Professional Documents
Culture Documents
Ototoksik
BAB I
PENDAHULUAN
222 juta
Refarat
Ototoksik
Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek
samping. Salah satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada
pendengaran yang merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi.
Dengan makin banyak obat-obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan
daftar obat-obatan yang mempunyai efek samping padatelinga juga makin
bertambah.
Ototoksisitas menjadi perhatian utama klinisi dengan penemuan streptomisin
pada tahun 1944. Streptomisin sukses dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
sebaliknya sebagian besar pasien yang diobati mengalami disfungsi koklear dan
vestibuler yang irreversibel. Penemuan ini yang kemudian beriringan dengan
toksisitas yang dihubungkan dengan aminoglikosida lainnya menyebabkan
para klinisi dan ilmuwan meneliti etiologi dan mekanisme ototoksisitas.
Sekarang ini, banyak obat yang dikenal luas memiliki efek toksik terhadap sistem
kokleovestibuler, diantaranya aminoglikosida dan antibiotik lainnya serta obat anti
kanker.
Refarat
Ototoksik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Ototoksi
1.1 Defenisi
Ototoksisitas adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organ
vestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan pendengaran
dari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin (obat-obatan).
1.2 Anatomi
Bagian utama telinga dalam terdiri dari dua yaitu koklea (rumah siput)
yang merupakan dua setengah lingkaran yang berfungsi sebagai organ
pendengaran dan vestibulum yang terdiri dari tiga buah kanalis semirkularis.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani di sebelah bawah dan skala media diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam
yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut membran vestibuli sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.
Pada membran ini terletak organ corti.
Refarat
Ototoksik
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria dan pada membran basal melekat sel-sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti yang menbentuk organ
corti.
1.3 Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran
reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria.
Refarat
Ototoksik
sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.
1.4 Patogenesis
Mekanisme dari tuli akibat ototoksik masih belum begitu jelas.
Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apical, yang diikuti
oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan pendengaran
frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu
tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit mencapai derajat
ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi percakapan.
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat
pengikatan
obat
yangmenyebabkan
rambut.Antibiotik
mengubah
dengan
perubahan
ototoksik
proses-proses
glikosaminoglikan
strial
dan
menyebabkan
biokimia
yang
stria
perubahan
vaskularis,
sekunder sel-sel
hilangnyapendengaran
penting
yang
dengan
menyebabkan
penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa menyebabkan kematian sel
secara tiba-tiba.
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler.
Kerusakan vestibuler juga merupakan efek yang merugikan
dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya menunjukkan nistagmus
posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan oleh kerusakan
sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler untuk menjaga
horizon yang stabil.
Refarat
Ototoksik
1.5 Gejala Klinis
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus
biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan
seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan
dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada
tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral.
Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu
kuattetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan
keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan
posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur
dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya,
menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan
atau mengenali wajah orang ketika berjalan.
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun.Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel
dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang
disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan
dengan segera.
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan
ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.
Refarat
Ototoksik
Mekanisme ototoksitas
Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak
struktur atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur
auditori atau vestibular telinga dalam.
Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat
menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh ototoksik tersebut antara lain:
a. Degenerasi stria vaskularis
b. Degenerasi sel epitel sensori
c. Degenerasi sel ganglion
2. Jenis Obat Ototoksik
Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek
samping. Salah satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada
pendengaran yang merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi.
Dengan makin banyak obat-obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan
daftar obat-obatan yang mempunyai efek samping padatelinga juga makin
bertambah. Dari abad ke- 19 hingga kini telah banyak diketahui obat-obatan yang
menimbulkan gangguan pada telinga diantaranya yaitu :
2.1 Golongan Aminoglikosida
Sejak diperkenalkan pada tahun 1944, banyak sediaan aminoglikosida
menjadi mudah didapatkan seperti , streptomisin, dihidrostreptomisin, kanamisin,
gentamisin, neomisin, tobramisin, netilmisin, dan amikasin. Aminogikosida bersifat
bakterisid yang berikatan. Dengan Ribosom 30S dan menghambat sistesis
protein bakteri. Aminogikosida hanya efektif pada basil gram negatif aerobik
dan stafilokokus. Neomisin dan kanamisin memiliki spektrum antibakteri yang
terbatas serta lebih toksik daripada aminoglikosida lainnya.
Aminoglikosida memiliki efek toksik terhadap koklea dan vestibuler yang
bervariasi. Streptomisin dan gentamisin terutama bersifat vestibulotoksik,
7
Refarat
Ototoksik
sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin bersifat
kokleotoksik. Tobramisin berefek sama pada fungsi vestibuler maupun
auditorik. Efek ototoksik pada netilmisin sedikit diketahui karena penggunaannya
yang sudah jarang juga karena memiliki potensi efek ototoksik yang rendah .
Toksisitas
aminoglikosida
tertutama
pada
ginjal
dan
sistem
Refarat
Ototoksik
2.1.1
Streptomisin
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang
Refarat
Ototoksik
pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada meraka yang mendapatkan obat
ini.
Ototoksik sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan pada
orang hamil tidak boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan terakhir
kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital).
Penemuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah:
a
Kehilangan sel rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal atas
koklea.
2.1.2
Dehidrostreptomisin
Dihidrostreptomisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang
berat dan tidak menentu bahkan sampai setelah 2 bulan setelah dihentikan.
Ketulian tidak bisa, diramalkan serta tidak bergantung pada dosis obat yang
diberikan. Karena efek ototoksiknya yang besar serta kegunaannya yang tidak
lebih bagus daripada streptomisin, obat ini telah ditarik dari peredaran di Amerika
Serikat.
2.1.3
Neomisin
Neomisin
tersedia
untuk
penggunaan
topikal
dan
oral,
10
Refarat
Ototoksik
pendengaran
dihubungkan
dengan
nilai
diskriminasi
2.1.4
Gentamisin
Gentamisin buruk absorpsinya melalui oral dan harus diberi secara
parateral untuk penggunaan sistemik. Ketika diberi melalui IM, kadar puncak
tercapai pada 0.5 1 jam. Eliminasi pada serum kira-kira 2 jam pada pasien
dengan fungsi ginjal normal. Konsentrasi puncak gentamisin tercapai pada akhir
infus selama 2 jam dengan dosis 1 mg/ Kg pada pasien dengan kadar rata-rata 4,5
g/mL ( antar 0,5 8 g/mL).
11
Refarat
Ototoksik
Kanamisin
Untuk suntikan tersedia larutan dan bubuk kering. Larutan dalam vial
ekuivalen dengan basa kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 gr/ 3 ml untuk orang dewasa
12
Refarat
Ototoksik
serta 75 mg/2 ml untuk anak. Untuk pemberian oral kapsul/tablet 250 mg dan
sirup 50 mg/ml.
Krista saluran semisirkuler normal, oleh karena itu degenerasi neural tidak
signifikan.
2.1.6
Amikasin
13
Refarat
Ototoksik
14
Refarat
Ototoksik
Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi
terhadap obat yang lain lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal
karena itu perlu pemeriksaan audiogram dan faal ginjal secara teratur, lebih lebih
15
Refarat
Ototoksik
bila berlangsung dalam 1 minggu. Obat ini tersedia dalam bubuk 500 mg untuk
pemberian IV. Dosis untuk dewasa 2-4 gr/hari yang dibagi dalam beberapa
pemberian dan untuk anak 40 mg/kgBB/hari. Dosis ini diberikan dengan
dilarutkan dalam 100-200 ml NaCL atau dekstrose 5 % yang diberikan IV secara
perlahan-lahan,kadar puncak terapeutik vankomisin 25-40 mg/mL, kadar normal
5-12 mg/mL dan efek toksik terjadi saat kadar vankomisin mencapai > 80 mg/mL
(SI: > 54mmol/L).
2.3 Diuretik
Dua diuretik penyebab utama efek ototoksik adalah furosemid dan asam
etakrinat. Dimana kedua obat ini merupakan diuretik yang efeknya sangat
kuatdibandingkan dengan yang lain.Manifestasi ototoksiknya adalah gangguan
pendengaran sensorikneural, tinnitus dan vertigo.
2.3.1 Asam Etakrinat
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun
menetap dan hal ini merupakan efek samping yang serius. Ketulian sementara
juga dapat terjadi pada furosemid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh
perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu
efek samping unik kelompok obat ini. Bila karena suatu hal diperlukan pemberian
obat yang juga bersifat ototoksik, misalnya aminoglikosida, sebaiknya dipilih
diuretik lainnya, misalnya tiazid.
Efek ototoksik tampak pada sistem dari penghambatan sodium-pomsium
ATPase koklear, menyebabkan perubahan komposisi elektrolit endolimfe.
Gangguan pendengaran pada asam etakrinat dan furosemid umumnya
sementara tapi dapat juga bersifat permanen.
16
Refarat
Ototoksik
dan mungkin ditingkatkan 25-50 mg dengan interval beberapa hari, dosis lebih
dari 200 mg dua
Sedangkan
untuk
pemberian
secara
oral
untuk
dewasa
dosis
17
Refarat
Ototoksik
Refarat
Ototoksik
pulih dan tinnitus akan hilang. Keracunan salisilat yang berat dapat menimbulkan
kematian, tetapi umumnya keracunan salisilat bersifat ringan. Gejalanya adalah
nyeri kepala, pusing, tinnitus, gangguan pendengaran, penglihatan kabur, rasa
bingung, cemas, rasa kantuk, banyak keringat, haus, mual dan muntah.
2.4 Anti Malaria
Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.
Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan
mempercepat absorpsi ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali
dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar
mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai
kadar plasma antara 150-250 ug/l.
19
Refarat
Ototoksik
yaitu garam kina 3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama 3 tablet Fansidar
dosis tinggal, garam kina 3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama tetrasiklin
4 kali sehari 250 mg selam 7 hari. Dosis kina untuk anak-anak 25 mg/kgBB hari
yang diberikan sebagai dosis terbagi seperti orang dewasa, dosis suntikan atau
infus pada dewasa 10-20 mg/kgBB garam kina dilarutkan dalam 500 ml NaCL dan
dekstrosa 5 % yang di infus perlahan selam 4 jam dan dosis untuk anak-anak 12,5
mg/kgBB/hari maksimum perhari 25mg/kgBB.
Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan
tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran
sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya
pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan hilang. Studi terbaru menyatakan
bahwa kuinin mengganggu motilitas sel-sel rambut. Pada pemakaian klorokuin
pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari) atau penggunaan lama (diatas 1
tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut rontok, tuli menetap, dan
kerusakan menetap.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil.
2.5 Anti Kanker
Neurotoksik atau neuropari perifer terjadi tergantung pada dosis dan durasi
penggunaan obat. Mekanisme ayang terjadi adalah degenerasi aksonal dengan
kerusakan pada nervus sensorik. Toksisitas dapat terjadi pertama kali pada dosis
200 mg/m2, dengan pengkuran toksisitas terjadi pada dosis > 350 mg/m2 . Proses
ini irreversibel dan progresif pada terapi yang terus-menerus. Otokoksisk terjadi
pada 10% - 30% dan bermanifestasi pada kehilangan pendenganran nada tinggi,
oleh karena itu audiografi dasar harus dilakukan.
Pengunaan dosis normal pada anak adalah mulai dari 30-100 mg/m2 sekali
tiap 2-3 minggu, pada tumor otak berulang dosisnya 60 mg/m2 sekali sehari untuk
20
Refarat
Ototoksik
2 hari konsekuetif tiap 3-4 minggu.
Walaupun obat anti kanker pernah dilaporkan bersifat ototoksik, obatobatan tersebut sangat jarang ditemukan sebagai satu-satunya penyebab gangguan
vestibuler. Cisplatin adalah anti kanker yang paling luas penggunaannya, namun
sayangnya bersifat kokleotoksik dan nefrotoksik. Toksisitas cisplatin sinergis
dengan gentamisin dan pada dosis tinggi cisplatin telah dilaporkan dapat
menyebabkan tuli total. Pada binatang percobaan, ototoksisitas cisplatin
berhubungan dengan peroksidasi lipid. Carpolatin dan cisplatin diklasifikasikan
sebagai ankylating agents, keduanya merusak sel-sel kanker (dan beberapa sel
tubuh yang sehat juga ikut rusak) dengan cara merusak DNA dari sel tersebut.
Gejala yang ditimbulkan cisplatin sebagai ototoksisitas adalah tuli
subjektif, tinnitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan
keseimbangan. Tuli biasanya bersifat bilateral dimulai dengan frekuensi antara
6 KHz dan 8 KHz, kemudian pada frekuensi yang lebih rendah. Tinnitus
biasanya samar-samar, bila tuli ringan mak aakan pulih pada penghentian
pengobatan, tetapi bila tulinya berat biasanya menetap.
2.6 Obat Topikal Telinga
Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan
aminoglikosida seperti neomisin dan polimiksin B, keduanya memiliki efek
neurotoksik dan nefrotoksik. Obat-obatan tersebut menjadi ototoksik bila
diberikan pada pasien dengan perforasi membran timpani. Neomisin tetes
21
Refarat
Ototoksik
telinga pernah dilaporkan mengakibatkan hilangnya pendengaran yang relatif.
Seharusnya obat tetes telinga golongan aminoglikosida digunakan terhadap
infeksi telinga luar.
22
Refarat
Ototoksik
pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik antara lain ( ototoxic drug WHO):
a
Usia lanjut
Dosis harian dan rute pemberian obat ( Rute pemberian obat ototoksik
penting dalam menentukan onset kerusakan pendengaran. Rute yang paling
berbahaya hingga paling aman berturut-turut adalah intraspinal, kemudian
intravena, intramuskular, perkutaneus, dan oral).
Kehamilan
Gagal ginjal
Insufisiensi hepar
4. Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan
audiologi.
Ultra-high
frequency
audiometry
dan
Otoacoustic
emission
23
Refarat
Ototoksik
4.2 Otoacoustic Emission ( OAE )
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang
dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh
serabut saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel
rambut akan menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara
memasukkan probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat
mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi untuk memberikan stimulus suara.
Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah
pemberian stimulus.
Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :
a
b
24
Refarat
Ototoksik
25
Refarat
Ototoksik
6. Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum,
selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur fungsi audiometri
26
Refarat
Ototoksik
sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang
pendengaran dan vertigo.
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak
diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya
pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar
obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan
berlangsung.
7. Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk.
BAB III
KESIMPULAN
27
Refarat
Ototoksik
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler. Yang menyebabkan
gangguan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. tinitus
cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa
bilateral, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit
memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia dan oscillopsia
tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya.
Salisilat ( aspirin )
28
Refarat
Ototoksik
termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar
komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total
bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea
DAFTAR PUSTAKA
29
Refarat
Ototoksik
2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B.,
Ballenger, John J, Ed. Ballengers Otorhinolaryngology head and neck surgery.
Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 378.
3. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller D.
Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054.
4. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku ajar
fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.
5. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam : Hardman
Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007,
h. 1195-1204.
6. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and
tinnitus: alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology.
2011, h. 1-7.
7. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G. Ototoxicity
monitoring. American Academy of Audiology Position Statement and Clinical
Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.
8. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory
regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.
9. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA. Audiological
30