang sering kali tidak
disadari peranannya adalah kebutuhan tidur dan istirahat.
Tidur adalah keadaan saat terjadinya proses pemulihan bagi tubuh dan
otak serta sangat penting terhadap pencapaian kesehatan yang optimal
(Maas, 2011). Kebutuhan tidur termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Kebutuhan
tidur merupakan kebutuhan primer yang menjadi syarat dasar bagi kelangsungan

hidup manusia (Asmadi, 2006). Pada masa neonatus, kebutuhan untuk tidur
sekitar 18 jam, berkurang menjadi 13 jam pada usia satu tahun, sembilan jam pada
usia 12 tahun, delapan jam pada usia 20 tahun, tujuh jam pada usia 40
tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun, dan enam jam pada usia 80 tahun
(Amir, 2007; Prayitno, 2002).
Proses penuaan membuat lansia lebih mudah mengalami gangguan tidur,
selain mengakibatkan perubahan normal pada pola tidur dan istirahat lansia
(Maas, 2011). Keluhan-keluhan seputar masalah tidur merupakan masalah umum
yang terjadi di masyarakat luas, khususnya pada lansia (Roland, 2011).
Frost (2001, dalam Amir, 2007), menyatakan bahwa prevalensi gangguan
tidur

pada lansia

cukup

tinggi

yaitu

sekitar

67%.

Lansia

seringkali

melaporkan mengalami kesulitan untuk dapat tertidur saat berada di tempat


tidur. Webb (1989, dalam Maas, 2011), juga menyatakan bahwa penundaan
waktu tertidur terjadi pada satu dari tiga lansia wanita dan satu dari lima lansia
pria.
National Institute of Health Consensus Development Conference pada
tahun 1990 menyatakan gangguan tidur menyerang 50% orang yang berusia
65 tahun yang tinggal di rumah (Maas, 2011). Kuntari (2002) juga
menambahkan bahwa 60% lansia Indonesia yang tinggal di rumah berada di
wilayah pedesaan. Salah satu kecamatan di Kabupaten Jember yang keseluruhan
wilayahnya terbagi dalam desa yaitu Kecamatan Jenggawah. Jumlah lansia di
Kecamatan Jenggawah yaitu sebanyak 278 jiwa. Kecamatan Jenggawah juga
menempati peringkat kedua terbanyak jumlah lansia yang berusia lebih dari

60 tahun s etelah Kecamatan Tanggul (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,


2010).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan salah satu petugas
Puskesmas Tanggul yang menangani program posyandu lansia menyatakan bahwa
lansia jarang mengeluhkan gejala-gejala gangguan tidur. Hasil wawancara
yang dilakukan dengan lansia yang berusia lebih dari 55 tahun, didapatkan data
bahwa hanya 5 dari 20 lansia yang mengeluhkan sering terbangun di malam
hari karena ingin buang air kecil dan mengantuk berlebihan di siang hari. Lima
belas lansia lainnya menyatakan bahwa kualitas tidur mereka baik, tidur nyenyak
sa at malam hari, dan tidak merasakan kantuk berlebihan di siang hari.
Hasil yang berbeda didapatkan di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah.
Hasil studi pendahuluan pada lansia dengan usia lebih dari 55 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Jenggawah didapatkan data bahwa 16 dari 20 lansia
mengeluhkan seringkali terbangun di malam hari dan merasa kesulitan untuk
kembali tidur. Lansia juga mengeluhkan seringkali merasa mengantuk di
siang hari, terbangun karena ingin buang air kecil, serta terbangun karena
merasakan lingkungan yang panas. Enam belas lansia tersebut tinggal di
wilayah Desa Wonojati yang merupakan desa dengan jumlah lansia terbesar
di Kecamatan Jenggawah yaitu 85 jiwa yang tersebar dalam empat dusun.
Uraian tersebut yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian tentang
kualitas tidur yang buruk pada lansia di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah
Kabupaten Jember.

Gejala-gejala yang dikeluhkan pada lansia di Desa Wonojati tersebut


merupakan gejala-gejala dari gangguan tidur. Gangguan tidur yang terjadi
pada lansia tentu akan mempengaruhi kualitas tidur lansia. Sumedi, Wahyudi,
dan Kuswati (2010), mengungkapkan bahwa kualitas tidur malam hari pada
lansia mengalami penurunan menjadi sekitar 70-80% dari usia dewasa.
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang
tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah,
lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva
merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap
atau mengantuk (Hidayat, 2006, dalam Sagala, 2011).
Berbagai pendapat menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi tidur.
Kozier (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
tidur adalah faktor usia, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stress psikologis,
alkohol dan stimulan, diet, merokok, motivasi, sakit, dan medikasi. Potter &
Perry (2005) juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tidur adalah
penyakit fisik, obat dan zat, gaya hidup, pola tidur yang biasa dan mengantuk
yang berlebihan pada siang hari, stres dan emosional, lingkungan, latihan dan
kelelahan, serta asupan makanan dan kalori. Vitiello (2006) menambahkan
bahwa faktor yang menyebabkan kualitas tidur yang buruk pada lansia yaitu
fisiologis,

penyakit, psikologis, gangguan tidur primer, perilaku sosial, dan

lingkungan. Kim & Moritz (1982, dalam Maas, 2011) menyatakan bahwa
faktor yang menyebabkan gangguan pola tidur pada lansia yaitu faktor internal
dan eksternal.

Faktor internal meliputi psikologis (kecemasan) dan fisiologis. Faktor


fisiologis meliputi gangguan siklus tidur yang berhubungan dengan penyakit,
nyeri, depresi, dan penambahan usia. Faktor usia merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi kualitas tidur lansia. Prayitno (2002),
menyatakan bahwa pertambahan usia berdampak terhadap penurunan periode
tidur. Kelompok lansia juga cenderung lebih mudah bangun dari tidurnya dan
kebutuhan tidur pada lansia akan berkurang dengan berlanjutnya usia. Respon
terhadap penyakit dan nyeri yang dialami oleh lansia juga merupakan faktor
penting yang dapat mempengaruhi kualitas tidur.
Faktor internal lain yang berhubungan dengan kualitas tidur lansia
yaitu depresi. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Lorrain et al
(2008, dalam Dinges, 2011) selama jangka waktu satu tahun, mengemukakan
bahwa kualitas tidur cenderung menurun seiring bertambahnya usia, terutama
pada lansia yang juga mengalami depresi ataupun kecemasan. Martin & AncoliIsrael (2003, dalam Galea, 2008) juga mengemukakan bahwa depresi adalah
masalah psikologis yang seringkali terkait dengan kejadian insomnia pada
lansia. Kejadian depresi pada lansia juga memiliki peluang tiga kali lebih besar
sebagai faktor resiko insomnia dibandingkan dengan penyakit fisik pada lansia
(Galea, 2008).
Faktor internal lain yang juga berhubungan dengan kualitas tidur pada
lansia yaitu kecemasan. Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin di
dalam darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Hal ini berdampak pada
pengurangan tidur tahap 4 NREM dan tidur REM pada lansia (Kozier,

2008). Magee & Carmin (2012) mengemukakan bahwa kecemasan adalah faktor
resiko terjadinya gangguan tidur. Papadimitriou & Linkowski (2005, dalam Galea,
2008) menyatakan

bahwa

60-70%

lansia

yang

mengalami

kecemasan

tergolong dalam poor sleepers. Penelitian kohort yang dilakukan Jense et al


(1998, dalam Galea, 2008) juga mendapatkan hasil bahwa gangguan tidur
memiliki hubungan yang signifikan dengan kecemasan.
Faktor eksternal yang menyebabkan gangguan pola tidur pada lansia
meliputi gaya hidup dan lingkungan.

Suara bising dan stimulus lingkungan

lainnya dapat mengganggu tidur lansia (Maas, 2011). Ruangan yang terlalu hangat
atau dingin juga seringkali menyebabkan lansia gelisah (Potter & Perry, 2005).
Faktor gaya hidup seperti penggunaan alkohol dan rokok dalam kehidupan
juga mempengaruhi tidur lansia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh KeHsin Chueh (2009), didapatkan bahwa lansia perempuan di Taiwan yang
mengkonsumsi alkohol memiliki kualitas tidur yang buruk. Lexcen & Hicks
(1993, dalam Maas, 2011), menyatakan bahwa perokok lebih cenderung
melaporkan keluhan seperti kesulitan tertidur dan keluhan perasaan mengantuk
di siang hari dibandingkan dengan kelompok nonperokok.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk tersebut
dapat dijadikan acuan dalam pencegahan gangguan tidur pada lansia.
Penatalaksanaan gangguan tidur pada lansia meliputi pencegahan primer,
sekunder, dan tersier. Pencegahan primer adalah upaya untuk menghindari
penyakit atau kondisi kesehatan tertentu. Pencegahan primer yang dapat dilakukan
terhadap gangguan tidur lansia adalah dengan melakukan higiene tidur yang baik.

Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan pengobatan terhadap kondisi


kesehatan yang merugikan, meliputi tindakan nonfarmakologik dan farmakologik.
Pencegahan tersier dilakukan jika penyakit atau kondisi tertentu telah
menyebabkan kerusakan pada individu. Tujuan rehabilitasi yang dilakukan, yaitu
agar lansia dapat menikmati tidur yang berkualitas baik sampai akhir
hayatnya (Anderson & McFarlane, 2006; Stanley & Beare, 2006).
Penatalaksanaan gangguan tidur pada lansia tersebut terbagi dalam tiga
tingkatan pencegahan, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Mengacu
pada ketiga pencegahan tersebut, pencegahan primer adalah kunci utama
dalam menghindari suatu kondisi kesehatan yang merugikan. Pengetahuan akan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada
lansia dapat menjadi acuan dari berbagai kegiatan promosi kesehatan yang
tercakup dalam pencegahan primer (Anderson & McFarlane, 2006). Uraian
yang dijelaskan tersebut, memberikan inspirasi pada peneliti untuk melakukan
penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang
buruk pada lansia di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember.

1.2

Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apa saja faktor yang

berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia di Desa Wonojati
Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember?

1.3

Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktorfaktor

yang

berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia di Desa Wonojati
Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a.
b.
c.

mengidentifikasi karakteristik jenis kelamin pada lansia;


menganalisis hubungan usia dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia;
menganalisis hubungan respon terhadap penyakit dengan kualitas tidur

d.

yang buruk pada lansia;


menganalisis hubungan tingkat depresi dengan kualitas tidur yang buruk

1.
e.

pada
lansia;
menganalisis hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur yang

f.

buruk pada lansia;


menganalisis hubungan lingkungan fisik dengan dengan kualitas tidur

g.

yang buruk pada lansia;


menganalisis hubungan gaya hidup dengan kualitas tidur yang buruk
pada lansia.

1.4

Manfaat

1.4.1 Manfaat bagi Peneliti

Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan


mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk
pada lansia.

1.4.2 Manfaat bagi Instansi Pendidikan


Manfaat yang bisa diperoleh bagi instansi pendidikan adalah sebagai
tambahan referensi dan pengembangan penelitian, serta sebagai pedoman
untuk melakukan intervensi pada keperawatan

gerontik.

Pengetahuan akan

faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia
dapat memberikan

masukan

intervensi

yang

tepat

dalam

pencegahan

gangguan tidur yang terjadi pada lansia. Instansi pendidikan juga dapat
mengembangkan keilmuannya secara mendalam terkait dengan intervensi pada
setiap faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia.

1.4.3 Manfaat bagi Instansi Kesehatan


Manfaat yang bisa diperoleh bagi instansi kesehatan adalah data dan
hasil yang diperoleh dapat dijadikan sumber informasi dan masukan untuk
optimalisasi program pencegahan dan penanganan gangguan tidur pada lansia.
Data yang didapatkan di masyarakat terkait dengan kualitas tidur yang buruk
pada lansia dapat dijadikan masukan pada instansi kesehatan setempat bahwa
kebutuhan tidur pada lansia juga penting untuk dipenuhi selain kebutuhan dasar
lansia lainnya

1.4.4 Manfaat bagi Keperawatan


Manfaat penelitian ini bagi keperawatan yaitu hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan peningkatan terhadap kualitas asuhan keperawatan khususnya
pada keperawatan gerontik. Peran perawat gerontik dalam penatalaksanaan
kualitas tidur yang buruk pada lansia dapat lebih optimal dengan mengetahui
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas tidur yang buruk pada lansia.
Hal ini menjadi penting bagi lansia, karena kualitas tidur yang baik dapat
menunjang dalam peningkatan kualitas hidup lansia.

1.5

Keaslian Penelitian
Penelitian terdahulu terkait dengan kualitas tidur adalah penelitian

yang dilakukan oleh Rofiqoh (2010), yang meneliti tentang faktor-faktor


yang mempengaruhi kualitas tidur pada pasien CRF di unit pelayanan hemodialisa
RS PKI Muhammadiyah Gombong. Penelitian tersebut menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Cara pengambilan sampel
menggunakan total sampling dan di analisis dengan menggunakan uji chi
square. Hasil penelitian tersebut mendapatkan bahwa faktor yang mempengaruhi
kualitas tidur adalah mudah tersinggung, putus asa, nyeri, cemas atau stres.
Penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian saat ini. Perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan peneliti kali ini terletak pada subjek penelitian, variabel
independen, variabel dependen, dan analisis data. Subjek penelitian dalam
penelitian ini, yaitu lansia sedangkan subjek penelitian terdahulu adalah
pasien CRF. Variabel independen dalam penelitian ini mencakup usia, respon

terhadap penyakit, tingkat depresi, tingkat kecemasan, gaya hidup, dan


lingkungan fisik. Variabel independen pada penelitian terdahulu, yaitu mudah
tersinggung,

putus asa, nyeri, cemas atau stres.

Variabel dependen dalam

penelitian ini yaitu kualitas tidur yang buruk sedangkan variabel dependen
pada penelitian terdahulu adalah kualitas tidur. Analisis bivariat pada penelitian
ini menggunakan uji t independen dan ANOVA sedangkan analisis bivariat
pada penelitian terdahulu adalah chi square.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia


Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, yang dimaksud
lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Azizah,
2011). Menurut Surini & Utomo (2003, dalam Azizah, 2011), lansia
bukanlah

suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses

kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan


kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.

2.1.2 Batasan Lansia


WHO (1999, dalam Azizah, 2011) menggolongkan lansia berdasarkan usia
kronologis atau biologis menjadi empat kelompok, yaitu usia pertengahan (middle
age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 sampai
74 tahun, lanjut usia tua (old) berusia antara 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat
tua (very old) di atas 90 tahun. Nugroho (2000) juga menyatakan bahwa
lansia adalah orang atau individu yang telah berumur 65 tahun ke atas.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia juga
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas
(Azizah, 2011). Depkes RI (2003, dalam Pangastuti, 2008) menggolongkan lansia

dalam tiga kategori, yaitu: lansia dini (55-64 tahun), lansia (65-70 tahun),
dan lansia resiko tinggi (lebih dari 70 tahun).

2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia


Duvall (1977, dalam Azizah, 2011) menyatakan bahwa lansia memiliki
tugas perkembangan khusus yang terdiri dari tujuh kategori, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan;


menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan;
menyesuaikan terhadap kematian pasangan;
menerima diri sendiri sebagai individu lansia;
mempertahankan kepuasan pengaturan hidup;
mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa;
menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup.
Dengan mengetahui tugas perkembangannya, lansia diharapkan mampu

menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan kesehatan secara bertahap


(Azizah, 2011).

2.1.4 Proses Menua


Menua (aging) adalah proses alamiah yang biasanya disertai perubahan
kemunduran fungsi dan kemampuan sistem yang ada di dalam tubuh
sehingga

terjadi

penyakit

degeneratif.

Proses

menua

adalah

proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki


diri (Nugroho, 2000).
Penuaan adalah proses normal dengan perubahan fisik dan tingkah
laku yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Penuaan merupakan fenomena yang

kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang sampai pada keseluruhan sistem (Stanley & Beare, 2006).
Proses

penuaan merupakan

akumulasi

secara

progresif

dari

berbagai

perubahan fisiologi organ tubuh yang berlangsung seiring berlalunya waktu.


Proses penuaan akan meningkatkan kemungkinan terserang penyakit bahkan
kematian (Azizah, 2011).

2.1.5 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia


a.

Perubahan Fisik
Perubahan fisik pada lansia mencakup perubahan pada sel, sistem indra,

sistem muskuloskeletal, sistem kardiovaskuler dan respirasi, pencernaan dan


metabolisme, perkemihan, sistem saraf, dan sistem reproduksi (Azizah, 2011;
Nugroho, 2000; Stanley & Beare, 2006)
1) Sel
Sel-sel pada tubuh lansia akan mengalami perubahan dari keadaan awal.
Ukuran sel pada lansia menjadi lebih besar namun jumlahnya semakin
sedikit. Jumlah sel otak juga akan mengalami penurunan. Mekanisme
perbaikan sel juga akan terganggu (Nugroho, 2000).

2) Sistem Indera
Perubahan penglihatan yang terjadi pada kelompok lanjut usia erat
kaitannya dengan adanya kehilangan kemampuan akomodatif mata.

Kerusakan kemampuan akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris menjadi


lebih lemah dan lensa kristalin mengalami sklerosis (Stanley & Beare,
2006). Kondisi ini dapat diatasi dengan penggunaan kacamata dan sistem
penerangan yang baik (Azizah, 2011).
Ukuran pupil menurun (miosis pupil) dengan penuaan karena sfinkter
pupil mengalami sklerosis. Miosis pupil ini dapat mempersempit lapang
pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
Peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan warna menjadi menguning
juga terjadi pada sistem penglihatan lansia. Hal ini berdampak pada
penglihatan

yang

kabur,

sensitivitas

terhadap

cahaya,

penurunan

penglihatan pada malam hari, dan kesukaran dengan persepsi kedalaman


(Stanley & Beare, 2006).
Perubahan

pendengaran

pada

lansia

erat

kaitannya

dengan

presbiakusis (gangguan pendengaran). Hal ini berkaitan dengan hilangnya


kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap nadanada tinggi, suara yang tidak jelas, dan kata-kata yang sulit dimengerti
(Azizah, 2011). Otoskop dengan pemeriksaan histologi, mikrobiologi,
biokimia serta radiologi dapat dilakukan untuk memeriksa adanya
gangguan pendengaran pada lansia (Stanley & Beare, 2006).
Perubahan pada sistem integumen juga terjadi pada lansia. Kulit
lansia mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan berkerut.
Perubahan yang terjadi pada kulit lansia lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, yaitu: angin dan sinar ultraviolet (Azizah, 2011).

3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia terjadi pada jaringan
penghubung, kartilago, tulang, otot, maupun sendi. Kolagen sebagai
pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan
pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
Perubahan pada kolagen tersebut menimbulkan dampak berupa nyeri,
penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, dan hambatan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Perubahan yang terjadi pada
jaringan kartilago mengakibatkan sendi mengalami peradangan, kekakuan,
nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari (Azizah,
2011).
Kepadatan tulang pada lansia mengalami pengurangan. Tulang akan
kehilangan

cairan

dan

makin

rapuh

(Nugroho,

2000).

Hal

ini

mengakibatkan osteoporosis pada lansia. Nyeri, deformitas, dan fraktur


merupakan komplikasi lanjut dari osteoporosis. Latihan fisik dapat
diberikan sebagai cara untuk mencegah adanya osteoporosis pada lansia
(Azizah, 2011).
Perubahan juga terjadi pada otot dan sendi lansia. Persendian
membesar dan menjadi pendek (Nugroho, 2000). Sendi kehilangan
fleksibilitas sehingga terjadi penurunan luas dan gerak sendi (Azizah,
2011). Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua
(Nugroho, 2000). Perubahan morfologis pada otot seperti adanya jaringan
lemak pada otot, perubahan struktur, penurunan jumlah dan ukuran serabut

otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan fungsional otot (Azizah,


2011).
4) Sistem Kardiovaskuler dan Respirasi
Sistem kardiovaskuler mengalami perubahan dimana arteri menjadi
kehilangan elastisitasnya (Azizah, 2011). Efektifitas pembuluh darah
perifer dalam oksigenasi juga mengalami penurunan (Nugroho, 2000).
Pada sistem respirasi, terjadi perubahan pada otot, kartilago, dan sendi
toraks yang mengakibatkan gerakan pernapasan menjadi terganggu dan
mengurangi kemampuan peregangan toraks (Azizah, 2011). Kekuatan otot
pernapasan akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Otot
pernapasan mengalami kelemahan akibat atrofi (Nugroho, 2000).
5) Sistem Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, yaitu sensitivitas
lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik melemah, serta ukuran
hati yang mengecil. Kehilangan gigi juga seringkali terjadi pada lansia
(Azizah, 2011). Hal ini disebabkan karena periodontal disease ataupun
kesehatan gigi maupun gizi yang buruk pada lansia (Nugroho, 2000).

6) Sistem Perkemihan
Dalam

sistem

perkemihan,

terjadi

perubahan

yang

signifikan

meliputi: kemunduran dalam laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh


ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam pemberian obat pada lansia.

Inkontinensia urin juga meningkat pada lansia (Ebersole and Hess, 2001,
dalam Azizah, 2011).

Aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%. Fungsi

tubulus berkurang dan berat jenis urin menurun (Nugroho, 2000).


7) Sistem Saraf
Surini & Utomo (2003, dalam Azizah, 2011) mengemukakan
bahwa lansia mengalami penurunan kemampuan dalam beraktivitas.
Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensori dan respon motorik
pada susunan saraf pusat serta penurunan reseptor proprioseptif. Hal ini
terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan
morfologis dan biokimia.
8) Sistem Reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan mengecilnya
ovari dan uterus. Payudara pada lansia wanita juga mengalami atrofi.
Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi
berkurang, dan sifat reaksinya menjadi alkali. Testis pada lansia pria masih
dapat memproduksi spermatozoa, meskipun terjadi penurunan secara
berangsur-angsur (Watson, 2003, dalam Azizah, 2011). Dorongan seksual
menetap sampai usia di atas 70 tahun apabila kondisi kesehatan masih baik
(Nugroho, 2000).
b.

Perubahan Kognitif
Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang merupakan salah satu

fungsi kognitif. Ingatan jangka panjang kurang mengalami perubahan, sedangkan


ingatan jangka pendek memburuk. Lansia akan kesulitan mengungkapkan

kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya (Azizah,
2011). Nugroho (2000) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi
perubahan kognitif pada lansia, yaitu: perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat
pendidikan, keturunan, dan lingkungan.
c.

Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam kehidupan lansia

(Maslow, 1976, dalam Azizah, 2011). Nugroho (2000) menyatakan bahwa lansia
makin teratur dalam menjalankan rutinitas kegiatan keagamaannya sehari-hari.
Lansia juga cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian
(Azizah, 2011).
d.

Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial yang dialami oleh lansia, yaitu masa pensiun,

perubahan aspek kepribadian, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat.


Pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan
perubahan peran yang menyebabkan stres psikososial. Hilangnya kontak
sosial dari area pekerjaan membuat lansia pensiunan merasakan kekosongan.
Menurut Budi Darmojo dan Martono (2004, dalam Azizah, 2011), lansia yang
memasuki masa
kehilangan

pensiun

akan

mengalami

berbagai

kehilangan,

yaitu:

finansial, kehilangan status, kehilangan teman, dan kehilangan

kegiatan.
Lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian yang
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Fungsi

psikomotor meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, yang


mengakibatkan lansia menjadi kurang cekatan. Adanya penurunan kedua
fungsi tersebut membuat lansia mengalami perubahan kepribadian (Azizah, 2011).
Perubahan dalam peran sosial di masyarakat dapat terjadi akibat
adanya gangguan fungsional maupun kecacatan pada lansia. Hal ini dapat
menimbulkan perasaan keterasingan pada lansia. Respon yang ditunjukkan
oleh lansia, yaitu: perilaku regresi (Stanley & Beare, 2006).
e.

Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia seringkali berhubungan

dengan berbagai gangguan fisik. Menurut Kuntjoro (2002), faktor psikologis yang
menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas, yaitu: rasa tabu atau malu
bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Sikap keluarga dan
masyarakat juga kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya
(Azizah, 2011).
f.

Perubahan Pola Tidur dan Istirahat


Perubahan otak akibat proses penuaan menghasilkan eksitasi dan inhibisi

dalam sistem saraf. Bagian korteks otak dapat berperan sebagai inhibitor pada
sistem terjaga dan fungsi inhibisi ini menurun seiring dengan pertambahan usia.
Korteks frontal juga mempengaruhi alat regulasi tidur (Bliwise, 1994, dalam
Maas, 2011). Penurunan aliran darah dan perubahan dalam mekanisme
neurotransmiter dan sinapsis memainkan peran penting dalam perubahan tidur dan
terjaga yang dikaitkan dengan faktor pertambahan usia. Faktor ekstrinsik, seperti
pensiun, juga dapat menyebabkan perubahan yang tiba-tiba pada kebutuhan untuk

beraktivitas dan kebutuhan energi sehari-hari serta mengarah pada perubahan pada
kebutuhan tidur. Keadaan sosial dan psikologis yang terkait dengan faktor
kehilangan dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya depresi pada lansia, yang
kemudian dapat mempengaruhi pola tidur-terjaga lansia. Pola tidur dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, bukan seluruhnya akibat proses penuaan
(GarciaGarcia & Drucker-Colin, 1999, dalam Maas, 2011).

2.2

Konsep Tidur

2.2.1 Pengertian Tidur


Tidur adalah suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status
kesadaran yang terjadi selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Tidur
adalah suatu keadaan bawah sadar saat individu dapat dibangunkan dengan
pemberian rangsangan (Guyton & Hall, 2007). Tidur adalah keadaan perilaku
ritmik dan siklik yang terjadi dalam lima tahap (Stanley & Beare, 2006).
Tidur adalah keadaan saat terjadinya proses pemulihan bagi tubuh dan otak serta
sangat penting terhadap pencapaian kesehatan yang optimal (Maas, 2011).

2.2.2 Fisiologi Tidur


Tidur adalah irama biologis yang kompleks (Kozier, 2008). Tidur adalah
proses fisiologis yang bersiklus dan bergantian dengan periode yang lebih
lama dari keterjagaan (Potter & Perry, 2005). Tidur ditandai dengan aktivitas fisik

yang minimal, perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon


terhadap rangsangan eksternal (Kozier, 2008).
Siklus tidur-terjaga mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan
respon perilaku. Individu mengalami irama siklus sebagai bagian dari kehidupan
mereka setiap hari. Irama yang paling dikenal adalah irama diurnal atau
irama sirkadian, yang merupakan siklus 24 jam (siang dan malam) (Potter
& Perry, 2005). Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama
dan fungsi perilaku. Fluktuasi dan perkiraan suhu tubuh, denyut jantung,
tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik, dan suasana hati
tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam. Irama sirkadian
dipengaruhi oleh cahaya dan suhu, selain faktor eksternal seperti aktivitas
sosial

dan

rutinitas

pekerjaan. Perubahan

dalam

suhu

tubuh

juga

berhubungan dengan pola tidur individu, termasuk lansia (Saryono &


Widianti, 2010). Individu akan bangun ketika mencapai suhu tubuh tertinggi
dan akan tertidur ketika mencapai suhu tubuh terendah (Kozier, 2008)
Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh
integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan
dalam sistem saraf perifer, endokrin, kardiovaskuler, pernapasan, dan muskular
(Robinson, 1993 dalam Potter & Perry, 2005). Kontrol dan pengaturan tidur
tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi
secara intermitten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan
terjaga (Potter & Perry, 2005).

Sistem aktivasi retikular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas.


SAR dipercayai terdiri atas sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan
terjaga. SAR menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil.
Aktivitas korteks serebral (misal. proses emosi atau pikiran) juga menstimulasi
SAR (Potter & Perry, 2005). Keadaan terjaga atau siaga yang berkepanjangan
sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir yang progresif dan
terkadang dapat menyebabkan aktivitas perilaku yang abnormal (Guyton & Hall,
2007).
Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dalam sistem tidur
raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga disebut bulbar
synchronizing region (BSR). Ketika individu mencoba tertidur, mereka akan
menutup mata dan berada dalam keadaan yang rileks. Stimulus ke SAR menurun.
Jika ruangan gelap dan tenang, aktivasi SAR selanjutnya akan menurun.
BSR mengambil alih yang kemudian menyebabkan tidur (Potter & Perry, 2005).

2.2.3 Tahapan Tidur


Tidur terbagi dalam dua fase, yaitu: nonrapid eye movement (NREM) dan
rapid eye movement (REM). Tidur dimulai dari status NREM yang terbagi dalam
empat tahap. Kualitas tidur dari tahap 1 sampai tahap 4 bertambah dalam (Potter
& Perry, 2005).
Tahap 1 NREM merupakan periode transisi menuju saatnya tidur, saat
individu dapat dengan mudah terbangun (Maas, 2011). Pada tahap ini terjadi

pengurangan aktivitas fisiologis, seperti pengurangan tanda-tanda vital dan


metabolisme (Saryono & Widianti, 2010).
Tahap 2 NREM dianggap sebagai periode tidur ringan dengan fase
relaksasi yang sangat besar (Maas, 2011). Tahap ini disebut sebagai tahap
tidur bersuara. Tahap ini berakhir 10-20 menit. Fungsi tubuh dalam tahap ini
menjadi lambat (Saryono & Widianti, 2010).
Tahap 3 NREM merupakan fase pertama tidur dalam. Otot-otot menjadi
rileks sehingga sulit dibangunkan. Tanda-tanda vital menurun namun tetap teratur.
Tahap ini berakhir dalam 15-30 menit. Tahap 4 NREM merupakan periode tidur
paling dalam. Tahap ini merupakan tahap terbesar terjadinya pemulihan. Tandatanda vital menurun secara bermakna. Pada tahap ini terjadi tidur sambil berjalan
dan enuresis. Tahap 3 dan 4 NREM seringkali disebut sebagai tidur gelombang
lambat karena pada fase ini gelombang lambat ditunjukkan dalam aktivitas
elektroenselografi (EEG) (Saryono & Widianti, 2010; Maas, 2011).
Keempat tahap dari fase tidur NREM diikuti oleh fase tidur REM. Tingkat
terdalam relaksasi tubuh terjadi selama fase tidur REM, tetapi aktivitas
EEG serupa dengan pola yang terlihat selama terjaga. Selama fase tidur REM,
frekuensi pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah menjadi sangat
bervariasi, tidak teratur, dan meningkat secara berkala (Maas, 2011). Sekresi
lambung juga mengalami peningkatan. Pada tahap ini, individu akan mengalami
mimpi. Tahap ini berakhir dalam 90 menit (Saryono & Widianti, 2010).
2.2.4 Siklus Tidur

Kedas, Lux, & Amodes (1989, dalam Maas, 2011) menyatakan bahwa
siklus tidur yang umum terjadi terdiri atas tahap 1 NREM, diikuti oleh tahap 2, 3,
dan 4 NREM dengan kemungkinan kembali lagi ke tahap sebelumnya, yaitu tahap
3 dan 2 NREM, sebelum dimulainya tahap REM. Fase NREM terjadi pada sekitar
75% sampai 80% dari waktu tidur total. Tidur REM terjadi selama 20% sampai
25% waktu tidur dalam. Tahap REM dimulai kurang lebih 60 menit dalam siklus
tidur, dan umumnya empat sampai enam siklus tidur NREM sampai siklus tidur
REM terjadi setiap malam (Carskadon & Dement, 1994 dalam Maas, 2011).

2.2.5 Fungsi Tidur


Oswald (1984, dalam Potter & Perry, 2005), menyatakan bahwa tidur
dipercaya bermanfaat

dalam

pemulihan fisiologis dan psikologis

individu.

Tidur nyenyak bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung. Selama tidur


tahap 4 NREM, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan untuk memperbaiki selsel otak. Teori lain menambahkan bahwa tubuh menyimpan energi selama
tidur. Otot skelet berelaksasi secara progresif. Penurunan laju metabolik basal
lebih jauh menyimpan persediaan energi tubuh (Anch, 1988 dalam Potter &
Perry, 2005).
Tidur

REM

penting

untuk

pemulihan

kognitif.

Tidur

REM

dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan


aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hal
ini dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Tidur REM yang
kurang dapat mengarah pada perasaan bingung dan curiga (Potter & Perry, 2005).

2.2.6 Gangguan Tidur pada Lansia


Proses penuaan membuat lansia lebih mudah mengalami gangguan
tidur (Maas, 2011). Lansia seringkali mengeluhkan tiga gangguan utama dalam
memulai dan mempertahankan tidur, yaitu:
a.

Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk

melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena adanya perubahan pola


tidur yang biasanya menyerang tidur tahap 4 NREM. Keluhan insomnia
mencakup

ketidakmampuan

untuk

tertidur,

seringkali

terbangun,

ketidakmampuan untuk melanjutkan tidur, serta terbangun lebih awal (Stanley


& Beare, 2006). Insomnia terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1) insomnia jangka pendek,
insomnia ini berakhir beberapa minggu dan muncul akibat pengalaman
stress yang bersifat sementara seperti kehilangan orang yang dicintai;
2) insomnia sementara,
insomnia ini disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan seperti jet
lag,

konstruksi

bangunan

yang

bising,

ataupun

pengalaman

yang

menimbulkan ansietas;
3) insomnia kronis,
insomnia ini berlangsung selama tiga minggu atau seumur hidup dan
disebabkan

oleh

kebiasaan

tidur

yang

buruk,

masalah

psikologis,

penggunaan obat tidur yang berlebihan, dan masalah kesehatan lainnya


b.

(Stanley & Beare, 2006).


Hipersomnia

Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode
24 jam, dengan keluhan tidur yang berlebihan. Penyebab hipersomnia ini masih
bersifat spekulatif tetapi dapat berhubungan dengan ketidakaktifan, gaya
hidup yang membosankan, ataupun depresi. Lansia dengan hipersomnia dapat
menunjukkan kantuk di siang hari. Keluhan tentang keletihan, kelemahan,
dan kesulitan mengingat juga merupakan hal yang seringkali terjadi (Stanley &
Beare, 2006).
c.

Apnea Tidur
Stanley & Beare (2006), menyatakan bahwa apnea tidur (sleep apnea) adalah

berhentinya pernapasan selama tidur. Gangguan ini diidentifikasi dengan


adanya tanda gejala, yaitu mendengkur, berhentinya pernapasan minimal 10
detik, dan rasa kantuk di siang hari yang luar biasa. Lansia dengan apnea tidur
dapat mengalami henti napas maksimal sebanyak 300 kali dengan episode
apnea dapat berakhir dari 10 sampai 90 detik. Tanda gejala dari apnea tidur, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

dengkuran yang keras dan periodik;


aktivitas malam hari yang tidak biasa, seperti terjatuh dari tempat tidur;
gangguan tidur dengan seringnya terbangun di malam hari;
perubahan memori dan depresi;
rasa kantuk yang berlebihan di siang hari;
nokturia dan sakit kepala di pagi hari;
ortopnea akibat apnea tidur.

2.2.7 Kualitas Tidur


Kualitas tidur merupakan konstruksi klinis yang penting. Hal ini
dikarenakan keluhan akan kualitas tidur umum terjadi di masyarakat dan kualitas
tidur yang buruk merupakan gejala penting dari adanya gangguan tidur dan

penyakit lainnya (Buysse et al, 1988). Potter & Perry (2005), juga menambahkan
pentingnya kualitas tidur terbaik dalam upaya peningkatan kesehatan dan
pemulihan individu yang sakit.
Kualitas tidur adalah karakteristik subjektif dan seringkali ditentukan oleh
perasaan energik atau tidak setelah bangun tidur (Kozier, 2008). Kualitas
tidur adalah

kepuasan

terhadap

tidur,

sehingga

orang

tersebut

tidak

memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan


apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah,
perhatian terpecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat,
2006, dalam Sagala, 2011).
Ertekin & Dogan (1999, dalam Eser et al, 2007) menyatakan bahwa
kualitas tidur mencakup lamanya waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi
bangun dalam tidur malam, kedalaman tidur, dan restfulness. Thompson &
Franklin (2010) menyatakan bahwa kualitas tidur berbeda dengan kuantitas tidur.
Kuantitas tidur adalah lama waktu tidur berdasarkan jumlah jam tidur sedangkan
kualitas tidur mencerminkan keadaan tidur yang restoratif dan dapat menyegarkan
tubuh keesokan harinya. Sekine at al (2005) juga menambahkan bahwa kualitas
tidur yang buruk berbeda dengan kuantitas tidur yang buruk. Kuantitas tidur yang
buruk mencakup durasi tidur pendek sedangkan kualitas tidur yang buruk
mencakup kesulitan untuk tidur, seringkali terbangun di malam atau dini hari.
Tidur dikatakan berkualitas baik apabila siklus NREM dan REM terjadi
berselang-seling empat sampai enam kali (Rasyad, 2009). Hidayat (2006, dalam

Sagala, 2011) menyatakan bahwa kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah tidur.
Tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda
psikologis. Tanda fisik kekurangan tidur meliputi ekspresi wajah (area gelap
di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva berwarna kemerahan,
dan mata cekung), kantuk yang berlebihan ditandai dengan seringkali menguap,
tidak mampu untuk berkonsentrasi, dan adanya tanda-tanda keletihan seperti
penglihatan kabur, mual, dan pusing. Tanda psikologis dari kekurangan tidur
meliputi menarik diri, apatis dan respon menurun, bingung, daya ingat berkurang,
halusinasi, ilusi penglihatan atau pendengaran, dan kemampuan memberikan
pertimbangan atau keputusan menurun (Hidayat, 2006 dalam Sagala, 2011)
Kualitas tidur individu dapat dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium
yaitu electroencephalography (EEG) yang merupakan rekaman arus listrik
dari otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala
dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan
tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang
EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta (Guyton &
Hall, 2007).
Tidur adalah pengalaman subjektif. Closs (1988, dalam Potter & Perry,
2005) menyatakan bahwa salah satu metode yang singkat dan efektif untuk
mengkaji kualitas tidur adalah dengan menggunakan skala analog visual. Perawat
membuat sebuah garis horizontal kurang lebih 10 cm. Perawat menuliskan

pernyataan-pernyataan yang berlawanan pada setiap ujung garis seperti tidur


malam terbaik dan tidur malam terburuk. Lansia diminta untuk memberi
tanda titik pada garis yang menandakan persepsi mereka terhadap tidur
malam. Jarak tanda tersebut diukur dengan millimeter dan diberi nilai angka
untuk

kepuasan tidur. Skala

ini

dapat

diberikan

berulang-ulang

untuk

menunjukkan adanya perubahan dari waktu ke waktu.


Buysse et al (1988) juga mengemukakan alat ukur terhadap kualitas tidur,
yaitu Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI adalah instrumen yang efektif
dalam mengukur kualitas dan pola tidur (Smyth, 2012). PSQI dikembangkan
dengan beberapa tujuan, yaitu: untuk memberikan ukuran yang valid, reliabel, dan
standarisasi kualitas tidur, untuk membedakan antara tidur yang baik dan buruk,
untuk memberikan indeks yang mudah digunakan, dan untuk memberikan
penilaian singkat yang berguna secara klinis dari berbagai gangguan tidur
yang mempengaruhi kualitas tidur. PSQI dapat digunakan dalam penelitian klinis
dan studi epidemiologis untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang
memiliki perbedaan dalam kualitas tidur. PSQI menyediakan ukuran kuantitatif
kualitas tidur yang cepat dalam mengidentifikasi kualitas tidur yang baik dan
buruk, dan lebih baik dibandingkan dengan gold standard diagnosis klinis dan
laboratorium. Pengisian lembar PSQI membutuhkan waktu 5-10 menit, dan
penilaiannya membutuhkan waktu 5 menit (Buysse et al, 1988).
PSQI terdiri dari 19 item yang dinilai oleh individu dan 5 item tambahan
yang dinilai oleh teman sekamar (Buysse et al, 1988; Smyth, 2012). Item
1-4 merupakan pertanyaan terbuka tentang kebiasaan individu tidur dan bangun,

total waktu tidur, dan sleep latency (menit). Item 5-18 menggunakan skala Likert,
yaitu 0 = tidak selama satu bulan terakhir, 1 = kurang dari sekali seminggu, 2 =
sekali atau dua kali seminggu, 3 = tiga kali atau lebih dalam seminggu.
Item

19 menggunakan skala Likert dalam penilaian kualitas tidur secara

keseluruhan, yaitu 0 = very good, 1 = fairly good, 2 = fairly bad, 3 = very bad
(Eser et al, 2007). Item tambahan yang dinilai oleh teman sekamar tersebut hanya
digunakan

untuk informasi klinis dan tidak ditabulasikan dalam penilaian

dari instrumen ini (Buysse et al, 1988, dalam Eser et al, 2007).
Sembilan belas item pernyataan menilai berbagai faktor yang berkaitan
dengan tidur yang berkualitas dan dikelompokkan dalam tujuh komponen,
yang masing-masing memiliki skala 0-3. Ketujuh komponen skor tersebut
kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan skor global dari PSQI yang memiliki
jangkauan skor 0-21. Skor global PSQI > 5 mengindikasikan ukuran yang
sensitif dan spesifik dari kualitas tidur yang buruk pada individu. Semakin tinggi
skor global yang didapat semakin buruk pula kualitas tidur individu tersebut
(Buysse et al, 1988; Smyth, 2012).

2.3

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Tidur yang


Buruk pada Lansia
Vitiello (2006), menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan kualitas

tidur yang buruk pada lansia yaitu fisiologis, penyakit, psikologis, gangguan tidur
primer, perilaku sosial, dan lingkungan. Kim & Moritz (1982, dalam Maas, 2011),
menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan gangguan pola tidur pada lansia

yaitu penambahan usia, penyakit, nyeri, depresi, kecemasan, lingkungan, dan gaya
hidup.
2.3.1 Usia
Faktor usia merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
kualitas

tidur

lansia.

Bliwise

(1993,

dalam

Potter

&

Perry,

2005),

menyatakan bahwa kualitas tidur mengalami penurunan pada kebanyakan


lansia. Prayitno (2002), juga menyatakan bahwa pertambahan usia berdampak
terhadap penurunan dari periode tidur.
Galea (2008) mengemukakan bahwa perubahan kualitas tidur pada lansia
yang berkaitan dengan usia disebabkan adanya peningkatan waktu yang
mengganggu tidur dan pengurangan tidur tahap 3 dan 4 NREM. Penelitian yang
dilakukan oleh Vitiello et al (2004) mengemukakan hasil yang berbeda.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa lansia yang sehat tidak mengeluhkan
gejala-gejala insomnia walaupun pada dasarnya lansia mengalami perubahan
dalam tidurnya.
Sebuah studi dilakukan oleh Murphy, Rogers, dan Campbell (2000, dalam
Galea, 2008) yang meneliti tentang efek penuaan terhadap keadaan terbangun dari
tidur. Episode tidur pada individu yang berusia 19-28 tahun dibandingkan dengan
lansia (60-82 tahun) dengan menggunakan electroencephalography (EEG),
electrooculography (EOG), dan electromiography (EMG). Penelitian tersebut
mendapatkan hasil bahwa usia menjadi faktor penentu yang penting dimana
pemutusan tidur terjadi. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas tidur
pada lansia.

Ohayon

et

al

(2004,

dalam

Galea,

2008)

menyatakan

bahwa

penurunan efisiensi tidur terbukti dari umur 40 tahun. Efisiensi tidur mengalami
penurunan sebesar tiga persen setiap dekadenya. Hal ini mengindikasikan bahwa
usia lansia berkaitan dengan perubahan kualitas tidur, terutama dalam segi jumlah
dan waktu yang mengganggu tidur. Hasil penelitian lainnya tentang analisis
faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada lansia di Panti
Wredha Wening Wardoyo Ungaran tahun 2006 mengungkapkan hasil yang
berbeda. Hasil penelitian ini menghasilkan p value sebesar 0,633 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan tidur.

2.3.2 Respon terhadap penyakit


Faktor penyakit dan nyeri yang diderita oleh lansia merupakan faktor
penting yang dapat mempengaruhi kualitas tidur lansia. Hal ini dikarenakan setiap
penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau masalah suasana
hati dapat menyebabkan masalah tidur seperti kesulitan tidur atau kesulitan untuk
tetap tertidur (Simonson et al, 2007).
Lansia yang berusia 55-84 tahun dengan beberapa penyakit lebih mungkin
melaporkan kejadian insomnia (Simonson et al, 2007). Haines (2005) juga
menyatakan bahwa hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetus mellitus,
arthritis, penyakit paru, kanker, depresi, gangguan memori, osteoporosis, dan
hipertropi prostat merupakan jenis-jenis penyakit yang dapat menyebabkan
gangguan tidur.

Penyakit

pernapasan

seringkali

mempengaruhi

tidur. Lansia

yang

menderita penyakit paru kronik seperti emfisema dengan napas pendek, seringkali
tidak dapat tidur tanpa dua atau tiga bantal untuk meninggikan kepala.
Asma, bronchitis, dan rinitis alergi mengubah irama pernapasan dan mengganggu
tidur. Lansia dengan influenza mengalami kongesti nasal, drainase sinus, dan
nyeri tenggorokan, yang dapat mengganggu pernapasan dan kenyamanan
dalam beristirahat (Potter & Perry, 2005).
Lansia

dengan

penyakit

jantung

koroner

seringkali

mengalami

frekuensi terbangun yang sering dan perubahan tahapan selama tidur, seperti
supresi tidur tahap 3 dan 4 serta tidur REM. Hal ini dikarenakan adanya
episode nyeri dada yang tiba-tiba dan denyut jantung yang tidak teratur (Potter &
Perry, 2005).
Hipertensi,

hipotiroidisme

dan

tukak

peptik

juga

mempengaruhi

kualitas tidur individu. Hipertensi seringkali menyebabkan lansia terbangun di


pagi hari. Hipotiroidisme menurunkan tidur tahap 4, sebaliknya hipertiroidisme
menyebabkan lansia perlu waktu yang cukup banyak untuk tertidur (Potter
& Perry, 2005). Lansia yang menderita penyakit tukak peptik seringkali terbangun
pada tengah malam. Kadar asam lambung mencapai puncak sekitar pukul 01.00
hingga 03.00 pagi. Hal inilah yang memicu terjadinya nyeri lambung pada lansia
(McNeil dkk, 1986 dalam Potter & Perry, 2005).
Nokturia mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini umumnya terjadi
pada lansia dengan penurunan tonus kandung kemih. Lansia yang berulang
kali terbangun untuk berkemih akan mengalami kesulitan dalam melanjutkan

tidur kembali. Lansia yang mengalami kram kaki pada malam hari bermasalah
pada sirkulasi arteri. Lansia juga seringkali mengalami restless leg syndrome
yang terjadi pada saat sebelum tidur. Sensasi gatal sangat dirasakan di otot dan
dapat berkurang apabila individu tersebut menggerakkan kakinya. Hal ini
dapat menghambat timbulnya relaksasi dan tidur pada lansia (Potter & Perry,
2005).

2.3.3 Depresi
Depresi adalah suatu perasaan berduka abortif yang menggunakan
mekanisme represi, supresi, penyangkalan, dan disosiasi (Stuart, 2006).
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri
rendah, rasa bersalah, putus asa, dan perasaan kosong (Keliat, 1996, dalam
Azizah, 2011).
Faktor resiko terjadinya depresi pada individu, yaitu adanya episode
depresi sebelumnya, riwayat keluarga tentang depresi, percobaan bunuh diri
sebelumnya, jenis kelamin wanita, usia saat awitan depresi kurang dari 40 tahun,
masa pascapartum, kurang dukungan sosial, peristiwa kehidupan yang penuh
stres, riwayat personal tentang penganiayaan seksual, dan penyalahgunaan
zat (Stuart, 2006). Stuart & Sundeen (1998, dalam Azizah, 2011) mengemukakan
bahwa ada empat sumber utama stresor yang dapat mencetuskan depresi,
yaitu kehilangan keterikatan, peristiwa besar dalam kehidupan, peran dan
ketegangan peran, serta perubahan fisiologi diakibatkan oleh obat-obatan atau
penyakit fisik.

Sadavoy et al (2004, dalam Azizah, 2011), menyatakan bahwa gejalagejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS, yaitu gangguan pola tidur (sleep)
pada lansia yang dapat berupa keluhan sukar tidur, mimpi buruk dan bangun lebih
awal dan tidak dapat tidur kembali, penurunan minat dan aktivitas (interest), rasa
bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai
tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir (concentration),
nafsu makan menurun (appetite), gerakan lambat dan lebih sering duduk
terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly).
Maslim (1997, dalam Azizah, 2011) juga menyatakan bahwa gejala depresi ringan
yaitu kehilangan minat dan kegembiraan, konsentrasi dan perhatian kurang,
menurunnya aktifitas, harga diri dan kepercayaan diri kurang. Azizah (2011) juga
menambahkan bahwa perilaku atau gejala yang berkaitan dengan depresi dapat
tercermin dalam beberapa aspek, yaitu fisiologis, afektif, kognitif, dan perilaku.
Aspek fisiologis merupakan salah satu aspek pencerminan gejala depresi
yang ditinjau dari segi fisiologis. Aspek fisiologis meliputi nyeri abdomen,
anoreksia, sakit punggung, nyeri dada, pusing, keletihan, sakit kepala, impotensi,
gangguan pencernaan, insomnia, kelesuan, mual, makan berlebihan, gangguan
tidur, dan perubahan berat badan (Azizah, 2011).
Gejala depresi juga dapat ditinjau dari segi afektif atau sikap individu.
Aspek afektif ini meliputi kemarahan, ansietas, apatis, penyangkalan perasaan,
rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,
kesedihan, dan rasa tidak berharga (Azizah, 2011).

Aspek kognitif merupakan pencerminan gejala depresi yang ditinjau dari


segi

kognitif

individu.

Aspek

ini

meliputi

ambivalensi, kebingungan,

ketidakmampuan berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, kehilangan


minat dan motivasi, pesimis, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, dan
pikiran yang destruktif tentang diri sendiri (Azizah, 2011).
Aspek perilaku merupakan pencerminan gejala depresi yang dapat ditinjau
dari segi perilaku individu. Aspek ini meliputi agresif, agitasi, alkoholisme,
perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung,
kebersihan diri yang kurang, retardasi psikomotor, isolasi sosial, mudah
menangis, kurang mampu mencapai hasil, dan menarik diri (Azizah, 2011).
Gejala-gejala depresi tersebut sering berhubungan dengan penyesuaian
yang terhambat terhadap kehilangan dalam hidup dan stresor. Stresor
pencetus seperti pensiun yang terpaksa, kematian pasangan, kemunduran
kemampuan atau kekuatan

fisik,

kemunduran

kesehatan,

penyakit

fisik,

kedudukan sosial, keuangan, penghasilan dan tempat tinggal mempengaruhi


rasa aman lansia dan menyebabkan depresi (Friedman, 1998 dalam Azizah,
2011). Azizah (2011) juga menyatakan bahwa kehilangan orang yang dicintai dan
kehilangan pekerjaan atau jabatan

akan

menyebabkan

lansia

mengalami

kesedihan yang mendalam yang berujung pada terjadinya depresi. Gejalagejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang
termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, pengkajian dengan alat yang
terstandarisasi dan dapat dipercaya harus dilakukan (Azizah, 2011).

Salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
depresi adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan
oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia.
Keunggulan alat ukur ini yaitu tidak memerlukan keterampilan khusus dari
pengguna dan mudah digunakan. Instrumen GDS memiliki sensitivitas 84% dan
specificity 95%. Tes reliabilitas alat ini yaitu 0,85 (Burns, 1999, dalam Azizah,
2011).
Alat ukur Geriatric Depression Scale (GDS) terdiri dari 30 poin
pertanyaan yang dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS
menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab ya
atau tidak pada setiap pertanyaan. Pengisian GDS membutuhkan waktu sekitar
5-10 menit. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan
depresi ringan, dan skor 21-30 menunjukkan depresi sedang atau berat (Azizah,
2011).
Lansia yang depresi seringkali mengalami perlambatan untuk jatuh tidur,
seringkali terjaga, perasaan tidur yang kurang, munculnya tidur REM secara dini,
peningkatan total waktu tidur serta terbangun lebih awal (Bliwise, 1993
dalam Potter & Perry, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Adriyani
(2008), didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat depresi dengan
kejadian insomnia di Panti Werdha Budhi Darma Yogyakarta. Sukagewa
(2003, dalam Galea, 2008) juga melakukan penelitian yang melibatkan 2.023
lansia dengan rata-rata usia 74,2 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji
hubungan antara kualitas tidur dan depresi. Alat ukur yang digunakan yaitu

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan Geriatri Depression Scale (GDS).
Mengacu pada skor GDS, lansia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen (n=634) dan kelompok kontrol (n=1389). Hasil dari penelitian ini
yaitu lansia dengan depresi memiliki efisiensi tidur yang lebih rendah, kualitas
tidur yang buruk, dan masalah tidur dibandingkan dengan lansia yang tidak
mengalami depresi.
Samiun (2006, dalam Azizah, 2011) menyatakan bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang memadai akan kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stres. Azizah (2011) menyatakan ada
beberapa upaya penanggulangan depresi pada lansia yang meliputi pendekatan
psikodinamik,

perilaku

belajar,

kognitif,

humanistik

eksistensial,

dan

farmakologis. Fokus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap


konflik-konflik yang berhubungan dengan kehilangan dan stres. Pendekatan
perilaku

belajar

mengatasi

kurangnya

penghargaan

atas

diri

sendiri.

Pendekatan kognitif bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikir tentang
keberhasilan masa lalu dan masa sekarang. Pendekatan humanistik eksistensial
bertujuan untuk membantu
sedangkan

individu

menyadari

keberadaannya

di

dunia

pendekatan farmakologis dengan obat anti depresan merupakan

pilihan alternatif.

2.3.4 Kecemasan
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak

memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan


dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2006).
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal atau eksternal. Stresor
pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: ancaman terhadap
integritas fisik dan ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap integritas
fisik meliputi disabilitas fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ancaman terhadap sistem diri dapat
membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada
individu (Stuart, 2006).
Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan masalah
ekonomi merupakan contoh situasi yang menyebabkan lansia mengalami
kecemasan (Potter & Perry, 2005). Gallo (1998, dalam Azizah, 2011) menyatakan
bahwa pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi
dan perubahan peran yang menyebabkan stres psikososial.
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala
atau mekanisme

koping

sebagai

upaya

melawan

kecemasan.

Intensitas

perilaku juga meningkat sejalan dengan peningkatan kecemasan (Stuart, 2006).


Respon fisiologis terhadap kecemasan melibatkan beberapa regio tubuh,
yaitu regio kepala, dada, abdomen, ekstremitas, dan pelvis. Respon pada
regio kepala meliputi wajah tegang, wajah pucat atau kemerahan. Respon
pada regio dada meliputi palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat
atau menurun, rasa ingin pingsan, denyut nadi menurun, napas cepat, sesak napas,

tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi


tercekik,

dan terengah-engah.

Respon

pada

regio

abdomen

meliputi

kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen,
nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati, dan diare. Respon pada regio
ekstremitas meliputi refleks meningkat, reaksi terkejut, insomnia, tremor,
rigiditas, gelisah, kelemahan umum, tungkai lemah, dan berkeringat di telapak
tangan. Respon pada regio pelvis meliputi tidak dapat menahan kemih dan sering
berkemih (Stuart, 2006).
Respon kognitif terhadap kecemasan meliputi perhatian terganggu,
konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi,
hambatan berpikir, lapang persepsi menurun, dan kreativitas menurun.
Produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan
objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut
cedera atau kematian, kilas balik, dan mimpi buruk juga termasuk dalam respon
kognitif yang diberikan individu terhadap adanya kecemasan (Stuart, 2006).
Respon perilaku terhadap kecemasan meliputi gelisah, ketegangan fisik,
tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami
cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari
masalah, menghindar, hiperventilasi, dan sangat waspada. Respon afektif terhadap
kecemasan meliputi mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,
ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa
bersalah, dan malu (Stuart, 2006).

Kecemasan dan kualitas tidur yang buruk memiliki asosiasi yang sama
dengan depresi dan kualitas tidur yang buruk. Magee & Carmin (2012)
mengemukakan bahwa kecemasan adalah faktor resiko terjadinya gangguan tidur.
Papadimitriou & Linkowski (2005, dalam Galea, 2008) menyatakan bahwa
60-70% lansia yang mengalami kecemasan tergolong dalam poor sleepers.
Penelitian kohort yang dilakukan Jense et al (1998, dalam Galea, 2008) juga
mendapatkan hasil bahwa gangguan tidur memiliki hubungan yang signifikan
dengan kecemasan. Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin di dalam darah
melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Hal ini berdampak pada pengurangan
tidur tahap 4 NREM dan tidur REM pada lansia (Kozier, 2008).
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Handayani (2009)
menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan
pada lanjut usia. Adanya dukungan keluarga akan membantu menurunkan
kecemasan pada lansia. Dukungan keluarga ini mencakup dukungan informasi,
emosional, instrumental, dan penilaian.
Maryam et al (2008) menyatakan beberapa tindakan yang dapat digunakan
untuk mengatasi kecemasan pada lansia selain dengan memaksimalkan dukungan
keluarga yaitu membicarakan rasa khawatir dan mencoba menentukan penyebab
yang mendasar; memberikan rasa aman pada lansia dengan penuh empati;
bila penyebab kecemasan tidak jelas dan mendasar, berikan alasan-alasan yang
dapat diterima lansia; dan mengkonsultasikan dengan dokter bila penyebabnya
tidak dapat ditentukan dan berbagai cara telah dilakukan namun kecemasan tidak
dapat dihilangkan.

2.3.5 Lingkungan fisik


Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia
yang bersifat tidak bernyawa, misalnya kelembaban udara, suhu, angin, rumah
dan benda mati lainnya (Nurhidayah, Lukman, dan Rakhmawati, 2007).
Lingkungan fisik tersebut berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang
waktu dan memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit atau
kondisi kesehatan tertentu di masyarakat (Chandra, 2008). Lingkungan
tempat lansia tidur berpengaruh penting terhadap kemampuan untuk tertidur
dan tetap tertidur (Potter & Perry, 2005).
Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang (Potter &
Perry, 2005). Ventilasi berfungsi menjaga aliran udara dalam kamar tetap segar,
sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni kamar tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen sehingga
kadar karbondioksida yang bersifat racun dapat meningkat dan mengganggu
kenyamanan tidur lansia (Notoatmodjo, 2007).
Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur.
Suara juga mempengaruhi tidur. Tidur tanpa ketenangan atau teman tidur
yang mendengkur dapat mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005). Tingkat suara
yang diperlukan untuk membangunkan lansia yang tidur tergantung pada
tahap tidur (Webster & Thompson, 1986 dalam Potter & Perry, 2005). Suara
yang sering menyebabkan terganggunya tidur adalah suara yang bersifat tidak
teratur (Henkel, 2003). Suara yang rendah lebih sering membangunkan lansia

dari tidur tahap 1, sedangkan suara yang keras membangunkan lansia pada
tahap tidur 3 dan 4. Ruangan yang terlalu hangat atau dingin juga
seringkali menyebabkan lansia gelisah (Potter & Perry, 2005).

2.3.6 Gaya Hidup


Gaya hidup sehat adalah segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang
baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan
buruk yang dapat mengganggu kesehatan Keuntungan bergaya hidup sehat antara
lain merasa tentram, aman, dan nyaman, memiliki rasa percaya diri, hidup
seimbang, tidur nyenyak (Promkes Dinkes Kepri, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ke-Hsin Chueh (2009), didapatkan
bahwa lansia perempuan di Taiwan yang mengkonsumsi alkohol memiliki
kualitas tidur yang buruk. Onen (1994, dalam Maas, 2011) menyatakan
bahwa alkohol dapat berfungsi sebagai agen sedatif dan relaksasi jika dikonsumsi
sesaat sebelum tidur, tetapi terbangun di malam hari dapat menjadi masalah
yang berhubungan dengan aktivitas simpatik akibat meningkatnya kadar alkohol
dalam darah. Penelitian yang dilakukan oleh Hatzinger (1995, dalam Maas, 2011)
juga menemukan bukti bahwa pasien yang mengalami kebergantungan alkohol
memperlihatkan penurunan dalam tidur tahap 4 atau gelombang tidur yang
lambat, terutama pada alkoholik yang mengalami depresi klinis.
Lexcen & Hicks (1993, dalam Maas, 2011), menyatakan bahwa perokok
lebih cenderung melaporkan beberapa keluhan seperti kesulitan untuk
tertidur, keluhan terhadap perasaan mengantuk di siang hari, dan asupan

kafein harian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nonperokok.


Pada konsentrasi yang rendah, nikotin memiliki efek bifasik pada tidur, yaitu
dapat menimbulkan relaksasi dan sedasi. Pada konsentrasi yang tinggi,
nikotin justru dapat menghambat tidur.
Potter & Perry (2005), menyatakan bahwa makan besar, berat, dan
berbumbu pada makan malam dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
pencernaan. Hal ini dapat mengganggu tidur. Alergi terhadap makanan juga dapat
menyebabkan insomnia. Hauri & Linde (1990, dalam Potter & Perry, 2005),
menyatakan bahwa makanan yang seringkali menyebabkan alergi meliputi jagung,
gandum, kacang-kacangan, coklat, telur, ikan laut, ragi, pewarna makanan,
dan susu. Perbaikan tidur yang normal memerlukan waktu sampai dua
minggu jika makanan tertentu yang menyebabkan masalah telah dihilangkan dari
diet.
Bliwise (1994, dalam Maas, 2011) menyatakan bahwa gangguan tidur
yang cukup parah pada lansia yang sehat lebih banyak terjadi akibat
masalah kesehatan kronis atau pengobatan yang mereka jalani, daripada proses
penuaan itu sendiri. Lansia seringkali menggunakan variasi obat untuk
mengontrol atau mengatasi penyakit kroniknya, dan efek kombinasi dari
beberapa

obat

dapat mengganggu

tidur

secara

serius.

Hipnotik

dapat

mengganggu dalam pencapaian tahap tidur yang lebih dalam. Penggunaan


obat ini hanya memberikan peningkatan kualitas tidur sementara (satu minggu)
dan dapat memperburuk apnea tidur pada lansia. Benzodiazepin dapat
meningkatkan waktu tidur namun juga dapat meningkatkan kantuk di siang hari

(Potter & Perry, 2005). Penggunaan obat tidur

juga

dapat

menyebabkan

gangguan tidur seperti peningkatan waktu untuk tertidur dan peningkatan


jumlah waktu terjaga. Struktur tidur dapat terganggu, terutama pada fase tidur
REM (Maas, 2011).

2.4

Penatalaksanaan Gangguan Tidur pada Lansia

2.4.1 Pencegahan Primer


Pencegahan primer adalah usaha yang dilakukan untuk menghindari suatu
penyakit atau kondisi kesehatan yang merugikan melalui kegiatan promosi
kesehatan. Pencegahan primer mencakup area penanganan yang sangat luas,
termasuk nutrisi, kebersihan, sanitasi, lingkungan, dan pendidikan kesehatan yang
umum (Anderson & McFarlane, 2006).
Pencegahan primer yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah
gangguan tidur pada lansia yaitu dengan melakukan higiene tidur yang baik.
Stanley & Beare

(2008) menyatakan

bahwa

higiene

tidur

yang

baik

mencakup sebelas peraturan, yaitu:


a.

tidur seperlunya, tetapi tidak berlebihan. Pembatasan waktu tidur dapat


memperkuat tidur, berlebihnya waktu yang dihabiskan di tempat tidur
akan berkaitan dengan kualitas tidur yang buruk;

b.

waktu bangun yang teratur di pagi hari. Hal ini akan memperkuat
siklus sirkadian dan menyebabkan awitan tidur yang teratur;

c.

jumlah latihan yang stabil setiap harinya akan dapat memperdalam tidur;

d.

bunyi bising yang bersifat sementara (misal. bunyi pesawat terbang


yang melintas) dapat mengganggu tidur. Kamar tidur kedap suara dapat
membantu bagi orang-orang yang harus tidur di dekat kebisingan;

e.

ruangan yang terlalu hangat dapat mengganggu tidur. Ruangan yang


terlalu dingin juga dapat mengganggu tidur;

f.

rasa lapar dapat mengganggu tidur;

g.

ketergantungan penggunaan obat tidur tidak efektif membantu tidur pada


mayoritas lansia yang mengalami insomnia;

h.

penggunaan kafein di malam hari dapat mengganggu tidur;

i.

alkohol dapat memudahkan orang untuk tidur, namun hal ini akan
menyebabkan tidur menjadi terputus-putus;

j.

lansia yang merasa marah ataupun frustasi karena tidak dapat tidur
tidak boleh mencoba terlalu keras untuk tidur. Hal yang dapat dilakukan
yaitu menyalakan lampu dan melakukan kegiatan lain terlebih dahulu;

k.

penggunaan tembakau yang berlebihan dapat mengganggu tidur.


Kleitman (1937, dalam Stanley & Beare, 2006), juga mengemukakan

tindakan pencegahan primer bagi lansia dengan gangguan tidur, yaitu:


a.

penggunaan kasur yang baik memungkinkan kesejajaran tubuh yang tepat;

b.

suhu kamar harus cukup dingin (kurang dari 24oC) sehingga cukup nyaman;

c.

asupan kalori harus minimal pada saat menjelang tidur;

d.

latihan sedang di siang hari atau sore hari merupakan hal yang dianjurkan.
Galimi (2010), juga menambahkan higiene tidur yang baik yaitu:

a.

mengurangi atau menghilangkan penggunaan kafein, nikotin, dan alkohol;

b.

menghindari stres, termasuk bekerja, dekat dengan waktu tidur;

c.

menghindari olahraga sebelum tidur;

d.

melarang untuk melihat jam ketika bangun tidur;

e.

tidak membiarkan hewan peliharaan di tempat tidur;

f.

menutup jendela untuk mencegah masuknya cahaya matahari pagi;

g.

menjaga suhu kamar tidur yang nyaman dan waktu tidur yang teratur

2.4.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan pengobatan terhadap kondisi
kesehatan yang merugikan. Komponen penting dalam pencegahan sekunder
adalah skrining atau pemeriksaan (Anderson & McFarlane, 2006). Pengkajian
gangguan tidur meliputi seberapa baik lansia tidur di rumah, berapa kali
lansia terbangun di malam hari, kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum tidur,
posisi tidur yang paling disukai, lingkungan dan suhu kamar yang disukai,
dan penggunaan obat tidur atau obat lainnya sebelum waktu tidur. Validasi
dapat dilakukan pada anggota keluarga dari lansia tersebut untuk memastikan
keakuratan data pengkajian (Stanley & Beare, 2006).
Bootzin & Nicassio (1978, dalam Stanley & Beare, 2006) menganjurkan
beberapa aturan untuk mempertahankan kenormalan pola tidur, yaitu:
a.

pergi tidur ketika merasa mengantuk;

b.

menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur, menghindari kegiatan


membaca, menonton televisi atau makan di tempat tidur;

c.

jika tidak dapat tidur, bangun dan pindah ke ruangan lain, dan kembali ketika
benar-benar mengantuk;

d.

menggunakan alarm dan bangun di waktu yang sama setiap pagi tanpa
mempedulikan jumlah jam tidur di malam hari, hal ini membantu tubuh
menetapkan irama tidur-bangun yang konstan;

e.

menghindari tidur di siang hari

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan, yaitu:


a.

pertahankan

kondisi

yang

kondusif

untuk

tidur,

yang

mencakup

perhatian pada faktor-faktor lingkungan dan kegiatan ritual menjelang tidur;


b.

bantu lansia untuk rileks pada saat menjelang tidur dengan memberikan
usapan punggung, masase kaki atau kudapan tidur bila diinginkan.
Latihan pasif dan gerakan mengusap memberikan efek yang menidurkan;

c.

berikan posisi yang tepat, beri kehangatan dengan selimut, dan bantu untuk
menghilangkan nyeri serta anjurkan lansia untuk mandi air hangat;

d.

hindari memberikan kafein (kopi, teh, atau coklat) di sore atau malam hari;

e.

putarkan alunan musik yang lembut, tawarkan minuman atau susu


hangat untuk meningkatkan tidur lansia tanpa menggunakan hipnotik;

f.

anjurkan lansia untuk tidur siang, namun tidak boleh lebih dari dua jam;

g.

anjurkan lansia untuk melakukan latihan di pagi hari karena dapat


menimbulkan efek yang menyegarkan.
Jika tindakan-tindakan tersebut gagal memperbaiki kualitas tidur lansia,

upaya terakhir yang dapat dilakukan yaitu dengan penggunaan obat yang
menginduksi tidur, seperti L-Triptofan, Sherry, Difenhidramin antihistamin, dan

Benzodiazepin. Perawat yang terampil harus memiliki kewaspadaan yang tinggi


berkaitan dengan penggunaan obat-obatan tersebut serta harus seringkali mengkaji
lansia untuk memastikan bahwa rasa kantuk yang berlebihan di siang hari,
konfusi, dan disorientasi tidak terjadi. Jika terdapat bukti-bukti adanya
kondisi tersebut, penggunaan obat-obatan harus dihentikan secara bertahap
dan harus dilakukan pilihan tindakan nonfarmakologis (Stanley & Beare, 2006)

2.4.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier dilakukan jika kondisi tertentu telah menyebabkan
kerusakan pada individu. Tujuan pencegahan tersier adalah membatasi kecacatan
dan merehabilitasi atau meningkatkan kemampuan individu (Anderson &
McFarlane, 2006). Pada kasus gangguan tidur seperti apnea tidur yang
mengancam kehidupan, lansia memerlukan rehabilitasi melalui tindakan-tindakan
seperti pengangkatan jaringan yang menyumbat dan mempengaruhi jalan
napas. Tujuan rehabilitasi yang dilakukan yaitu agar lansia dapat menikmati tidur
yang berkualitas baik sampai akhir hayatnya (Stanley & Beare, 2006).
Gambar 2.1 Kerangka Teori

Perubahan-perubahan yang
terjadi pada lansia:
a. Perubahan Fisik
b. Perubahan Kognitif
c. Perubahan Spiritual
d. Perubahan Psikososial
e. Penurunan Fungsi dan
Potensi Seksual
f. Perubahan Pola Tidur
dan Istirahat

Gangguan tidur
pada lansia:
1. Insomnia
2. Hipersomnia
3. Apnea Tidur

Faktor faktor yang


mempengaruhi:
a. Faktor Internal
1) Fisiologis
a) Usia
b) Respon
terhadap
penyakit
c) Tingkat
Depresi
2) Psikologis
a) Tingkat
kecemasan
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan fisik
2) Gaya hidup

Kualitas tidur yang


buruk

Pencegahan
kualitas tidur yang
buruk:
a. Pencegahan
primer
b. Pencegahan
sekunder
c. Pencegahan
tersier

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

3.1

Kerangka Konseptual
Jenis gangguan
tidur utama pada
lansia:
1. Insomnia
2. Hipersomnia
3. Apnea Tidur

Faktor faktor yang


mempengaruhi:
a. Faktor Internal
1) Fisiologis
a) Usia
b) Respon
terhadap
penyakit
c) Tingkat
Depresi
2) Psikologis
a) Tingkat
kecemasan
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan fisik
2) Gaya hidup

Kualitas tidur yang


buruk

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian


Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
: diteliti
: tidak diteliti

Upaya pencegahan
kualitas tidur yang
buruk:
a. Pencegahan
primer
b. Pencegahan
sekunder
c. Pencegahan
tersier

3.2

Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan

penelitian yang harus diuji validitasnya secara empiris (Sastroasmoro &


Ismael, 2008). Hipotesis pada penelitian ini, yaitu:
a.

ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia dini, lansia,
dan lansia resiko tinggi;

b.

ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang tidak
sakit dengan lansia yang sakit;

c.

ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang tidak
depresi, lansia yang depresi ringan, dan lansia yang depresi sedang atau
berat;

d.

ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang tidak
cemas dan lansia yang cemas;

e.

ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang

a.

lingkungan fisiknya baik dan lansia yang lingkungan fisiknya kurang;

f.

ada perbedaan rata-rata kualitas tidur yang buruk antara lansia yang gaya
hidupnya baik dan lansia yang gaya hidupnya buruk

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional

analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini


mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek,
dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
satu waktu (point time approach) (Notoatmodjo, 2010).

4.2

Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi
Populasi adalah sejumlah besar

subyek yang mempunyai karakteristik

tertentu (Sastroasmoro & Ismael, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah
semua lansia di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah. Data dari program
posyandu lansia di Puskesmas Jenggawah Bulan Februari tahun 2012 menyatakan
bahwa terdapat 85 lansia yang tersebar dalam empat dusun di Desa
Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember.

4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasi (Sastroasmoro & Ismael, 2008).
Sampel dalam penelitian ini yaitu sebagian lansia dengan kualitas tidur yang

buruk di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember. Mengacu


pada tabel penentuan jumlah sampel dari populasi sebanyak 85 jiwa dengan taraf
kepercayaan 95 % yang dikemukakan oleh Krejcie dan Morgan (1970, dalam
Sugiyono, 2008), jumlah sampel pada penelitian ini yaitu sebanyak 70 jiwa. Pada
proses penelitian, jumlah sampel menjadi 49 orang dikarenakan sebanyak 21
orang termasuk dalam kategori kualitas tidur baik sehingga tidak sesuai
dengan kriteria inklusi penelitian.

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah probability
sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang
sama bagi anggota populasi untuk dapat dipilih menjadi sampel. Pendekatan
teknik probability sampling ini dengan cara multistage random sampling
(Notoatmodjo, 2010).
Proses pengambilan sampel pada penelitian ini dilaksanakan sebagai
berikut:
Tahap I : memilih secara random sampel dari empat dusun di Desa
Wonojati yang digunakan sebagai lokasi penelitian
Tahap II : memilih sampel secara proporsional dari masing-masing dusun
dengan menggunakan rumus:
n1 = N1 x n
N
Keterangan:
n1 = jumlah sampel tiap dusun

N1 = jumlah populasi di dusun


N = jumlah populasi
n = jumlah sampel
Mengacu pada pertimbangan tersebut, besar sampel di setiap dusun yaitu:
Dusun Pondoklalang

= 25/85 x 70 = 21 jiwa

Dusun Timur Gunung

= 20/85 x 70 = 16 jiwa

Dusun Krajan

= 22/85 x 70 = 18 jiwa

Dusun Bringin Lawang = 18/85 x 70 = 15 jiwa


Pada

proses

penelitian,

jumlah

sampel

mengalami

pengurangan

dikarenakan 21 lansia termasuk dalam kategori kualitas tidur baik sehingga


tidak memenuhi syarat menjadi sampel penelitian. Besar sampel penelitian di
setiap dusun pun mengalami perubahan menjadi:
Dusun Pondoklalang

= 13 jiwa

Dusun Timur Gunung

= 9 jiwa

Dusun Krajan

= 14 jiwa

Dusun Bringin Lawang = 13 jiwa

4.2.4 Kriteria Sampel Penelitian


a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Kriteria
inklusi dalam penelitian ini terdiri dari:
1) responden tinggal di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah;

2) responden memiliki umur lebih dari 55 tahun;


3) responden yang mengeluhkan masalah tidur;
4) responden yang memiliki kualitas tidur yang buruk, dengan skor keseluruhan
PSQI > 5;
5) responden yang tidak menderita demensia;
6) responden bersedia menandatangani lembar informed consent.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang tidak
memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab sehingga tidak dapat menjadi
responden penelitian (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eksklusi penelitian ini,
yaitu responden yang nomaden atau berpindah tempat tinggal dari Desa
Wonojati.

4.3

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Wonojati, Kecamatan Jenggawah,

Kabupaten Jember.

4.4

Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal penelitian pada bulan

Maret sampai April 2012. Penelitian dilakukan pada awal bulan Mei 2012.
Penyusunan laporan penelitian pada akhir bulan Mei sampai Juni 2012.

4.5

Definisi Operasional
Definisi operasional terdiri dari dua variabel, antara lain variabel

independen dan variabel dependen. Definisi operasional variabel bebas pada


penelitian ini adalah faktorfaktor yang berhubungan dengan kualitas tidur
yang buruk, sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah kualitas tidur yang
buruk.
Penjelasan definisi operasional dapat dilihat di tabel 4.1.
Tabel 4.1 Definisi Operasional
No
1

Variabel
variabel bebas:
faktorfaktor
yang
berhubungan
dengan kualitas
tidur yang buruk
a. Usia

Definisi
Segala sesuatu yang
dapat mempengaruhi
terjadinya masalah
kesehatan khususnya
kualitas tidur yang
buruk pada lansia
Waktu hidup
seseorang sejak
dilahirkan sampai
saat ini yang
dinyatakan dalam
tahun.

Indikator

b. Respon
terhadap
penyakit

Gangguan berupa
perasaan sakit atau
nyeri yang
menyebabkan
seseorang terbangun
dari tidur.

1.
2.
3.
4.
5.

kesulitan bernapas
nyeri tenggorokan
pusing
nyeri dada
keinginan
berkemih di
malam hari
6. kram
7. nyeri lambung

c. Tingkat
Depresi

Tingkatan atau
jenjang dari
gangguan alam
perasaan yang
ditandai oleh

1. minat aktivitas
2. perasaan sedih
3. perasaan sepi dan
bosan
4. perasaan tidak

Alat Ukur

Skala

Hasil

Ordinal

Lansia Dini
=0
Lansia = 1
Lansia
Resiko
Tinggi = 2

Kuesioner 2

Ordinal

Tidak Sakit
=0
Sakit = 1

Kuesioner 2

Ordinal

Tidak
Depresi = 0
Depresi
ringan = 1
Depresi

1. lansia dini = 5564 tahun


2. lansia = 65-70
tahun
3. lansia resiko
tinggi = > 70
tahun

kesedihan dan
perasaan berduka

berdaya
5. perasaan bersalah
6. perhatian/konsent
rasi
7. semangat atau
harapan terhadap
masa depan

Sedang
atau Berat
=2

d. Tingkat
Kecemasan

Tingkatan
kekhawatiran yang
berkaitan dengan
perasaan tidak pasti
dan tidak berdaya.

1. somatic
symptoms and
autonomic arousal
2. symptoms of
tension and
distress
3. mental state
symptoms: fear
and concern

Kuesioner 2

Ordinal

Tidak
Cemas = 0
Cemas = 1

e. Lingkungan
fisik

Kondisi sekitar
yang dapat
mempengaruhi
kenyamanan tidur
lansia.

1. suhu terlalu
hangat
2. suhu terlalu
dingin
3. suara bising
4. kekerasan tempat
tidur
5. kenyamanan
kamar tidur
6. penggunaan
lampu ketika tidur

Kuesioner 2

Ordinal

Baik = 0
Kurang = 1

f. Gaya hidup

Perilaku yang
dilakukan dan dapat
berpengaruh pada
kenyamanan tidur
lansia

1. kebiasaan
menggunakan
alkohol
2. kebiasaan
merokok
3. penggunaan obat
tidur
4. kebiasaan
konsumsi kafein
5. kebiasaan makan

Kuesioner 2

Ordinal

Baik = 0
Buruk = 1

4.6

Pengumpulan Data

4.6.1 Sumber Data


Sumber data yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
a.

data primer
Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung oleh
peneliti dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu oleh peneliti. Data dikumpulkan secara langsung dari
responden melalui teknik wawancara terstruktur terkait dengan kualitas
tidur dan faktorfaktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang
buruk pada lansia di Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten
Jember.

b.

data sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak langsung
oleh peneliti. Peneliti mendapatkan data jumlah lansia di Kabupaten Jember
melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Data jumlah lansia di Desa
Wonojati Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember didapatkan peneliti
melalui Puskesmas Jenggawah. Data sekunder tersebut digunakan untuk
menentukan besarnya populasi penelitian.

4.6.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara
terstruktur dengan pedoman kuesioner 1 dan 2. Peneliti setelah mendapatkan

persetujuan penelitian, maka peneliti selanjutnya melakukan pendekatan dan


koordinasi dengan petugas kesehatan yang menangani program posyandu lansia di
Puskesmas Jenggawah. Prosedur pengumpulan data dimulai dengan mendata
nama-nama lansia yang ada di masing-masing dusun. Data jumlah dan
nama lansia berdasarkan dusun tempat tinggal lansia tersebut dimasukkan oleh
peneliti dalam lembar monitoring. Lembar monitoring digunakan untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan pengumpulan data di lapangan.
Peneliti kemudian melakukan pengambilan data dengan berkunjung ke
rumah setiap lansia yang terpilih sebagai sampel. Peneliti menjelaskan tujuan
dan manfaat penelitian serta memberikan lembar informed consent. Lansia
yang bersedia menandatangani informed consent kemudian diwawancarai
dengan pedoman kuesioner 1. Apabila hasil ukur kuesioner 1 adalah kualitas tidur
yang buruk, maka peneliti akan melanjutkan wawancara dengan menggunakan
pedoman kuesioner 2. Waktu, tempat, dan hasil pengambilan data dicatatkan
dalam lembar monitoring yang dibuat oleh peneliti.

4.6.3 Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
kuesioner. Kuesioner adalah beberapa pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden (Arikunto, 2006). Kuesioner untuk
wawancara (form for questioning) adalah jenis kuesioner yang digunakan
untuk mengumpulkan data melalui wawancara. Alat ini digunakan untuk
memperoleh jawaban yang akurat dari responden (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian ini menggunakan dua jenis kuesioner yaitu kuesioner 1


yang mengidentifikasi

kualitas

tidur

lansia

dan

kuesioner

yang

mengidentifikasi faktorfaktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang


buruk

pada

lansia. Pertanyaan

yang

terdapat

dalam

kuesioner

adalah

pertanyaan yang bersifat tertutup dan responden hanya menjawab salah satu
jawaban yang telah disediakan (Sugiyono,

2009).

Pengisian

kuesioner

dilakukan oleh peneliti berdasarkan jawaban responden dalam wawancara.


Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi semua pertanyaan dalam kuesioner
sekitar 1520 menit.
Kuesioner 1 yang berisikan tentang kualitas tidur lansia adalah kuesioner
baku yaitu Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Pengisian lembar PSQI
membutuhkan waktu 5-10 menit, dan penilaiannya membutuhkan waktu 5 menit.
PSQI terbagi dalam tujuh komponen penilaian dimana masing-masing
memiliki skala 0-3. Ketujuh komponen skor tersebut kemudian dijumlahkan
untuk menghasilkan skor keseluruhan dari PSQI yang memiliki jangkauan
skor 0-21. Skor keseluruhan PSQI > 5 berarti responden memiliki kualitas tidur
yang buruk.
Kuesioner 2 mencakup respon terhadap penyakit, gaya hidup, lingkungan
fisik, tingkat depresi dan tingkat kecemasan. Kuesioner tentang tingkat kecemasan
yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner Short
Anxiety Screening Test (SAST) yang terdiri dari 10 pernyataan. Hasil skor
> 24 mengidentifikasikan tidak adanya ansietas atau kecemasan pada
responden. Kuesioner tentang tingkat depresi merupakan kuesioner Geriatric

Depression Scale (GDS) yang

terdiri dari 30 pernyataan.

Skor 0-10

mengindikasikan tidak depresi, 11-20 mengindikasikan depresi ringan, dan


21-30 mengindikasikan depresi sedang atau berat. Kuesioner tentang respon
terhadap penyakit, lingkungan fisik, dan gaya hidup dibuat sendiri oleh peneliti
berdasarkan beberapa teori yang mencakup teori Potter & Perry (2005),
Simonson et al (2007), dan Maas (2011). Blue print kuesioner penelitian dapat
dilihat di tabel 4.2.

4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas


Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat untuk mendapatkan
hasil penelitian yang valid dan reliabel. Peneliti telah melakukan pengujian
instrumen sebelum digunakan dalam penelitian sebenarnya. Uji instrumen
dilakukan

pada

lansia

Jenggawah Kabupaten

yang

berada

di

Desa

Jenggawah

Jember

dengan

karakteristik

yang

Kecamatan

sama

dengan

responden yang digunakan dalam penelitian sebenarnya. Uji validitas dan


reliabilitas dilakukan pada responden berjumlah 20 orang (Notoatmodjo, 2010).
Kuesioner 1 yang mengidentifikasi kualitas tidur lansia dan kuesioner
2 tentang tingkat depresi dan tingkat kecemasan tidak dilakukan uji validitas
dan reliabilitas. Hal ini dikarenakan alat ukur yang digunakan merupakan
alat ukur yang pernah digunakan sebagai alat ukur pada penelitian-penelitian
sebelumnya. Kuesioner kualitas tidur dipublikasikan pada tahun 1988 oleh
University of Pittsburgh dengan nilai Alpha Cronbach 0,83. Kuesioner
tingkat

depresi dipublikasikan

pada

tahun

1983

oleh

Yesavage

dkk.

Kuesioner ini memiliki sensitivitas 84 %, specificity 95 %, dan nilai Alpha


Cronbach 0,85. Kuesioner tingkat kecemasan dipublikasikan pada tahun 1999
oleh Sinoff G. dengan nilai Alpha Cronbach 0,763. Ketiga kuesioner diatas
telah digunakan dalam berbagai penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia
sehingga tidak perlu dilakukan uji validitas maupun uji reliabilitas.
Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah item pertanyaan
mempunyai kemampuan mengukur apa yang akan diukur oleh peneliti. Uji
validitas menggunakan Pearson Product Moment (r) dengan membandingkan
antara skor nilai setiap item pertanyaan dengan skor total pertanyaan. Untuk
melihat nilai korelasi tiaptiap pertanyaan signifikan, maka nilai r hitung
dibandingkan r tabel. Masingmasing nilai signifikan dari item pertanyaan
dibandingkan dengan nilai r tabel pada tingkat kemaknaan 5%, jika lebih
besar maka

item

pertanyaan tersebut valid atau sahih

(Riwidikdo, 2007).

Penelitian ini memiliki r tabel = 0,444 (N = 20; TS = 5%).


Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada kuesioner 2 tentang respon
terhadap penyakit, lingkungan fisik, dan gaya hidup. Berdasarkan hasil uji
validitas, diperoleh 10 pernyataan valid pada sub variabel respon terhadap
penyakit dengan r hitung > 0,444. Pada sub variabel lingkungan fisik diperoleh 7
pernyataan valid dengan r hitung > 0,444 dan pada sub variabel gaya hidup juga
diperoleh 7 pernyataan valid dengan r hitung > 0,444. Pernyataan dengan r hitung
< 0,444 tidak valid sehingga tidak digunakan dalam penelitian. Perbedaan
blue print kuesioner penelitian sebelum dan sesudah uji validitas dapat
dilihat pada tabel 4.3

Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat


pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama
(Notoatmodjo, 2010). Peneliti menggunakan cronbachs alpha untuk menguji
reliabilitas kuesioner. Jika alpha semakin mendekati nilai 1 maka nilai reliabilitas
instrumen pada penelitian semakin tinggi (Sugiyono, 2009). Jika r alpha > r
tabel maka instrumen reliabel (Notoatmodjo, 2010).
Nilai r alpha berdasarkan uji reliabilitas tentang respon terhadap penyakit,
lingkungan fisik, dan gaya hidup masing-masing yaitu 0,917; 0,863; dan
0,763. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kuesioner 2 meliputi respon
terhadap penyakit, lingkungan fisik, dan gaya hidup adalah reliabel, sehingga
dapat digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian.

4.7

Pengolahan dan Analisis Data

4.7.1 Pengolahan Data


a.

Editing
Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian kuesioner

(Notoatmodjo, 2010). Peneliti telah melakukan pemeriksaan atau pengecekan


pada kuesioner untuk memastikan jawaban dari responden dalam kuesioner
sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten (Hastono, 2007).
b.

Coding

Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2010). Peneliti memberikan tanda atau kode
tertentu pada setiap jawaban responden dalam kuesioner yang bertujuan
untuk lebih memudahkan peneliti saat menganalisis data. Pemberian kode
pada penelitian ini terdiri dari:
1) sub variabel usia, terbagi atas tiga kategori yaitu kode 0 = lansia dini, kode 1
= lansia, dan kode 2 = lansia resiko tinggi.
2) sub variabel respon terhadap penyakit, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0
= tidak sakit, kode 1 = sakit.
3) sub variabel tingkat depresi, terbagi atas tiga kategori yaitu kode 0 = tidak
ada depresi, kode 1 = depresi ringan, dan kode 2 = depresi sedang
atau berat.
4) sub variabel tingkat kecemasan, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0 =
tidak cemas dan kode 1 = cemas.
5) sub variabel lingkungan fisik, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0
baik, kode 1 = kurang.
6) sub variabel gaya hidup, terbagi atas dua kategori yaitu kode 0 = baik,
kode 1 = buruk.
c.

Entry
Entry adalah proses memasukkan jawaban-jawaban dari masing-masing

responden dalam bentuk kode ke dalam program atau software komputer


(Notoatmodjo, 2010). Peneliti memasukkan hasil penelitian yang ada di kuesioner
yang telah diberi kode tertentu ke dalam program yang terdapat di komputer yaitu

SPSS (Statistical Product and Service Solution).


d.

Cleaning
Cleaning adalah proses pembersihan data (Notoatmodjo, 2010). Cleaning

merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah


ada kesalahan atau tidak (Hastono, 2007).

4.7.2 Analisis Data


Data yang telah diolah baik secara manual maupun menggunakan bantuan
komputer, tidak akan ada maknanya tanpa dianalisis (Notoatmodjo, 2010).
Analisis yang digunakan meliputi analisis univariat dan bivariat. Analisis
data dilakukan untuk mengetahui gambaran deskriptif faktorfaktor yang
berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Analisis univariat dilakukan
untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti.
Analisis ini akan menunjukkan persentase atau proporsi dari tiap sub
variabel independen yang ditampilkan dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi. Analisis univariat untuk variabel dependen dengan menggunakan nilai
mean, median, dan standar deviasi (Hastono, 2007).
Penelitian ini juga menggunakan analisis bivariat yang dilakukan untuk
mengetahui

hubungan

antara

variabel

independen

(faktorfaktor

yang

berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk) dan variabel dependen


(kualitas tidur yang buruk) sehingga ada tidaknya hubungan antara kedua variabel
tersebut dapat diketahui dan maknanya dapat dinilai secara statistik. Jenis
data pada analisis bivariat antara variabel independen dan variabel dependen

adalah kategorik dan numerik, maka analisis yang digunakan adalah uji t
independen pada sub variabel independen yang memiliki dua nilai (respon
terhadap penyakit, tingkat depresi, tingkat kecemasan, lingkungan fisik, gaya
hidup) dan uji ANOVA pada sub variabel independen yang memiliki lebih dari 2
nilai (usia).

4.8

Etika Penelitian

4.8.1 Lembar Persetujuan (informed consent)


Informed consent dibuat agar responden mengetahui maksud dan
tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data.
Brockopp dan Tolsma (2000) menyatakan peneliti dan responden dapat
mencapai

persetujuan tentang

hak

dan

kewajiban

selama

penelitian.

Responden yang bersedia untuk diteliti menandatangani lembar persetujuan


dan sebagai bukti bahwa responden bersedia untuk memberikan informasi
terkait dengan penelitian yang dilakukan. Responden yang menolak tetap
dihormati haknya dan peneliti tidak memaksakan calon responden tersebut untuk
diteliti.
Penelitian saat ini, lansia di Desa Wonojati mendapatkan lembar informed
consent yang didalamnya berisi penjelasan mengenai tujuan penelitian yaitu untuk
menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur yang
buruk pada lansia. Lansia yang bersedia untuk dijadikan responden penelitian
maka diminta menandatangani lembar informed consent

tersebut, bila tidak

setuju maka diperbolehkan untuk tidak menandatangani lembar informed consent.

4.8.2 Menghormati martabat subyek penelitian


Penelitian yang dilakukan harus menjunjung tinggi martabat seseorang
(subyek penelitian). Penelitian saat ini, lansia di Desa Wonojati diberikan
informasi terkait dengan tujuan dan manfaat penelitian. Lansia diberikan
kebebasan untuk ikut serta atau tidak dalam penelitian ini. Lansia yang
tidak bersedia ikut serta dalam penelitian tidak mendapatkan sanksi atau
hukuman.

4.8.3 Kerahasiaan (confidentiality)


Kerahasiaan adalah pernyataan jaminan bahwa informasi apapun yang
berkaitan dengan responden tidak dilaporkan dan tidak mungkin diakses
oleh orang lain selain tim peneliti Kerahasiaan informasi yang diberikan
oleh responden

dijamin

oleh

peneliti

(Brockopp

&

Tolsma,

2000).

Kerahasiaan pada penelitian saat ini dilakukan oleh peneliti dengan cara
penggunaan anonimity untuk mendokumentasikan responden (identitas lansia)
dalam pendokumentasian hasil penelitian.

4.8.4 Asas kemanfaatan


Penelitian saat ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk pada lansia. Penelitian ini
tidak menimbulkan resiko

apapun,

karena

peneliti

tidak

memberikan

intervensi pada lansia yang menjadi responden penelitian. Manfaat yang


didapatkan oleh lansia yaitu mengetahui kualitas tidur yang dimiliki, tergolong

kualitas tidur yang baik atau kualitas tidur yang buruk serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

4.8.5 Asas Keadilan


Prinsip keadilan menuntut perlakuan terhadap orang lain yang adil dan
memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka (Potter & Perry, 2005).
Penelitian saat ini, peneliti tidak mengistimewakan sebagian responden
dengan responden yang lain. Peneliti tidak membedakan lansia berdasarkan
status pendidikan maupun sosial ekonominya.

You might also like