You are on page 1of 7

POTENSI RAINWATER HARVESTING DALAM UPAYA

MENGURANGI LIMPASAN PERMUKAAN


MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS
(Studi Kasus: Bandung Timur)
POTENTIAL OF RAINWATER HARVESTING IN ORDER TO REDUCE
SURFACE RUNOFF USING HEC-HMS MODEL
(Case Study: East Bandung)
Irsan Vanawandy1, Atika Lubis2, dan Edi Riawan3
Program Studi Meteorologi,
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
irsanvanawandy@gmail.com
ABSTRAK
Bandung Timur merupakan wilayah padat pemukiman dan perindustrian. Kondisi air tanah di
wilayah ini tidak layak untuk dikonsumsi karena kandungan Besi (Fe) yang terlalu tinggi. Selain
permasalahan kualitas air, Bandung Timur memiliki permasalahan banjir di area Gedebage dan
sekitarnya. Permasalahan ini disebabkan karena berkurangnya daerah resapan. Berkembangnya daerah
Bandung Timur sebagai daerah perindustrian maupun pemukiman berdampak pada berkurangnya daerah
resapan sehingga limpasan permukaan meningkat. Tujuan studi ini adalah melakukan simulasi rainwater
harvesting untuk mengetahui efektivitasnya dalam upaya mereduksi limpasan pemukaan di daerah ini.
Dengan menggunakan model HEC-HMS, dilakukan perhitungan untuk mengetahui total limpasan yang
dapat direduksi dengan menerapkan reservoar sebagai metode rainwater harvesting. Metode Cumulative
Distribution Function digunakan untuk membuat skenario kondisi ekstrem basah dalam simulasi HECHMS. Dalam simulasi dilakukan 3 skenario kondisi ekstrem basah dan kapasitas reservoar yang berbedabeda. Berdasarkan perhitungan pada studi ini, reservoar dapat mereduksi limpasan hingga 26% pada
tahun 2010. Kesimpulan dari studi ini adalah metode rainwater harvesting memiliki potensi yang cukup
tinggi dalam upaya mereduksi limpasan permukaan di wilayah Bandung Timur.
Kata kunci: curah hujan, rainwater harvesting, reservoar, runoff

1.

Pusat Lingkungan Geologi Hubertus Danaryanto,


tingginya kadar zat besi itu disebabkan oleh kondisi
geologi cekungan Bandung yang awalnya berupa
danau purba. Berdasarkan Permenkes No. 492 Tahun
2010, kadar maksimum zat besi dalam air minum
adalah 0,3 mg/liter, sedangkan kandungan air tanah di
wilayah cekungan Bandung mencapai 3 mg/liter atau
diatas batas normal.
Selain permasalahan tersebut, Bandung Timur
juga memiliki permasalahan banjir di wilayah
Gedebage. Faktor yang mempengaruhi permasalahan
tersebut adalah tingginya direct runoff di wilayah
Gedebage sehingga perlu dilakukan studi mengenai
tingginya direct runoff di wilayah ini dan cara
mengatasinya. Oleh karena itu, pemanfaatan air hujan
dapat menjadi suatu solusi yang dapat dilakukan
dalam upaya mengurangi limpasan permukaan serta
memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Bandung
Timur. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah

Pendahuluan

Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan


yang sangat cepat di kota-kota besar menyebabkan
perubahan fungsi tata guna lahan. Sebagian besar
lahan terbuka maupun hutan telah menjadi sejumlah
area pemukiman dan perindustrian. Dampak dari
perubahan tata guna lahan tersebut adalah
meningkatnya direct runoff (limpasan permukaan
langsung) dan menurunnya daerah resapan air. Hal
tersebut akan mengakibatkan terganggunya distribusi
air secara hidrologis. Salah satu contohnya adalah
banjir Gedebage di kawasan Bandung Timur.
Bandung Timur merupakan kawasan perindustrian
dengan area pemukiman yang cukup padat. Kualitas
air tanah beberapa wilayah di kawasan Bandung
Timur tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air
minum karena kandungan garam, besi (Fe), dan
mangan (Mn) yang terlalu tinggi. Menurut Kepala

usaha pemanfaatan air hujan dengan metode rainwater


harvesting. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
potensi rainwater harvesting dalam upaya mengurangi
limpasan permukaan langsung di Bandung Timur.

stormwater, menghemat biayapenggunaan air, biaya


operasional rendah, dan pemeliharaannya mudah.
Kelemahan teknologi rainwater harvesting
adalah pasokan air hujan terbatas dan ketidakpastian
curah hujan. Air hujan bukan sumber air yang dapat
diandalkan pada saat periode kering atau kemarau
berkepanjangan. Selain itu, kelemahan lainnya adalah
kapasitas penyimpanan yang rendah akan membatasi
pemanenan air hujan, sedangkan meningkatkan
kapasitas penyimpanan akan menambah biaya
konstruksi dan operasional sehingga membuat
teknologi menjadi kurang layak secara ekonomis,
kemungkinan kontaminasi pada air hujan yang berasal
dari kotoran hewan dan bahan organik yang dapat
mengakibatkan resiko kesehatan jika air hujan tidak
didesinfeksi sebelum digunakan.
Efisiensi rainwater harvesting bergantung pada
bahan yang digunakan, desain dan konstruksi,
pemeliharaan, dan total jumlah curah hujan. Parameter
yang biasa digunakan untuk menggambarkan efisiensi,
koefisiensi limpasan, merupakan presentase curah
hujan yang muncul sebagai limpasan, adalah 0,8.
Sebagai perbandingan, jika bahan atap yang
digunakan adalah genteng semen maka koefisien
limpasannya sekitar 75%, sedangkan atap dari tanah
liat biasanya 50% bergantung pada teknologi panen.
Plastik dan logam memiliki efisiensi terbaik yaitu
sekitar 80-90%.
Secara umum, pemanenan air adalah kegiatan
pengumpulan langsung air hujan. Air hujan yang
dikumpulkan dapat disimpan untuk penggunaan
langsung atau dapat diisi ulang ke tanah air. Sungai,
danau dan air tanah adalah sumber sekunder air. Di
masa sekarang, kita bergantung sepenuhnya pada
sumber sekunder air. Dalam proses tersebut,
umumnya, telah dilupakan bahwa hujan adalah
sumber utama semua sumber-sumber sekunder.
Pemanenan air berarti memanfaatkan secara optimal
air hujan di tempat di mana hujan jatuh, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan air tdak perlu tergantung
pada sumber air yang jauh.

Gambar 1. Sub DAS wilayah kajian di Bandung


Timur
Rainwater harvesting adalah teknologi yang
digunakan untuk mengumpulkan, mengalirkan, dan
menyimpan air hujan untuk kemudian digunakan dari
permukaan yang relatif bersih seperti atap, permukaan
tanah atau tangkapan batu (Norma, 2000). Nilai
rainwater harvesting sebagai sarana pelengkap atau
pengganti suplai air perkotaan telah dibuktikan oleh
banyak peneliti (Monzur dkk., 2012). Rainwater
harvesting merupakan komponen penting dari
pengelolaan air perkotaan dan memiliki manfaat
sekunder sebagai perluasan penggunaan air hujan dan
teknologi inovatif sederhana lainnya memiliki potensi
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari waduk
penyimpanan air dan proses pengolahan air yang
berkontribusi terhadap perubahan iklim (Flower dkk.,
2007).
Sistem rainwater harvesting memanfaatkan
sumber daya air onsite, mengurangi limpasan
perkotaan (urban runoff), dan menghemat pengeluaran
uang untuk penggunaan air (Chiu, 2012). Sistem
rainwater harvesting memiliki keterbatasan utama
dalam efisiensi sistem tersebut yang sangat
dipengaruhi oleh variasi spasial dan temporal hujan,
yang kemudian mempengaruhi kinerja ekonomi
mereka (Relma, 2006).
Keuntungan rainwater harvesting adalah tersedia
air tambahan, meningkatkan kelembaban tanah,
meningkatkan air tanah melalui resapan buatan,
mengurangi banjir perkotaan, dan meningkatkan
kualitas air tanah. Rainwater harvesting dapat
digunakan untuk irigasi, toilet flushing, dan untuk
mencuci. Manfaat utama rainwater harvesting adalah
melestarikan sumber daya air, mengurangi limpasan

2.

Data dan Metodologi

2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
atas data input model HEC-HMS yang digunakan
untuk inisialisasi awal yaitu data Digital Elevation
Model (DEM) berupa data SRTM dalam format
ASCII, Landcover dan Soiltype dalam format
shapefile. Data input lainnya yang digunakan adalah
curah hujan berupa data CH harian dalam mm selama
tujuh tahun. Data pembanding yang digunakan untuk
verifikasi adalah data debit sungai harian tahun 2010
yang didapatkan dari PUSAIR.

2.2 Metodologi

2.2.2 Verifikasi Debit

2.2.1 Metode Soil Conservation Service (SCS)

Untuk membuktikan bahwa hasil dari


perhitungan model tersebut benar dan layak dipakai
untuk analisis selanjutnya, dilakukan evaluasi debit
hasil HEC-HMS dengan debit hasil observasi.
Verifikasi ini dilakukan dengan metode korelasi dan
perbandingan kualitatif grafik keduanya.

Metode Curve Number digunakan untuk


menentukan daerah genangan dan limpasan
permukaan dengan melihat nilai direct runoff (Lubis
dan
Herlianti).
Perhitungan
direct
runoff
menggunakan Metode Soil Conservation Service
cukup baik digunakan untuk menghitung direct runoff,
karena metode ini memperhitungkan tutupan lahan,
dan jenis tanah (Herlianti, 2007).

Persamaan untuk menghitung koefisien korelasi


adalah:

r=

Metode Soil Conservation Service (SCS)


merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh
Departemen Pertanian Amerika Serikat sejak tahun
1947. Metode SCS digunakan untuk menghitung
jumlah direct runoff dari suatu kejadian hujan (USDA,
1986). Persamaan dalam perhitungan direct runoff ini
yaitu:

n X i Yi ( X i )( Yi )

n X

( X i ) 2 n Y 2 i ( Yi ) 2

Dimana,
r = koefisien korelasi,
X= data Observasi,
Y= data hasil model,
Jika korelasi lebih besar dari 0.75, maka
hasil model dianggap valid dan dapat digunakan
untuk analisis selanjutnya. Jika tidak, maka
dilakukan simulasi ulang.Error yang terjadi
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
pendefinisian jenis tanah dan landcover.

dimana :
P = Curah hujan harian dalam inci
S = berkaitan dengan kondisi tanah dan tutupan
lahan yang ditunjukkan melalui Curve
Number (CN), nilai CN bervariasi antara 0
hingga 100.
Q = Direct runoff

2.2.3 Perhitungan Kapasitas Reservoir:

Untuk menghitung nilai S, digunakan persamaan


sebagai berikut :

Sebelum menghitung potensi reservoar


dalam upaya reduksi limpasan, dilakukan
perhitungan luas area tangkapan untuk
menentukan kapasitas resevoar seperti berikut:
Menghitung luas area pemukiman pada setiap
reservoir dengan selection tool pada ArcGIS.
Dengan menggunakan asumsi luas atap 80%
pada area pemukiman, maka dihitung jumlah
rumah pada area pemukiman denggan asumsi
semua rumah bertipe 36 atau memiliki luas
80m2.
Setelah didapatkan jumlah pemukiman,
dilakukan skenario ukuran tangki 1m3 , 2m3
dan 5m3 untuk setiap rumah untuk menghitung
kapasitas reservoar pada area pemukiman.
Dimasukkan input kapasitas reservoar pada
outlet di ujung area pemukiman yang berada
di sekitar sub-DAS.

dimana :
CN = Nilai Curve Number
Untuk menentukan besar CN, ada beberapa faktor
yang perlu diperhatikan yaitu, jenis tanah, tutupan
lahan, kondisi hidrologi dan kelembapan (USDA,
1986).
Alur perhitungan metode Soil Conservation Service
ini adalah :

Gambar 1. Diagram alir perhitungan metode SCS


Curve Number
3

2.2.4 Perhitungan Potensi

Dari timeseries data debit limpasan yang


dihasilkan oleh HEC-HMS. Debit limpasan
dihitung pada peluang 85%, 90% dan 95%.
Perhitungan ini dilakukan menggunakan metode
Cumulative Distribution Function (CDF).

1
P = F ( x) | , )
2

(t )2
2 2

dt

(3-11)

P
= peluang kejadian
dan = parameter, untuk CDF adalah 0 dan 1
Nilai debit limpasan digunakan untuk
menghitung kemampuan reservoar dalam mereduksi
limpasan pada saat kondisi ekstrem basah dengan
variabel-variabel yang telah dihitung sebelumnya.

2.2.5 Metode Penelitian


Pengerjaan penelitian ini dimulai dengan
pengumpulan seluruh data. Selanjutnya, data landuse
digunakan untuk menghitung luas daerah tangkapan
atap rumah. Dari hasil pengolahan data curah hujan,
dihitung potensi limpasan yang diterima atap rumah
untuk daerah tangkapan. Dengan menggunakan model
HEC-HMS, dihitung pula jumlah limpasan
permukaan. Tahap berikutnya adalah menganalisa
jumlah limpasan pada daerah tangkapan dengan total
limpasan permukaan di wilayah Bandung Timur untuk
mengetahui efisiensi penerapan sistem rainwater
harvesting. Dilakukan pula simulasi dengan
memperhitungkan kapasitas tangki untuk setiap rumah
untuk mengetahui besar potensi penerapan rainwater
harvesting terhadap upaya reduksi limpasan
permukaan di daerah kajian.
Dilakukan juga analisis kondisi ekstrim basah
dan peningkatan curah hujan di Kota Bandung. Dari
data historis digunakan metode CDF (Cumulative
Distribution Functions) untuk mengetahui peluang
terjadinya curah hujan ekstrem dan pengaruhnya
terhadap jumlah limpasan yang mampu ditangkap dan
disimpan dalam tangki rainwater harvesting. Berikut
ini adalah alur kerja penelitian tugas akhir yang akan
dilaksanakan:

Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian

3.

Hasil dan Pembahasan

3.1. Curah Hujan Wilayah


Curah hujan wilayah yang mewakili jumlah
curah hujan yang turun pada sub-DAS tersebut
dianggap merata di setiap titik. Perhitungan curah
hujan wilayah dalam model ini menggunakan data
stasiun pengamatan di Cibiru milik PUSAIR.
(a)

(b)

Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Nop
Des

40.0
30.0
20.0
10.0
0.0

Gambar 3. Curah hujan harian stasiun Cibiru tahun


2010 (a) dan rata-rata curah hujan harian
tahun 2005-2011 (b).

Pada tahun 2010 terjadi anomali pola curah


hujan. Nilai curah hujan yang tinggi hampir terjadi
pada setiap bulan dengan rata-rata bulanan yang cukup
tinggi pada tahun 2010 yang disebabkan oleh
fenomena LaNina. Dapat dilihat pada gambar, curah
hujan rata-rata 2005-2011 menunjukkan pola
monsunal sedangkan pada 2010 terlihat curah hujan
yang tinggi secara merata sepanjang tahun 2010
dengan kejadian hujan ekstrem. Peningkatan curah
hujan saat kejadian LaNina 2010 bisa mencapai 300 %
dari curah hujan normal. Rata-rata curah hujan
tahunan tahun 2006-2011 sebesar 5,27 mm, sedangkan
pada tahun 2010 rata-rata curah hujan tahunan sebesar
10,27 mm. Dapat dilihat bahwa curah hujan pada
tahun 2010 meningkat hingga 200% jika dibandingkan
dengan rata-rata curah hujan tahun 20005-2011 yang
disebabkan fenomena LaNina.

Setelah dilakukan percobaan dua simulasi reservoar


pada 6 outlet dan 9 outlet, hasil simulasi menunjukkan
penurunan debit aliran, potensi simulasi menunjukkan
efektifitas reservoar dalam upaya reduksi limpasan
hingga 22,14% selama 1 tahun.
4.3 Skenario Cumulative Distribution Function
Skenario Cumulative Distribution Function
(CDF) dilakukan untuk mengetahui banyaknya
kejadian hujan ekstrem basah. Dalam model HECHMS di lakukan plot CDF untuk 3 kondisi ekstrem
basah, yaitu: Peluang kejadian 50%, 85%, 90%, dan
95%.
Pada kurva CDF, kondisi mean untuk peluang
sebesar 50% terjadi pada Curah Hujan mulai 7mm.
Sedangkan untuk kondisi ekstrem basah yang terjadi
pada peluang kejadian 85%, 90%, 95%, curah Hujan
yang terjadi masing-masing sebesar 29mm, 37mm,
dan 50mm.
15

3.2. Output HEC-HMS


HEC-HMS
mensimulasikan
neraca
kesetimbangan air menggunakan data historis dengan
menggunakan metode SCS Curve Number. Input data
tata guna lahan dan jenis tanah disesuaikan dengan
nilai Curve Number pada data base. Nilai ini yang
menentukan perbandingan jumlah air hujan yang turun
dengan jumlah aliran, baik aliran permukaan (DRO),
aliran dasar (base flow), maupun stream flow.
Wilayah kajian merupakan daerah tropis yang
memiliki jumlah curah hujan sangat tinggi. Lebih dari
70% curah hujan yang turun akan menjadi run-off,
baik itu DRO, base flow, maupun stream flow.
Output debit limpasan ditunjukkan dalam satuan
kaki kubik dengan menggunakan input data Curah
Hujan harian dari stasiun Cibiru. Semakin tinggi CH
akan berdampak pada meningkatnya jumlah debit
aliran. Sebaliknya saat CH rendah berpengaruh pula
pada menurunnya jumlah debit aliran.
(a)

(b)

10

P90
P85

P50
P95

22:48
0:48
2:48
4:48
6:48
8:48
10:48
12:48
14:48
16:48
18:48
20:48
22:48

Gambar 5. Kurva debit limpasan dengan skenario


CDF.
Dapat dilihat pada gambar didiatas, kenaikan
debit aliran pada kondisi ektrem basah 50mm atau
lebih dibanding dengan kondisi mean dapat mencapai
10 kali lipat, sedangkan pada kejadian 29mm dan
37mm atau lebih kenaikan debit aliran masing-masing
mencapai 4 kali lipat dan 6 kali lipat. Debit aliran
yang tinggi disebabkan oleh curah hujan yang tinggi
sehingga potensi jumlah air yang dapat ditangkap juga
seharusnya dapat semakin tinggi.
4.4 Verifikasi Debit
Debit sungai yang dicatat merupakan debit
harian dan dengan satuan m3/detik. Karena
ketersediaan data debit sungai sangat minim, maka
verifikasi debit ini hanya dilakukan di satu titik
pengamatan, yaitu di pos debit Cipanjalu-Kepuh. Data
yang tersedia juga tidak lengkap, oleh karena itu
hanya digunakan data 2010 sesuai dengan data CH
yang digunakan sebagai input model.

(c)

Gambar 4. Debit limpasan pada ujung sub-DAS


wilayah kajian sebelum menggunakan
reservoar (a), setelah menggunakan 6
reservoar (b) dan 9 reservoar (c).

Peluang kejadian hujan sebesar 95% terjadi pada


kejadian hujan sebesar 50mm atau lebih. Kemampuan
reservoar dalam mereduksi limpasan semakin
berkurang saat curah hujan meningkat, hal ini
dipengaruhi batas daya tampung reservoar. Pada
peluang kejadian 95%, masing-masing efektivitas
simulasi reservoar sebesar 1m3, 2m3 dan 5m3 adalah
10%, 20% dan 50% dalam mereduksi limpasan
permukaan.
Penggunaan air rata-rata untuk satu orang
mencapai 64 liter/hari. Penggunaan air di wilayah
Bandung Timur mencapai 52.246.740 L/hari, namu
dengan adanya reservoar sebagai rainwater
harvesting, kebutuhan air total di daerah Bandung
Timur dapat dipenuhi sebagian dengan memanfaatkan
jumlah tangkapan air 13.634.000 L/hari atau sekitar
26%.

Gambar 6. Verifikasi data debit observasi dengan hasil


output model HEC-HMS.
Verifikasi data observasi dan data model
menunjukkan korelasi sebesar 0,45. Hasil verifikasi
menunjukkan ketepatan data model dan observasi
yang kurang baik, hal ini disebabkan tidak dilakukan
perhitungan baseflow pada model sehingga nilai pada
output menunjukkan angka yang lebih rendah
dibanding data observasi. Namun, jika dilihat dari pola
kedua debit tampak menunjukkan pola yang sangat
mirip.

4.

4.5 Analisis Potensi

Kesimpulan

Proses CDF dilakukan untuk setiap subDAS maupun reservoar sehingga didapatkan nilai
debit limpasan pada daerah kajian. Selain
skenario CDF, dilakukan pula simulasi berbagai
ukuran kapasitas tangki untuk setiap rumah atau
area pemukiman.

Reservoar dapat diterapkan sebagai salah satu


metode rainwater harvesting dalam upaya mereduksi
limpasan permukaan hingga 24% pada tahun 2010.
Kapasitas reservoar sangat berpengaruh terhadap
efektivitasnya dalam mereduksi limpasan.
Model HEC-HMS efektif dalam melakukan
simulasi limpasan permukaan di sekitar DAS, namun
lemah dalam melakukan simulasi jangka panjang.
Dengan adanya reservoar sebagai rainwater
harvesting, kebutuhan air total di daerah Bandung
Timur sebesar 52.246.740 L/hari dapat dipenuhi
sebagian dengan memanfaatkan jumlah tangkapan air
13.634.000 L/hari atau sekitar 26%. Dalam studi ini
diperlukan perhitungan baseflow mendapatkan hasil
model yang lebih maksimal.

Gambar 7. Output debit limpasan masing


skenario peluang kejadian ekstrem
basah dan kapasitas tangki.

REFERENSI

Arya, Doni Khaira. 2012. Analisis Potensi


Mikrohidro Berdasarkan Curah Hujan.
Bandung: TA-Meteorologi ITB

Simulasi pada CDF 50 atau peluang kejadian


hujan 50 % yaitu pada kejadian hujan sebesar 7 mm,
menunjukkan efektivitas reservoar hingga 100%
dalam mereduksi limpasan permukaan. Kemampuan
reservoar pada kondisi ini disebabkan karena dampak
curah hujan 7 mm yang masih sangat minim dan tidak
berdampak pada limpasan permukaan yang tinggi.
Pada peluang kejadian 85%, nilai peluang curah
hujan yang terjadi sebesar 29mm atau lebih.
Sedangkan pada peluang kejadian 90%, nilai peluang
kejadian hujan sebesar 37 mm. Simulasi reservoar
pada kondisi ini memiliki kemampuan beragam dalam
mereduksi limpasan. Besarnya kapasitas tangki sangat
berpengaruh pada efektivitas reservoar dalam
mereduksi limpasan.

Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan


Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
Basinger, Matt dkk. 2010. A rainwater harvesting
system
reliability
model
based
on
nonparametric stochastic rainfall generator.
Elsevier
Chiu, Yie-Ru. 2011. Simulation-based Spatial
System for Rainwater Harvesting Systems In
the Sustainable Campus Project. Taiwan:
Tzu-Chi University
6

Hydrological Model. World Academy of


Science

Favor, Richita Eti Andari. 2012. Studi


Pengurangan Pemakaian Air Bersih Dengan
Sistem Penampungan Air Hujan dan Daur
Ulang Air Buangan di Klaster Hunian dan
Perkuliahan ITB Jatinangor. Bandung: ITB

Neitsh, S. dkk. 2005.


Documentation.

Theoritical

Ngigi, Stephen N. 2003. What is the limit of upscaling rainwater harvesting in a river basin.
Pergamon

Feldman, Arlen D. 2000. Hydrologic Modelling


System HEC-HMS Technical Reference
Manual. Davis: US Army Corps of Engineers

Rackhecha, Pukh Raj dan Singh, Vijay P. 2009.


Applied Hydrometeorology. New Delhi:
Springer

Ford, David dkk. 2008. Hydrologic Modeling


System HEC-HMS Application Guide.
Davis: US Army Corps of Engineers

Ray, Kalyan. Rainwater Harvesting and


Utilisation, Book 2: Beneficiaries & Capacity
Builders. Nairobi: UN-HABITAT

Glendenning, C. J., Ogtrop, F.F., Mishra, A. K.,


Vervoort, R. W. (2011). Agricultural Water
Management: Balancing watershed and local
scale impacts of rain water harvesting in
India. New Delhi, India

Shimota, Rick and Hadley, Hans. 2011.


Continuous Hydrologic Simulation of
Johnson Creek Basin and Assuming
Watershed Stationarity. Corvallis: West
Consultant

Harian Tempo. 2010, 11 Juni. Air Tanah di


Cekungan Bandung Mengandung Besi.
Davis: US Army Corps of Engineers

Walingford, H. 2003. Handbook for the


Assessment of Catchment Water Demand and
Use. Zimbabwe

Lloyd, Thomas dkk. 2007. HEC-HMS Long Term


Simulation for El Cajon Watershed. Brigham
Young University
Lubis, A. 1999. Metode Analisa
Hidrometeorologi. Bandung: ITB

SWAT

Ward S, dkk. 2008. Rainwater harvesting: model


based design evaluation. Scotland

dalam

Merwade, Venkatesh. 2012. Creating SCS Curve


Number Grid using HEC-GeoHMS. Purdue
University
McEnroe, Bruce M. 2010. Guidelines for
Continous Simulation of Streamflow in
Johnson County, Kansas, with HEC-HMS.
Kansas: University of Kansas
Merwade, Verkatesh. 2012. Creating SCS Curve
Number Grid using HEC-GeoHMS. Purdue
University
Najim, D. Halwatura. 2012. Application of the
HEC-HMS model for runoff simulation in a
tropical catchment. Elsevier Ltd
Nasri, Masoud dkk. 2011. Simulation of the
Rainfall-Runoff Process Using of HEC-HMS
7

You might also like