You are on page 1of 18

HUKUM KELUARGA KONTEMPORER DI NEGARA-NEGARA MUSLIM* Oleh: Prof. Dr. H.

Nasaruddi
n Umar, MA Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam A. Pendahuluan Hukum kel
uarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai
inti syariah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum ke
luarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Turki
mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di Asia Barat. Hukum
perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga m
enampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkm al-adhiya yang telah
dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang h
ukum keluarga. Salah satu potret pembaruan hukum keluarga di Turki yang mengalam
i beberapa kali amandemen adalah aturan-aturan hukum tentang perceraian dalam pe
rundang-undangan telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan
dengan fiqh konvensional. Penerapan hukum Islam dalam konteks kenegaraan secara
serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat i
tu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuska
n oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yan
g mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam. Namun berkaitan dengan hal
-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan va
riasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama (Fazlur Rahman :2000
). Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai
pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undangundan
g tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di T
urki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempu
nyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara l
ain. B. Sejarah Pembaharuan Hukum Keluarga Turki Eksistensi hukum keluarga di du
nia sebagai hukum positif mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Tahir Mahmood memb
agi tiga kategori negara berdasarkan hukum keluarga yang dianut : (Tahir Mahmood
:1972) 1. Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional Jumlah negara yang m
asuk kategori ini adalah Saudi Arabia. Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritan
ia, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain.
Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara C
ita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top Jakarta, 19 Februari 2010
*
1

2.
Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler Termasuk dalam kategori ini adalah
Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Sovyet (almarhum)
. 3. Negara yang menerapkan hukum keluarga yang diperbarui Kategori ketiga ini a
dalah negara yang melakukan pembaruan substantif dan atau pembaruan peraturan. P
embaruan hukum keluarga Islam untuk pertama kalinya dilakukan di Turki, diikuti
Lebanon dan Mesir. Negara Brunei, Malaysia dan Indonesia juga masuk kategori ini
. Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis ta
hun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk men
untut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami. Seorang ist
eri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengi
dap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri un
tuk meminta cerai dari suaminya. Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan
umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya seca
ra resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasa
n pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri
dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang membahayakan kelangsunga
n rumah tangga. Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights
/ Qann al-huqq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada
tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. H
ukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turk
i Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk wa
ris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni.
Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi gol
ongan minoritas Yahudi dan Nasrani, karena undang-undang tersebut dimaksudkan un
tuk menyatukan yurisdiksi hukum pada pengadilan-pengadilan nasional. Undang-unda
ng yang terdiri dari 156 pasal ini hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun
munculnya undang-undang ini memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengado
psinya dengan beberapa modifikasi. Tahun 1912 Pemerintah Turki mengadopsi hukum
perdata Swiss (The civil code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan ya
ng disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki ta
hun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hu
kum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, sepe
rti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912.
Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuanketen
tuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal unt
uk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawin
an, perceraian, dan lain-lain. Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang s
uami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jik
a setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi
rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di
pengadilan.
2

Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 138 Hukum Perdata Turki tahun
1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat menga
jukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan se
bagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina. 2. Salah satu pihak melakukan
percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya. 3. Salah sa
tu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan pen
deritaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga. 4. Salah satu pihak meninggalk
an tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanp
a alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain. 5. Salah satu pih
ak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu
kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokte
r). 6. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan p
enderitaan. Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 men
galami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun wak
tu 1933 1956. hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, d
ispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubun
gan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar peng
adilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak
masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian t
erhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung
dengan fakta dan keadaan kuat. Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Tur
ki tahun 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakuk
an perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah istr
i dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun
1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen
yang dilakukan oleh legislative tersebut berakhir tahun 1992. Materi amandemen
tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara lain : 1. Salah satu pihak d
apat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat yang bera
kibat pada rumah tangga yang tidak bahagia. 2. Pihak yang tidak bersalah dan men
derita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain
. 3. Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan me
minta nafkah dari pihak lain selama setahun.
C. Perceraian Dalam Kajian Fiqh Konvensional Talak, khulu, ila dan zhihar adalah i
stilah-istilah yang berkaitan dengan putusnya perkawinan. Para ulama sepakat bah
wa hak talak berada pada pihak suami yang berakal. Perceraian dalam terma Islam
merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun sangat dibenci oleh Allah. Hal ini me
nunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir yang harus ditempuh ket
ika upaya-upaya untuk menyatukan suami isteri dalam ikatan perkawinan mengalami
jalan buntu. Talak dibagi dua, yaitu talak raji yaitu suami mempunyai hak untuk m
erujuk isterinya, dan talak bain yang meniadakan hak rujuk sebagaimana berlaku p
ada khulu, ila
3

dan lian. Akibat dari talak bain adalah harus adanya akad nikah baru jika mantan
suami ingin kembali bersama isterinya. Imam Malik membedakan talak dengan fasak
h. Apabila terjadi perselisihan tentang boleh tidaknya perkawinan (seperti perem
puan yang mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali atau perkawinan orang yang ihra
m, maka pemutusan perkawinan dengan talak, bukan fasakh. Jika putusnya perkawina
n bukan dari pihak suami isteri, keadaan apabila suami isteri hendak melanjutkan
perkawinannya tidak sah karena sebab itu masih ada (seperti mengawini orang yan
g sesusuan atau kawin pada masa iddah) maka pemutusan kerkawinannya dengan fasak
h. Fasakh dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit tertentu. Penyakit yang dijadi
kan alasan fasakh menurut Ibnu Qudaimah sebagaimana dikutip Khoiruddin Nasution
adalah penyakit yang menghalangi terjadinya hubungan seksual. Penyakit tersebut
secara global dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, penyakit yang mungkin menge
nai kedua pasangan, seperti: gila dan lepra/kusta. Kedua, penyakit yang berhubun
gan dengan istri, seperti: kemaluan isteri tersumbat atau sobek. Ketiga, penyaki
t yang berkaitan dengan suami, seperti lemah syahwat atau terpotong kemaluannya.
Apabila terjadi perselisihan (siqaq) antara suami isteri, para ulama sepakat te
ntang kebolehan mengirim hakam (juru damai) masing-masing dari pihak keluarga su
ami dan isteri. Walaupun begitu dimungkinkan untuk mengirimkan orang lain yang b
ukan dari keluarga suami isteri dengan pertimbangan kepantasan untuk menjadi hak
am. Jika terjadi perbedaan pendapat diantara kedua hakam tersebut maka pendapat
keduanya tidak dapat dilaksanakan. Apabila terjadi kesepakatan untuk menceraikan
suami isteri tersebut, menurut Imam Malik diperbolehkan mengadakan pemisahan ta
npa persetujuan suami isteri tersebut. Imam Syafii dan Abu Hanifah melarang kedua
hakam tersebut untuk melakukan pemisahan, kecuali ada penyerahan atau pemberian
kuasa dari suami kepada kedua hakam tersebut. Berkaitan dengan nusyuz, apabila
nusyuz dilakukan oleh suami maka penyelesaiannya menurut al-Nisa (4):128 adalah
berdamai (islah). Apabila nusyuz dilakukan oleh isteri maka jalan keluarnya menu
rut al-Nisa (4): 34 adalah menasehati, membiarkan sendirian di tempat tidur atau
memukul.
D. Materi dan Metode Pembaruan Hukum Keluarga Turki Perkembangan hukum keluarga
kontemporer di dunia Islam disebabkan oleh empat faktor: (1) apakah suatu negara
tetap mempertahankan kedudukannya atau didominasi oleh negara eropa. (2) Watak
organisasi ulama atau kepemimpinan. (3) Perkembangan pendidikan Islam. (4) sifat
kebijakan kolonial dari negara-negara penjajah. Pembaruan hukum Islam di Turki
dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hukum keluarga diiku
ti oleh penduduk Turki. Walaupun terdapat perbedaan antara modernis dan tradison
alis, namun tidak sampai pada taraf antipati. Hal ini diantaranya disebabkan ole
h watak organisasi ulama di Turki yang tidak mempunyai institusi keagamaan yang
kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini sebagai akibat dari sekularisasi yang
diterapkan di Turki.
4

Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Tu


rki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh
konvensional. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari uraian berikut : 1. Otoritas
pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami, sedangkan istri t
idak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan apapun, sejak munculnya hu
kum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri diperbolehkan mengajukan per
ceraian. 2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan
cerai dari pihak suami atau isteri (Hasil Amandemen Pasal 129-135). 3. Dalam mas
lah perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah pisah ranjang (ju
ditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926 mengatur dan membolehkan pisa
h ranjang. 4. Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cer
ai dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum Per
data Turki 1926 dan Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990). 5. Suami atau ist
eri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan perceraian) maka perla
kuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang zina. 6. Penyakit jiwaa da
lam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan perceraian, sedang dalam fiqh
konvensional berkaitan dengan fasakh. 7. Perundang-undangan Turki memberlakukan
perceraian atas kesepakataan bersama (suami isteri) berdasar hasil Amandemen ta
hun 1988. 8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat
perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak (Pasal 143 H
asil Amandemen tahun 1990). Metode pembaruan hukum Islam yang digunakan di Turki
pada tahap awal menggunakan metode takhayyur. Hal ini dapat dilihat pada kodifi
kasi hukum majallat alahkam al-adhiya tahun 1876 dengan memilih salah satu dari
sekian pendapat mazhab fiqh yang ada. Aplikasi metode takhayyur dalam perundangundangan Turki menurut Anderson seperti pada aturan talik talak yang dicantumkan
pada Pasal 38 Hukum tentang Hak-hak keluarga tahun 1917 bahwa seorang isteri ber
hak mencantumkan dalam talik talak bahwa poligami suami dapat menjadi alasan perc
eraian. Metode pembaruan hukum keluarga yang dominan terutama berkaitan dengan p
erceraian adalah maslahah mursalah. Hal ini nampak dari ketentuan yang mewajibka
n perceraian di Pengadilan, kemaslahatan yang diperoleh adalah sikap kehati-hati
an dan kepastian hukum. Keseimbangan hak antara suami isteri dalam pengajuan cer
ai dengan alasan-alasan yang mendasarinya juga dimaksudkan untuk menghindari kes
ewenangwenangan salah satu pihak (suami) yang mengakibatkan kerugian dipihak lai
n dan mengembalikan posisi isteri yang sering termarjinalkan oleh konstruksi pem
ahaman hukum Islam. Pembaharuan hukum keluarga di Turki dalam perspektif kategor
isasi metode pembaruan, dapat dikemukakan bahwa metode pembaruan extra doctriner
reform nampak pada masa-masa awal pembaharuan ditandai dengan munculnya protes
kaum istri yang merasa terkekang oleh mazhab Hanafi, kemudian memunculkan solusi
alternatif perceraian dari pihak isteri yang ditinggal suaminya yang lebih meng
acu pada mazhab Hambali dan
5

Maliki. Metode intra doctriner reform lebih mewarnai pembaruan hukum keluarga di
Turki seperti penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan dengan ha
nya mengakui perceraian yang terjadi dalam sidang di pengadilan. Pembaruan ini m
erupakan bentuk kepastian hukum bagi masyarakat Turki. E. Pemberlakuan Sanksi Hu
kum dalam Hukum Keluarga Negara Muslim Salah satu trend reformasi hukum keluarga
di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sanksi hukum. Keberanjakan dari hu
kum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada
aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit,
namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga s
ebagai perbuatan kriminal. Dalam hal poligami misalnya, meskipun diberlakukannya
sanksi hukum poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang b
erlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan
tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah m
enarik jika pemberian sanksi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dek
at, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian
dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, a
ntar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam
, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula jika dibandingkan
dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara Barat). Pemberlakuan
sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara M
uslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berba
gai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, ha
k perempuan pasca cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jel
as, berikut ini rincian sejumlah persoalan tersebut: 1. Perkawinan di bawah umur
(masalah batasan usia nikah) Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari
4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluar
ga yang berlaku di keempat negara tersebut secara eksplisit memberlakuan sanksi
hukum terhadap pelanggaran masalah ini. Di Bangladesh, seseorang yang menikahi a
nak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda ma
ksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus. Sedangkan di Iran, siapa pun yang menika
hi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hu
kuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun. Di Pakistan, terhadap pria (berumur di ata
s 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksim
al 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Sanksi yang
sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; at
au memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap me
reka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya ka
pasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan di
langsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah um
ur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang d
ikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah
6

umur) sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya


dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan. Dalam pada itu, berdasarkan Huk
um Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pela
nggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974
(antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selis
ih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 ta
hun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 t
ahun; atau keduanya sekaligus. 2. Perkawinan secara paksa Irak dan Malaysia meru
pakan negara yang mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam pe
rsoalan ini. Di Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh,
setiap pihak yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapa
t dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya
adalah pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3 ta
hun tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka dapat d
ijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau kurungan minimal 3 tahun. Sanksi
yang kelihatannya sedikit lebih ringan di berlakukan oleh Malaysia. Berdasarkan
Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang untuk menikah di luar
alasan yang diizinkan hukum syara dapat dikenakan hukuman denda maksimal 1000 rin
ggit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus. 3. Pencegahan terhadap
perkawinan yang dibolehkan syara Tampaknya hanya Malaysia yang secara eksplisit m
enerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun yang mencegah seseorang
untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara, menurut Hukum Keluarga M
alaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau penjara maksima
l 6 bulan atau keduaduanya. 4. Perkawinan yang dilarang Jika pada Hukum Keluarga
negara-negara Muslim yang lain cenderung hanya memuat sejumlah bentuk perkawina
n yang dilarang dan menetapkan batalnya perkawinan tersebut, Somalia dan Srilank
a tampaknya mengambil langkah yang lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi t
erhadap pelanggaran atas hal tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi k
embali mantan istri yang dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut menye
lesaikan masa iddahnya dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan sudah per
nah berhubungan biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut, dapat dijatu
hi hukuman penjara maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh. Srilanka memb
erlakukan hukuman penjara maksimal 3 tahun bagi setiap pria muslim yang secara s
engaja melakukan perkawinan, atau telah atau berupaya untuk mendapatkan (hak) be
rhubungan badan dengan perempuan-perempuan yang dilarang syara untuk dinikahi. Hu
kuman yang sama juga berlaku bagi wanita muslim (berusia di atas 12 tahun) yang
secara sengaja melakukan perkawinan, atau mengizinkan untuk berhubungan badan de
ngan pria yang dilarang syara untuk menikahinya.
7

Hukum Srilanka juga memberlakukan sanksi terhadap setiap wanita muslimah yang se
lama masa iddahnya mengikat tali pernikahan atau ikut serta sebagai pengantin da
lam suatu upacara perkawinan, dan setiap orang yang mendukung atau membantu ters
elenggaranya ikatan perkawinan atau perlaksanaan upacara perkawinan tersebut. Pa
ra pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee. 5. Pendaftar
an dan pencatatan perkawinan Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini m
erupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-ne
gara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan t
entang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilan
ka. Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan)
yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa i
zin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bula
n atau denda maksimal Rp. 7.500.,- Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan d
alam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria
yang menikah) diancam hukuman penjara 1 6 bulan. Yaman (Selatan) memberlakukan h
ukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekal
igus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) m
elakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.
1/ 1974. Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak
pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi
pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordania
n Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar. Menarik u
ntuk dicatat bahwa Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, mal
ah cenderung lebih banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga M
uslim yang diberlakukan di sana. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentua
n berikut: a. Membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (
copy) sekitar perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3
tahun. b. Melanggar ketentuan Ps. 81: Mempelai pria; petugas pencatatan yang lal
ai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas p
encatatan suatu pernikahan; Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang laki
-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu percerai
an di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melang
gar melalui cara lain; Qadi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (ber
partisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan ba
gi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi me
reka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang la
rangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catat
an yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau
8

c.
d.
e.
f.
perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diak
ibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain. Mereka di atas akan dijatuhi h
ukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman unt
uk yang kedua /selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara maksimal 6 bulan atau
keduanya sekaligus (denda dan penjara). Petugas pencatatan yang sengaja melakuk
an pencatatan, dan pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perk
awinan yang bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Per
kawinan di bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat
dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau k
eduanya sekaligus. Setiap pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan a
tau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian ber
dasarkan UU ini, atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan
atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi
denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus
Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu
pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian
dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wa
li pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6
bulan; atau keduanya sekaligus. Setiap petugas pencatatan: 1) Lalai atau menolak
tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan; 2) Kecuali dalam k
asus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang dia
dakan di luar wilayah tugasnya; 3) Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang me
langgar kondisi-kondisi atau batasan yang terdapat pada surat tugasnya; 4) Menca
tat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya; 5) Sengaja menolak untuk melaksanak
an atau yang terkait dengan pencatatan suatu Perkawinan; suatu kewajiban yang di
bebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau ps. 58; 6) Sengaja melanggar / menent
ang berbagai aturan dalam UU ini dapat dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupe
e.
6. Perkawinan diluar Pengadilan Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar
pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1 tahun; de
nda minimal 300 dinar & maksimal 1000 dinar. Melakukan perkawinan di luar pengad
ilan saat perkawinan sebelumnya masih berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuma
n penjara minimal 3 tahun & maksimal 5 tahun. 7. Mas kawin dan biaya perkawinan
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan bia
ya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebaga
i akibat masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat
. Hal
9

inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusu
s dan menggariskan aturan sanksi hukum dalam masalah ini. Di Bangladesh, memberi
atau mengambil atau bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam
dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau ked
uanya sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hant
aran kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria. Seda
ngkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan
hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dap
at dihukum penjara maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum ya
ng diatur UU ini; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas kawin, ber
bagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan k
etentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan b
agi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini. 8. Poligami &
hak istri dalam poligami Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenaka
n pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern.
Di luar negaranegara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poli
gami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Musl
im telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam H
ukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Se
latan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut menge
nai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus d
alam bahasan mendatang. 9. Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran percer
aian Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka mencantunkan sanksi
hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, m
isalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan ta
lak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1 6 bula
n. Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia, penjatuhan talak di luar dan ta
npa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara maksimal 6
bulan; atau keduanya sekaligus. Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal
Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A, s
uami yang tidak melakukan pendaftaran perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara
hingga 6 bulan; atau denda 200 pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petug
as pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian d
apat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir. D
i Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (c
hairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya kepada istri, da
pat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau kedua
nya sekaligus. Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum P
idana negara itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanp
a melakukan langkah registrasi. Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada p
encatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenaka
n hukuman penjara maksimal 3 tahun.
10

10. Hak-hak istri yang dicerai suaminya Tunisia tampaknya bergerak sendiri dalam
masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang menghindar dari kewajiban
memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3
hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar. 11. Masalah hak waris p
erempuan Harus diakui, mungkin, hanya Libya yang secara khusus memberikan perhat
ian dalam masalah ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak m
emberi) hak warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak waris
an wanita bersangkutan diberikan/dipenuhi. 12.Pelanggaran terhadap UU Hukum kelu
arga yang berlaku (diluar pasal-pasal yang sudah ditentukan sanksi hukumnya) Jik
a dalam Hukum Keluarga mayoritas negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi
hukum dalam beberapa pasalnya, tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga M
uslim Srilanka. Di luar pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumn
ya, setiap pelanggaran di luar pasal-pasal tersebut dapat dijatuhi hukuman denda
maksimal 100 rupee. Dari keterangan di atas dapat ditarik sejumlah catatan seba
gai berikut: a. Bahwa poligami menempati urutan teratas (8 negara) dalam daftar
persoalan Hukum Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum (kriminalisasi poligam
i), menyusul masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa registrasi (6 negara),
dan berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan (5 negara).
b. Meskipun secara umum sanksi yang dijatuhkan masih diarahkan kepada si pelaku
pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku, hukuman juga dijatuhkan ke
pada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas berwenang yang terkait denga
n pelanggaran. c. Sanksi yang diberikan pada umumnya berupa hukuman penjara/kuru
ngan; atau denda; atau keduanya sekaligus. Meskipun bersifat relatif, hukuman te
rtinggi terdapat di Irak yakni 10 tahun & minimal 3 tahun penjara dalam kasus pe
rkawinan secara paksa. Sedangkan sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1 bulan
penjara dalam kasus petugas pencatat yang menolak/tidak melaksanakan tugas penc
atatan. d. Srilanka tercatat sebagai negara terbanyak mencantumkan sanksi hukum
dalam Hukum Keluarga Muslim (sekitar 11 masalah); sedangkan Libya (tentang hak w
aris wanita) dan Somalia (larangan menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebel
um dipenuhi persyaratannya) sejauh ini menjadi negara yang paling sedikit meleta
kkan sanksi dalam Hukum Keluarga mereka. F. Metode Pembaharuan dalam Hukum Kelua
rga Kontemporer Metode pembaharuan hukum khususnya hukum keluarga muslim kontemp
orer diantaranya dengan menggunakan teori gerak ganda (Fazlur Rahman) dan teori
batas (Muhammad Shahrur). Teori gerak ganda
11

Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri untuk berc
erai dalam keadaan tertentu (khulu) dalam analisisnya terhadapa ayat yang digunak
an mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah ayat al-Quran IV :3 dan
II :28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita. Pada gerak pertamanya
Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang sosial buday
a yang berlaku tentang status wanita pada waktu turunnya ayat. Menurutnya masyar
akat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangat l
ah rendah sehingga wajar saja ketika bunyi teks al-Quran menyesuaikan dengan kond
isi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat tempor
al. Dengan mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tent
ang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Rahman beranjak ke geraka
n kedua, Menurut Rahman, adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdas
arkan ayatayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arab abad
ke-7 M, atau masyarakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa a
nggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama seka
li tidak dicuatkan dari al-Quran dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai kaum wani
ta adalah positif. Contoh kedua yaitu tentang kedudukan cucu selaku pengganti or
angtuanya dalam menerima warisan dari kakeknya. Konsep hukum waris klasik samase
kali tidak memeberi bagian kepada cucu yatim yang ditinggal wafat oleh kakeknya
karena terhalang pamannya. Gerakan pertama Rahman dalam hal ini dengan pendekata
n historisnya mengemukakan bahwa prinsip waris semacam itu besar kemungkinannya
berasal dari praktek suku-suku Arab pada masa pra Islam. Dalam masyarakat kesuku
an, tetua-tetua suku, atau suku itu secara keseluruhan, berkewajiban mengurus ke
pentingan anggota-anggota suku yang tidak mampu. Pada sistem patriarkal abad per
tengahan, paman-paman berkewajiban mengurus keponakannya yang ditinggal wafat ol
eh ayahnya, sehingga anak yatim itu tidak memperoleh bagian warisan dari kakekny
a. Setelah mendapatkan nilai Normatif universal dan temporalnya koteks ketentuan
ayat diatas gerak kedua Rahman adalah mengkontekstualkannya pada zaman kekinian
. Pada zaman modern ini situasi telah jauh berbeda dan semakin akut, karena pama
npaman semakin tidak menyukai tanggung jawabnya untuk mengurus keponakannya yang
yatim dan terhalang oleh mereka dalam menerima waris. Berdasarkan pertimbangan
ini Rahman berpendapat bahwa jika seorang kakek wafat dan hanya meninggalkan seo
rang anak lelaki serta seorang cucu dari anak lelaki lainnya yang telah wafat ma
ka ia memeperoleh bagian warisan yang sama dengan pamannya karena ia menempati k
edudukan ayahnya saat menerima waris. Teori batas Beralih pada contoh aplikasi t
eori batasnya Shahrur dalam bidang hukum keluarga dalam hal ini hukum kewarisan.
Contoh terbaik dalam hal ini adalah firman Allah: li Adhdhakari mitshlu hazzi a
l-unthayayni. Kebanyakan para ahli fiqih menganggap bahwa firman ini adalah bata
san yang telah ditentukan dan tidak boleh keluar darinya dalam seluruh kasus yan
g dialami anak-anak. Konsep ini memukul rata semua kasus dan berpijak pada konse
p yang lahir dari pemahaman ayat diatas satu bagi anak laki-laki dan setengah bag
i anak perempuan Sedangkan
12

menurut Shahrur batasan tersebut adalah batasan khusus yang hanya bisa diterapka
n dalam kasus ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki. Mengenai
kewarisan anak ini lebih jauh Shahrur merumuskan teori batasnya berangkat dari a
yat al-Quran Surah an-nisa ayat 11 kemudian Shahrur memberikan rumusan batas dima
na setiap konteks hubungan antara anak laki-laki dan perempuan bisa saja berubah
sesuai dengan jumlah perbandingan anak, dan tidak melulu terpaku pada konsep sat
u bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak perempuan sebagaimana yang digeneral
kan mayoritas ulama fiqh. Adapun formulasi teori batasnya adalah sebagai berikut
: Batas pertama: li Adhdhakari mitshlu hazzi al-unthayayni (laki-laki=1: Perempu
an=1/2). Ini adalah batasan hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagiana
(huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan
dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang bisa di
terapkan pada semua kasus dimana jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-lak
i. Batas kedua: fa ini kunna nisaan fawqa ithnatayni (Lk=1/3: Pr= 2/3). Batas huk
um ini membatasi seorang laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (lebih dari
dua). Satu orang laki-laki+perempuan lebih dari dua, maka bagi laki-laki adalah
1/3 dan bagi pihak perempuan adalah 2/3 berapapun jumlah mereka (diatas dua). B
atasan ini berlaku pada seluruh kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua k
ali jumlah lakilaki. Batas ketiga: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (lk=1:
Pr=1). Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi k
etika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan, jadi masing mas
ing anak mendapatkan separuh dari harta peninggalan. Menurut Shahrur Jika diperh
atikan pihak laki-laki pada batas kedua yang termasuk dalam kategori rumus ini t
idak mengambil bagiannya berdasarkan ketentuan batas yang pertama. Pada dasarany
a pembagian ini sangat alami, karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlaku
kan pada kasus yang telah ditetapkan Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus
lainnya.
13

DAFTAR KEPUSTAKAAN Buku-buku: Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern, ali
h bahasa Machnun Husein, Surabaya: Amar Press, 1990. Asmuni, M. Yusron, Penganta
r Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta:LSIK dan Raja Gra
findo Persada,1995. Esposito, John. L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, alih bah
asa Eva Yn. dkk., Bandung:Mizan, 2001. 17. Mahmood, Tahir, Family Law Reform in
the Moslem World, Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972. --------, Status of Person
al Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition, New De
lhi:ALR, 1995. Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara:Studi Terhad
ap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Ja
karta:INIS, 2002. Pearl, David and Werner Menski, Muslim Family Law, third editi
on, London:Sweet and Maxwell, 1998. Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa Ahsin Moh
ammad, cet IV, Bandung:Pustaka, 2000. ---------, Islam dan Modernitas Tentang Tr
ansformasi Intentelektual, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. II, Bandung:Pustaka,
2000. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa MA Abdurrahman dan A. Haris
Abdullah, Semarang:asSyifa, 1990. As-Sabiq, as-Sayyid, fiqh as-Sunnah, Semarang:T
oha Putera, tt. The Wold Book of Encyclopedia, USA:The world book Inc, 1997, vol
. 19 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekontruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan
, Hubungan Internasional, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany., LKiS,
Yogyakarta. 1990. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh d
an Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushu
l Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002. Ghufran A. Masadi: Pemikiran Fazlur rahman tent
ang metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Rajawali Press, 1997. Hilman Latief, Nas
r hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, Elsaq Press, 2003 Yogyakarta M. Inam Esh
a, M. Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer,
Jendela, Yogyakarta 2003. Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Naim: Paradigma Baru
Hukum Publik Islam, dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jende
la, Yogyakarta 2003. M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Khudori Soleh dkk, Pe
mikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003. Noor Ahmad dkk, Epistemolog
i Syara: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia. Syamsul Anwar, Pengembangan Metode P
enelitian Hukum Islam, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh kontem
porer, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2002. Tahir Azhary, Hukum Keluarga dan kewarisan Isl
am Dalam Masyrakat Modern Indonesia, Mimbar Hukum No. 10, 1993. Taupik Adnan Ama
l, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Miz
an, Bandung 1989. 14

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Penerjemah: Shahiron Syam


suddin) eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam
: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta,
2000. Syamsul Anwar, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam Mazhab J
ogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh kontemporer, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2002. Tah
ir Azhary, Hukum Keluarga dan kewarisan Islam Dalam Masyrakat Modern Indonesia,
Mimbar Hukum No. 10, 1993. Taupik Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, st
udi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung 1989. Muhammad Shahrur, M
etodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Penerjemah: Shahiron Syamsuddin) eLSAQ Press
, Yogyakarta, 2004. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk U
shul Fiqh Mazhab Sunni, (terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta, 2000. Audah, Abd alQdir, at-Tasyr al-Jin al-Islam Muqranan bi al-Qnn al-Wadi, Muassat ar-Rislah, Beir
Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martins P
ress, Inc., New York, 1998. Ab Dwud, Sunan Ab Dwud, juz I, Dr al-Fikr, 1994. Amin, Qa
sim, Tahrr al-Marah, Dr al-Maarif, Tunisia, t.t. Anderson, James Norman Dalrymple (J
.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Mo
deren, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya. _______________ , The Tunis
ian Law of Personal Status, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7
April 1985. Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press,
London, 1976. Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a
Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968 Dahlan, Abdul
Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1
997. Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic Wor
ld, Oxford University Press, Oxford, 1991. Gupta, Kiran, Polygamy Law Reform in M
odern Status dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Ibn al-Arab, Ah
km al-Qurn, Jld. I, Dr al-Kutub al- Ilmiyyah, Beirut, 1988, Ibn Rusyd, Bidyat al-Mujta
hid wa Nihayat al-Muqtaid, juz II, Dr al-Fikr, Beirut, 1995. al-Jazr, Abdurrahman, Ki
tb al-Fiqh ala al-Mazhib al-Arbaah, jld. V, Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1999. Kar
tanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990
. Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia: Law and Society, The Federation Press, Leic
hhardt, 1999. 15

M. Hawes, Joseph & Elizabeth F. Shores (Ed.s), The Family in a America an Encycl
opedia, vol. II, ABCCLIO, Inc., Santa Barbara California, 2001. Mahmood, Tahir,
Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972. ___
___________ , Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative A
nalysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987. Mallat, Chibli
, & Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London, 1993. al-Maragi,
Amad Mutaf , Tafsr al-Mar g, juz IV, Mustaf al-B b al-alab wa Aul duh, 1974. Morris,
he Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mi
fflin Campany, Boston, 1979. Mudzhar, M. Atho dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Huk
um Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern
dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta, 2003. Nasution, Khoiruddin, Sta
tus Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002. al-Qurtb, al-Jm
i li Ahkm al-Qurn, juz V, t.p., Kairo, t.t. Rahman, Fazlur, Major Themes of the Quran
, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pusta
ka, Bandung, 1996. Ridha, Muhammad Rasyd, Tafsr al-Manr, juz IV, Dr al-Kutub al-Ilmiy
yah, Beirut, 1999. Shahrur, Muhammad, Nahw U-l Jaddah li al-Fiqh al-Islam, Edisi In
donesia: Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanu
din, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan
, Kesan dan Keserasian Al-Quran, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000. Simon, Ree
va S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia of the Modern Midd
le East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York, 1996. S. Cayne, Bernard (E
d.), The Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New York, 1996 & 2001. Al
-Thabr, Muhammad Ibn Jarr, J mi al-Bayn an Tawl yi al-Qurn, juz III, D r al-Fikr,
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta,
2001. al-Whid, al-Wlib, Asbb an-Nuzl, Dr al-arm li at-Turts, Kairo, 1996. Yeshua, I
CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britanni
ca, Inc., Chicago, 2003. az-Zajjj, Man al-Qurn wa Irbuhu, juz II, Alam al-Kutub, Beir
1988. az-Zamakhsyar, al-Kasysyf an Haqiq Gawmi at-tanzl wa Aun al-Aqwl f Wujh at
alKasysyf), juz I, Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1995. az-Zuhail, Wahbah, al-Fiq
h al-Islami wa Adillatuh, juz VII, Dr al-Fikr, Damaskus, 1997. Data internet: Ira
q, Republic of 16

http://www.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm Charles W. Sloane, Bigamy (in Civil http:


//www.newadvent.org/cathen/12564a.htm Jurisprudence), dalam Catholic Encyclopedia
.
Pascale Fournier, The Reception of Muslim Family Law in Western Liberal States dal
am Canadian Council of Muslim Women, Sharia/Muslim Law Project, 30/09/2004. pfou
rnie@law.harvard.edu http://www.ccmw.com/Position%20Papers/Pascale%20Paper.doc.
17

You might also like