Professional Documents
Culture Documents
1.
Inflasi inti terkendali sejalan dengan penguatan nilai tukar Rupiah. Inflasi inti pada Februari 2014
mencapai 0,37% (mtm) atau 4,57% (yoy), meningkat tipis dibandingkan bulan lalu sebesar 4,53% (yoy).
i. Tekanan faktor eksternal relatif meningkat didorong oleh transmisi dampak passthrough nilai tukar
Rupiah ke harga jual yang sempat tertahan di tahun 2013 dan peningkatan harga global. Hal ini
tercermin dari perkembangan inflasi inti traded yang meningkat dari 3,4% (yoy) menjadi 3,7% (yoy).
Peningkatan tersebut terlihat pada barangbarang dengan import content yang tinggi seperti alat
elektronik. Meskipun demikian, penguatan nilai tukar Rupiah yang cukup signifikan pada Februari
mampu meredam transmisi akibat pelemahan Rupiah tahun lalu sekaligus memitigasi tekanan inflasi
dari jalur harga global.1
ii. Beberapa indikator tekanan pemintaan seperti pertumbuhan penjualan riil dan kredit konsumsi masih
dalam tren yang melambat. Sejalan dengan itu, respon sisi penawaran juga masih relatif stabil, seperti
yang tercermin pada stabilnya kapasitas terpakai di kisaran 70%.
iii. Ekspektasi inflasi masih terkendali yang tercermin dari consensus forecast triwulan pada akhir 2014
berada pada kisaran sasaran inflasi. Hal yang perlu dicermati terkait ekspektasi jangka pendek di pasar
barang yang masih cenderung tinggi, walaupun untuk jangka waktu yang lebih panjang cenderung
Rupiah secara rata rata bulanan terapresiasi signifikan sebesar 2,02% (mtm) dari Rp12.160 menjadi Rp11.919.
Analisis Inflasi
Edisi 4 Maret 2014
membaik. Kenaikan harga bahan baku dan kondisi cuaca yang kurang baik menjadi faktor utama
peningkatan tekanan harga 3 bulan ke depan.
%, yoy
IHK
10.0
9.0
8.6
7.7
8.0
6.0
5.3
5.7
II
7.2
4.7
4.9
4.9
5.1
III
IV
II
4.0
2.0
0.0
III
IV
II
2013
2014
2015
2.
Koreksi harga di aneka bumbu dan daging ayam memicu rendahnya inflasi volatile food. Inflasi volatile
food tercatat cukup rendah yakni 0,32% (mtm) atau 9,85% (yoy), turun tajam dibandingkan dengan inflasi
bulan sebelumnya sebesar 2,89% (mtm) atau 11,91% (yoy). Koreksi harga terutama terjadi pada
komoditas bawang merah dan cabai merah yang masing masing menyumbang deflasi sebesar 0,10%.
Koreksi harga pada bawang a.l. didorong oleh melimpahnya pasokan akibat realisasi impor yang
meningkat tajam di bulan Desember.2 Sebaliknya, inflasi pangan masih terjadi pada komoditas beras,
subkelompok ikan segar, dan cabai rawit. Cuaca buruk mendorong inflasi yang cukup tinggi pada
subkelompok ikan segar sebesar 3,07% (mtm) dan menyumbang inflasi sebesar 0,05% (mtm) terutama
terjadi di Jawa dan Sumatera. Hal yang perlu dicermati terkait terus berlangsungnya kenaikan harga beras
yang saat ini sudah sedikit di atas rata rata historisnya. Selanjutnya, bencana alam di beberapa daerah
sejauh ini berdampak terbatas pada gangguan pasokan dan distribusi.
Tabel 4. Komoditas Penyumbang Inflasi/Deflasi Kelompok
Administered Prices
3.
Koreksi harga bahan bakar rumah tangga (LPG 12 kg) baru tercatat di bulan Februari sehingga
menyebabkan rendahnya inflasi administered prices. Inflasi administered prices tercatat sangat rendah
yakni 0,01% (mtm) atau 17,37% (yoy) terutama didorong oleh koreksi harga LPG 12 kg dari kenaikan harga
awal sebesar Rp4.000/kg menjadi sebesar Rp1.000/kg.
4.
Secara spasial, tekanan inflasi di berbagai daerah secara agregat cenderung mereda. Sebagian besar
daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi bahkan mencatat terjadinya deflasi seiring dengan
membaiknya pasokan pangan yang ditandai terjadinya koreksi harga pada beberapa komoditas pangan
strategis a.l. aneka bumbu, daging ayam, dan sayuran (Gambar 1). Meski demikian, beberapa daerah
mencatat kenaikan inflasi yang lebih tinggi dibanding daerah lainnya seperti di Kalimantan Barat, NTT,
Banten, Papua Barat, dan Jakarta. Kenaikan inflasi di beberapa daerah tersebut a.l. bersumber dari tarif
angkutan udara, dampak penerapan pajak daerah untuk rokok kretek, dan kenaikan harga ikan segar.3
5.
Ke depan tetap perlu mewaspadai tingginya risiko inflasi di 2014, baik yang bersumber dari pangan
maupun administered prices. Terkait risiko inflasi pangan terutama di Kawasan Timur Indonesia
mengingat sumber pasokannya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang saat ini masih dalam tahap
2
3
Impor pada Juli November rata rata sekitar 3000 ton, kemudian melonjak hingga sekitar 15.000 ton di bulan Desember 2013.
Courtesy of Divisi Asesmen Ekonomi Regional (DAER).
Analisis Inflasi
Edisi 4 Maret 2014
pemulihan paska bencana banjir dan erupsi gunung Kelud. Di daerah yang terkena bencana mempunyai
risiko gangguan produksi pangan mengingat replanting memerlukan proses dan dukungan saranaprasarana yang memadai termasuk pemulihan produksi peternakan. Selain itu, risiko inflasi lainnya yang
perlu diantisipasi bersumber dari rencana Pemerintah menaikkan beberapa tarif seperti surcharge tarif
angkutan udara yang mulai diimplementasikan sejak akhir Februari, kenaikan harga LPG 12kg tahap kedua
di bulan Juli, serta kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) kelompok industri I3 go public dan kelompok I4 dan
penyesuaian tarif listrik kelompok 6600 VA ke atas mulai bulan Mei 2014.
Gambar 1: Peta Inflasi Daerah, Februari 2014 (%,mtm)
6.
Inf 0,0%
Mempertimbangkan risiko inflasi yang masih besar tersebut, berbagai langkah penguatan koordinasi
pengendalian inflasi perlu terus dilakukan dan diperluas baik di tingkat pusat maupun di daerah melalui
forum TPI dan TPID. Dalam jangka pendek, beberapa hal yang perlu dilakukan a.l.: Pertama, terhadap
risiko terganggunya pasokan dari Jawa paska bencana banjir dan erupsi gunung Kelud, Pemerintah Daerah
di kawasan KTI perlu secara aktif melakukan penjajakan untuk mencari alternatif daerah pasokan baru
serta memperkuat ketahanan pangan lokal. Hal ini sejalan dengan program kerja Pokjanas TPID yang
tahun ini difokuskan pada percepatan penguatan kerjasama antar daerah. Untuk mendukung program ini,
TPID perlu segera melengkapi dan meng-update data surplus defisit pangan di tiap provinsi sebagai dasar
untuk melakukan kerjasama antar daerah yang pada tahap selanjutnya juga melibatkan Pokjanas TPID.
Kedua, untuk risiko permasalahan dalam replanting di sentra-sentra produksi yang terkena bencana,
Pemerintah pusat dan daerah perlu mempersiapkan dengan baik agar proses pemulihan area pertanian
tersebut dapat terlaksana dengan cepat dan efektif antara lain dengan mendistribusikan benih dan pupuk
secara tepat jumlah dan waktunya. Untuk pemulihan produksi peternakan pasca bencana, perlu dukungan
Pemerintah daerah agar sarana dan prasarana produksi yang rusak dapat segera diperbaiki. Ketiga, perlu
mencermati harga beras yang cenderung meningkat dalam beberapa waktu terakhir, mengingat beberapa
sentra produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah terkena banjir. Pengadaan beras dalam negeri oleh
BULOG perlu mengantisipasi potensi penurunan pasokan dalam negeri. Selain itu, Pemerintah juga perlu
mendorong perdagangan beras yang lebih seimbang antar daerah sehingga stabilitas harga tetap terjaga.
Keempat, untuk kelompok administered prices, perlu dipersiapkan langkah antisipasi yang diperlukan
untuk menghindari kelangkaan pasokan khususnya LPG ukuran 3kg karena disparitas harga yang semakin
lebar dengan LPG 12kg. Termasuk dalam hal ini adalah penguatan program komunikasi di daerah terkait
kesiapan pemerintah dalam rangka mengarahkan ekspektasi masyarakat dan menjelaskan komitmen
penegakan hukum terkait tindakan penimbunan yang berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat.
Jakarta, 4 Maret 2014