You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN
Rongga thorak dibatasi dengan rongga abdomen oleh diafragma. Rongga thorak dapat
dibagi ke dalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum.
Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior. Mediastinum
terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-organ penting
thorak selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena cavae, esofagus,
trakhea, dll.).
Thoracic inlet merupakan pintu masuk rongga thorak yang disusun oleh: permukaan
ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan (lateral), serta
manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi sehingga bagian anterior
terletak lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium sterni terletak kira-kira setinggi
vertebra torakal II. Batas bawah rongga thorak atau thoracic outlet (pintu keluar thorak)
adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebra torakal XII, lateral oleh batas bawah iga
dan anterior oleh processus xiphoideus.
Diafragma sebagai pembatas rongga thorak dan rongga abdomen, memiliki bentuk
seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen
sebenarnya terletak di dalam area thorak.
Trauma paru merupakan komponen yang penting dalam trauma thorak. Cidera thorak
memberikan impak medis dan social yang besar, dengan kontribusi terhadap trauma yang
menyebabkan kematian kira-kira 25% dan menyumbang secara signifikan sebanyak 25% dari
seluruh penyebab kematian.
Trauma thorak merupakan penyebab utama kematian, cacat, rawat inap, pertambahan
golongan kurang upaya pada masyarakat di amerika dari umur 1 tahun sehingga umur
pertengahan decade 50 tahun. Sehingga kini, trauma merupakan masalah besar kesehatan
tingkat nasional.

BAB II
ISI
I. ANATOMI THORAK
Dada berisi organ vital paru dan jantung. Pernapasan berlangsung dengan bantuan
gerak dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan
mengempis tergantung mengembang atau mengecilnya rongga dada. Inspirasi terjadi karena
kontraksi otot pernafasan, yaitu m.interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga
dada membesar dan rongga paru mengembang sehingga udara dapat terhisap masuk ke
alveolus melalui trachea dan bronkus.
Toraks adalah daerah pada tubuh manusia yang berada di antara leher dan perut
(abdomen). Toraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh thoracic
inlet dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah dinding toraks yang disusun
oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan ikat.
Sedangkan rongga toraks dibatasi oleh diafragma dengan rongga abdomen. Rongga
Toraks dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan
mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior.
Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organorgan penting toraks selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena cavae,
esofagus, trakhea, dll.).
Thoracic inlet merupakan "pintu masuk" rongga toraks yang disusun oleh:
permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan
(lateral), serta manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi sehingga
bagian anterior terletak lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium sterni terletak
kira-kira setinggi vertebra torakal II.
Batas bawah rongga toraks atau thoracic outlet (pintu keluar toraks) adalah area yang
dibatasi oleh sisi ventral vertebra torakal XII, lateral oleh batas bawah iga dan anterior oleh
processus xiphoideus.
Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan rongga abdomen, memiliki bentuk
seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen
sebenarnya terletak di dalam "area" toraks.

Gambar 1 : Gambaran Toraks anterior


Struktur Dinding Toraks
1. Sternum
Pada garis tengah dibagian anterior terletak sternum yang terdiri dari 3 bagian,
manubrium sterni, korpus sterni, dan prosesus xiphoideus. Titik paling atas sternum
dikenal sebagai sternal notch atau insisura jugularis, yang tampak berupa lekukan
antara kedua kaput klavikula. Insisura ini setinggi batas bawah dari vertebra torakal
ke-2.
Manubrium sterni merupakan bagian atas sternum masing-masing sisinya bersendi
dengan clavicula, cartilgines costales 1 dan bagian atas cartilagines costales II.
Manubrium sterni terletak berhadapan dengan vertebra thoracica III dan IV.
Bagian atas corpus sterni bersendi dengan manubrium sterni melalui sebuah
juncture fibrocartilaginea yang disebut symphisis xiphosternalis. Bagian bawah ,
corpus sterni beresendi dengan processus xiphoideus pada symphisis xiphosternalis.
Pada setiap sisi terdapat lekukan-lekukan untuk bersendi dengan bagian bawah
cartilagines costales II dan cartilagines costales III sampai IV. Cartilagines costales IIIV bersendi dengan sternum melalui juncture synovialis.

Gambar 2 : Permukaan anterior sternum


Angulus sternalis (ludovixci)

adalah tonjolan yang terjadi oleh karena

pertemuan bagian korpus dan manubrium sterni yang membentuk sudut. Sudut ini
tampak nyata pada orang yang kurus. Angulus sternalis (ludovici) adalah penanda
anatomi permukaan oleh karena terletak setinggi iga ke-2 dan vertebra torakal 4-5.
Setinggi angulus ini terdapat organ-organ penting: arkus aorta dan karina.
Bagian terakhir sternum adalah processus xiphoideus yang dapat diraba
sebagai ujung bawah yang lunak dari sternum; kira-kira setinggi vertebra torakal 9.
Lateral terhadap sternal terdapat iga dan sela iga yang dapat dibedakan dan
dihitung melalui palpasi. Hampir seluruh iga tertutup oleh otot, tetapi hanya iga I
yang tidak dapat teraba oleh karena tertutup oleh klavikula. Batas bawah rongga iga di
sebelah anterior dibentuk oleh processus xiphoideus, rawan kartilago dari iga VII-X,
dan ujung kartilago dari iga XI-XII.
2. Cartilagines Costae
Rangka toraks terluas adalah iga-iga (costae) yang merupakan tulang jenis
osteokartilaginosa. Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter

penampang yang lebih kecil pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah bawah.
Di bagian posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih memipih.
Terdapat 12 pasang costae yang melekat pada vertebrae thoracica. 7 costae
pertama melekat pada vertebra yang bersesuaian, dan di sebelah anterior ke sternum
melalui cartilagines costales. Iga VIII-X merupakan iga palsu (false rib) yang melekat
di anterior ke rawan kartilago iga diatasnya, dan 2 iga terakhir merupakan iga yang
melayang karena tidak berartikulasi di sebelah anterior.

Gambar 3 : Costae dan toraks anterior


Setiap iga terdiri dari caput (head), collum (neck), tuberculum, corpus (shaft)
dan angulus costae. Dan memiliki 2 ujung : permukaan artikulasi vertebral dan
sternal. Tempat untuk bersendi dengan corpus vertebrae yang nomornya sama dan
dengan vertebra yang terletak diatasnya.

Gambar 4 : Costae
Bagian posterior iga kasar dan terdapat foramen-foramen kecil. Sedangkan
bagian anterior lebih rata dan halus. Tepi superior iga terdapat krista kasar tempat
melekatnya ligamentum costotransversus anterior, sedangkan tepi inferior lebih bulat
dan halus.
Pada daerah pertemuan collum dan corpus di bagian posterior iga terdapat
tuberculum. Tuberculum terbagi menjadi bagian artikulasi dan non artikulasi.
Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan (eksternal
dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan eksternal cembung
(convex) dan halus; permukaan internal cekung (concave) dengan sudut mengarah ke
superior.
Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove, tempat
berjalannya arteri-vena-nervus interkostal.
Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat
melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. M.scalenus anterior melekat
di bagian anterior permukaan internal iga I (tuberculum scalenus), dan merupakan
pemisah antara plexus brachialis di sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah
medial dari otot tersebut.
Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis
externus dan internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia

transversalis, dan kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan
vena di bagian dorsal berjalan di tengah sela iga (lokasi untuk melakukan anesteri
blok), kemudian ke anterior makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan
berurutan dari atas ke bawah vena, arteri dan syaraf (VAN). Mulai garis aksilaris
anterior pembuluh darah dan syaraf bercabang dua dan berjalan di bawah dan di atas
iga. Di anterior garis ini kemungkinan cedera pembuluh interkostalis meningkat pada
tindakan pemasangan WSD.
3. Otot dinding toraks
Gambar 5 : Musculus dinding toraks

o Serratus posterior superior:


Berfungsi untuk elevasi rusuk,
Origo: prosesus spinosum C7-T3
Insersi: batas superior rusuk ke 2 dan 4
o Serratus posterior inferior
Berfungsi untuk depresi rusuk
Origo: prosesus spinosum T11- S2
Insersi: batas inferior rusuk 8 dan 12 dekat sudutnya
o Levator costarum
Berfungsi untuk elevasi rusuk
Origo: prosesus transversum T7-T11
Insersi: rusuk dibawahnya antara tuberkel dan sudut
o Transverse thoracic
Berfungsi untuk depresi rusuk (lemah)
Origo: permukaan posterior sternum bawah
Insersi: permukaan internal kartilago kosta 2-6
o External intercostal
Berfungsi untuk elevasi rusuk saat forced inspiration
Origo: batas inferior rusuk

Insersi: batas superior rusuk dibawahnya


o Internal intercostal dan innermost intercostal
Berfungsi untuk depresi rusuk (interosseous) dan elevasi
rusuk (interchondral) saat respirasi aktif (forced)
Origo dan insersi sama dengan external intercostal
o Subcostal
Kemungkinan berfungsi sama seperti internal intercostal
Origo: permukaan internal rusuk bawah dekat dengan

sudutnya
Insersi: permukaan superior rusuk 2 dan 3 dibawahnya.

4. Diagfragma
o Merupakan shared wall (sebenarnya atap/lantai) yang memisahkan
toraks dan abdomen.
o Fungsi vitalnya adalah otot utama saat inspirasi
5. Inervasi dinding toraks
o Terdapat 12 pasang saraf spinal torakalis yang menginervasi.
o Setelah keluar dari foramen IV, saraf spinalis torakal terbagi
menjadi anterior dan posterior primary rami
o Anterior rami saraf T1-T11 membentuk saraf intercostal yang
berjalan sepanjang celah intercostal. Anterior ramus T12 saraf
subcostal
o Posterior rami berjalan kearah posterior melewati lateral dari
prosesus artikulare dari vertebra untuk mensuplai sendi, otot, dan
kulit pada punggung di bagian torakal.

6. Vaskularisasi dinding toraks


o Pola vaskularisasi sesuai dengan struktur rangka toraks, yaitu
berjalan di celah intercostal dan parallel terhadap rusuk.
o Arteri:
Thoracic aorta, melalui posterior intercostal dan subcostal
Subclavian artery, melalui internal thoracic dan supreme
intercostal arteries
Axillary artery, melalui superior dan lateral thoracic arteries
o Vena:
Vena intercostal berjalan bersama arteri
dan saraf
intercostal dan terletak paling superior dari costal grooves.

Terdapat 11 vena intercostal posterior dan 1 vena subcostal


ditiap sisinya. Vena intercostal posterior bernastomosis

dengan vena intercostal anterior.


Hampir seluruh vena intercostal posterior berakhir di
azygous/hemiazygous venous system yang akan membawa

darah ke SVC.
Vena intercostal anterior berakhir di internal thoracic vein, dan
dibawa

ke

vena

subklavian

dan

menuju

SVC.

Gambar 6 : Vena Intercostalis

Gambar 7 : Arteri Subclavicula

Papilla mammae pada pria yang kurus berada di sekitar sela iga V kiri sedikit
lateras garis mid-klavikula.Triangulus auskultatorius adalah area segitiga yang
dibentuk oleh skapula di lateral, superior oleh batas inferior m.trapezius dan inferior
oleh batas superior m. latissimus dorsi yang terjadi saat skapula tertarik ke lateralanterior pada posis lengan melipat ke depan dada dan ke depan. Area ini merupakan
petunjuk klinis penting karena sela-sela iga di tempat ini hanya tertutup oleh jaringan
sub-kutan dan merupakan tempat yang baik untuk pemeriksaan auskultasi toraks.
Klavikula dapat dengan mudah diraba atau dilihat karena hanya ditutupi oleh
subkutis dan kulit.Skapula dapat diraba dari permukaan dengan margo vertebralis,
angulus inferior, dan spina.
Untuk vertebra, sebagai patokan hanya dapat diraba prosesus spinosus
vertebra; pada bagian atas yang terbesar dan paling menonjol adalah vertebra
servikalis ke-7 dan dibawahnya adalah vertebra torakalis pertama.
Garis-garis (imajiner) yang penting adalah linea midsternalis (midline), linea
parasternalis, dan midklavikularis. Di toraks lateral ada garis aksilaris anterior (sesuai
sisi lateral M.pektoralis mayor), linea aksilaris medius (sesuai dengan puncak aksila)
dan linea aksilaris posterior (sesuai dengan M.latissimus dorsi)
Biasanya otot yang diinsisi pada waktu melakukan torakotomi posterolateral
hanya otot latissimus dorsi. Bila diinginkan lebih lebar: ke posterior dapat dipotong
muskulus trapezius dan rhomboideus mayor dan minor; ke anterior dapat dipotong
muskulus seratus anterior di origonya (bagian depan otot) untuk menghidari
kerusakan nervus torakalis longus.Untuk torakotomi anterior dilakukan pemotongan
dari M.pektoralis
Area Pre-cordial adalah area proyeksi dari jantung ke dinding dada anterior, yaitu
daerah dengan :

Batas superior: iga II kiri

Batas inferior : pinggir bawah toraks (iga) kiri

Batas kanan : garis parasternal kanan

10

Batas kiri : garis mid-klavikula kiri

II. DEFINISI
Trauma thorak adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorak yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorak ataupun isi dari cavum thorak
yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan
keadaan gawat thorak akut. Trauma thorak atau cedera dada dapat menyebabkan
kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya
termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada).
III. EPIDEMIOLOGI
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorak adalah 10 %, dimana
trauma thorak menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di
Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorak dan hanya 15 30
% dari trauma tembus thorak yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas
kasus trauma thorak dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma
thorak.
IV. ETIOLOGI
- Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada
- Penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan
- Penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
- Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh
vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.
- Tusukan paru dengan prosedur invasif.
- Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat.
- Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
- Fraktur tulang iga
- Tindakan medis (operasi)
- Pukulan daerah torak

11

V. KLASIFIKASI

Trauma Tembus
o

Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat

penyebab trauma. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau
peluru. Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
1.

Pneumothorak terbuka

2.

Hemothorak

3.

Trauma tracheobronkial

4.

Contusio Paru

5.

Ruptur diafragma

6.

Trauma Mediastinal

Trauma Tumpul
o

Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks. Terutama akibat kecelakaan

lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan tersering


akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. Sekitar <10% yang
memerlukan operasi torakotomi
1.

Tension pneumothorak

2.

Trauma tracheobronkhial

3.

Flail Chest

4.

Ruptur diafragma

5.

Trauma mediastinal

6.

Fraktur kosta

VI. PATOFISIOLOGI
Akibat dari trauma thorak atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi
(keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil
pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik
(sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai
O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan.
Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap
cytokines yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome

12

(ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia,


hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorak. Hipokasia jaringan
merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh
karena hipovolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch
( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan
intrathorak ( contoh : tension pneumothorak, pneumothorak terbuka ). Hiperkarbia
lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan
intrathorak atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh
hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
VII. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAK
A. Trauma dinding thorak dan paru
1. Fraktur Iga
Merupakan komponen dari dinding thorak yang paling sering mengalami
trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat
terbidainya iga terhadap dinding thorak secara keseluruhan menyebabkan gangguan
ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan
insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya
penyakit paru paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh
benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada
fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga
ke 4 sampai ke 9 ).
Kompresi anteroposterior dari rongga thorak akan menyebabkan lengkung iga
akan lebih melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik
tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan
fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan
potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti pneumothorak. Patah tulang iga
terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai adanya cedera hepar atau lien.
Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi
dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga fraktur iga. Foto
Thorak harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan

13

bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal
merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar
penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi
sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.
2. Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada
dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada.
Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada
tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan
Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru).
Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari
dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma
jaringan parunya.

Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan
lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi

14

costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya
hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen
yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian
cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan
pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan
sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran
yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa
oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki
ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan
hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi
perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi
pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi
pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan
memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
3. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan
potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan
berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana
penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus
ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang.
Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara
ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada
jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru
kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan
ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara
selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse

15

oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat
bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita
memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih
dahulu.
4. Pneumothorak Sederhana
Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura
viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama
dengan

pneumotoraks.

Laserasi

paru

merupakan

penyebab

tersering

dari

pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi
oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya
tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga
pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi
karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan
pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan
diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks
hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah
selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap,
dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru.
Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan
pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai
resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai
dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension
pneumothorak, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan
positif

diberikan.

Toraks

penderita

harus

dikompresi

sebelum

penderita

ditransportasi/rujuk.
5. Pneumothorak terbuka ( Sucking chest wound )

16

Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter
trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai
tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi
terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter
Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah
kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada
yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan
terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension
pneumothorak kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara
yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga
penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan
luka.
6. Tension Pneumothorak
Tension pneumorothorak berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk
ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara
yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di
intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi
berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return),
serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorak adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan
kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorak dapat timbul sebagai
komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam
dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada

17

pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorak, jika
salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings)
yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorak
juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran
(displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan
tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension
pneumothorak ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi,
hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher.
Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension
pneumothorak dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya
tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang
terkena pada tension pneumothorak dapat membedakan keduanya.
Tension pneumothorak membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan
awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorak menjadi pneumothorak sederhana (catatan :
kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi
ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang
dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan
midaxilaris.
7. Hemothorak
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma
tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat
menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat
pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar.

18

Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura,


mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat
dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan
juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur
diafragma traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang
dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara
cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200
ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus
menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
8. Hemothorak Masif
Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc
di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat
disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher
dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan
distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorak. Jarang terjadi efek mekanik
dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mediastinum sehingga
menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan
dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi
dada yang mengalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan
kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan
golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam
penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus,
sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anterior
dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita
mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika
pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut

19

membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang
keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga
mamebutuhkan torakotomi.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus
sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita
tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk
toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus
ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya
torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan
luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa
kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh
darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman
dan sudah mendapat latihan.

9. Cedera trakea dan Bronkus


Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis
bermakna, hemopneumothorak, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Emfisema
mediastinal dan servical dalam atau pneumothorak dengan kebocoran udara masif.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol
endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah,
pada torakostomi diperlukan untuk hemothorak atau pneumothorak.
B. Trauma Jantung dan Aorta
1. Tamponade Jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian,
trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung,
pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri

20

dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang
terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu
pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml
sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik.
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya
Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan
suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang
gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan
penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia.
Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10
mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda
pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang
gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorak, terutama sisi kiri,
maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung.
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah
kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya
temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension
pneumothorak harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat
membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai
keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif
yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma
tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen,
yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak
menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila
penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan
mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh
diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.

21

Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan


perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita
yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk
melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif
lain,

adalah

melakukan

operasi

jendela

perikad

atau

torakotomi

dengan

perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di
ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian
cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac
output

untuk

sementara,

sambil

melakukan

persiapan

untuk

tindakan

perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated


needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam
keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard.
Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan
voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium)
atau terjadinya disritmia.
2. Kontusio Miocard
Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar
jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin
bervariasi dari petekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia
merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim
CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan
perubahan gelombang T ST yang non spesifik atau disritmia.
3. Trauma Tumpul Jantung
Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur
atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan
tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan
gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan
kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut
juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga.

22

Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang
mengalami trauma.
Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran
yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada
pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan
kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur
yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle
branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST
yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak
ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat
kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin
dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard
yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko
terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval
tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.

4. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)


Ruptur aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera setelah
kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang
selamat, sesampainya di rumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila
ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi. Penderita dengan
ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), baisanya laserasi yang terjadi tidak
total dan dekat dengan ligamentum arteriosum.
Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lapisan adventitia yang masih utuh
atau adanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera.
Walaupun ada darah yang lolos ke dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini
adalah suatu hematoma yang belum pecah. Hipotensi menetap atau berulang akan
ditemukan sedangkan perdarahan di tempat lain tidak ada. Bila rupture aorta berupa
transeksi aorta, maka perdarahann yang terjadi masuk ke dalam rongga pleura dan

23

menyebabkan hipotensi biasanya berakibat fatal dan penderita harus dilakukan


operasi dalam hitungan menit.
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun adanya
kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temuan
radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis.
Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan foto thorak, terutama
pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran
mediastinum pada foto thorak dan diberlakukan kriteria indikasi agresif untuk
pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar 3%.
Angiografi

merupakan

pemeriksaan

gold

standard

tetapi

Transesofageal

Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat


digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras saat ini
merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.
C. Manifestasi Cedera Thorak Lain
1. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau
yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab
timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi tekanan
positif , pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi
yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembangnya tension
pneumothorak.
2. Crushing Injury to The Chest (Traumatic Asphyxia)
Tergencetnya thorak akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara
terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang meliputi
badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan edema otak.
Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.
VIII. TATALAKSANA

24

Penanganan cedera toraks


I.

Toraksosentesis Jarum

Gamabr 12 : Cara dalam torakosintesis jarum

Indikasi di lakukan toraksosentesis jarum adalah penderita tension pneumotoraks.


Sedangkan jika toraksosentesis jarum di lakukan pada penderita bukan tension
pneumotoraks, maka dapat terjadi pneumotoraks dan/atau kerusakan pada parenkim
paru. Adapun langkah langkah pelaksanaan toraksosentesis jarum, yaitu :

Identifikasi toraks penderita dan status respirasi

Memberikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan

Menidentifikasi sela iga II di linea midklavikula di sisi tension pneumotoraks

Asepsis dan antisepsis dada

Penderita di anastesi local

Penderita dalam posisi tegak, apabila tidak terdapat fraktur servikal

Luer lok di ujung distal kateter dipertahankan, insersi jarum kateter (panjang
3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat diatas sela iga ke dalam sela iga.

Pleura parietal ditusuk

Memidahkan luer-lok dari kateter dan mendengarkan keluarnya udara ketika


jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumotoraks telah
teratasi.

25

Memindahkan jarum dengan mengganti luer lok di ujung distal kateter.


Kateter plastik ditinggalkan pda tempatnya dan di tutup dengan plester atau
kain kecil.

Chest tube disiapkapkan dan dipasang setinggi puting susu anterior linea
midaksilaris pada hemitoraks yang terkena.

Menghubungkan chest tube ke WSD atau katup tipe flutter dan kateter yang
digunakan di cabut, untuk dekompresi tension pneumotoraks.

Melakukan foto ronsen toraks.

Komplikasi toraksosentesis jarum dapat berupa hematom lokal, infeksi pleura,


empiema dan pneumotoraks.
II.

Torakotomi
Torakotomi dapat dilakukan pada penderita dengan luka tembus dan trauma

tumpul pada toraks. Pada tindakan terapi efektif yang dapatdilakukan selama
torakotomi adalah :

Evakuasi darah di perikard yang menyebabkan tamponade jantung

Mengontrol secara langsung sumber perdarahan pada perdarahan intratoraks

Pijatan jantung terbuka

Mengklem silang aorta descendens

Hal-hal diatas tidak efektif hasilnya, apabila dilakukan pada penderita yang
mengalami henti jantung setelah trauma tumpul. Indikasi pelaksaan torakotomi :

Penderita yang kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam
waktu 2-4 jam

Penderita yang sejak awal sudah kehilangan darah 1500 ml

Pada awalnya penderita kehilangan darah kurang dari 1500 ml, tetapi
perdarahan masih berlangsung.

Kontraindikasi torakotomi adalah luka tembus toraks di daerah anterior, medial


dari garis puting susu atau luka di daerah posterior dan medial skapula. Hal ini

26

dikarenakan pembuluh darah besar, struktur hilus terluka oleh trauma atau jantung
yang potensial menjadi tamponade jantung.
III.

Insersi Chest Tube


a) Resusitasi cairan melalui paling sedikit satu kateter vena kaliber besar, dan
monitor tanda-tanda vital harus dilakukan
b) Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi putting (sela iga V) anterior linea
midaksilaris pada area yang terkena.
c) Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain.
d) Anestesi lokal kulit dan periosteum iga.
e) Insisi transversal 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan dan diseksi tumpul
melalui jaringan subkutan, tepat di atas iga
f) Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat
insisi untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekata,
bekuan darah, dan lain-lain.
g) Klem ujung proksimal tube toraksostomi dan dorong tube ke dalam
ronggapleura sesuai panjang yang diinginkan.
h) Cari adanya fogging pada chest tube pada saat ekspirsi atau dengar aliran
udara
i) Sambung ujung tube toraksostomi ke WSD
j) Jahit tube ditempatnya
k) Tutup dengan kain/kassa dan plester
l) Buat foro rontgen toraks
m) Pemeriksaan analisa gas darah sesuai kebutuhan

Komplikasi

27

Laserasi atau menusuk intratoraks/atau organ abdomen yang dapat dicegah


dengan tekhnik jari sebelum melakukan insersi

Infeksi pleura (empiema)

Kerusakan saraf intrakostal, arteri, vena

Posisi tube yang keliru, ekstratoraks/intratoraks

Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan WSD

Pneumotoraks persisten

Emfisema subkutis

Pneumotoraks rekuren sesudah pencabutan tube; penutupan luka toraksostomi


tidak segera dilakukan

Gagalnya paru untuk mengembang akibat adanya plak bronkus, perlu


bronkoskopi

IV.

Reaksi anafilaktik atau alergi obat anestesi atau persiapan bedah.


Perikardiosentesis

Monitor tanda vital penderita, CVP, dan EKG sebelum dan sesudah prosedur

Persiapan bedah pada area xiphoid dan subxiphoid

Anestesi lokal di tempat pungsi jika perlu

Gunakan #16-#18 gauge, 6 inchi(15 cm) atau kateter jarum yang lebih
panjang, terpasang pada tabung jarum yang kosong 35 ml dengan 3 way
stopcock

Identifikasi adanya pergeseran mediastinum yang menggeser jantung secara


bermakna

Tusuk kulit 1-2 cm inferior xiphokondrial junction kiri, dengan sudut 45


derajat

Dorong jarum secara hati-hati ke arah sefalad dan ditujukan ke ujung scapula
kir

Jika jarum yang didorong terlalu jauh (ke otot ventricular) pola cedera
(misalnya,

perubahan

ekstrim

gelombang

ST-T

atau

melebar

dan

membesarnya kompleks QRS) muncul pada monitor EKG. Pola ini


mengindikasikan jarum perikardiosentesis harus ditarik sampai pola EKG

28

sebelumnya muncul kembali. Kontraksi ventricular premature dapat pula


terjadi, sekunder terhadap iritasi pada miokard ventrikel.

Ketika ujung jarum memasuki perikard yang terisi darah, hisap sebnyak
mungkin

Selama aspirasi, epikardium kembali mendekat dengan permukaan dalam


perikard, juga mendekati ujung jarum. Akibatnya pola cedera pada EKG
muncul kembali. Hal ini menandakan jarum perikardiosentesis harus ditarik
sedikit. Jika pola cedera ini persisten, tarik seluruh jarum

Sesudah aspirasi selesai cabut tabung jarum, dan sambungkan ke 3 way


stopcock, tinggalkan stopcock tertutup. Pertahankan posisi kateter di
tempatnya.

Jika gejala tamponade jantung persisten, buka stopcock dan perikard diaspirasi
ulang. Jarum plastic perikardiosentesis dapat dijahit atau diplester dan ditutp
dengan

kain/kassa

kecil

untuk

memungkinkan

dilakukandekompresi

berulangatau pada saat pemindahan penderita ke fasilitas medis yang lain.


Komplikasi

Aspirasi darah ventrikel dan bukan darah pericardium

Laserasi ventrikel epikard/miokard

Laserasi arteri/vena coroner

Hemoperikardium baru, sekunder terhadap laserasi arteri/vena koroner, dan


atau ventrikel epikrd/miokard

Fibrilasi ventrikel

Pneumotoraks, sekunder terhadap pungsi paru

Penusukan pembuluh darah besar dengan akibat memburuknya temponade


jantung

Penusukan esophagus dengan akibat mediastinitis

Penusukan peritoneum dengan akibat peritonitis, atau aspirasi cairan yang


false positive

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Komisi Trauma IKABI.2004. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Jakarta :
Komisi Trauma IKABI.
2. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim.2004.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Snell R. 2006.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 6.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

30

4.

Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Prosesproses Penyakit. Ed.6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

31

You might also like