You are on page 1of 30

Refarat

Ototoksik
BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa obat dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur telinga


dalam, termasuk koklea, vestibulum, semisirkular kanal, dan otolit, dianggap
sebagai ototoksik. Obat dapat menginduksi struktur pendengaran dan sistem
keseimbangan yang dapat menyebabkan terjadinya kehilangan pendengaran,
tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran akibat toksisitas kadang bersifat
sementara tetapi kebanyakan bersifat menetap pada sebagian besar golongan
Aminoglikosida.
Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai
dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun Negara.
Penderita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya,
dan terisolasi. Kehilangan kesempatan dalam aktualisasi diri, mengikuti
pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan memperoleh
pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup yang
bersangkutan.Kesulitan-kesulitan tersebut diatas akan bertambah besar di negara
berkembang mengingat masih terbatasnya infrastruktur kesehatan telinga dan
pendengaran dalam melakukan pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan dan
habilitas / rehabilitasi.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1995 terdapat 120 juta penderita
gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan
yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta orang,

222 juta

diantaranya adalah penderita dewasa sedangkan sisanya ( 28 juta ) adalah anak


berusia di bawah 15 tahun. Dari jumlah tersebut kira kira 2/3 diantaranya berada
di negara berkembang. Peningkatan jumlah penderita gangguan pendengaran ini
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan insidens, identifikasi yang lebih baik
atau akibat meningkatnya usia harapan hidup.

Refarat
Ototoksik
Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek
samping. Salah satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada
pendengaran yang merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi.
Dengan makin banyak obat-obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan
daftar obat-obatan yang mempunyai efek samping padatelinga juga makin
bertambah.
Ototoksisitas menjadi perhatian utama klinisi dengan penemuan streptomisin
pada tahun 1944. Streptomisin sukses dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
sebaliknya sebagian besar pasien yang diobati mengalami disfungsi koklear dan
vestibuler yang irreversibel. Penemuan ini yang kemudian beriringan dengan
toksisitas yang dihubungkan dengan aminoglikosida lainnya menyebabkan
para klinisi dan ilmuwan meneliti etiologi dan mekanisme ototoksisitas.
Sekarang ini, banyak obat yang dikenal luas memiliki efek toksik terhadap sistem
kokleovestibuler, diantaranya aminoglikosida dan antibiotik lainnya serta obat anti
kanker.

Refarat
Ototoksik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Ototoksi
1.1 Defenisi
Ototoksisitas adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organ
vestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan pendengaran
dari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin (obat-obatan).
1.2 Anatomi
Bagian utama telinga dalam terdiri dari dua yaitu koklea (rumah siput)
yang merupakan dua setengah lingkaran yang berfungsi sebagai organ
pendengaran dan vestibulum yang terdiri dari tiga buah kanalis semirkularis.

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani di sebelah bawah dan skala media diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam
yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut membran vestibuli sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.
Pada membran ini terletak organ corti.

Refarat
Ototoksik
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria dan pada membran basal melekat sel-sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti yang menbentuk organ
corti.
1.3 Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran
reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria.

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan


terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan
terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam

Refarat
Ototoksik
sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.
1.4 Patogenesis
Mekanisme dari tuli akibat ototoksik masih belum begitu jelas.
Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apical, yang diikuti
oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan pendengaran
frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu
tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit mencapai derajat
ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi percakapan.
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat
pengikatan

obat

yangmenyebabkan
rambut.Antibiotik
mengubah

dengan
perubahan

ototoksik

proses-proses

glikosaminoglikan
strial

dan

menyebabkan
biokimia

yang

stria

perubahan

vaskularis,

sekunder sel-sel

hilangnyapendengaran
penting

yang

dengan

menyebabkan

penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa menyebabkan kematian sel
secara tiba-tiba.
Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler.
Kerusakan vestibuler juga merupakan efek yang merugikan
dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya menunjukkan nistagmus
posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan oleh kerusakan
sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler untuk menjaga
horizon yang stabil.

Refarat
Ototoksik
1.5 Gejala Klinis
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus
biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan
seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan
dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada
tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral.
Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu
kuattetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan
keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan
posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur
dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya,
menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan
atau mengenali wajah orang ketika berjalan.
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun.Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel
dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang
disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan
dengan segera.
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan
ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.

Refarat
Ototoksik
Mekanisme ototoksitas
Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak
struktur atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur
auditori atau vestibular telinga dalam.
Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat
menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh ototoksik tersebut antara lain:
a. Degenerasi stria vaskularis
b. Degenerasi sel epitel sensori
c. Degenerasi sel ganglion
2. Jenis Obat Ototoksik
Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek
samping. Salah satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada
pendengaran yang merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi.
Dengan makin banyak obat-obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan
daftar obat-obatan yang mempunyai efek samping padatelinga juga makin
bertambah. Dari abad ke- 19 hingga kini telah banyak diketahui obat-obatan yang
menimbulkan gangguan pada telinga diantaranya yaitu :
2.1 Golongan Aminoglikosida
Sejak diperkenalkan pada tahun 1944, banyak sediaan aminoglikosida
menjadi mudah didapatkan seperti , streptomisin, dihidrostreptomisin, kanamisin,
gentamisin, neomisin, tobramisin, netilmisin, dan amikasin. Aminogikosida bersifat
bakterisid yang berikatan. Dengan Ribosom 30S dan menghambat sistesis
protein bakteri. Aminogikosida hanya efektif pada basil gram negatif aerobik
dan stafilokokus. Neomisin dan kanamisin memiliki spektrum antibakteri yang
terbatas serta lebih toksik daripada aminoglikosida lainnya.
Aminoglikosida memiliki efek toksik terhadap koklea dan vestibuler yang
bervariasi. Streptomisin dan gentamisin terutama bersifat vestibulotoksik,
7

Refarat
Ototoksik
sedangkan amikasin, neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin bersifat
kokleotoksik. Tobramisin berefek sama pada fungsi vestibuler maupun
auditorik. Efek ototoksik pada netilmisin sedikit diketahui karena penggunaannya
yang sudah jarang juga karena memiliki potensi efek ototoksik yang rendah .
Toksisitas

aminoglikosida

tertutama

pada

ginjal

dan

sistem

kokleovestibuler walaupun tidak ditemukan hubungan yang jelas antara derajat


nefrotoksik dan ototoksik. Toksisitas koklear yang menyebabkan gangguan
pendengaran biasanya dimulai pada frekuensi tinggi dan efek sekundernya
menyebabkan dekstruksi ireversibel sel rambut luar organ Corti, terutama pada
lengkungan basal koklea.
Insidensi efek ototoksik aminoglikosida sekitar 10%. Aminoglikosida
dieksresi di ginjal, oleh karena itu pada pasien dengan gangguan ginjal bilateral,
kandungan serum aminoglikosida akan meningkat sehingga akan meningkatkan
resiko ototoksik. Aminoglikosida membutuhkan waktu lebih lama dibersihkan
dari perilimfe daripada dari serum. Umumnya efek ototoksik merupakan bukti
adanya kehilangan selrambut , yang dimulai pada lengkung basal koklea dan
kemudian berjalan ke apeks. Deretan dalam dari sel rambut bagian luar terkena
terlebih dahulu, diikuti oleh kerusakan dua deretan terluar. Untuk alasan yang
belum diketahui, selrambut bagian dalam dilindungi ketika tedadi efek
ototoksik dengan kerusakan total organ Corti.
Kerusakan akut sistem auditorik sering tedadi pada aminoglikosida, tetapi
ditutupi oleh keluhan tinnitus. Gangguan pendengaran biasanya terjadi pada
frekuensi tinggi tetapi dapat terjadi pada frekuensi rendah. Manusia dapat
mendengar frekuensi lebih dari 16.000 Hz, tapi audiometer hanya bisa mendeteksi
frekuensi dibawah 8.000 Hz. Karena pasien tidak bisa mengenali kehilangan
pendengaran sampai mereka kehilangan 20 dB, atau sekitar 3.000 4.000 Hz,
akan sangat sulit mengetahui seorang pasien mengalami efek ototoksik atau tidak.
Efek ototoksik akan tampak 2 3 minggu setelah obat-obat tersebut berhenti
digunakan secara permanen.

Refarat
Ototoksik

2.1.1

Streptomisin
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang

mengandung 1 atau 5 gr dengan dosis 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1


gr/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi diturunkan menajadi 2-3
kali seminggu. Dosis ini harus dikurangi untuk penderita usia lanjut, anak-anak,
orang dewasa badannya kecil dan gangguan fungsi ginjal serta memperhatikan
cara pemberian dan cara penyuntikan tergantung dari jenis dan lokasi infeksi.

Suntikan IM merupakan cara yang paling sering dikerjakan. Total sehari


berkisar 1-2 gr (15-25 mg/kgBB), 500 mg-1 gr disuntikan setiap 12 jam. Untuk
infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 kali pemberian. Dosis untuk anak
ialah 20-30 mg/kgBB sehari yang dibagi dua kali penyuntikkan. Kadar serendah
0,4 ug/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman dan untuk kuman TB dapat
dihambat dengan kadar 10ug/ml.
Obat ini utamanya berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo
sebelum terjadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dan
nefrotoksik terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunan 1 gram
perhari obat ini selama 10 hari tidak menyebabkan sindrom vestibular.
Penggunaan 2 gram perhari selama 14 hari dilaporkan menyebabkan sindrom
vestibules pada 60 70 % pasien atau pada pasien yang mendapatkan dosis total
10-12 gr dapat mengalami hal diatas. Hingga dianjurkan untuk melakukan

Refarat
Ototoksik
pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada meraka yang mendapatkan obat
ini.
Ototoksik sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan pada
orang hamil tidak boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan terakhir
kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital).
Penemuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah:
a

Kehilangan sel rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal atas
koklea.

Kerusakan berat pada epitel sensoris Krista semua saluran

Stereosilia di dalam ampula saluran mengalami pembengkakan dan


diameternya menjadi dua kali lebih besar.

2.1.2

Dehidrostreptomisin
Dihidrostreptomisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang

berat dan tidak menentu bahkan sampai setelah 2 bulan setelah dihentikan.
Ketulian tidak bisa, diramalkan serta tidak bergantung pada dosis obat yang
diberikan. Karena efek ototoksiknya yang besar serta kegunaannya yang tidak
lebih bagus daripada streptomisin, obat ini telah ditarik dari peredaran di Amerika
Serikat.
2.1.3

Neomisin
Neomisin

tersedia

untuk

penggunaan

topikal

dan

oral,

penggunaannya secara parenteral tidak lagi dibenarkan karena toksisitasnya.


Salep mata dan kulit mengandung 5 mg/gr untuk digunakan 2-3 kali sehari.
Untuk oral tersedia tablet 250 mg. Dosis oral neomisin dapat mencapai 408
gr sehari.

10

Refarat
Ototoksik

Penyerapan neomisin tidak terlalu bagus bila diberikan se cara oral


maupun topikal. Walaupun demikian obat ini tetap diberikan secara tetes telinga
karena efek ototoksik yang rendah. Tetapi penggunaan berulang pada jaringan
yang meradang dapat menyebabkan tuli yang irreversibel. Dosis parenteral 5-8
gram neomisin lebih dari 4-6 hari dapat menyebabkan tinnitus dan tuli ireversibel.
Gangguan

pendengaran

dihubungkan

dengan

nilai

diskriminasi

percakapan rendah. Neomisin, streptomisin dan kanamisin dibersihkan lebih


lambat dari perilimfe dari bagian tubuh lainnya, menyebabkan efek ototoksik yang
tertunda dan terjadi 1-2 minggu setelah obat dihentikan.
Penemuan histologik pada efek ototoksik neomisin adalah :
a

Kerusakan sel rambut bagian luar dan bagian dalam

Kerusakan parsial sel pilar

Atropi parsial stria vaskularis

Kehilangan sedikit sel Deiter dan sel Hensen

Makula dan Krista biasanya normal.

2.1.4

Gentamisin
Gentamisin buruk absorpsinya melalui oral dan harus diberi secara

parateral untuk penggunaan sistemik. Ketika diberi melalui IM, kadar puncak
tercapai pada 0.5 1 jam. Eliminasi pada serum kira-kira 2 jam pada pasien
dengan fungsi ginjal normal. Konsentrasi puncak gentamisin tercapai pada akhir
infus selama 2 jam dengan dosis 1 mg/ Kg pada pasien dengan kadar rata-rata 4,5
g/mL ( antar 0,5 8 g/mL).

11

Refarat
Ototoksik

Konsentrasi aminglikosid pada serum harus dimonitor untuk memastikan


kadar yang adekuat dan untuk menghindari efek toksik. Harus dihindari kadar
diatas 12 g/mL untuk menurukan resiko gagal ginjal dan terjadinya toksisitas
nervus kranial. Sedangkan pada pemberian secra IM, kadar diatas 10 12 g/mL
dianggap menimbulkan efek toksik.
Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5
ml, 80 mg/2ml, 120 mg/3 ml dan 280 mg/2 ml dan setiap salep atau krim dalam
kadar 0,1 dan 0,3 %. Dosis awal untuk dewasa dan anak-anak dengan dehidrasi
0,75-1,5 mg/kgBB, normal 1-2 mg/kgBB, neonatus 2-2,5 mg/kgBB sedangkan
dosis penunjang dewasa dengan fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 6-12
jam, fungsi ginjal terganggu 1-1,5 mg/kgBB setiap 12-48, sedangkan anak dengan
fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 4-8 jam dan fungsi ginjal terganggu
1-1,5 mg/kgBB setiap 8-48 jam serta untuk neonatus 2,-2,5 setiap 8-24 jam.
Gentamisin, seperti juga streptomisin lebih mengenai vestibuler
daripada auditorik. Kadar efektif untuk infeksi sedang dan berat adalah 6-8
mg/ml, untuk infeksi gawat 8-10 mg/ml dan kadar toksik potensial lebih dari
10-12 mg/ml. Dosisnya disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut
usia, kegemukkan, sepsis, gagal jantung, luka bakar, dialisis dan neonatus.. Pada
sebuah penelitian diketahui bahwa gentamisin menyebabkan efek ototoksik
sebesar 10 -15 %.
2.1.5

Kanamisin
Untuk suntikan tersedia larutan dan bubuk kering. Larutan dalam vial

ekuivalen dengan basa kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 gr/ 3 ml untuk orang dewasa

12

Refarat
Ototoksik
serta 75 mg/2 ml untuk anak. Untuk pemberian oral kapsul/tablet 250 mg dan
sirup 50 mg/ml.

Pemberian IV jarang dikerjakan, karena absorpsi melalui suntikan IM


sangat baik. Dosis oral untuk anak adalah 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 kali
pemberian, untuk orang dewasa dapat mencapai 8 gr sehari. Dosis awal pada
dewasa dan anak dengan dehidrasi 5-7,5 mg/kgBB, normal 7,5 mg/kgBB dan
neonatus 10 mg/kgBB. Kadar efektif dalam serum untuk infeksi sedang berat 2025 ug/ml, infeksi berat 25-30 mg/ml dan kadar dalam plasma yang berpotensi
menimbulkan toksik lebih dari 32 ug/ml. Pada pasien yang fungsi ginjalnya
normal, 15 mg/kg/hari kanamisin akanmenyebabkan gangguan pendengaran
ringan.
Efek ototoksik kanamisin tidak seberat neomisin, tetapi seperti halnya
neomisin, efeknya terutama pada koklea. Kanamisin menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural. Diantara obat-obat aminoglikosida, kanamisin paling
sering menyebabkan kerusakan koklea unilateral.
Penemuan histologik efek ototoksik kanamisin adalah :
a

Kerusakan sel-sel rambut bagian dalam dan luar

Sering tidak menyebabkan perubahan sel penyokong

Krista saluran semisirkuler normal, oleh karena itu degenerasi neural tidak
signifikan.

2.1.6

Amikasin

13

Refarat
Ototoksik

Amikasin memiliki efek toksik yang ringan terhadap vestibular dan


lebih rendah efek ototoksiknya daripada gentamisin. Obat ini tersedia untuk
suntikan IM dan IV dalam vial berisi 100,250, 500, 1.000 dan 2.000mg.
Dosis awal lazim yang digunakan pada dewasa dan anak dengan dehidrasi 57,5 mg/kgBB, normal 7,5 mg/kgBB dan neonatus 10 mg/kgBB. Kadar efektif
dalam serum untuk infeksi sedang berat 20-25 ug/ml, infeksi berat 25-30 mg/ml
dan kadar dalam plasma yang berpotensi menimbulkan toksik lebih dari 32 ug/ml.
Adanya gangguan pada fungsi ginjal memerlukan pengurangan dosis dan
perpanjangan interval waktu antara dosis dengan berpedoman pada kadar efektif
didalam darah yang berkisar antara 5-10 ug/ml sampai 20-25 ug/ml.
2.2 Golongan Makrolid
2.2.1 Eritromisin
Termasuk ke dalam golongan makrolid yang bekerja menghambat sintesis
protein kuman dengan dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung
dari jenis kuman dan kadarnya. Obat ini tersedia dalam kapsul/tablet 250 mg
dan 500 mg dengan dosis dewasa 1-2 gr/hari dibagi dalam 4 dosis dapat
ditingkatkan 2 kali lipat pada infeksi berat, anak-anak dengan dosis 30-50
mg/kgBB sehari dibagi dalam4 dosis. Kadar puncak dalam darah 0,3-1,9
ug/ml yang mana ini dapat dicapai dengan dosis oral 500 mg dalam waktu 4
jam. Dosis lebih dari 4 gram/hari meningkatkan efek ototoksik, gejalanya
umumnya terlihat dalam 4 hari dan biasanya gangguan pendengaran dapat pulih
setelah pengobatan dihentikan.

14

Refarat
Ototoksik

Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga tengah adalah


kurang pendengaran subjektif, tinnitus yang meniup dan kadang-kadang vertigo.
Tuli sensorineural pernah dilaporkan terjadi pada anak-anak maupun dewasa,
terjadi tuli sensorineural nada tinggi dan tinnitus setelah pemberian intra verna
dosis tinggi atau secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih
setelah obat dihentikan.
2.2.2 Vankomisin
Beberapa gejala yang sering muncul pada ototoksik pada umumnya adalah
tinitus dimana ini terjadi pada pasien dengan konsentrasi serum vankomisin yang
tinggi pada gagal ginjal atau pada pasien yang mendapatkan terapi aminoglikosida
secara bersamaan, digunakan dalam waktu yang lama, dan dalam dosis yang
besar.

Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi
terhadap obat yang lain lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal
karena itu perlu pemeriksaan audiogram dan faal ginjal secara teratur, lebih lebih

15

Refarat
Ototoksik
bila berlangsung dalam 1 minggu. Obat ini tersedia dalam bubuk 500 mg untuk
pemberian IV. Dosis untuk dewasa 2-4 gr/hari yang dibagi dalam beberapa
pemberian dan untuk anak 40 mg/kgBB/hari. Dosis ini diberikan dengan
dilarutkan dalam 100-200 ml NaCL atau dekstrose 5 % yang diberikan IV secara
perlahan-lahan,kadar puncak terapeutik vankomisin 25-40 mg/mL, kadar normal
5-12 mg/mL dan efek toksik terjadi saat kadar vankomisin mencapai > 80 mg/mL
(SI: > 54mmol/L).
2.3 Diuretik
Dua diuretik penyebab utama efek ototoksik adalah furosemid dan asam
etakrinat. Dimana kedua obat ini merupakan diuretik yang efeknya sangat
kuatdibandingkan dengan yang lain.Manifestasi ototoksiknya adalah gangguan
pendengaran sensorikneural, tinnitus dan vertigo.
2.3.1 Asam Etakrinat
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun
menetap dan hal ini merupakan efek samping yang serius. Ketulian sementara
juga dapat terjadi pada furosemid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh
perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu
efek samping unik kelompok obat ini. Bila karena suatu hal diperlukan pemberian
obat yang juga bersifat ototoksik, misalnya aminoglikosida, sebaiknya dipilih
diuretik lainnya, misalnya tiazid.
Efek ototoksik tampak pada sistem dari penghambatan sodium-pomsium
ATPase koklear, menyebabkan perubahan komposisi elektrolit endolimfe.
Gangguan pendengaran pada asam etakrinat dan furosemid umumnya
sementara tapi dapat juga bersifat permanen.

Asam etakrinat tersedia dalam bentuk tablet 25 dan 50 mg digunakan


dengan dosis 50-200 mg/hari. Sedian IV berupa Na-etakrinat dengan dosisnya
50 mg atau 0,5-1 mg/kgBB. Dosis dewasaOral: 50-200 mg/hari terbagi 1-2 dosis

16

Refarat
Ototoksik
dan mungkin ditingkatkan 25-50 mg dengan interval beberapa hari, dosis lebih
dari 200 mg dua

kali sehari mungkn dibutuhkan dengan edema berat dan

berulang.IV: 0,501 mg/Kg/dosis (maksimum 100 mg/dosis); pengulangan dosis


tidak direkomendsikan, tapi jika perlu dosis dapat diulang tiap 8-12 jam.
Asam etakrinat menyebabkan kerusakan lapisan pertengahan stria
vaskuler dan sel rambut bagian luar dari organ Corti, lebih parah pada lengkung
basal. Gangguan pendengaran dapat sementara maupun permanen. Ototoksik
berhubungan dengan pemberian cepat secara IV, kerusakan ginjal, dosis besar, dan
penggunaan dengan obat ototoksik lain. Insidensi lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaa loop diuretik. Pemberian secara IV harus diencerkan dengan
D5W or NS (1 mg/mL) dan dilakukan melalui infus selama beberapa menit.Efek
sementara dapat merupakan sekunder dari efek pada enzim-enzim respirasi
(succinate dehidrogenase dan ATPase) dalam organ Corti dan stria vaskuler.
Kandungan Sodium endolimfe berkurang. Gejala yang timbal berupa tuli,
tinnitus dan vertigo.
2.3.2 Furosemid
Furosemid pada dosis tinggi seharusnya diberikan selama beberapa
menit untuk meminimalisir efek ototoksiknya. Perubahan komposisi elektrolit
endolimfe yangdisebabkan oleh obat sangat unik untuk jenis obat ini.

Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa adalah


10 mg/600mg, untuk anak-anak dosis Minimal/Maximal adalah 0.5mg/kg / 6
mg/kg.

Sedangkan

untuk

pemberian

secara

oral

untuk

dewasa

dosis

Minimal/Maximal adalah 20 mg / 600 mg, dan untuk anak-anak dosis Minimal/


Maximal adalah 0.5 mg/kg / 6 mg/kg.

17

Refarat
Ototoksik

Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan Furosemide tablet


20-80 mg single dose. Jika dibutuhkan, pada dosis yang sama dapat diberikan
6-8 jam berikutnya atau dosis bisa ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau
40 mg dan tidak diberikan kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan single
dose harus diberikan satu atau dua kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan
2 siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan per oral tablet dengan dosis 2
mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak juga hilang maka dosis
dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah pemberian sebelumnya,
asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar minimal yaitu lebih dari 6 mg/kg
BB.Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya adalah 2 hari,
sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika perlu. Obat diekskresikan
lewat urin.
2.3 Salisilat
Asam salisilat dan derivatnya yang lebih dikenal dengan sebagai asetosal
dan aspirin sering dipakai sebagai analgetik, antiperitik, keratolitik dan
antireumatik. Gejala toksik umumnya berupa asidosis metabolik sedangkan gejala
utama berupa salisilismus, dan beberapa tahun ini ototoksik akibat salisilat banyak
diteliti oleh karena terapi aspirin dosis tinggi pada arthritis rematoid.
Untuk memperoleh efek anti inflamasi yang baik kadar plasma perlu
dipertahankan antara 250-300 mcg/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis 4 gr/hari
untuk orang dewasa. Sedian paling banyak adalah aspirin dalam bentuk 100 mg
untuk anak-anak dan 500 mg untuk dewasa dimana dosis yang lazim digunakan
adalah 325-650 mg untuk dewasa diberikan secara oral setiap 3 atau 4 jam. Untuk
anak-anak 15-20 mg/kgBB yang diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak
melebihi 3,6 gr/hari, gejala toksik natrium salisilat pada orang dewasa terjadi jika
menelan 10g/lebih dalam periode 12-14 jam (kadar plasma >30mg/100ml) dan
akan bersifat letal dengan dosis 20-30 g. Dosis letal pada anak yaitu pada 2,7 g
metol salisilat.
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensori neural frekuensi
tinggi, bilateral dan tinnitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan
18

Refarat
Ototoksik
pulih dan tinnitus akan hilang. Keracunan salisilat yang berat dapat menimbulkan
kematian, tetapi umumnya keracunan salisilat bersifat ringan. Gejalanya adalah
nyeri kepala, pusing, tinnitus, gangguan pendengaran, penglihatan kabur, rasa
bingung, cemas, rasa kantuk, banyak keringat, haus, mual dan muntah.
2.4 Anti Malaria
Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.
Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan
mempercepat absorpsi ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali
dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar
mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai
kadar plasma antara 150-250 ug/l.

Untuk terapi supresi diberikan klorokuin difosfat 0,5-1 gr sekali seminggu


pada hari yang tetap, sejak 1 minggu sebelum seseorang menuju ke daerah
endemik dan diteruskan sampai paling sedikit 6 minggu setelah meninggalkan
tempat dan pada anak-anak 5 mg/kgBB dengan cara yang sama dan serangan
klinik diatsi dengan dosis awal 1 gr disusul dengan 0,5 gr setelah 6 jam dan 2 hari
berikutnya sehingga total 2,5 gr dalam 3 hari. Dosis boleh diulang dalam 6 jam
dengan syarat dalam 24 jam tidak melebihi 800 mg klorokuin basa.
Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina
digunakan dalam terapi malaria. Untuk pemberian oral dikenal 2 regimen dosis

19

Refarat
Ototoksik
yaitu garam kina 3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama 3 tablet Fansidar
dosis tinggal, garam kina 3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama tetrasiklin
4 kali sehari 250 mg selam 7 hari. Dosis kina untuk anak-anak 25 mg/kgBB hari
yang diberikan sebagai dosis terbagi seperti orang dewasa, dosis suntikan atau
infus pada dewasa 10-20 mg/kgBB garam kina dilarutkan dalam 500 ml NaCL dan
dekstrosa 5 % yang di infus perlahan selam 4 jam dan dosis untuk anak-anak 12,5
mg/kgBB/hari maksimum perhari 25mg/kgBB.
Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan
tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran
sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya
pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan hilang. Studi terbaru menyatakan
bahwa kuinin mengganggu motilitas sel-sel rambut. Pada pemakaian klorokuin
pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari) atau penggunaan lama (diatas 1
tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut rontok, tuli menetap, dan
kerusakan menetap.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil.
2.5 Anti Kanker
Neurotoksik atau neuropari perifer terjadi tergantung pada dosis dan durasi
penggunaan obat. Mekanisme ayang terjadi adalah degenerasi aksonal dengan
kerusakan pada nervus sensorik. Toksisitas dapat terjadi pertama kali pada dosis
200 mg/m2, dengan pengkuran toksisitas terjadi pada dosis > 350 mg/m2 . Proses
ini irreversibel dan progresif pada terapi yang terus-menerus. Otokoksisk terjadi
pada 10% - 30% dan bermanifestasi pada kehilangan pendenganran nada tinggi,
oleh karena itu audiografi dasar harus dilakukan.
Pengunaan dosis normal pada anak adalah mulai dari 30-100 mg/m2 sekali
tiap 2-3 minggu, pada tumor otak berulang dosisnya 60 mg/m2 sekali sehari untuk

20

Refarat
Ototoksik
2 hari konsekuetif tiap 3-4 minggu.

Walaupun obat anti kanker pernah dilaporkan bersifat ototoksik, obatobatan tersebut sangat jarang ditemukan sebagai satu-satunya penyebab gangguan
vestibuler. Cisplatin adalah anti kanker yang paling luas penggunaannya, namun
sayangnya bersifat kokleotoksik dan nefrotoksik. Toksisitas cisplatin sinergis
dengan gentamisin dan pada dosis tinggi cisplatin telah dilaporkan dapat
menyebabkan tuli total. Pada binatang percobaan, ototoksisitas cisplatin
berhubungan dengan peroksidasi lipid. Carpolatin dan cisplatin diklasifikasikan
sebagai ankylating agents, keduanya merusak sel-sel kanker (dan beberapa sel
tubuh yang sehat juga ikut rusak) dengan cara merusak DNA dari sel tersebut.
Gejala yang ditimbulkan cisplatin sebagai ototoksisitas adalah tuli
subjektif, tinnitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan
keseimbangan. Tuli biasanya bersifat bilateral dimulai dengan frekuensi antara
6 KHz dan 8 KHz, kemudian pada frekuensi yang lebih rendah. Tinnitus
biasanya samar-samar, bila tuli ringan mak aakan pulih pada penghentian
pengobatan, tetapi bila tulinya berat biasanya menetap.
2.6 Obat Topikal Telinga
Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan
aminoglikosida seperti neomisin dan polimiksin B, keduanya memiliki efek
neurotoksik dan nefrotoksik. Obat-obatan tersebut menjadi ototoksik bila
diberikan pada pasien dengan perforasi membran timpani. Neomisin tetes

21

Refarat
Ototoksik
telinga pernah dilaporkan mengakibatkan hilangnya pendengaran yang relatif.
Seharusnya obat tetes telinga golongan aminoglikosida digunakan terhadap
infeksi telinga luar.

Terjadinya ketulian oleh karena obat Nomisin dan polimiksin B terjadi


karena obat tersebut dapat menembus tingkap bundar. Walaupun membran
tersebut pada manusia lebih tebal 3 kali (yaitu sekitar +/- > 65 mikron, tetapi dari
hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan tersebut.
Derivat-derivat Penisilin seperti ticarsilin memiliki efek antibakterial yang
kuat tetapi juga ototoksik. Florokuinolon, siprofloksasin dan ofloksasin aktif
dalam membasmi bakteri yang mengakibatkan OMSK. Uji klinik dan uji
pada hewan menyebutkan bahwa siprofloksasin dan ofloksasin tidak
memiliki bukti yang signifikan menyebabkan ototoksik. Ofloksasin topikal
biasanya dikombinasikan dengan Cortisporin Otic Suspension (COS) dan obat
tetes mata gentamisin. Sel rambut utama dapat rusak yang disebabkan oleh COS
dengan kehilangan sekitar 65%. Ofloksasin meskipun diberikan tiga kali sehari
tidak menghasilkan kerusakan koklear yang berarti.
3. Faktor Resiko
Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan

22

Refarat
Ototoksik
pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik antara lain ( ototoxic drug WHO):
a

Usia lanjut

Dosis harian dan rute pemberian obat ( Rute pemberian obat ototoksik
penting dalam menentukan onset kerusakan pendengaran. Rute yang paling
berbahaya hingga paling aman berturut-turut adalah intraspinal, kemudian
intravena, intramuskular, perkutaneus, dan oral).

Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik

Kehamilan

Gagal ginjal

Insufisiensi hepar

Bekerja di lingkungan bising

Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada


diuretik)

4. Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan
audiologi.

Ultra-high

frequency

audiometry

dan

Otoacoustic

emission

(OAE)mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik


dibandingkan dengan kovensional Pure-tone threshold testing.
4.1 Ultra-high Frequency Audiometry ( Ultra-HFA )
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian
basal dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air- conduction threshold
testing ) untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA
dapat mendeteksi gangguan pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin.
Oleh karena itu HFA saat ini umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus
ototoksisitas.
High Frequency Audiometry tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda
dengan OAE yang hasil pemeriksaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.

23

Refarat
Ototoksik
4.2 Otoacoustic Emission ( OAE )
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang
dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh
serabut saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel
rambut akan menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara
memasukkan probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat
mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi untuk memberikan stimulus suara.
Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah
pemberian stimulus.
Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :
a
b

Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)


Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul

dengan adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu :


a
b
c

Stimulus-frequency Otoacoustic Emission


Transiently-evokedOtoacoustic Emission (TEOAE)
Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE)

24

Refarat
Ototoksik

Gambar: Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE)


Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik, DPOAE efektif untuk
deteksi dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan
frekuensi tertentu.
4.3 Pure Tone Audiometry ( Audiometri Nada Murni )
Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan
pendengaran akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi
tinggi pada audiogram.

25

Refarat
Ototoksik

Gambar: Audiometri nada murni pada pasien dengan terapi cisplatin


5. Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan.
Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat
obat tersendiri. Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan
rehabilitasi antara lain dengan alat Bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory
training, termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu
dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada
tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.

6. Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum,
selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur fungsi audiometri

26

Refarat
Ototoksik
sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang
pendengaran dan vertigo.
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak
diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya
pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar
obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan
berlangsung.
7. Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk.

BAB III
KESIMPULAN

Ototoksisitas adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organ


vestibuler yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan pendengaran
dari labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin (obat-obatan).

27

Refarat
Ototoksik

Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya selsel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,
limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler. Yang menyebabkan
gangguan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. tinitus
cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa
bilateral, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit
memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia dan oscillopsia
tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya.

Obat obat yang sering menyebabkan Ototoksik diantaranya :


a

Golongan Aminoglikosida ( Streptomisin,Dihidrostreptomisin,Neomisin,


Gentamisin, Kanamisin )

Diuretik ( Asam Etakrinat dan Furosemid )

Salisilat ( aspirin )

Anti Malaria ( Kina dan klorokuin )

Anti kanker ( Cisplastin )

Obat topikal telinga

Pencegahan dengan mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik,


menilai kerentanan pasien, monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi
ginjal harus baik selama dan setelah terapi, mengukur fungsi audiometri sebelum
terapi, memonitor efek samping secara dini
Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah
dan lamanya pengobatan jenis obat, lamanya pengobatan, kerentanan pasien,
adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut ataupun kronis danpenggunaan obat
ototoksik.
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi
antara lain dengan alat Bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training,

28

Refarat
Ototoksik
termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar
komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total
bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran akibat


obat ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 53 56.

29

Refarat
Ototoksik
2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B.,
Ballenger, John J, Ed. Ballengers Otorhinolaryngology head and neck surgery.
Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 378.
3. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller D.
Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054.
4. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku ajar
fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.
5. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam : Hardman
Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007,
h. 1195-1204.
6. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and
tinnitus: alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology.
2011, h. 1-7.
7. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G. Ototoxicity
monitoring. American Academy of Audiology Position Statement and Clinical
Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.
8. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory
regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.
9. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA. Audiological

monitoring of patient receiving ototoxicity drugs. American Speechlanguage


Hearing Association.2005, hal. 2-4.

30

You might also like