You are on page 1of 3

ISLAM (MUSLIM) INDONESIA

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multi agama dengan


masyarakat muslim memiliki prosentase terbesar yaitu 88,58 %.1 Dengan
jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, menjadikannya sebagai daya
tarik tersendiri dalam melihat fenomena sosial keberagamaan di
masyarakat. Berbagai konflik agama atau aliran sering terjadi di Indonesia
bukan hanya terjadi di masa lampau saja melainkan setelah masa
kemerdekaan dan sampai dengan hari ini. Dengan meningkatnya fasilitas
teknologi informasi dan komunikasi, maka akses publik terhadap kasus-
kasus konflik beragama semakin mudah didapati dan diakses oleh publik.
Dalam kaitan ini, berbagai lembaga survey atau LSM bermunculan
untuk menampilkan laporan tentang keberagamaan masyarakat di
Indonesia dengan beragam variabel. Mereka rata-rata menampilkan
gambaran umum tentang pandangan masyarakat Indonesia tentang
agama dan kebangsaan yang merupakan pengetahuan dasar yang
penting untuk memahami peristiwa-peristiwa relasi keagamaan dalam
konteks Indonesia belakangan ini.
Misalya saja, Survei PPIM UIN Jakarta (2007) menyebutkan bahwa
sebanyak 41% Muslim di Indonesia merasa agama adalah pembentuk
utama identitasnya, sementara itu kebangsaan (25%), jenis pekerjaan
(12%) dan etnis (9%). Karena itu maka, faktor agama menjadi salah satu
faktor dominan dalam melihat berbagai persoalan. Di sepanjang tahun
2008 Setara institute mencatat 265 peristiwa konflik keberagamaan, yang
tersebar dari bulan Januari-Desember. Peristiwa tertinggi terjadi pada
bulan Juni (103 peristiwa). Selebihnya peristiwa terjadi dan tersebar di
hampir setiap bulannya.2
Akan tetapi meski tercatat terjadi gejolak dan kondlik tetapi dalam
hal toleransi agama, pada umumnya survei-survei yang ada menunjukkan
sikap toleransi masyarakat Indonesia sangat tinggi. Survei yang diadakan
Wahid Institute/WI dan Indonesia Barometer/IB (2007) menunjukkan
95,4% Muslim di Indonesia menyadari pentingnya toleransi beragama
untuk perdamaian di Indonesia. Survei Setara Institute (2008) mengarah
pada beberapa indikator toleransi di kalangan responden kaum muda juga
menunjukkan hasil yang tinggi. Hanya sejumlah 7,8% responden
menjadikan perbedaan agama menjadi pertimbangan dalam memilih
teman dan sebanyak 87,1% tidak mempertimbangkan perbedaan agama
dalam berteman. Sebanyak 67,4% responden dapat menerima
perpindahan agama namun 27,1% tidak bisa menerimanya. Kalau
perpindahan agama itu menyangkut orang lain, terdapat 67,4% yang
dapat menerima dan 27,1% tidak dapat menerimanya. Sementara jika
yang pindah agama keluarga dekat, sebagian besar responden bersikap
tidak dapat menerima (60,8%) dan yang tetap dapat menerimanya
sebanyak 31,2%.

1
Survei nasional terakhir diselenggarakan pada tahun 2005. Kalau kita
bandingkan kecenderungan prosentase jumlah penduduk beragama Islam secara
nasional meningkat sedikit dalam lima belas tahun belakangan ini (1990-2005),
sementara prosentase jumlah penduduk Prostestan, Katolik, Hindu, dan Buddha
menurun sedikit (Sumber: Sensus BPS 1990 dan Supas BPS 2005)
2
Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinandi Indonesia 2008,
SETARA Institute, Jakarta, Januari 2009
Khusus menyangkut responden Muslim, survei Saiful Mujani (2007)
tentang “dapatkah Muslim bertetangga dengan non-Muslim?” Mayoritas
yang amat besar dari responden (91,7%) menjawab “ya” dan sejumlah
6,3% menjawab “tidak”. Jika dibandingkan dengan Amerika, pertanyaan
yang mirip ternyata menunjukkan tingkat toleransi di Indonesia lebih
tinggi. Survei Gallup Poll (2006) menunjukkan sebanyak 22% orang
Amerika menyatakan bahwa mereka tidak ingin menjadikan Muslim
sebagai tetangga. Namun kontradiksi mulai lebih mencolok di kalangan
responden Muslim di Indonesia dalam survei PPIM UIN Jakarta (2007)
ketika menyangkut pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik. Sebanyak
33% responden tidak membolehkan non-Muslim menjadi guru di sekolah
umum; sejumlah 62% responden tidak membolehkan non-Muslim menjadi
presiden; sebanyak 55% responden tidak membolehkan umat Kristiani
mengadakan acara kebaktian di lingkungan sekitar mereka; dan sejumlah
51% responden tidak membolehkan membangun gereja di lingkungan
mereka.
Pemahaman keagamaan dan sikap intoleransi tentunya tidak
secara langsung terkait dengan kekerasan. Akan tetapi menyangkut hal
tersebut pengalaman sejarah menyebutkan bahwa sikap intoleransi ini
cenderung terdapat penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan sebuah
persoalan. Survei Wahid Institute (2007) yang memfokuskan pada Muslim
menunjukkan sebanyak 89% tidak setuju pernyataan Islam mengajarkan
cara-cara untuk melawan penyakit sosial dengan kekerasan, namun
sebanyak 7% setuju dengan pernyataan tersebut.
Survey semacam ini dapat kita jadikan sebagai alat analisis untuk
menjelaskan mengapa kehidupan relasi keagamaan di Indonesia di tahun
belakangan ini masih banyak diwarnai praktik kekerasan (fisik). Riset yang
dilakukan oleh CRCS Universitas Gajahmada (2008) menyebutkan
kelompok Ahmadiyah adalah korban kekerasan keagamaan terbesar di
Indonesia tahun 2008. Tidak kurang dari 20 peristiwa kekerasan menimpa
kelompok ini. Kekerasan yang senyatanya terjadi mungkin bisa lebih dari
jumlah itu. Peristiwa kekerasan keagamaan di luar kasus Ahmadiyah juga
masih terjadi di mana-mana. Riset ini juga menginventarisir setidaknya
ada 10 kasus kekerasan dan yang senyatanya terjadi mungkin lebih dari
jumlah tersebut. Sebagian besar konflik kekerasan berbasiskan identitas
keagamaan atau perbedaan pandangan/praktik keagamaan terjadi malah
antar kelompok dalam internal suatu agama. Situasi sesat-menyesatkan
sepanjang tahun 2008 tak jarang berujung pada kekerasan terhadap
kelompok yang diklaim “sesat”. Belajar dari pengalaman tahun 2008 dan
sebelumnya —meskipun tidak selalu otomatis demikian— pewacanaan
“sesat” terhadap sebuah kelompok tertentu di ruang publik adalah awal
dari kekerasan terhadap kelompok tersebut, seperti yang terjadi pada
masa-masa sebelumnya. Dinamika seperti ini nampaknya akan masih
terus mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini
Yang terlihat sesunguhnya adalah masyarakat nusantara
(baca:Indonesia) masih mengalami transisi-transisi budaya dari budaya
lama (Hindu Budha ke zaman Islam). Transisi budaya ini tidak hanya
terjadi secara temporal dan dalam waktu singkat, melainkan terjadi secara
terus menerus dan intens. Orang Indonesia di satu sisi mulai
mengadaptasi Islam, tetapi di sisi yang lain budaya lokal (tradisi di masa
Hindu Budha) senantiasa dijaga. Misalnya, Jika dilihat proses islamisasi di
tanah Jawa semenjak wali sanga misalnya, maka proses transisi yang
dimulai oleh wali sanga terus berlangsung. Sunan Kalijaga menggunakan
media wayang untuk memberikan pengertian tentang Islam kepada
masyarakat. Sultan Agung membuat penanggalan Jawa dengan
mendasarkan diri kepada penanggalan hijriyah. Maka seperti yang
disampaikan Ricklefs3 bahwasanya islamisasi masyarakat Jawa adalah
transisi-transisi budaya yang terus menerus berjalan. Setelah mungkin
ribuan tahun menerima Hindu dan Budha, orang-orang Jawa mulai
menerima Islam sebagai agama baru. Akan tetapi penerimaan Islam
sebagai agama baru mereka tidaklah berjalan secara linear, melainkan
penuh dengan gejolak dan konflik, meski pada akhirnya mereka menerima
Islam sebagai identitas baru mereka. Oleh karena itu sesungguhnya misi
dakwah yang diemban dan dilaksanakan oleh para ulama awal nusantara
belumlah usai, maka tugas generasi penerus adalah bersama-sama
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab tersebut.

3
Lihat bukunya MC Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of
Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Century , Norwalk, CT:
Eastbridge, 2006.

You might also like