You are on page 1of 33

26

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ACADEMIC DISHONESTY DAN SELF


EFFICACY DENGAN PERILAKU ACADEMIC DISHONESTY PADA
MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa Psikologi di Kotamadya Surakarta)

Adnan Ashari, Tuti Hardjajani, Nugraha Arif Karyanta


Program Studi Psikologi FK UNS

ABSTRACT
Using self-administrated survey method among undergraduate student majoring
Psychology in City of Surakarta, we measure empirically the relationship between
perceived academic dishonesty, self-efficacy, and academic dishonesty behavior.
Peceived academic dishonesty scale, general self-efficacy (GSE) scale, and selfreported academic dishonesty behavior questionare were used in this research.
Rusult of Pearson-correlation test found that there is negative correlation between
perceived academic dishonesty and academic dishonesty behavior with strong
relationship was indicated by correlation coefficient at -0,553. There is negative
correlation between self-efficacy and academic dishonesty behavior with weak
relationship was indicated by correlation coefficient only at -0,060.
Exciting other findings is that all participant (100%) report that they were do the
academic dishonesty in varied model and frequencies. This research also find that there
is significant difference academic dishonesty behavior between male and female
student, where academic dishonesty more frequently do by male student. Then, there
is no significant difference academic dishonesty behavior between early level student and
end level student. Last but not least, there is no relationship between Grade Passing
Academic (GPA) and academic dishonesty behavior,
keywords: academic dishonesty perceipt, self-efficacy, and academic dishonesty behavior.
A. Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan merupakan sebuah upaya untuk memfasilitasi aktivitas transfer
ilmu, nilai-nilai, keyakinan, serta pembentukan karakter. Proses pendidikan yang dijalani,
diharapkan dapat melahirkan individu-individu yang memiliki ilmu pengetahuan dan
kompetensi pada bidang dan taraf tertentu dan diharapkan pula dapat menyelesaikan
problem yang ada. Satu hal yang tak kalah penting bahwa individu tersebut diharap mampu
menjadi sosok yang bijaksana dengan keilmuannya, serta senantiasa mampu melanjutkan
proses belajarnya sepanjang rentang waktu kehidupannya, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Eric Hoffer (dalam nn, 2005) yang mengungkapkan bahwa:

26

27

The central task of education is to implant a will and facility for learning; it should
produce not learned but learning people. The truly human society is a learning
society, where grandparents, parents, and children are students together.
Saat ini banyak siswa didik, orang tua siswa didik, maupun pendidik yang
mengalami disorientasi akan makna, hakikat, dan tujuan yang sebenarnya dari proses
pendidikan. Hal ini membuat sebagian besar siswa didik berpikir bahwa sekolah yang
ditempuh, tugas-tugas akademis yang diberikan, adalah ditujukan sekadar untuk meraih
nilai saja. Padahal di balik proses pendidikan, penugasan, dan segenap aktivitas pendidikan
lainnya terkandung maksud yang dalam, yang akan memberikan perubahan bagi siswa
didik itu sendiri dan bukan sekadar memberikan nilai kuantitatif semata. Disorientasi ini
berakibat fatal. Siswa didik cenderung mencari jalan pintas dan berani menerabas aturanaturan akademis yang ada demi mengejar nilai yang tinggi. Satu yang orang tua tahu dan
inginkan adalah anak mendapat nilai yang tinggi.
Koentjaraningrat (dalam Akung, 2005) beberapa dekade silam telah mensinyalir
kecenderungan mentalitas menerabas yang menghinggapi masyarakat modern. Diksi ini
barangkali akan sangat tepat untuk menggambarkan terjadinya disorientasi ini, yang
berakibat pada menurunnya kualitas ilmu dan kompetensi lulusan pendidikan menengah
maupun pendidikan tinggi kita. Mentalitas menerabas merupakan sebuah kecenderungan
yang menghinggapi masyarakat kita untuk mencari jalan pintas dengan perjuangan dan
pengorbanan yang seminimal mungkin guna mencapai target yang diinginkannya (Akung,
2005).
Pada masa sekarang ini, jamak dijumpai secara luas sebuah fenomena yang
menyedihkan di dunia pendidikan, yaitu perilaku academic dishonesty (kecurangan dalam
dunia akademis). Lambert, Hogan, dan Barton (2003) mengungkapkan bahwa academic
dishonesty merupakan ancaman serius bagi sebagian besar perguruan tinggi yang dapat
menggagalkan tujuan pendidikan tinggi dan proses pencarian ilmu. Dalam dunia
pendidikan tinggi, berbagai laporan secara konsisten mendukung temuan bahwa sejumlah
besar mahasiswa terlibat perilaku curang dalam kegiatan akademis (Austin, Collins,
Remillard, Kelcher dan Chuia, 2006). Perilaku academic dishonesty menunjukkan
kecenderungan peningkatan secara tajam, yang tersebar luas di berbagai tempat,
sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh McCabe
(2000), Ercegovac dan Richardson (2004), Harding, dkk. (2001), serta Rabi, dkk. (2006).
27

28

Bahkan Adkins, Kenkel, dan Lim (2006) mengistilahkan kecurangan akademis sebagai
wabah di kampus. Berbagai perilaku yang dikategorikan dalam perilaku academic
dishonesty tersebut di antaranya menyontek (cheating), menjiplak (plagiarism), pemalsuan
data (fabrication), dan sabotase tugas orang lain. Menyontek dijumpai ketika para siswa
mengerjakan ujian, menjiplak terlihat dalam pengerjaan tugas-tugas rumah, dan pemalsuan
data dapat kita temui dalam kegiatan penelitian. Berbagai perilaku curang ini dapat
dijumpai dengan kuantitas dan frekuensi yang lebih besar pada pendidikan di Perguruan
Tinggi (McCabe, 2000). Peningkatan sebaran perilaku curang dalam dunia akademis dapat
dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1
Dinamika Angka Perilaku Academic Dishonesty Berdasar Temuan Riset
TEMUAN RISET

PENELITI

TAHUN
(ANGKA PERILAKU ACADEMIC DISHONOESTY)

Drake

1941

23 %

Goldsen, Rosenberg,

1952

38%

William, dan Suchman

1960

49%

1964

64%

Baird

1980

76%

Stern & Havlicek

1986

82%

Hetherington dan
Feldman

(diringkas dari rilis berbagai riset dalam laporan Bjorklund & Wenestam, 2000)
Dari tabel di atas, tampak jelas bahwa kecurangan akademis merupakan suatu epidemic,
yang angkanya terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebar secara luas.
Petress (2003) mengungkapkan bahwa penjiplakan adalah pencurian intelektual,
sama hinanya dengan pencurian terhadap mobil, uang, atau perhiasan Kenyataan saat ini
menunjukkan di mana pencurian intelektual dianggap tidak sama nilainya dengan
pencurian bentuk lainnya, demikian pula dengan berbagai bentuk kecurangan akademis
28

29

lainnya masih dianggap remeh. Lebih lanjut Petress mengatakan, menyontek adalah suatu
bentuk pola pikir, yang berkembang laksana penyakit kanker. Ketika seorang siswa
berhasil menyontek, hal ini akan memicu tindakan menyontek pada teman-temannya
yang lain.
Alhadza (2005) mengungkapkan bahwa menyontek (cheating) adalah salah satu
fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses
belajar mengajar sehari-hari, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan
kita di Indonesia. Kurangnya pembahasan mengenai cheating mungkin disebabkan karena
kebanyakan pakar menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal
masalah cheating sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Direzkia (2006)
beropini bahwa kebiasaan menyontek sudah demikian terstruktur dan berjamaah, layaknya
korupsi. Academic misconduct bukanlah fenomena baru, akan tetapi merupakan problem
yang telah dikenal luas di banyak negara di Eropa dan Amerika. Kecurangan akademis
merupakan masalah etika dan karakter moral. Masalah ini menjadi tidak mudah diteliti
(Bjorklund & Wenestam, 2000). Lebih lanjut Alhadza (2005) mengungkapkan bahwa
meskipun tidak separah yang dikhawatirkan sebagian orang, apabila dibiarkan, cheating
dapat merusak kepribadian seseorang dan mengaburkan nilai-nilai moral dalam
masyarakat. Moralitas dan etika merupakan nilai penting bagi perilaku kita, dan seringkali
menjadi penyebab utama masalah bagi manusia, sebagaimana pernyataan Albert Einstein
bahwa:
The real problem is in the hearts and minds of man. It is not a problem of physics but of
ethics. It is easier to denature plutonium than to denature the evil from the spirit of man.
Perilaku curang bisa berawal dari sikap abai terhadap norma, abai terhadap etika,
bahkan abai terhadap peraturan yang ada. Persepsidalam hal ini pemahamanyang
salah terhadap perilaku curang pun dimungkinkan mendorong munculnya perbuatan
curang. Apabila seorang individu memiliki pemahaman yang baik dan benar mengenai
perilaku negatif dan tidak etis, tentu individu akan berusaha sekuat tenaga untuk
menghindari perilaku negatif dan tidak etis. Selanjutnya, miskinnya kemampuan (lack of
ability) yang dimiliki individu untuk melakukan suatu tugas barangkali pula dapat
memunculkan perilaku mencari jalan pintas dan menerabas. Apakah perilaku menerabas
29

30

tersebut memang benar dikarenakan tidak adanya kemampuan (hendaya) atau sekadar
pandangan ketidakmampuan diri oleh individu itu sendiri (low self efficacy).
Di sisi lain, kecakapan individu dalam mempersepsi berpengaruh pada sikap dan
tindakan

yang

diambil.

Karena

kemampuan

mengidentifikasi

stimulus

dan

mencocokkannya dengan skema yang ada di alam pikir akan digunakan individu dalam
mengidentifikasi stimulus tersebut sebagai sesuatu yang dikenal atau tidak dikenal. Apabila
cocok dengan skema dalam pikiran maka menjadi stimulus yang dikenal (identified
stimuly), kalau tidak cocok dengan skema dalam pikiran makan akan digeneralisasi dan
ditarik skema yang berkaitan.
Jamak pula kita jumpai institusi pendidikan kurang jelas dan tegas dalam
memaparkan dan mengganjar ragam perilaku curang di lingkungan akademis. Hal ini
berpotensi menimbulkan kekaburan, bias pandang, dan persepsi yang beragam atas apa-apa
yang diijinkan dan apa-apa yang tidak diijinkan dalam menjalani proses pembelajaran.
Selanjutnya hal tersebut berpeluang memunculkan tindakan curang dengan intensitas yang
beragam.
Pengkajian secara empiris perihal kesalahan persepsi atas beragam kecurangan
akademis dan hubungannya dengan kemunculan perilaku academic dishonesty perlu
dilakukan. Hal ini dapat memberikan paparan empiris, apakah perilaku curang dalam
kegiatan akademis dilakukan karena ketidaktahuan atau kesalahan persepsi bahwa perilaku
tersebut tidak tergolong dalam kecurangan.
Hal menarik lain yang perlu dikaji adalah apakah efikasi diri yang rendah
merupakan faktor pencetus dari perilaku curang, dengan logika berpikir bahwa seorang
individu merasa dirinya berkemampuan kurang (efikasi diri rendah) sehingga berusaha
mencari jalan pintas dan menerabas.
Bjorklund & Wenestam (2000) mengemukakan bahwa perilaku academic
dishonesty merupakan masalah yang sangat umum di tiap universitas, akan tetapi seringkali
tidak setiap perguruan tinggi mengetahui secara pasti prevalensi dan dinamikanya. Dalam
penelitian yang melibatkan sekitar 500 profesor universitas, 20 persen melaporkan bahwa
mereka mengabaikan untuk mengambil tindakan tegas dan menindaklanjuti kasus
kecurangan akademis yang mereka temui.
30

31

B. Perumusan Masalah
Belajar di perguruan tinggi merupakan pilihan strategik untuk mencapai tujuan
individual bagi mereka yang menyatakan diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut
(Suwarjono, 2005). Akan tetapi, realitas yang dihadapi oleh dosen dan penyelenggara
pendidikan dalam banyak hal, jauh dari harapan. Suwarjono mengamati gejala yang sering
dirasakan adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial daripada
kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar.
Di beberapa negara, khususnya negara maju, perbincangan mengenai academic
dishonesty menjadi topik hangat dalam kurun waktu terakhir. Penelitian mengenai
academic dishonesty telah banyak dilakukan di berbagai negara, akan tetapi dalam wacana
pendidikan di Indonesia terhadap masalah ini masih jarang mendapat pembahasan dan
pengkajian secara mendalam.
Diperlukan pengkajian dan penelitian empiris untuk mengungkap fenomena yang
memprihatinkan ini, khususnya di Indonesia. Pengkajian pada masalah ini sangatlah
penting untuk memberikan gambaran kepada kita tentang perilaku tidak etis (unethical
behaviors) pada dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pada strata pendidikan tinggi.
Secara spesifik, penelitian ini akan mengungkap questions research yang pertama,
adakah hubungan antara persepsi academic dishonesty dengan perilaku academic
dishonesty di kalangan mahasiswa? Kemudian yang kedua, adakah hubungan antara efikasi
diri (self efficacy) dengan perilaku academic dishonesty?
C. LANDASAN TEORI
Pengertian Perilaku Academic Dishonesty
Diungkapkan oleh Neils (dalam Petress, 2003) bahwa menyontek dan kecurangan
akademis lainnya terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, yang sebagian sudah dipahami,
tapi sebagian lagi belum banyak dipahami sebagai bentuk perilaku curang dalam akademis.
Kecurangan akademis (academic dishonesty) masih sulit didefinisikan secara tepat dan
seragam. Kibler (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003) mengemukakan bahwa salah
satu masalah penting pada telaah literatur penelitian mengenai academic dishonesty adalah
ketiadaan definisi yang berterima umum.

31

32

Menurut Tibbetts (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003), academic dishonesty
is the intentions of person engaging in the dishonest behavior, yang maknanya adalah
kesengajaan seseorang untuk terlibat dalam tindakan tidak jujur.
Institusi Newcastle University (2004) mengungkapkan bahwa kecurangan akademis
didefinisikan dalam dua kategori utama, yakni: (1) Penipuan akademis, merupakan
pembentukan gambaran palsu untuk memperoleh manfaat atau keuntungan yang tidak
semestinya. (2) Menjiplak, merupakan penyajian pemikiran atau hasil karya orang lain.
Weaver, Davis, Look, Buzzanga, dan Neal (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003)
mendifinisikan perilaku ini sebagai bentuk pelanggaran atas kebijakan institusi tentang
masalah kejujuran. Lambert, Hogan, dan Barton (2003) menyimpulkan bahwa Academic
dishonesty was broadly defined as any fraudulent actions or attempts by a student to use
unauthorized or unacceptable means in any academic work. Kecurangan akademis
didefinisikan secara luas sebagai tindakan-tindakan curang atau usaha-usaha siswa untuk
menggunakan cara, alat, sumber-sumber yang tidak diperkenankan atau tidak dapat
diterima pada pengerjaan tugas akademis.
Dari berbagai pendapat dan definisi terpapar, dapat disimpulkan bahwa perilaku
curang dalam akademis merupakan bentuk perilaku yang tidak jujur dalam melaksanakan
tugas-tugas akademis individual dengan menggunakan peralatan atau orang lain yang
membantu secara tidak sah. Perilaku ini dapat berkembang model dan bentuknya. Yang
jelas, perilaku ini tidak akan diperkenankan apabila diketahui oleh institusi atau pemegang
wewenang.
Bentuk-bentuk Academic Dishonesty
Kecurangan dalam akademis digolongkan dalam beberapa kategori. Menurut Pavela
(dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003), ada empat kategori yang terkandung makna
academic dishonesty, yaitu:
a. Menyontek dengan menggunakan barang-barang terlarang pada kegiatan akademis
berbentuk apapun seperti penugasan, ujian, dsb.
b. Pemalsuan informasi, referensi, maupun hasil pekerjaan akademis.
c. Penjiplakan.

32

33

d. Membantu siswa lain yang terlibat dalam tindakan curang akademis, seperti
memfasilitasi siswa lain menyalin hasil pekerjaannya, mengambilkan soal ujian,
mengingat-ingat dan memberitahukan soal yang keluar dalam ujian, dsb.
Sementara itu, dimensi bentuk-bentuk dasar kecurangan yang diidentifikasi dan
dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran atas universitys standards of academic integrity
oleh Northwestern University (tanpa tahun) dapat dilihat dalam tujuh model, yaitu:
1. Cheating. Penggunaan catatan yang tak diijinkan, bahan pelajaran, maupun informasi
dalam pengerjaan ujian; pengubahan nilai hasil ujian yang dibagikan untuk diajukan
koreksi; meminta orang lain mengerjakan tugas untuk dirinya, mengumpulkan tugas
yang sama pada perkuliahan yang berbeda tanpa seijin dari pengajar perkuliahan.
2. Plagiarism. Mengutip bahan baik sebagian maupun keseluruhan tanpa mencantumkan
sumber referensi tersebut.
3. Fabrication. Mengubah atau mengganti informasi, data atau kutipan; menyajikan data
tidak sesuai dengan ketentuan standard dalam metodologi dalam kegiatan pengumpulan
data.
4. Obtaining an Unfair Advantage. Mencakup: (a) mencuri, mereproduksi, mengedarkan,
atau

mempermudah

sepengetahuan/seijin

akses
dari

atas
penguji;

materi
(b)

soal

yang

mencuri,

akan

diujikan

mencacati/merusak,

tanpa
atau

menghilangkan lembaran/materi yang ada di perpustakaan dengan tujuan agar tidak


dapat digunakan oleh orang lain; (c) pengerjaan secara bersama-sama atas tugas
individual perkuliahan; (d) menyimpan, memiliki, menggunakan, atau mengedarkan
soal ujian yang seharusnya dikembalikan, di mana soal tersebut akan digunakan
kembali pada ujian pada waktu yang lain; (e) mengganggu siswa lain yang sedang
mengerjakan tugas akademiknya, atau (f) melakukan tindakan dengan tujuan
menyebabkan ketidakadilan atau merugikan penilaian tugas akademik siswa lain.
5. Aiding and Abetting Academic Dishonesty. (a) menyediakan materi, informasi, atau
bantuan untuk siswa lain sehingga dapat digunakan siswa lain untuk melakukan
kecurangan seperti yang telah disebutkan di atas, atau (b) memberikan informasi yang
tidak benar terkait dengan tuntutan academic integrity.
6. Falsification of Records and Official Documents. Merubah dokumen terkait dengan
nilai akademis; memalsukan tandatangan atau memalsukan informasi pada dokumen
33

34

administratif

akademis,

transkip

nilai,

surat

ijin,

surat

permohonan,

mengurangi/menambahkan form, kartu identitas, atau segala bentuk dokumen


administratif universitas.
7. Unauthorized Access. Mengakses tanpa ijin komputer akademis atau catatan
administrative, maupun sistem; melihat atau mengganti catatan di komputer, merubah
program komputer, menambah ataupun mengurangi informasi yang tersaji melalui
akses tanpa ijin, menimbulkan gangguan pada komputer atau sistem informasi yang
tersedia.
Dalam laporannya tahun 1996, McCabe dan Trevino (dalam Bjorklund &
Wenestam, 2000) merangkum jenis-jenis kecurangan yang paling sering di antara bentuk
lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2
Jenis Kecurangan berdasar Riset McCabe dan Trevino
BENTUK
UJIAN/TES

JENIS KECURANGAN
Menyontek jawaban teman
Memberikan jawaban pada orang lain
Menggunakan catatan tersembunyi

TUGAS TERTULIS

Mengutip tanpa mencantumkan sumbernya dalam


referensi
Menyadur karya orang lain
Memalsukan daftar pustaka
Turned in work done by another
Menggunakan bantuan orang lain untuk tugas yang
harus dikerjakan secara individual

Perkembangan teknologi, seperti keberadaan internet, juga menambah ragam


kecurangan. Internet dapat digunakan oleh siswa untuk mengunduh paper, esai, tulisan,
yang merupakan karya orang lain, untuk digunakan dalam pengumpulan tugas atas nama
mereka. Ragam berkembang akan tetapi memiliki substansi yang sama, yakni
ketidakjujuran yang tak diijinkan. Cakupan perilaku academic dishonesty yang luas ini
barangkali belum dipahami oleh setiap mahasiswa, sehingga dimungkinkan bahwa
34

35

mahasiswa melakukan salah satu tindakan kecurangan akademis tanpa mereka sadari
bahwa hal itu ternyata merupakan suatu tindakan yang tidak diijinkan.
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Academic dishonesty
merupakan segala perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau
perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil
belajar.
3. Faktor-faktor Pendorong Academic Dishonesty
Motif yang mendorong siswa melakukan tindakan curang tidak diketahui secara
pasti, dan diduga cukup kompleks. Penelitian yang dilakukan di Amerika Utara oleh
Anderman, beberapa penelitian yang dirilis dalam laporan Bjorklund & Wenestam (2000)
menyebutkan bahwa obsesi meraih nilai yang tinggi di sekolah mendorong munculnya
tindakan curang, beban studi yang berlebih juga ditemukan menjadi faktor pendorong
kecurangan, tingkat stres siswa, sikap dari pengajar, dan meningkatnya ketidakpatuhan
terhadap aturan akademis merupakan faktor utama pendorong perilaku curang. Secara
umum, penjelasan mengenai penyebab perilaku curang di dunia akademis dapat
diklasifikasikan ke dalam dua faktor, yaitu eksternal dan personal individual. Seperti
terpapar dalam tabel 3.

35

36

Tabel 3
Faktor & Motif Tindakan Kecurangan Akademis
PENELITI
Baird

FAKTOR

FAKTOR INTERNAL

EKSTERNAL

(individual)

Posisi tempat duduk

Kemalasan

Arti penting tes yang

Kekhawatiran

diujikan

perolehan prestasi

Tingkat kesulitan tes

dibanding siswa lain

Tes yang tidak fair

Penjadwalan

Pengawasan

Nilai (sebelumnya)
yang buruk

Kegagalan di masa
lalu

Harapan akan
keberhasilan

Davis et al.

Kelas yang terlalu

besar, terlalu ramai


-

Bentuk soal pilihan

Berkeingingan
membantu teman

Aversion to teacher

ganda (multiple
choice)
-

Pertimbangan
ekonomis

Hetherington &

Feldman
-

Tingkat kesulitan

Agar dapat diterima

soal

secara sosial (social

Lemahnya

acceptance)

pengawasan
-

Pembelajaran yang
tidak efektif (badly
organized course)

(diringkas dari berbagai laporan penelitian yang dikutip oleh Bjorklund & Wenestam, 2000)

Dalam tabel 3, peneliti memilah faktor pendorong tindakan curang dalam dunia
akademis ke dalam dua kelompok, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
36

37

eksternal merupakan faktor-faktor luar individu, berupa lingkungan, sistem, situasi, dan
kondisi. Faktor internal bersumber dari dalam individu, dan bersifat psikis terkait dengan
persepsi, harapan, penerimaan sosial, dan sikap-sikap altruistic atau keinginan untuk
membantu orang lain. Sementara penerimaan sosial merupakan upaya individu untuk
menyelaraskan diri dan dapat diterima di lingkungannya.
Alapare dan Onakoya (2002) menyatakan bahwa, seringkali para mahasiswa
mempelajari perilaku curang dari teman mereka atau ikut-ikutan mahasiswa lain, dan salah
satu faktor kunci yang mempengaruhi dan mendorong perilaku menyontek adalah
penerimaan komunitas teman sebaya (peer approval and disapproval). Mengenai tindakan
mencontoh dari lingkungan sekitar dijelaskan oleh Bandura (1994) dalam Social Learning
Theory. Lebih lanjut Alapare dan Onakoya (2002) memaparkan bahwa tingkatan selfesteem juga dapat berpotensi memunculkan tindakan berbohong dan perilaku menyontek.
Akan menjadi lumrah bagi siswa yang memiliki self-esteem rendah cenderung khawatir
akan gagal. Jadi, daripada berusaha kemudian gagal, mereka merasionalisasi diri bahwa
kegagalan disebabkan karena minimnya usaha mereka, sehingga mereka melakukan
tindakan menyontek.
Orang tua juga menekan anak mereka agar berhasil di sekolah, tanpa mempedulikan
kemampuan anak. Agar tidak mengecewakan orang tua, atau untuk menghindari hukuman,
siswa kemudian menyontek agar nilai mereka bagus. Pada sebagian siswa yang tidak
memiliki persepsi bahwa mereka mampu menghadapi berbagai tuntutan dalam studi yang
mereka tempuh, mereka cenderung mencari bantuan orang lain untuk membantunya,
menyontek juga dipandang sebagai perilaku yang menyimpang (deviant behaviour) karena
menimbulkan gangguan dan merupakan sikap abai terhadap peraturan yang ada. (Alapare
dan Onakoya, 2002).
Sedangkan replikasi yang dilakukan Sujana & Wulan (1994) tidak menemukan
hubungan yang positif antara harga diri dengan intensi menyontek, juga tidak menemukan
hubungan antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek, serta tidak
adanya hubungan antara inteligensi dengan intensi menyontek.
Dalam survey yang dilakukan di University of North Carolina at Chapel Hill oleh
Allhouse dkk. (1999) sebenarnya menunjukkan bahwa 89% mahasiswa yakin bahwa
menyontek merupakan tindakan yang tidak bisa diterima. Jika sebenarnya siswa telah
37

38

mengetahui bahwa menyontek merupakan tindakan yang salah, mengapa perilaku


menyontek masih terus saja berlanjut? Salah satu jawaban yang ditemukan adalah karena
tekanan teman sebaya.
Penelitian yang dilakukan Newstead, Franklyn, dan Armstead pada tahun 1995
(dalam Bjorklund & Wenestam, 2000) menemukan bahwa 21 persen pelaku mengatakan
mereka tidak memiliki cukup waktu untuk belajar, 20 persen menyatakan bahwa
menyontek dilakukan untuk memperoleh nilai yang lebih baik. Alasan ketiga yang
seringkali muncul adalah orang lain juga melakukannya (sebesar 16%). Alasan yang
dikemukakan selanjutnya adalah keinginan untuk membantu teman (14%) dan malas
(10%). Juga pada penelitian maramark dan maline (1993), menemukan penyebab perilaku
curang, adalah tingkat stres, kopetisi di dunia kerja, dan (tuntutan) memperoleh beasiswa
studi lanjut.
Carrell, Malmstrom, dan West (2007) yang melakukan riset mengenai academic
cheating di lingkungan pendidikan militer di Amerika Serikat (Air Force, ARMY, dan
NAVY) juga menemukan bahwa konformitas dan pengaruh teman sebaya (peer group
effect) turut berpengaruh pada pelanggaran norma sosial yang dalam hal ini kecurangan
akademis, Hogan dan Jaska (2000) menemukan bahwa perilaku kecurangan akademis lebih
banyak terjadi pada mahasiswa tingkat atas, memiliki nilai yang rendah, dan pada jenis
kelamin laki-laki.
5. Persepsi Academic Dishonesty
Atkinson dkk. (1983) memberikan definisi persepsi sebagai suatu proses di mana
kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan.

Studi tentang

persepsi sangat berkaitan dengan studi tentang proses kognitif, seperti ingatan dan berpikir.
Neisser (dalam Atkinson dkk., 1983) memandang persepsi sebagai proses aktif yang
menguji hipotesis yang dipengaruhi konteks dan pengalaman lampau yang biasa disebut
sebagai analisis dengan sintesis. Menurut teori ini, penghayat menggunakan ciri benda,
konteks, dan pengalaman lampau untuk mendapatkan tekanan yang jitu tentang apa yang
dilihat. Analisis sintesis mengandung arti penghayat menganalisis stimulus sampai pada
cirinya kemudian menggunakan ciri tersebut untuk mensintesiskannya (atau membentuk)
menjadi suatu penghayatan yang dengan tepat sesuai dengan semua informasi masukan
sensorik, konteks, dan pengalaman lampau. Analisis dengan sintesis berasumsi bahwa
38

39

pengamat telah menyimpan suatu skema dalam ingatannya untuk setiap stimulus yang
dipersepsi. Bagan analisis dengan sintesis dapat dilihat dalam gambar 1.

masukan
stimulus

Menggeneralisasikan hipotesis
dan menarik skema yang
berkaitan dengan ingatan

Mengambil ciri-ciri dari


masukan stimulus dan
membandingkannya dengan
skema

Apakah
cocok?

stimulus yang
dikenal

Gambar 1. Analisis dengan Sintesis (Atkinson, dkk.,1983)


Riset dan teori reasoned action and planned behavior juga mengungkapkan bahwa
beliefs & attitude merupakan prediktor untuk perilaku dan intensitasnya (Ajzen, dalam
Nonis & Swift, 2001). Apabila kita kaji persepesi academic dishonesty dengan
menggunakan bagan analisis dengan sintesis, dapat diterangkan bahwa sebagai masukan
stimulus adalah sejumlah model tindakan curang dalam akademis. Masukan stimulus
39

40

tersebut digeneralisasi dan ditarik skema sesuai dengan ingatan yang dimiliki. Kemudian
diambillah ciri-ciri dari beragam model tindakan curang dalam dunia akademis tersebut
untuk dikomparasikan dengan skema yang dimiliki, selanjutnya dicocokkan. Kalau cocok
dengan skema dan ingatan yang dimiliki atas serangkaian ciri tersebut, maka individu akan
mengenali stimulus sebagai model tindakan curang atau bukan tindakan curang.
Cakupan perilaku academic dishonesty cukup luas dan beragam. Persepsi academic
dishonesty merupakan bagaimana siswa melihat bentuk-bentuk kejadian academic
dishonesty, diolah dalam proses pikir, selanjutnya dikategorikan apakah stimulus tersebut
merupakan bentuk perilaku academic dishonesty atau bukan. Cakupan perilaku academic
dishonesty yang luas dan beragam ini barangkali belum dipahami oleh setiap siswa,
sehingga dimungkinkan bahwa siswa melakukan salah satu tindakan kecurangan akademis
tanpa mereka sadari bahwa hal tersebut ternyata merupakan suatu tindakan yang tidak
diijinkan. Pemahaman bahwa suatu perilaku dikategorikan sebagai suatu tindakan curang
secara akademis selanjutnya diistilahkan dengan persepsi academic dihonesty.
6. Pengertian Efikasi Diri
Pengertian dari efikasi diri oleh Bandura (1986) adalah sebagai berikut:
beliefs in ones capacity to organize and execute the courses of action required to
produce given attainments
keyakinan seseorang akan kemampuan untuk mengorganisasikan dan melakukan
sejumlah tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan.
Lebih lanjut Bandura mengungkapkan bahwa anak dan orang dewasa dengan
efikasi diri yang kuat lebih gigih, sehat dan lebih sukses secara akademik. Penilaian tentang
efikasi diri merupakan suatu hal yang terkait dengan tindakan yang dipilih oleh seseorang,
akan tetapi sejumlah faktor dapat mempengaruhi kuat-lemahnya hubungan keterkaitan
antara efikasi dan tindakan yang dipilih. (Bandura, 1986). Efikasi diri berkaitan dengan
bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal (Myers, 2007). Sejak
tahun 1960-an penelitian mengenai efikasi diri sudah mulai marak dilakukan. Penelitian
dilakukan terkait dengan hubungan antara efikasi diri dengan kesehatan, konsep diri,
pencapaian diri, dan prestasi akademis seseorang.

40

41

Istilah efikasi diri (self-efficacy) seringkali dipertukarkan dan dipersamakan dengan


istilah self-concept atau self-esteem. Dan perbedaan istilah ini terkadang tidak terungkap
secara jelas pada berbagai penelitian. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa self-concept
merupakan bentuk umum dari dari self-efficacy. Efikasi diri merupakan elemen dari konsep
diri. Berikut petikan penjelasan Pajares dan Schunk (2001):
Self-efficacy is a judgment of the confidence that one has in one's abilities; self-concept is
a description of one's own perceived self accompanied by an evaluative judgment of selfworth. Because self-concept beliefs involve evaluations of self-worth, self-concept is
particularly dependent on how a culture or social structure values the attributes on which
the individual bases those feelings of self-worth. Self-efficacy beliefs are not as tightly
bounded by cultural considerations.
Dapat kita simpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan terhadap
kemampuan diri, sedang konsep diri merupakan persepsi atas keadaan diri secara umum,
dan konsep diri terikat dengan budaya dan nilai-nilai struktur sosial yang ada.
Bandura (dalam Hoy, 2004) mengidentifikasi empat faktor yang dapat
meningkatkan ekspektasi seseorang atas efikasi, yaitu: mastery experience, psychological
& emotional states, vicarious experience, dan social persuasion. Dan persepsi akan
kemampuan ini dalam melakukan pekerjaan yang telah diyakini kemampuannya
sebelumnya, meski sebenarnya pekerjaan itu sangat berat. Demikian pula sebaliknya.
7. Faktor-faktor Efikasi Diri
Bandura (1994) mengemukakan bahwa derajat efikasi diri seseorang dapat
dikembangkan dari empat sumber utama efikasi diri. Faktor-faktor tersebut dapat
dikembangkan dalam rangka meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri. Keempat
sumber peningkatan efikasi diri tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Sumber pertama dan yang paling efektif dalam meningkatkan derajat efikasi diri
adalah dengan pengalaman berhasil. Keberhasilan akan meningkatkan keyakinan akan
kemampuan diri. Sebaliknya, kegagalan dapat menurunkan keyakinan akan kemampuan
diri, terlebih bila efikasi diri belum terbentuk dengan mantap. Keberhasilan yang pernah
dicapai dan prestasi yang pernah diraih dapat membuat seseorang merasa (semakin) yakin
bahwa dia akan mampu menyelesaikan tugas ataupun mengatasi hambatan yang muncul.

41

42

b. Sumber kedua yang dapat menguatkan keyakinan atas kemampuan diri adalah
pengalaman orang lain. Orang-orang yang ada di lingkungan sosial dapat dijadikan model
atau contoh yang dapat menguatkan efikasi diri. Dengan membandingkan usaha yang
mampu dilakukan orang lain, prestasi yang mampu dicapai orang lain, akan memberikan
keyakinan untuk berusaha mencapai suatu prestasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan dengan
teori belajar sosial, bahwa orang membandingkan kemiripan dirinya dengan orang lain
yang menjadi model bagi dirinya. Jika seseorang melihat dirinya (cukup) berbeda dengan
model atau figur contohnya, maka pengaruh terhadap efikasi dirinya tidak akan banyak
terpengaruh oleh tindakan dan keberhasilan dari model.
c. Faktor ketiga penguat efikasi diri adalah persuasi sosial. Orang yang menerima
persuasi verbal bahwa dia memiliki kemampuan melakukan dan mencapai sesuatu, akan
mendorong munculnya usaha yang lebih besar dari sebelumnya. Persuasi ini akan
memompa usaha lebih keras dalam meraih suatu capaian tertentu.
d. Faktor keempat yang berpengaruh terhadap efikasi diri adalah kondisi fisik dan
emosi (somatic & emotional). Orang yang merasa tertekan dan berada dalam keadaan stres
akan berpikir memiliki kemampuan yang rendah (poor performance). Suasana hati (mood)
juga turut berperan bagi derajat efikasi diri. Suasana hati yang sedang baik akan
meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri, sebaliknya mood yang buruk akan
menurunkan efikasi diri. Bertolak dari hal ini, cara keempat yang dapat digunakan untuk
memodifikasi efikasi diri adalah dengan mengurangi reaksi stres dan merubah
keecenderungan emosi negatif dan berbagai gangguan fisik yang ada.
Pemahaman bahwa suatu perilaku dikategorikan sebagai suatu tindakan curang
secara akademis selanjutnya diistilahkan dengan persepsi academic dihonesty. Cakupan
perilaku academic dishonesty yang luas ini barangkali belum dipahami oleh setiap
mahasiswa, sehingga dimungkinkan bahwa mahasiswa melakukan salah satu tindakan
kecurangan akademis tanpa mereka sadari bahwa hal itu ternyata merupakan suatu tindakan
yang tidak diijinkan.
Hubungan antara persepsi academic dishonesty yang baik dengan perilaku
academic dishonesty yang rendah berpotensi ada dan kuat derajat hubungannya, mengingat
Nonis dan Swift (2001) pernah melakukan studi hubungan perilaku curang di kampus dan
perilaku curang di dunia kerja, dan hubungan antara beliefs about dishonest dengan
42

43

kecenderungan berlaku curang menemukan ada hubungan positif di antara keduanya.


Bahwa mahasiswa yang memiliki keyakinan suatu kecurangan akademis itu dapat diterima
oleh lingkungan cenderung melakukan kecurangan akademis. Temuan Austin, Collins,
Remillard, Kelcher, dan Chuia (2006) secara umum juga menggambarkan beberapa
pandangan terkait academic dishonesty juga berkorelasi dengan intensitas perilaku curang.
Penelitian yang dilakukan Rabi, Patton, Fjortoft, Zgarrick (2006) juga mengukur
persepsi mahasiswa atas kecurangan akademis, menemukan tingginya angka kejadian
kecurangan akademis, namun tidak melakukan pengujian hubungan di antara keduanya,
meskipun secara data tampak linier ukuran dan arahnya.
Bandura (1986) mengungkapkan bahwa persepsi seseorang akan efikasi diri
berkontribusi terhadap peningkatan subskills, dan akan membentuk suatu perilaku baru.
Pajares dan Schunk (2001) mengemukakan bahwa ada pengaruh positif, bagi prestasi
akademis atas efikasi diri dan konsep diri seseorang. Lebih lanjut Pajares dan Schunk
menyatakan bahwa banyak penelitian dilakukan untuk meneliti keterkaitan efikasi diri dan
konsep diri dengan prestasi akademis. Efikasi diri juga membantu meningkatkan ekspektasi
seseorang atas keberhasilan dalam melakukan sesuatu.
Analisis yang dilakukan terhadap 128 penelitian yang berlangsung pada tahun
1970-an membawa pada temuan adanya hubungan antara efikasi diri, konsep diri, dan
prestasi akademis dengan nilai hubungan yang beragam. Pada tahun 1989, Zimmerman
dkk. (dalam Pajares dan Schunk, 2001) melakukan penelitian untuk menguji hubungan
antara persepsi efikasi diri, proses belajar akademis, dan prestasi akademis. Ditemukan
bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap self-regulatory processes seperti penetapan tujuan
(goal setting), monitor dan evaluasi diri (monitoring & self-evaluation), dan strategi yang
dipergunakan dalam belajar. Berpijak pada hal ini, peneliti menduga perilaku academic
dishonesty akan rendah pada individu yang memiliki self efficacy yang tinggi.
Pada tahun 1991, Bouffard, Bouchard, Parent, & Larivee (dalam Pajares dan
Schunk, 2001) menemukan bahwa siswa dengan tingkat efikasi yang tinggi juga
menunjukkan tingginya tingkat pengaturan strategi diri, serta peningkatan kemampuan
mengingat. Penelitian lebih lanjut terhadap mahasiswa perguruan tinggi di jurusan teknik
dan ilmu pengetahuan menunjukkan adanya pengaruh efikasi diri atas kegigihan dalam
belajar yang selanjutnya dapat menunjang prestasi akademis. Asumsi yang muncul
43

44

selanjutnya, ketika seorang siswa dengan efikasi diri yang baik mampu mengeluarkan
usaha yang sistematis, terprogram, dan meksimal dalam belajar dan berprestasi, maka
perilaku academic dishonesty tidak akan ada pada diri siswa yang berefikasi diri tinggi.
Dari berbagai teori dan temuan terpapar, diduga kuat akan ada hubungan antara
tingkat efikasi diri seseorang dan perilaku academic dishonesty. Diperkirakan bahwa
mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi tidak akan melakukan perilaku
academic dishonesty. Dengan tingkat efikasi diri yang tinggi, mahasiswa diduga akan
melakukan aktivitas belajar dengan gigih dan menghindari tindakan tidak sportif.
D. Hipotesis
Berpijak pada logika berpikir dan berbagai temuan empiris yang dipaparkan,
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha1

: persepsi academic dishonesty berhubungan negatif dengan perilaku academic


dishonesty

Ha2

: efikasi diri berhubungan negatif dengan perilaku academic dishonesty.

E. Metode Penelitian
1. Efikasi Diri Mahasiswa Perguruan Tinggi
Pengukuran atas self-image juga komponen maupun turunannya seperti: self
efficacy dan self esteem memang masih memilki kendala, yang terbesar adalah cultural
influence, selanjutnya memberikan masalah pada validitas konstruk dan pengukurannya
(Robson, 1988). Dengan tujuan menghindari kelemahan alat ukur, peneliti menggunakan
instrumen ukur yang telah terstandar dan benar-benar valid dan teruji secara psikometris
untuk beragam budaya sehingga mempertinggi kemantapan hasil pengukuran efikasi diri
dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini variabel akan diadaptasi berdasarkan aspek-aspek efikasi diri
yang dikemukakan oleh Bandura (1977), Efikasi diri mahasiswa perguruan tinggi akan
diukur dengan menggunakan General Perceived Self-Efficacy Scale (GSE) yang dirancang
oleh Jerusalem dan Schwarzer (1981) yang telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh Born, Schwarzer dan Jerusalem (1995). GSE merupakan skala efikasi diri yang telah
diadaptasikan ke dalam 14 budaya dan 13 bahasa. Pengukurannya dikembangankan dari
konstruk efikasi diri Bandura, yang mewakili aspek utama dari teori kognisi sosial
44

45

(Bandura, 1977, 1997). Dalam GSE terdapat sepuluh (10) elemen pengukuran yang
dikembangkan melalui dimensions dari construct efikasi diri.
Metode penskalaan yang digunakan dalam menyusun angket skala efikasi diri
dalam GSE digunakan model Likert, yaitu merupakan metode penskalaan pernyataan sikap
yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Semakin
tinggi skor yang diperoleh subjek penelitian, mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat
efikasi diri yang dimilikinya. Semakin rendah skor yang diperoleh subjek penelitian, maka
mengindikasikan semakin rendah pula tingkat efikasi diri yang dimiliki subjek
penelitian.Sistem penilaian skala efikasi diri menggunakan pengukuran dengan empat
alternatif jawaban. Penilaian jawaban dimulai dari angka satu sampai angka empat. Skor
tersebut adalah: sangat sesuai = 4, sesuai = 3, , tidak sesuai = 2, dan sangat tidak
sesuai = 1.
2. Persepsi Academic Dishonesty
Merupakan penilaian atau persepsi mahasiswa perguruan tinggi atas berbagai
tindakan curang dalam dunia akademis kemudian menggolongkannya dalam perilaku
academic dishonesty atau bukan. Konsep mengenai academic dishonesty dapat langsung
dipecah dan ditemukan elemen-elemen perilaku yang dapat diukurnya. Pada penelitian ini
digunakan kuesioner yang akan menggali persepsi dan pemahaman mahasiswa perguruan
tinggi terhadap perilaku curang dalam akademis. Peneliti mengembangkan kuesioner
dengan mengacu dan menyesuaikan elemen-elemen academic dishonesty yang telah
banyak digunakan peneliti di berbagai negara, seperti oleh Rabi, dkk. (2006) dan Austin,
Collins, Remillard, Kelcher, dan Chui (2006), juga cakupan elemen academic dishonesty
yang dijabarkan oleh Northwestern University dengan pengadaptasian ke dalam Bahasa
Indonesia.
3. Perilaku Academic Dishonesty
Konsep mengenai perilaku academic dishonesty juga dapat langsung dipecah dan
ditemukan elemen-elemen perilaku yang dapat diukurnya. Pada penelitian ini digunakan
angket self-reported behavior yang akan menggali frekuensi perilaku academic dishonesty
yang pernah dilakukan oleh subjek penelitian.
Peneliti mengembangkan angket dengan mengacu dan menyesuaikan elemenelemen academic dishonesty yang telah banyak digunakan peneliti di berbagai negara,
45

46

seperti oleh Rabi, dkk. (2006) dan Austin, Collins, Remillard, Kelcher, dan Chui (2006),
juga cakupan elemen academic dishonesty yang dijabarkan oleh Northwestern University
dengan pengadaptasian ke dalam Bahasa Indonesia.
F. Populasi, Sampel dan Sampling
Populasi target dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Psikologi
dari Perguruan Tinggi di Kotamadya Surakarta. Adapun perguruan tinggi di Kotamadya
Surakarta yang memiliki Program Studi Psikologi adalah sebagai berikut:
a. Universitas Sebelas Maret
b. Universitas Setia Budi Surakarta
c. Universitas Sahid Surakarta
Sampel penelitian adalah cuplikan mahasiswa program studi psikologi pada
perguruan tinggi di Kotamadya Surakarta. Dalam penelitian ini digunakan teknik
proportional cluster sampling. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dari populasi
dengan mengambil perwakilan dari kelompok-kelompok yang ada pada populasi, dalam hal
ini tingkatan semester mahasiswa, secara proporsional.

G. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Hasil Seleksi Sampel
Penelitian ini menggunakan data primer. Data primer merupakan data yang
bersumber dan digali dari subjek penelitian untuk diinterpretasi secara langsung, sementara
data sekunder adalah data yang diambil bukan dari subjek penelitian langsung melainkan
dari pihak ketiga yang telah menggali dan menyajikannya. Data digali melalui metode selfadministrated survey dan self-behavior report. Peneliti telah menyebar kuesioner pada
sejumlah responden yang relevan dan representatif dengan tujuan penelitian. Deskripsi
mengenai sebaran kuesioner adalah sebagai berikut.
Tabel 4
Penyebaran Kuesioner
PERKIRAAN JUMLAH POPULASI

355 ORG

TARGET
Kuesioner tersebar pada responden
46

115 eks

32,39 %

47

Kuesioner tidak lengkap


Kuesioner yang dapat diolah

4 eks

1,74 %

111 eks

96,52 %

Sampel diambil dari populasi berupa mahasiswa Program Studi Psikologi di


Kotamadya Surakarta. Ada tiga perguruan tinggi di Kotamadya Surakarta, yang memiliki
Program Studi Psikologi, yakni: Universitas Sebelas Maret, Universitas Setia Budi
Surakarta, dan Universitas Sahid Surakarta. Sedangkan Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) tidak diikutsertakan dalam populasi target karena secara administratif
berada di Kabupaten Sukoharjo. Perkiraan jumlah mahasiswa psikologi dari ketiga
perguruan tinggi yang mejadi populasi target penelitian ini adalah sebesar 355 orang.
Sampel yang dapat diambil dalam penelitian ini berjumlah 115 orang atau sebesar 32,39 %
dari perkiraan jumlah populasi target. Terdapat 4 eksemplar kuesioner (1,74%) yang tidak
lengkap dan tidak memenuhi kaidah untuk dilakukan analisis data, sehingga diperoleh
sampel akhir sebesar 111 eksemplar atau sebesar 96,52% dari kuesioner terkumpul.
2. Profil Responden
Data demografi berikut menyajikan beberapa informasi umum mengenai kondisi
responden. Bagian ini menyajikan data mengenai jenis kelamin, usia, tingkat semester, dan
indeks prestasi dari responden.
Jenis Kelamin
Pada tabel 5 berikut ini disajikan data subjek penelitian berdasar jenis
kelamin. Diperoleh 22 orang responden laki-laki dan 89 orang responden perempuan.
Jadi, responden yang paling banyak berpartisipasi pada penelitian ini adalah
perempuan, ekivalen dengan proporsi mahasiswi terhadap mahasiswa pada program
studi psikologi.
Tabel 5
Jenis Kelamin Responden
Jenis

Jumlah

Persentase

Laki-laki

22 orang

19,47 %

Perempuan

89 orang

78,76 %

Kelamin

Sumber: Data primer yang diolah

47

48

Usia
Dari 111 orang sampel, sebanyak 28,8% berusia kurang dari 20 tahun, 55%
berusia 20 hingga 21 tahun, 11,7% berusia 22 hingga 23 tahun, dan hanya 4,5% di
antaranya yang berusia di atas 23 tahun. Peta usia dari subjek penelitian dapat dilihat
pada tabel 6 berikut.
Tabel 6
Usia Responden
Usia

Jumlah

Persentase

> 23 tahun

4,5 %

22 23

13

11,7 %

61

55,0 %

32

28,8 %

tahun
20 21
tahun
< 20 tahun

Sumber: Data primer yang diolah

Tingkat Semester
Peta tingkat studi atau kedudukan semester dari subjek penelitian dapat dilihat
pada tabel 7 berikut. Dari 111 sampel, 56 orang duduk di semester dua hingga empat,
50 orang duduk di semester enam hingga delapan, dan hanya 5 orang yang duduk di
atas semester delapan.
Tabel 7
Tingkat Semester Responden
Semester

Jumlah

Persentase

>8

4,50 %

68

50

45,05 %

24

56

54,45 %

Sumber: Data primer yang diolah


Indeks Prestasi
Potret nilai akademis subjek penelitian yang tercermin dari indeks prestasi
(IP) dilihat pada tabel 8 berikut. Dari 111 orang sampel, tiga orang memiliki IP
48

49

kurang dari 2,51; 33 orang memiliki IP antara 2,51 s.d. 3,00; 66 orang memiliki IP
antara 3,01 s.d. 3,50; dan sembilan orang memiliki IP di atas 3,50.
Tabel 8
Indeks Prestasi Responden
IP

Jumlah

Persentase

> 3,50

8,11 %

3,01 3,50

66

59,46 %

2,51 3,00

33

29,73 %

< 2,51

2,70 %

Sumber: Data primer yang diolah

Gambaran persepsi responden atas academic dishonesty dan perilaku


academic dishonesty dapat dilihat dalam tabel 9 berikut. Dalam tabel 9 dipaparkan
sebaran kuantitatif responden dalam mengungkap persepsi dan perilaku academic
dishonesty subjek penelitian yang disajikan dalam kuesioner persepsi academic
dishonesty.
Tabel 9
Sebaran Kuantitatif
Persepsi dan Perilaku Academic Dishonesty Responden
PERSEPSI AD

PERILAKU AD
Pernah

NO.
ITEM

Bukan
AD

AD

AD

AD

Belum

Ringan Sedang Berat

Pernah

Pernah Pernah
1x

2x

3x
atau
lebih

2%

9%

31%

59%

50%

23%

7%

19%

1%

36%

37%

26%

18%

26%

15%

41%

21%

35%

27%

17%

89%

5%

3%

4%

3%

7%

12%

78%

93%

4%

3%

1%

0%

1%

2%

97%

97%

2%

1%

0%

15%

23%

36%

25%

79%

14%

5%

1%

7%

22%

30%

41%

45%

31%

14%

10%

14%

28%

39%

20%

53%

29%

8%

10%

49

50

45%

9%

19%

27%

48%

25%

10%

17%

10

5%

19%

27%

49%

82%

12%

3%

4%

11

40%

31%

23%

7%

27%

32%

14%

27%

12

4%

12%

26%

59%

87%

8%

3%

2%

13

1%

4%

15%

80%

95%

3%

1%

1%

14

64%

27%

8%

1%

11%

23%

20%

47%

15

9%

42%

23%

25%

72%

16%

4%

8%

16

11%

40%

39%

11%

66%

17%

9%

8%

17

17%

31%

27%

25%

77%

14%

4%

5%

18

3%

6%

15%

76%

98%

0%

1%

1%

19

3%

26%

32%

40%

77%

11%

5%

6%

20

2%

2%

11%

86%

97%

1%

1%

1%

21

13%

44%

28%

15%

41%

19%

14%

25%

22

0%

3%

9%

88%

97%

1%

1%

1%

23

3%

5%

15%

77%

98%

0%

1%

1%

Dari tabel 9 terpapar, dapat kita amati secara jelas persentase persepsi dan perilaku
curang dalam dunia akademis atas tiap butir item perilaku curang yang dituangkan secara
simultan berdampingan. Secara kasar terlihat tindakan academic dishonesty yang
diidentifikasi secara jelas sebagai suatu bentuk kecurangan memiliki prevalensi perilaku
yang rendah pada subjek penelitian.
H. Hasil Penelitian
Besar hubungan antara persepsi academic dishonesty dan perilaku academic
dishonesty ditunjukkan koefisien korelasi sebesar -0,553 dengan p value 0,000. Jadi, antara
persepsi academic dishonesty dan perilaku academic dishonesty memiliki hubungan yang
siginifikan, dan bersifat terbalik.
Besar hubungan antara self efficacy dan perilaku academic dishonesty ditunjukkan
koefisien korelasi sebesar -0,060 dengan p value 0,265. Jadi, antara self efficacy dan
perilaku academic dishonesty tidak memiliki hubungan yang kuat, meskipun sudah
menunjukkan hubungan yang terbalik.
Rata-rata skor persepsi academic dishonesty adalah sebesar 65,27 dengan standar
deviasi sebesar 9,25. sedangkan rata-rata skor perilaku academic dishonesty adalah 13,40
50

51

dengan SD=8,49. di antara persepsi dan perilaku academic dishonesty memiliki standar
deviasi yang tidak berbeda terlalu jauh. Standar deviasi yang relatif kecil dijumpai pada
skor self-efficacy yang menunjukkan kecilnya derajat variasi penyimpangan dengan nilai
rata-ratanya.
Dalam perjalanan penelitian, dari data yang berhasil dihimpun peneliti,
dilakukanlah pengujian tambahan untuk melengkapi informasi kajian mengenai academic
dishonesty. Peneliti membandingkan secara statistik perbedaan perilaku academic
dishonesty pada mahasiswa laki-laki dengan perempuan, dan antara mahasiswa tingkat
awal dengan mahasiswa tingkat atas. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 10 dan tabel
11.
Tabel 10
Perbedaan Skor Perilaku Academic Dishonesty
pada Mahasiswa Psikologi
SKOR PERILAKU
ACADEMIC DISHONESTY

RESPONDEN

Min.

Max.

Rerata

Laki-Laki

46

19,55

Perempuan

39

11,67

Awal

35

12,09

Atas

46

14,40

Uji Beda Rata2


Nilai-t

p-value

4,052

0,000

-0,165

0,102

Jenis Kelamin

Tingkat Semester

Sumber: Data primer yang diolah


Tabel 11
Hubungan Indeks Prestasi dengan Perilaku Academic Dishonesty
Perilaku
Pearson Correlation
AD
IP

Correlation coefficient
Sig.

-0,140
0,142

111
51

52

Temuan lain yang menarik dalam perjalanan penelitian adalah bahwa seluruh
responden (100%) menyatakan pernah melakukan kecurangan akademis pada jenis
kecurangan dan frekuensi yang beragam. Penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan
yang bermakna perilaku academic dishonesty pada mahasiswa laki-laki dan perempuan
dengan nilai p sebesar 0,000. Perilaku curang dalam dunia akademis lebih banyak dijumpai
pada mahasiswa laki-laki dibandingkan mahasiswa perempuan. Selanjutnya, antara
mahasiswa tingkat awal (semester 2 & 4) dengan mahasiswa tingkat atas (semester 6 ke
atas) tidak ditemui perbedaan yang bermakna atas tindakan curang dalam dunia akademis
yang ditunjukan dengan p-value sebesar 0,102. Terakhir, tidak ada hubungan yang
bermakna antara indeks prestasi dengan perilaku curang dalam dunia akademis dengan
nilai koefisien korelasi sebesar -0,149.
I. Diskusi
1. Hubungan Persepsi Academic Dishonesty dan Perilaku Academic Dishonesty
Pengujian hipotesis alternatif pertama (Ha1) dilakukan dengan mencari nilai
koefisien korelasi antara variabel persepsi academic dishonesty dan perilaku academic
dishonesty. Diperoleh skor koefisien korelasi sebesar -0,553, yang menunjukkan bahwa
antara kedua variabel yang diuji memiliki hubungan linier negatif yang sangat erat.
Signifikansi keeratan hubungan tampak dari nilai p value (sebesar 0,000) yang jauh lebih
kecil dari yang ditetapkan dalam pengujian statistik penelitian ini. Hal ini berarti bahwa
jika mahasiswa memiliki persepsi academic dishonesty yang baik, akan berkorelasi
dengan kecilnya perilaku academic dishonesty. Sehubungan dengan hasil pengujian, Ha1
yang diajukan bahwa persepsi academic dishonesty berhubungan negatif dengan perilaku
academic dishonesty telah terbukti secara empiris dan dapat diterima.
Temuan ini mendukung temuan yang diperoleh Nonis & Swift (2001), bahwa
mahasiswa yang memiliki keyakinan suatu kecurangan akademis itu dapat diterima oleh
lingkungan cenderung melakukan kecurangan akademis. Temuan Austin, Collins,
Remillard, Kelcher, dan Chuia (2006) secara umum juga menggambarkan beberapa
pandangan terkait academic dishonesty juga berkorelasi dengan intensitas perilaku curang.
Neisser (dalam Atkinson dkk., 1983) memandang persepsi sebagai proses aktif
yang menguji hipotesis yang dipengaruhi konteks dan pengalaman lampau yang biasa
52

53

disebut sebagai analisis dengan sintesis. Menurut teori ini, penghayat menggunakan ciri
benda, konteks, dan pengalaman lampau untuk mendapatkan tekanan yang jitu tentang
apa yang dilihat. Analisis sintesis mengandung arti penghayat menganalisis stimulus
sampai pada cirinya kemudian menggunakan ciri tersebut untuk mensintesiskannya (atau
membentuk) menjadi suatu penghayatan yang dengan tepat sesuai dengan semua informasi
masukan sensorik, konteks, dan pengalaman lampau. Analisis dengan sintesis berasumsi
bahwa pengamat telah menyimpan suatu skema dalam ingatannya untuk setiap stimulus
yang dipersepsi. Teori analisis dengan sintesis kembali dapat menjelaskan penelitian
empiris yang dilakukan, bahwa penghayatan yang baik dalam mengenali bentuk-bentuk
tindakan curang dalam dunia akademis berkorelasi dengan sedikitnya kemunculan
perilaku curang dalam dunia akademis oleh subjek yang diteliti. Terlalu dini bagi kita
untuk menyimpulkan bahwa persepsi academic dishonesty merupakan sufficient cause
rendahnya frekuensi perilaku academic dishonesty. Akan tetapi, setidak-tidaknya kita
dapat melihat persepsi academic dishonesty sebagai necessary cause rendahnya frekuensi
perilaku academic dishonesty. Bila suatu penyebab merupakan satu-satunya faktor yang
menimbulkan efek disebut sufficient cause lihat dalam Arief T.Q. (2003).
Persepsi yang baik atas perilaku academic dishonesty yang luas ini mendorong
mahasiswa menghindari tindakan kecurangan akademis sedapat mungkin. Demikian juga
sebaliknya, persepsi academic dishonesty yang buruk akan sebanding dengan peningkatan
tindakan curang dalam dunia akademis.
Clos (2002) mengemukakan bahwa ketidakjujuran dalam dunia kampus terjadi
juga karena kelalaian kita. Kita masih saja menjalankan kebijakan-kebijakan lama dan
kurang relevan, yang menyebabkan hukuman atas kecurangan tidak bisa tegas ditegakkan.
Ini akan menyebabkan kekaburan padang atas tindakan-tindakan curang dalam dunia
akademis, sehingga kian meluas dan membudaya. Burke (dalam Ercegovac

dan

Richardson Jr., 2004) dalam disertasi doktoralnya melakukan survei pada 724 orang
civitas akademika di kampus, mengkaji persepsi, tanggung jawab, dan tindakan atas
perilaku

academic

dishonesty

menyimpulkan

bahwa

kalangan

fakultas

tidak

mempersepsikan academic dishonesty sebagai persoalan serius. Tidaklah mengherankan


apabila perilaku academic dishonesty tumbuh subur di kampus-kampus kita, dikarenakan

53

54

berbagai peraturan dan kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena
ketiadaan persamaan persepsi pada berbagai kalangan civitas akademika di kampus.
Diungkapkan oleh Harding dkk. (2001) bahwa seluruh peneliti academic
dishonesty menemukan bahwa kecurangan akademis merupakan problem yang telah
meluas pada tingkatan kronis. Sehingga, tidak mengherankan bila mayoritas (85%) siswa
merasa bahwa menyontek merupakan sesuatu hal yang biasa dan wajar dalam hidup ini.
Harding juga memaparkan bahwa 95% siswa yakin bahwa teman-teman mereka
melakukan kecurangan akademis lebih banyak daripada mereka. Keyakinan ini membuat
mereka masih senantiasa melakukan tindakan academic dishonesty.

2. Hubungan Self Efficacy dan Perilaku Academic Dishonesty


Pengujian hipotesis alternatif kedua (Ha2)

dilakukan dengan mencari nilai

koefisien korelasi antara variabel efikasi diri dan perilaku academic dishonesty. Diperoleh
skor koefisien korelasi sebesar -0,060, yang menunjukkan bahwa antara kedua variabel
yang diuji memiliki hubungan linier negatif akan tetapi sangat lemah. Kekurangeratan
hubungan tampak dari nilai p value (sebesar 0,265) yang lebih besar dari dalam
pengujian statistik penelitian ini. Hal ini memberikan makna bahwa apabila mahasiswa
memiliki efikasi diri yang baik, tidak serta-merta berkorelasi dengan perilaku academic
dishonesty yang rendah. Sehubungan hasil pengujian, Ha2 yang diajukan bahwa persepsi
academic dishonesty berhubungan negatif dengan perilaku academic dishonesty tidak
dapat diterima.
Replikasi penelitian yang dilakukan oleh Sujana & Wulan (1994) juga tidak
menemukan hubungan yang positif antara harga diri dengan intensi menyontek, juga tidak
menemukan hubungan antara kecenderungan pusat kendali dengan intensi menyontek.
Pengukuran atas self-image juga komponen maupun turunannya seperti: self
efficacy dan self esteem memang masih memilki kendala, yang terbesar adalah cultural
influence (Robson, 1988). Peneliti telah sedapat mungkin menghindari kelemahan
pengukuran efikasi diri dengan menggunakan instrumen ukur yang telah terstandar dan
teruji secara psikometris untuk beragam budaya sehingga mengurangi keraguan hasil
pengukuran atas efikasi diri dalam penelitian ini. Dengan langkah ini, hubungan yang
54

55

lemah antara efikasi diri dengan perilaku academic dishonesty dapat dipandang bukan
karena kekuatan alat ukur yang kurang.
Penjelasan atas hubungan sangat lemah antara efikasi diri dengan perilaku
academic dishonesty dapat diberikan sebagaimana paparan dan temuan Alarape dan
Onakoya (2002) yang meneliti hubungan antara self-esteemyang serumpun dengan self
efficacy dalam domain self imagedengan perilaku curang dalam dunia akademis.
Dijelaskan bahwa tingginya derajat self esteem individu justru menguatkan tindakannya
bahkan dengan berbohong dan mencontekdalam rangka meraih sukses dan menghindari
kegagalan. Daripada gagal dan menyesali usaha belajar yang kurang maksimal, siswa
dengan self-esteem yang tinggi lebih memilih berbuat curang agar berhasil dalam studinya.
Penelitian Alarape dan Onakoya membuktikan secara empiris hubungan positif yang
siginifikan antara self esteem dengan perilaku academic dishonesty, yang mana temuan ini
konsisten dengan hasil penelitian yang dilakuakn oleh Harper dan Marshal, Downs dan
Rose (lihat Alarape dan Onakoya, 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa siswa
dengan self esteem yang tinggi, karena tingginya keinginan untuk diakui (need for
approval) yang ada akan mendorong mereka berlaku curang dalam dunia akademis
sehingga berhasil dan memperoleh approval dari lingkungannya (Jacobson, Berger, dan
Millham; juga Crown dan Marlow, dalam Alapare dan Okanoya, 2002).
Berdasar pengujian empiris penelitian ini memang dapat ditarik kesimpulan bahwa
tigginya kayakinan atas kemampuan diri untuk melakukan sesuatu tidak berhubungan
dengan rendahnya perilaku curang dalam dunia akademis. Faktor-faktor lain yang
dikemukakan oleh para peneliti dari berbagai penjuru dunia lebih dapat dijadikan prediktor
intensitas perilaku mencontek. Faktor-faktor itu di antaranya: peer effect (Carrel,
Malmstrom, dan West, 2007), obsesi meraih nilai tinggi, dan kebiasaan mencontek di
masa lampau (Lambert, Hogan, dan Barton, 2003).
Pengujian yang dilakukan untuk mengukur hubungan antara efikasi diri dengan
perilaku academic dishonesty dalam penelitian ini memang tidak menunjukkan hubungan
yang kuat antara kedua variabel yang diuji, akan tetapi masih dapat mendukung temuantemuan lain atas tingginya angka perilaku academic dishonesty.
3. Perilaku Academic Dishonesty pada jenis kelamin berbeda, tingkat semester,
dan hubungannya dengan indeks Prestasi
55

56

Temuan dalam peenlitian ini senada dengan penelitian lain. Hogan dan Jaska
(2000) menemukan perbedaan perilaku academic dishonesty, di mana mahasiswa tingkat
atas memiliki kuantitas lebih banyak dalam melakukan kecurangan akademis. Penelitian
Hogan dan Jaska (2000) juga menyebutkan bahwa tindakan curang dalam dunia akademis
juga terjadi merata dan tidak berbeda pada berbagai tinkat indeks prestasi, dan
menemukan laki-laki lebih banyak melakukan kecurangan dibandingkan perempuan.
Pembuktian secara statistik juga dilakukan oleh Bates dan Davies (2004), yang
menemukan bahwa ada perbedaan signifikan perilaku menyontek di kalangan laki-laki
dengan perempuan, yang mana laki-laki memiliki kecurangan akademis lebih tinggi
daripada perempuan.
Keterbatasan dalam penelitian yang telah dilakukan adalah populasi target dalam
penelitian ini baru sebatas mahasiswa pada Program Studi Psikologi dan baru dalam
lingkup lokal satu kota saja. Penelitian ini belum mampu menjangkau mahasiswa dari
semua jurusan dan lingkup area penelitian yang lebih luas lagi. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan waktu dan biaya yang ada pada peneliti.
J. Daftar Pustaka
1. Adkins, Joni, Cindy Kenkel, Chi Lo Lim. 2006. Deterrents to Online Academic Dishonesty.
2. Akung, Achmad. 2005. Ijazah Palsu dan Pendidikan Kita. Tersedia dalam
http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/05/opi3.htm
3. Alapare, A.I. dan Onakoya, A.Y. 2002. Correlates of Examination Cheating
Behaviour Among University Students. Department of Psychology Universityy of
Obadan, Nigeria.
4. Alhadza, Abdullah. 2004. Masalah Menyontek (Cheating) Di Dunia Pendidikan. Tersedia
dalam http://www.bsi.ac.id/modules.php
5. Allhouse, Ben. Dkk. 1999. The Influence of Peer Pressure on the Reporting of
Academic Dishonesty in a Survey. Report of Collaborative Study at University of
north Carolina at Chapel Hill Part IV.
6. Arief T.Q., Muchammad. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Klaten: CSGF (The Community of Self Help Group Forum).
7. Atkinson, Rita L., dkk. 1983. Introduction to Psychology ed.terjemahan Pengantar Psikologi.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
8. Austin, Zubin., David Collins, Alfred Remillard, Sheila Kelcher, dan Sthephanie Chuia.
2006. Influence of Attitudes Toward Curriculum on dishonest Academic Behavior.
American Journal of Pharmaceutical Education Vol.70 (3): 50-June 2006.
9. Bandura, Albert. 1986. Self-Efficacy Beliefs In Human Functioning. Tersedia dalam
http://www.des.emory.edu/mfp/self-efficacy.html.
10. Bandura, Albert. 1994. Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of
human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press.(Reprinted in H.
Friedman [Ed.], Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press, 1998).
11. Bates, I.P. dan Davis, J.P. 2004. Studying Academic Dishonesty. Paper in
Educational Development University Of London.

56

57

12. Bjorklund, Mikela & Wenestam, Claes Goran. 2000. Academic Cheating:
Frequency, Methods, and Causes. Paper presented at the European Conference on
Educational Research, lahti, finland 22-25 September 1999.
13. Born, Aristi., Ralf Schwarzer & Matthias Jerusalem. 1995. Indonesian Adaptation of
General
Perceived
Self-Efficacy
Scale.
Tersedia
dalam
http://userpage.fuberlin.de/~health/welcome.html
14. Carrel, Scott E., Frederick V. Malmstrom, dan James E. West. 2007. Peer Effects in
Academic Cheating. Paper presented on NBER Higher Education meetings, the
Dartmouth College seminar and the Western Economic Association annual meetings.
15. Clos, Karen L. 2002. When Academic Dishonesty Happens on Your Campus.
Innovation Abstract November 8, 2002, Vol. XXIV, No. 26, The University of Texas at
Austin.
16. Direzkia, Yulia. 2006. Antara Cheating dan White Crimers. Tersedia dalam
http://www.acehinstitute.org/opini_yulia.htm
17. Ercegovac, Zorana., dan John V. Richardson Jr. 2004. Academic Dishonesty,
Plagiarism Included, in the Digital Age: A Literature Review. College and Research
Library, University of California, Los Angles.
18. Guilford, J.P. dan Benjamin Fruchter. 1978. Fundamental Statistics in Psychology and
Education. Tokyo: McGraw-Hill-Inc.
19. Harding, Trevor S., Donald D. Carpenter, Susan M. Montgomery, Nicholas H. Steneck.
2001. The Current State of Research on Academic Dishonesty Among Engineering
Students. Presented at 31st ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference, October 1013, 2001.
20. Hartono, Jogiyanto. (2004). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan
Pengalaman-pengalaman. Yogyakarta: BPFE UGM.
21. Hogan, Patrick T., dan Patrick V. Jaska. 2000. Academic Dishonesty: A Study of CIS
Student Cheating Behavior. Journal of Infoffilation Systems Education Vol. 11 (3-4).
22. Hoy, Anita Woolfolk. 2004. Self-Efficacy in College Teaching. Essays on Teaching
Excellence Toward the Best in the Academy Vol. 15, No. 7, 2003-2004. tersedia dalam
http://gozips.uakron.edu/~mcgurk/number7.htm
23. Jerusalem, Matthias. Dan Ralf Schwarzer. 1981. General Perceived Self Efficacy Scale
(GSE). Tersedia dalam http://userpage.fu-berlin.de/~health/ welcome.html
24. Lambert, Eric G., Nancy Lynne Hogan, Shannon M. Barton. 2003. Collegiate
Academic Dishonesty Revisited: What Have They Done, How Often Have They Done It,
Who Does It, And Why Did They Do It?. Electronic Journal of Sociology Vol 7.4.
tersedia dalam http://www.sociology.org/content/vol7.4 /lambert_etal.html.
25.McCabe, Donald L. 2000. New Research on Academic Integrity: The Success of
Modified Honor Codes. Issue of Synfax Weekly Report. Tersedia dalam
http://www.collegepubs.com.
26. Myers, D.G. 1996. Social Psychology. USA: McGraw-Hill Inc.
27. Newcastle University. 2004. Student Academic Dishonesty Procedure. Newcastle University
Australia.
28. nn. 2005. Buku Pedoman Akademik dan Non Akademik Program Doktor
Unviersitas Gajdah Mada. Yogyakarta: Program Magister Sains & Doktor Ilmu-ilmu
Ekonomi UGM.
29. Nonis, Sarath dan Swift, Cathy Owens. 2001. An Examination of The
Relationship between Academic Dishonesty and Workplace Dishonesty: a Multicampus
Investigation. Journal of Education for Business; Nov-Des.2001; 77,2.
30. Petress, Kenneth C. 2003. Academic Dishonesty: A Plageu On Our Profession. Working
Paper of University of Maine at Presque Isle.

57

58

31. Pajares, Frank dan Dale H. Schunk. 2001. Self-Beliefs and School Success: Self- Efficacy,
Self-Concept, and School Achievement. Chapter in R. Riding & S. Rayner
(eds.).
London:
Ablex
Publishing.
Tersedia
dalam
http://www.des.emory.edu/mfp/self-efficacy.html.
32. Rabi, Suzanne M., Lynn R. Patton, Nancy Fjortoft, dan David P. Zgarrick. 2006.
Characteristics, Prevalence, Attitudes, and Perceptions of Academic Dishonesty
Among
Pharmacy Students.
American
Journal
of Pharmaceutical Education
Vol. 70 (4)-2006.
33. Robson, P.J. 1988. Self EsteemA Psychiatric View. Dipublikasikan dalam British
Journal of Psychiatry, 153, 6-15.
34. Setyawan, Anton Agus. 2002. Validitas dan Reliabilitas. Termuat dalam Komputer
Statistika, Laboratorium Manajemen FE UMS.
35.Sujana, Y.E. & Wulan, Ratna. 1994. Hubungan antara Kecenderungan Pusat Kendali
dengan Intensi Menyontek. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, No. 2, 1-8.
36. Suwardjono. 2005. Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi: Redefinisi Makna Kuliah.
Working Paper Universitas Gadjah Mada.

58

You might also like