You are on page 1of 18

KERANGKA TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh : Dyah Haryati Puspitasari


Pengantar
Perumusan kebijakan merupakan masalah yang kritikal, dan dipahami tidak ada
cara terbaik dan tidak ada cara tunggal untuk merumuskan kebijakan. Riant
Nugroho (2009) mengemukakan sedikitnya terdapat 13 model dalam perumusan
kebijakan, salahsatunya adalah model proses kebijakan. Dalam model proses,
kebijakan publik merupakan sebuah proses politik yang menyertakan rangkaian
kegiatan yaitu agenda setting, formulasi kebijakan, mobilisasi dukungan politis,
implementasi kebijakan dan evaluasi program dan perubahan kebijakan. Model ini
memberitahu kepada kita bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat.
Sebagai tugas Ujian Akhir Semester, penulis memilih menggunakan model proses
dari perspektif implementasi kebijakan, yang

nantinya akan digunakan untuk

membingkai kerangka teori untuk menjelaskan suatu fenomena. Paper ini akan
terdiri delapan bagian yaitu Pengantar, Implementasi Kebijakan: Sebuah Konsep,
Tiga Generasi Studi Bidang Implementasi, Perspektif

dan Model Implementasi

Kebijakan, Program Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan


Guru Swasta (BPPMDGS)

dalam Perspektif

Teori Implementasi Kebijakan dan

terakhir adalah Penutup

Implementasi Kebijakan : Sebuah Konsep


Implementasi kebijakan merupakan salah satu area studi kebijakan yang
kompleks, dengan berbagai definisi konseptual. Meskipun demikian terdapat
prinsip konseptual implementasi kebijakan yang sederhana

yang kesemuanya

fokus pada area antara tujuan kebijakan dengan hasil kebijakan seperti
dikemukakan oleh Mazmanian and Sabatier (1983), Ferman (1990), and OToole
(1995). Anderson (dalam Tachan, 2008: 30) mengungkapkan bahwa dalam proses

kebijakan publik,

implementasi kebijakan merupakan tahapan yang bersifat

praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang sebagai
tahapan yang bersifat teoritis. Kemudian Edward III (dalam Tachan, 2008: 30)
mengemukakakan bahwa :Policy implementation, is the stage of policy making
between the establishment of a policy and the consequences of the policy for the
people

whom

it

affects.

Sedangkan

Grindle

(dalam

Tachan,

2008:

30)

mengemukakan bahwa: implementation - a general process of administrative action


that can be investigated at specific program level.
Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa, implementasi kebijakan
publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan
ditetapkan atau disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan
evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika yang top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih
abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Sedangkan formulasi kebijakan mengandung logika bottom up, dalam arti proses
ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan
lingkungan

lalu

diikuti

dengan

pencarian

dan

pemilihan

alternatif

cara

pemecahannya, kemudian diusulkan untuk ditetapkan.


Prinsipnya, implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya. Rianto Nugraha, 2009, menyatakan bahwa terdapat dua
langkah dalam implementasi kebijakan, yaitu langsung mengimplementasikan
dalam bentuk program atau atau melalui kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan publik tersebut. Alur logisnya secara umum adalah sebagai berikut.

Kebijakan Publik

Kebijakan
Publik
Penjelas

Program

Proyek

Kegiatan

Pemanfatan
(beneficiarie
s)
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah
jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan penjelas atau yang sering
diistilahkan dengan peraturan pelaksanan. Kebijakan publik yang bisa langsung
operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah,
Keputusan Kepala Dinas.
Studi implementasi dimulai dari fakta bahwa adopsi formal tujuan kebijakan tidak
secara otomatis menyediakan arahan apa yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan. Seperti menurut Mazmanian dan Sabatier, 2009, Knowing the [policy]
objectives . . . [gives] only a general hint of what will actually be done by the agency
responsible for carrying out the program and how successful it will be at winning the
cooperation and compliance of the persons affected by it (1983, 45).

Tujuan

kebijakan hanya memberi arahan umum apa yang sesungguhnya dilakukan oleh
instansi yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program dan kesuksesan
adalah

bagaimana

memenangkan

kerjasama

dan

kepatuhan

pelaksana.

Pertanyaan kunci studi implementasi yang diajukan oleh Mazmanian dan Sabatier
cenderung mirip dengan perhatian pada proses evaluasi yaitu Apakah outcome
dapat berbeda? Dapatkah kita belajar dari pengalaman dan menghindari problem
yang sama dalam mendesain program publik yang akan datang?
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya
dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter
dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas implementasi adalah membangun
jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui

aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan


(policy stakeholders).
Pentingnya implementasi, untuk kesuksesan atau kegagalan kebijakan adalah
jelas

secara

natural.

Memahami

persis

apa

yang

menyediakan informasi penting, tetapi memahami

telah

dilakukan

akan

mengapa hasil dapat (atau

tidak dapat) tercapai adalah sangat penting. Jika kebijakan berhasil akan
direplikasikan

dan sebaliknya apabila kebijakan gagal akan direvisi atau

ditinggalkan. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena dalam
implementasi akan ditemukan banyak permasalahan yang tidak dijumpai dalam
konsep.

Dengan demikian pemahaman sistematik implementasi akan membuat

implementasi kebijakan demokratis akan berjalan lebih baik.


Tiga Generasi Bidang Studi Implementasi
Konsep studi implementasi kebijakan publik, dikenalkan pertama kali pada tahun
1970 dimulai dari buku yang sangat berpengaruh yang ditulis oleh Jeffrey
Pressman and Aaron Wildavsky, dalam Googin et all (1990) : Implementation: How
Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland. Dalam buku tersebut
Pressman dan Wildavsky menjelaskan mengenai bagaimana suatu kebijakan
publik, yang ditetapkan oleh Pemerintah Amerika

dan didukung oleh Kongres,

untuk mengurangi tingkat pengangguran diimplementasikan di Kota Oakland,


disiapkan dengan sangat baik akan tetapi gagal dalam implementasi kebijakan.
Apa yang dimulai dengan baik dan ideal, gagal karena kesulitan dalam
implementasi. Pelajaran penting yang dapat ditarik dari studi Pressman and
Wildvasky tersebut

adalah bahwa kompleksitas tindakan kerjasama adakah

rintangan utama untuk implementasi yang efektif. Hanya karena semua pihak
mendukung tujuan kebijakan yang sama, tidak berarti bahwa mereka menyepakati
cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
Secara umum dalam generasi pertama ini mengemukaan mengenai: (1) mengelola
pergeseran fokus dari sebuah rencana menjadi suatu aturan dan bagaimana
aturan menjadi program; (2) menggambarkan kompleksitas dan dinamika sifat dari

implementasi; (3) menekankan pada pentingnya suatu subsistem kebijakan dan


kesulitan suatu subsistem dalam menghasilkan koordinasi dan pengendalian; (4)
mengidentifikasi sejumlah faktorfaktor yang seolaholah menjadi pemicu hasil
sebuah program yang biasanya kekurangan ekspektasi; dan (5) mendiagnosa
beberapa patologi yang secara periodik mempengaruhi aktor yang melaksanakan
implementasi.
Perkembangan berikutnya merupakan generasi kedua dalam studi implementasi,
pada tahun 1975 Daniel Mazmanian dan Paul Saatier menulis buku yang berjudul
Implementation and Public Policy, Donald S. Van Meter dan Carls E. Van Horn
menulis buku yang berjudul The Policy Implementation Process: A Conceptual
Framework in Administration and Society dan Merilee S. Grindle menulis buku
yang berjudul Politics and Policy Implementation in The Third World. Secara
umum dalam generasi kedua ini mengemukaan mengenai: (1) bentuk kebijakan
dan kontennya; (2) organisasi dan sumber dayanya; (3) pelaku termasuk
didalamnya

mengenai

kecenderungan,

dan

telentatalenta,
hubungan/

motivasimotivasi,

relasi

antar

personal

kecenderungan
termasuk

pola

komunikasinya.
Generasi kedua studi implementasi, memahami bahwa implementasi adalah hal
yang

kompleks,

berkembang

pada

mengembangkan pendekatan kebijakan

tahun

1980an

adalah

generasi

yang

yang bersifat dari atas ke bawah (top

downer perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk
melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial
yang mengembangkan pendekatan ini antara lain adalah Daniel Mazmanian dan
Paul Sabatier (1983). Pada saat yang sama juga muncul pendekatan bottom
upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980) dan Benny Hjern
(1982, 1983).

Pada masa itu, juga muncul pendekatan Teori Permainan yang

dikembangkan oleh Bardach, yang fokus pada implementasi yang menyebabkan


kegagalan kebijakan. Dia mengemukakan empat efek dasar merugikan yang dapat
terjadi dalam proses implementasi, yaitu 1) pengalihan sumber daya (the budget

game, diverted resources) ; 2) pembelokan tujuan kebijakan; 3) resistensi untuk


mengendalikan, dan 4) pemborosan energi pribadi dan politik.
Generasi ketiga dalam studi implementasi muncul pada tahun 1990 yang dimotori
oleh Malcolm L. Goggin, Ann OM Bowman, James Lester dan lautence J Otoole
dengan bukunya yang berjudul Implementation Theory and Practice Toward a
third

Generation.

Dalam

generasi

ketiga

terebut

lebih

ditekankan

pada

pendekatan scientific yang mengintegrasikan pertimbanganpertimbangan utama


dengan variabelvariabel penelitian topdown dan bottom-up. Malcolm L Goggin
memperkenalkan variabel perilaku aktor pelaksanaan implementasi kebijakan
lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Goggin, dkk. Bertujuan
mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan
mengedepankan

pendekatan

metode

penelitian

dengan

adanya

variabel

independen, intervening dan dependen dan meletakkan faktor komunikasi sebagai


penggerak dalam implementasi kebijakan.
Perspektif Implementasi Kebijakan
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam
analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu
politik. Dalam perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat
sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir
berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa ternyata agen
administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh
tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor
dalam lingkungan politis. Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari
pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Perspektif ini terfokus pada
pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara
output kebijakan dengan tujuannya.
Sementara itu, Implementation Problems Approach yang diperkenalkan oleh
Edwards III (1984: 9-10), merumuskan empat faktor yang merupakan syarat
utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap

birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja
birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi
suatu kebijakan.
Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas
bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan
informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi
empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang
dibutuhkan guna

pengambilan keputusan, kewenangan

yang

cukup guna

melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana
terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada

standard operating

prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.


Ripley memperkenalkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dalam
implementasi

kabijakan

(Ripley

&

Franklin,

1986:

11).

Pendekatan

ini

memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan instansi atau individu bawahan


terhadap instansi atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis
karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat
dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis
yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang
tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang
berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi
kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan
penyesuaian.
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan
bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan
keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:
(1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2)
kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan
pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau
pendekatan faktual. Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan

perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses,


program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan
petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang
mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan
manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil
manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program
mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau
dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
Model Implementasi Kebijakan
Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang
efektif, yaitu model linier dan model interaktif (Baedhowi, 2004: 47). Pada model
linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan
fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai
tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung
pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka
yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang
memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk
meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.
Model linier ini dikembangkan oleh Pressman dan Wildavsky

yang dalam

penelitiannya menggunakan asumsi bahwa proses kebijakan dilakukan secara top


down dan bersifat linier yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Model ini
mengasumsikan bahwa implementasi harus merupakan proses yang linier yang
mana arah kebijakan diterjemahkan menjadi aktivitasaktivitas program dengan
sedikit mungkin adanya deviasi. Dengan model ini pembuat kebijakan merupakan
satusatunya aktor penting sehingga aktoraktor di tingkat organisasi hanya
bertugas untuk melaksanakan proses implementasi dengan benar. Pemikiran
utama dari Pressman dan Wildavsky bahwa studi implementasi tidak dapat
memisahkan antara mendesain kebijakan dengan implementasinya, karena jika
tindakan itu dilakukan merupakan tindakan yang fatal. Implementasi merupakan
kemampuan mencapai konsekuensikonsekuensi yang diprediksi setelah kondisi

kondisi awal dapat dipenuhi, akan tetapi implementasi bukan dimaksudkan untuk
menciptakan kondisikondisi awal tersebut. Legislasi harus memiliki komitmen
dalam

memberikan

persetujuan

dan

pendanaan

sebelum

pelaksanaan

implementasi untuk mengamankan hasil (outcomes) yang telah diprediksi.


Kelemahan dalam implementasi tidak dapat diartikan sebagai suatu kegagalan
dalam menjalankan kebijakan tetapi merupakan suatu ketidakmampuan untuk
mengikuti apa yang telah ditetapkan. Oleh karena itu implementasi harus dilihat
sebagai suatu proses interaksi antara penyusunan tujuantujuan (setting of goals)
dengan tindakantindakan yang

dirancang untuk mencapai tujuantujuan

tersebut.

Model Linier Implementasi Kebijakan


(dikutip dari Baedhowi, 46-48)
Fase Agenda

Fase
Keputusan

Fase
Pelaksanaan
Sukses dilaksanakan

Keputusa
n
kebijakan

Isu

Dalam

Perkuat

Agend
a

Institusi

Kebijakan

Tidak ada
kebijakan

Gagal

Tidak

Tingkatkan
kemauan
politik

Sementara itu, berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap


pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis, karena setiap pihak yang
terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam berbagai tahap pelaksanaan. Hal itu
dilakukan

ketika

kebijakan

publik

dianggap

kurang

memenuhi

harapan

stakeholders. Ini berarti bahwa berbagai tahap implementasi kebijakan publik


akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan
kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan segera diperbaiki untuk
mencapai tujuan. Persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam
proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan
akan dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya dapat digunakan secara
optimum jika dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan
terjadi interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan
kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan
yang kondusif.
Selain

model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn

mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20).


Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan
dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi.
Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut: (i) jumlah perubahan yang
akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai
tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Program Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan Guru
Swasta (BPPMDGS) dalam Perspektif Teori Implementasi Kebijakan
Dalam bab sebelumnya, sudah dipaparkan mengenai konsep implementasi
implementasi, teoriteori implementasi kebijakan dalam perspektif implementasi
kebijakan dan model implementasi kebijakan. Berangkat dari kerangka tersebut,
akan

dipaparkan

mengenai

fenomena

terkait

dengan

program

Bantuan

Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta (BPPMDGS),


yang merupakan bantuan hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur

kepada

kabupaten/kota.
Tentang Program BPPMDGS
Pada Tahun 2010, Pemerintah Propinsi Jawa Timur meluncurkan program
Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta
10

(BPPMDGS), untuk selanjutnya disebut BPPMDGS, dengan alokasi dana sebesar


458 milyar rupiah. Bantuan tersebut merupakan hibah dari Pemerintah Provinsi
Jawa Timur bagi kabupaten/kota dengan ketentuan penyediaan dana pendamping
oleh kabupaten/kota dengan proposi 50% : 50%. Artinya apabila kabupaten/kota
mengusulkan bantuan dana hibah sebesar 2 milyar rupiah, 1 milyar merupakan
hibah pemerintah Propinsi dan 1 milyar disiapkan oleh kabupaten/kota.
Pemberian bantuan operasional diniyah melalui program BPPMDGS merupakan
salahsatu program prioritas untuk meningkatkan pemberdayaan dan penyetaraan
lembaga pendidikan diniyah dan pondok pesantren salafiyah setara pendidikan
umum, sesuai dengan arah kebijakan perkembangan diniyah yang tertuang dalam
RPJMD Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 - 2014.
Bantuan yang diberikan berupa biaya operasional penyelenggaraan pendidikan
kepada

Siswa Madrasah Diniyah Ula/Wustho, Guru Madrasah Diniyah Ula/

wustho. Alokasinya, setiap siswa Madrasah Diniyah Ula (jenjang dasar) menerima
bantuan sebesar Rp 15.000/bulan, sedang Madrasah Diniyah Wustho (jenjang
menengah) setiap siswa menerima Rp 25.000/bulan, sementara guru madrasah
diniyah menerima Rp 300.000/bulan.

Syarat madrasah diniyah penerima

bantuan relatif mudah, yaitu mempunyai ijin operasional penyelenggaraan


madrasah diniyah yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama Kabupaten/Kota,
ditandai dengan kepemilikan sertifikat atau piagam madrasah diniyah. Syarat
lainnya adalah minimal peserta didik berjumlah 30 (tigapuluh) orang.
Setelah berlangsung lebih dari setahun, implementasi BPPMDGS Tahun 2010
banyak

mendapatkan

sorotan

media.

Harian

menyebutkan rendahnya serapan dana BPPMDGS

Bhirawa

(Februari

2011),

yang dapat disalurkan.

Salahsatunya adalah Kabupaten Malang yang hanya mampu menyalurkan 4 Miliar


dari 14 Miliar dana yang diterima (dan telah direncananakan).

Sementara itu

Kabupaten Bondowoso, terpaksa mengalihkan bantuan Biaya Operasional Sekolah


Daerah

(BOSDA)

dari

perintah

Provinsi

Kabupaten

Jawa

Timur

yang

diperuntukkan untuk sekolah/madrasah formal ke dana pendamping BPPMDGS


untuk madrasah diniyah. Artinya, kabupaten/kota harus mengalokasikan dana

11

pendamping

dari

alokasi

anggaran

untuk

pendidikan

formal.

Dari

sisi

kabupaten/kota, respon terhadap program BPPMDGS menunjukkan keragaman :


terdapat kabupaten/kota yang merespon dengan baik, ditandai dengan cepatnya
merumuskan rencana tindak. Disisi lain, terdapat beberapa kabupaten/kota yang
cenderung kurang responsif. Kabupaten Tuban, misalnya baru mengusulkan
rencana hibah, setelah mendapatkan desakan dari DPRD Kabupaten Tuban dan
turun tangannya Wakil Gubernur mendesak Pemerintah Kabupaten Tuban untuk
segera merencanakan dan menyiapkan dana pendamping BPPMDGS (Jawa Pos on
line, Juli 2010).
Berangkat dari kondisi tersebut, Bappeda Propinsi Jawa Timur melakukan diskusi
kelompok terfokus dengan pengambil kebijakan, implementor kebijakan dan
sasaran kebijakan dan stakeholder terkait ( Dinas Pendidikan, Kemenag, Bappeda,
Penyelenggara Diniyah, Perguruan Tinggi). Beberapa poin penting dari hasi diskusi
kelompok terfokus tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, terdapat penilaian bahwa kebijakan bantuan BPPMDGS cenderung top
down, sehingga

kurang memperhatikan kebutuhan lokal. Penyelenggaraan

madrasah diniyah di berbagai daerah dan komunitas seringkali dianggap serba


sama (uniform). Keragaman penyelenggaraan dan keragaman permasalahan terkait
dengan mutu penyelenggaraan pendidikan diniyah cenderung diabaikan dan
diyakini akan dapat dipecahkan semata-mata hanya dengan mengandalkan
pemberian bantuan operasional dan peningkatan kesejahteraan guru diniyah
semata.
Kedua, ketersediaan data dan informasi mendalam tentang madrasah diniyah
sangat terbatas, sehingga pendekatan yang ada cenderung melihat madrasah
diniyah dari kaca mata pendidikan formal, bukan sebagai pendidikan non formal
yang memiliki keunikan dan kekhasan. Pendekatan sebagai pendidikan formal
tersebut sangat jelas terlihat dari panduan teknis peruntukan bantuan biaya
penyelenggaraan diniyah yang mengambil begitu saja panduan bantuan bos
nasional untuk sekolah formal (SD/MI; SMP/MTs).

12

Ketiga, terdapat beberapa kekhawatiran dari praktisi pendidikan keagamaan


adalah bantuan operasional untuk madrasah diniyah yang bersifat

karitatif

(charity), terkesan hanya program bagi-bagi uang dan cenderung memposisikan


masyarakat atau lembaga penerima bantuan sebagai obyek. BPPMDGS dianggap
sebagai solusi praktis dan pragmatis dalam penyetaraan mutu pendidikan diniyah,
sementara disisi lain pendekatan yang digunakan dapat menimbulkan masalah
lain, seperti ketergantungan penyelenggara diniyah yang dasarnya mempunyai
basis kemasyarakatan yang sangat kuat pada pemberi bantuan.
Empat, pihak kementrian agama

kabupaten/kota, mengeluhkan keterbatasan

sumberdaya manusia yang ada untuk memonitoring pelaksanaan program.


Sebagai contoh, Kemenag di salahsatu kabupaten hanya mempunyai 3 staf dan 10
pengawas Pendidikan Agama Islam untuk menangani ratusan madrasah diniyah.
Disisi lain, tidak ada alokasi anggaran untuk

evaluasi dan monitoring

pelaksanaan sehingga baik Dinas Pendidikan maupun Kemenag sebagai pelaksana


teknis penyaluran bantuan tidak dapat melakukan monitoring dan evaluasi secara
optimal.
Disamping FGD, salah satu hasil pemetaan madrasah diniyah di Provinsi Jawa
Timur mengidentifikasi mengenai kurang jelasnya desain perencanaan program
BPPMDGS (Bappeda Propinsi Jatim-DBE1 USAID, 2011). Desain awal program
program bertujuan untuk peningkatan mutu madrasah diniyah setara dengan
pendidikan umum,

sementara temuan di lapangan

menunjukkan bahwa

sebagian besar madrasah diniyah berfungsi menyelenggarakan pendidikan agama


tambahan bagi murid-murid sekolah formal, khususnya untuk murid di jenjang
pendidikan dasar. Hal ini ditandai dari hampir semua siswa madrasah diniyah
(98%)

adalah siswa sekolah formal, yang sebagian besar berasal dari jenjang

SD/MI.
Berangkat

dari

kondisi

faktual

yang

terjadi

di

lapangan

dan

persepsi

implementator maupun target kebijakan di tingkat kabupaten/kota berikut akan


dipaparkan

fenomena

yang

ada

dengan

bingkai

konsep

dan

teori-teori

implementasi kebijakan.

13

Kebijakan BPPMDGS dalam Konteks Teori Implementasi Kebijakan


Apabila merunut kebelakang dari asal muasal kebijakan, berdasarkan informasi
pengambil kebijakan, kebijakan BPPMDGS merupakan inisiatif dari Gubernur
Jawa Timur untuk membantu meningkatkan kesejahteraan guru ngaji di Jawa
Timur. Kebijakan tersebut diambil dengan perubahan kebijakan yang sudah
ditentukan sebelumnya, yakni bantuan Biaya Operasional Sekolah/Madrasah
Daerah (BOSDA) yang bertujuan untuk menambah kekurangan
operasional sekolah /madrasah Nasional

bantuan biaya

(BOSNAS) di kabupaten/kota di Tahun

2010. Dengan pertimbangan bahwa terdapat penyelenggaraan pendidikan yang


belum tersentuh bantuan pemerintah yaitu madrasah diniyah, maka dana yang
sudah disiapkan untuk bantuan BOSDA dipindahkan dengan menyalurkan ke
madrasah diniyah. Karena madrasah diniyah berada di bawah kewenangan
Kementrian Agama kabupaten/kota yang dalam hal ini adalah instansi vertikal,
sementara berdasarkan ketentuan dana APBD tidak diperbolehkan membantu
instansi vertikal maka bantuan kemudian dikelola (dilewatkan) oleh Dinas
Pendidikan. Pertimbangannya, madrasah diniyah merupakan pendidikan non
formal bidang keagamaan yang secara substansi menjadi tanggungjawab Dinas
Pendidikan.
Pergeseran alokasi anggaran yang semula diperuntukkan sekolah/madrasah
formal ke sekolah agama non formal ini dapat dijelaskan menggunakan Teori
Permainan yang dikembangkan oleh Bardach dalam The budget game, diverted
resources. Dalam teorinya, menurut Bardach permainan anggaran muncul dari
motivasi pemerintah yang harus move money. Tidak seperti hasil

kebijakan

tangible, yang membutuhkan waktu bertahun tahun untuk terlihat, pengeluaran


uang dapat digunakan sebagai pengukuran penilaian jangka pendek. Pengeluaran
uang memperlihatkan bahwa sesuatu sedang dilakukan, meskipun sesungguhnya
tidak terlalu jelas apa, mengapa dan bagaimana hal itu dapat mendukung
pencapaian tujuan kebijakan.
Bantuan BPPMDGS tersebut muncul ditengarai karena terdapat tekanan politis,
terkait dengan janji Gubernur pada saat kampanye pemilihan gubernur untuk

14

meningkatkan kesejahteraan guru mengaji. Dengan demikian, pemerintah harus


terlihat melakukan sesuatu dan mendistribusikan uang dalam sebuah proyek
untuk

menumbuhkan impresi bahwa tindakan telah dilakukan, meskipun bila

pada akhirnya hasil tidak jelas. moving money somehow, somewhere, and fast,
even at the price of programmatic objectives, is the characteristic strategy of virtually
every government agency that channels grants to other levels of government or to
nonprofit institutions (1977, 72). ..adalah katrakteristik strategi dihampir semua
instansi pemerintah yang menyalurkan hibah ke instansi pemerintah yang lebih
rendah atau ke lembaga non profit. Penyelenggara madrasah diniyah, dalam hal ini
adalah konstituen yang mendapatkan janji politik gubernur pada saat kampanye
paling tidak melihat realisasi janji tersebut. Bahwa mungkin hasil akhir tidak jelas,
tidak menjadi permasalahan. Ketidakjelasan tujuan juga muncul dari hasil FGD
yang telah dijelaskan. Diatas sudah dibahas bahwa tujuan utama bantuan adalah
untuk menyetarakan mutu madrasah diniyah dengan mutu pendidikan umum.
Dalam konteks bahwa 98% murid madrasah diniyah sudah bersekolah formal,
muncul pertanyaan besar, perlukan penyetaraan madrasah diniyah dengan
pendidikan umum?
Disamping Bardach, fenomena bahwa kebijakan lebih banyak mempertimbangkan
kepentingan politik juga dapat dijelaskan oleh perpsektik ilmu politik disamping
administrasi publik yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier (1983: 5).
Dijelaskan bahwa agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat
resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga
legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis. Hal ini juga dapat
digunakna untukmenjelaskan mengapa terdapat kabupaten/kota yang terkesan
lamban dalam merespon bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi ini, semisal
Kabupaten Tuban. Faktor politik pula yang menyebabkan Bupati Tuban, yang
mempunyai afiliasi politik berbeda dengan gubernur,
menolak

bantuan

provinsi.

Menggunakan

pada waktu itu terkesan

pendekatan

kepatuhan

dan

pendekatan faktual oleh Grendel, yang mengatakan bahwa keberhasilan proses


implementasi, salahsatunya ditentukan oleh

kepatuhan implementor mengikuti

apa yang diperintahkan oleh atasan atau dalam hal ini pemerintah yang lebih

15

tinggi. Dalam hal ini kepatuhan implementor kabupaten/kota lebih kepada


kepatuhan kepada pimpinan partai politik yang mengusungnya. Kurangnya
komitmen berupa dukungan politik dan sumberdaya finansial dari Bupati Tuban
pada waktu itu, yang notabene berasal dari parpol yang berbeda dengan Gubernur
merupakan penyebab mengapa kabupaten Tuban cenderung menolak kebijakan
BPPMDGS tersebut.
Lebih lanjut, melihat proses perumusan kebijakan BPPMDGS,

model

linier

Pressman dan Wildavsky dapat menjadi bingkai untuk menjelaskan lebih


mendalam fenomena yang ada. Model linier menggunakan asumsi bahwa proses
kebijakan dilakukan secara topdown dan bersifat linier yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah. Model ini mengasumsikan bahwa implementasi harus
merupakan proses yang linier yang mana arah kebijakan diterjemahkan menjadi
aktivitasaktivitas program dengan sedikit mungkin adanya deviasi. Dalam model
ini pembuat kebijakan merupakan satusatunya aktor penting sehingga aktor
aktor

di

tingkat

organisasi

hanya

bertugas

untuk

melaksanakan

proses

implementasi dengan benar. Dalam model ini, disamping pemahaman terhadap


perumusan kebijakan, implementasi sangat ditentukan oleh

sepuluh hal, yaitu

kepemimpinan, komitmen, perencanaan, dukungan finansial, dukungan staf yang


operasional, koordinasi, sinkronisasi, sistem dan prosedur, ketepatan waktu dan
bebas pengaruh.
Kebijakan BPPMDGS dirumuskan oleh gubernur dan DPRD Provinsi saja, bersifat
Top Down dan dalam implementasinya terlihat tidak cukup banyak waktu suatu
proses interaksi antara penyusunan tujuantujuan (setting of goals) dengan
tindakantindakan yang dirancang untuk mencapai tujuantujuan tersebut. Hal
yang sangat krusial dalam implementasi program dengan model linier. Akibatnya,
implementator di tingkat kabupaten/kota tidak begitu siap dalam hal dukungan
finansiil

untuk

dana

pendamping,

keterbatasan

staf

operasional

untuk

mendukung operasional, penyusunan perencanaan termasuk database madrasah


diniyah sebagai

sasaran program, sinkronisasi dengan kemenag yang tidak

optimal. Kondisi ini lah yang kemudian meunculkan berbagai persepsi negatif

16

tentang BPPMDGS seperti tertuang dalam hasil diskusi kelompok terfokus seperti
telah dibahas di dalam bab sebelumnya.
Hasil studi Pressman dan Wildavsky (1973) menguatkan hal ini, bahwa masingmasing agen pemerintah mempunyai perspektif masing-masing, bukan hanya pada
bagaimana

sesuatu

harus

berjalan,

tetapi

juga

pada

siapa

yang

harus

mengerjakan. Jenjang pemerintahan yang berbeda (dalam hal ini pemerintah


Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota, agensi pemerintah yang berbeda, (Dinas
Pendidikan

dan

Kemenag

Kabupaten/Kota)

meskipun

masih

dijenjang

pemerintahan yang sama mungkin juga memiliki prioritas yang berbeda. Ketika
secara umum mereka menyetujujui manfaat dari tujuan kebijakan, mungkin
mereka mempunyai prioritas tujuan yang berbeda. Dinas Pendidikan, dalam hal
ini tentunya mempunyai fokus dan prioritas pada sekolah yang menjadi
kewenangannya. Ketika harus mengalokasikan dana pendamping untuk BPPMDGS
yang targetnya adalah madrasah (non formal) diniyah, yang notabene di bawah
Kemenag, disini mulai terjadi tarik ulur kepentingan yang tidak mudah.
Penutup
Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan merupakan hal yang
krusial. Berbagai pendekatan, model dan teori implementasi kebijakan telah
dikembangkan, diharapkan dapat menjadi arahan baik bagi perumus kebijakan
maupun implementator kebijakan. Kerangka teori yang ada saat ini juga dapat
digunakan untuk menjelaskan fenomena yang ada, dalam hal ini kendala yang
ditemui dalam implementasi BPPMDGS. Dengan menggunakan kerangka teori
yang ada, terlihat bahwa perlu pembenahan dalam implementasi kebijakan
BPPMDGS. Karena menyangkut banyak instansi yang terlibat, pendekatan model
interaktif lebih tepat untuk dilakukan karena memungkinkan keterlibatan dari
pihak-pihak yang terkait, mulai dari perumusan sampai dengan implementasi
program.
Daftar Rujukan

17

Baedhowi. 2004. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan: Studi


Kasus di Kabupaten Kendal dan Kota Surakarta, Disertasi Departemen
Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.
Haedar Akib & Antonius Tarigan. 2009 Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan :
Perpektif, model dan Kriteria Pengukurannya.
Nugroho, Riant. 2011.Public Policy, Jakarta : Elex Media Komputindo
Smith, Kevin B.2009. The Public Policy Theory Primer, Westview Press

18

You might also like