You are on page 1of 5

Peran Dokter Keluarga dalam Pembangunan Kesehatan Indonesia

Terwujudnya Indonesia sehat tentunya merupakan suatu yang diidam-idamkan seluruh warga
Indonesia. Definisi kesehatan sendiri menurut Perkin, 1938 adalah suatu keadaan seimbang yang
dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dengan berbagai faktor yang berusaha
mempengaruhinya. Sehat adalah suatu keadaaan sejahtera, sempurna dari fisik, mental dan sosial
yang tidak hanya terbatas pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja (WHO 1947 dan UU
Pokok Kesehatan No: 9, 1992).
Indonesia sebagai salah satu Negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan
beberapa negara di dunia telah berkomitmen untuk mencapai Millennium Development Goals
(MDGs)/Tujuan Pembangunan Millennium pada tahun 2015 untuk mewujudkan kesejahteraan
penduduk. Tujuan bersama dalam MDGs tersebut terdiri dari 8 tujuan yang meliputi 1)
Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3)
Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) Menurunkan angka kematian
anak; 5) Meningkatkan kesehatan ibu; 6) Memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan
penyakit menular lainnya; 7) Kelestarian lingkungan hidup; dan 8) Membangun kemitraan global
dalam pembangunan. Dari 8 tujuan MDGs tersebut, 5 di antaranya adalah MDGs yang terkait
langsung dengan bidang kesehatan yaitu MDGs 1, 4, 5, 6 dan 7 (Kemenkes, 2013).
Terwujudnya kesehatan Indonesia merupakan suatu cakupan yang luas tidak terlepas dari peran
serta pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan dan institusi pendidikan serta
masyarakat professional seyogyanya menggerakkan pengembangan dokter keluarga di Indonesia.
Usaha pembangunan dilakukan dalam rangka mengembangkan atau mengadakan perubahanperubahan ke arah keadaan yang lebih baik (Wibisana dkk., 2001).
Peluncuran kartu Indonesia sehat pun merupakan trobosan terbaru pemerintah menyusul sistem
Jaminan Kesehatan Nasional per awal tahun 2014. Satu hal yang tak boleh luput mengenai
pembangunan kesehatan untuk Indonesia sendiri yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dapat benar-benar terwujud.
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, upaya kesehatan diselenggarakan dalam
bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Kegiatan pelayanan kesehatan
perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan
dan keluarga. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Dokter Keluarga Sedunia
(WONCA) telah menekankan pentingnya peranan dokter keluarga (DK) ini dalam mencapai
pemerataan pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2013).

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA.


PHBSPerilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah bentuk perwujudan paradigmasehat
dalam budaya perorangan, keluarga, dan masyarakat yang berorientasi
sehat, bertujuan untuk meningkatkan, memelihara, dan melindungi kesehatannya baik fisik,ment
al, spiritual, maupun sosial. Selain itu juga program perilaku hidup bersih dan
sehat bertujuan memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan
, kelompok, keluarga, dengan membuka jalur komunikasi, informasi, danedukasi untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku sehingga masyarakatsadar, mau, dan mampu
mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat
melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (social support), dan pemberdayaanmasy
arakat (empowerment). Dengan demikian masyarakat dapat mengenali danmengatasi
masalahnya sendiri terutama pada tatanannya masing-masing (Depkes RI,2002).Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah
tangga agar tahu, mau dan mampu
mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di
masyarakat (Supiyan, 2013).Menurut Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI (2006), PHBS di
rumah tanggaadalah upaya memperdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau
mampumempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam
gerakankesehatan di masyarakat. Perilaku sehat adalah pengetahuan , sikap dan tindakan
proaktif untuk memelihara dan mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri
dariancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyakat.PHBS merupakan
salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkankemandirian di bidang kesehatan
baik pada masyarakat maupun pada keluarga, artinyaharus ada komunikasi antara kader dengan
keluarga/masyarakat untuk memberikaninformasi dan melakukan pendidikan kesehatan
(Depkes RI, 2007).B.

Indikator PHBSTerdapat 10 indikator PHBS di dalam rumah tangga, yakni :


Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan : Yang dimaksud tenaga kesehatandisini seperti dokter,
bidan dan tenaga paramedis lainnya. Hal ini dikarenakanmasih ada beberapa masyarakat yang
masih mengandalkan tenaga non medisuntuk membantu persalinan, seperti dukun bayi. Selain
tidak aman
dan penanganannya pun tidak steril, penanganan oleh dukun bayi inipundikhawatirkan berisiko
besar dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi.

Memberi bayi ASI Eksklusif : Seorang ibu dapat memberikan buah hatinya ASIEksklusif yakni
pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi mulai usia nol hingga
enam bulan.
Menimbang Balita setiap bulan : Penimbangan bayi dan Balita setiap bulandimaksudkan untuk
memantau pertumbuhan Balita tersebut setiap bulan.Penimbangan ini dilaksanakan di Posyandu
(Pos Pelayanan Terpadu) mulai usia
1 bulan hingga 5 tahun. Setelah dilakukan penimbangan, catat hasilnya di buku
KMS (Kartu Menuju Sehat). Dari sinilah akan diketahui perkembangan dariBalita tersebut.
Menggunakan Air Bersih : Gunakan air bersih dalam kehidupan sehari-hariseperti memasak,
mandi, hingga untuk kebutuhan air minum. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman
dan bakteri yang dapat menyebabkan berbagaimacam penyakit.
Mencuci tangan pakai sabun : Mencuci tangan di air mengalir dan memakai sabundapat
menghilangkan berbagai macam kuman dan kotoran yang menempel ditangan sehingga tangan
bersih dan bebas kuman. Cucilah tangan setiap kalisebelum makan dan melakukan aktifitas yang
menggunakan tangan, sepertimemegang uang dan hewan, setelah buang air besar, sebelum
memegangmakanan maupun sebelum menyusui bayi.
Gunakan Jamban Sehat : Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau
tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi denganunit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya. Ada beberapa syaratuntuk jamban sehat, yakni tidak mencemari sumber air
minum, tidak berbau, tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah
sekitarnya, mudahdibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap
pelindung, penerangan dan ventilasi udara yang cukup, lantai kedap air, tersedia air, sabun,dan
alat pembersih.
Memberantas jentik di rumah sekali seminggu : Lakukan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) di
lingkungan rumah tangga. PJB adalah pemeriksaan tempat

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menggalang sebuah penelitian yang melibatkan banyak
ilmuwan, pembuat kebijakan dan beberapa mantan pejabat kesehatan dari berbagai negara di
dunia mengenai kesenjangan denrajat kesehatan masyarakat ini. Penelitian itu bertujuan
memahami lebih baik determinan-determinan sosial yang menyebabkan terjadinya kesenjangan

derajat kesehatan antar negara maupun antar golongan masyarakat di dalam suatu negara.
Laporan penelitian berjudul Closing the Gap in a Generation: Health Equity through Action on
the Social Determinants of Health sangat berguna dibaca para perancang/pembuat kebijakan
publik (bukan hanya kebijakan kesehatan) di negara-negara yang memiliki indikator derajat
kesehatan masyarakat yang masih rendah seperti Indonesia.
Amartya Sen, pemenang Nobel bidang ekonomi, memberi pujian pada laporan npenelitian
tersebut. Sen menegaskan hahwa bagian penting penderitaan umat manusia bisa dilihat dari
kapabilitasnya yang rendah untuk hidup sehat dan berusia panjang dan itu bukan disebabkan
masalah kedokteran sematanamun lebih disebabkan banyaknya kendala sosial untuk meraih
kualitas kesehatan dan usia panjang tersebut. Sen menyebut determinan sosial-ekonomi,
khususnya kesenjangan dan ketidakadilan sosial, sebagai sebab utama ketimpangan di bidang
kesehatan masyarakat itu. Menurut Sen, kesenjangan sosial-ekonomi secara global (antara
negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dan miskin) maupun kesenjangan sosialekonomi di tingkat domestik (antar kalangan masyarakat dalam suatu negara) harus dikurangi
bila kita benar-benar ingin mengurangi kesenjangan di bidang kesehatan masyarakat.
Rekomendasi penting lain penelitian WHO itu adalah perlunya upaya-upaya terpadu membenahi
lingkungan fisik-sosial di mana kalangan miskin/terpinggirkan lahir, hidup dan bertumbuhkembang. Terutama peningkatan akses mereka terhadap fasilitas-fasilitas dasar; pangan/gizi,
perumahan, pendidikan dan pekerjaan layak, air bersih, listrik dan pelayanan kesehatan dasar.
Peningkatan akses terhadap sarana-sarana utama di atas banyak sekali berada di luar kewenangan
Departemen Kesehatan. Karena itu kepemimpinan nasional, provinsi hingga kepemimpinan lokal
khususnya di negara-negara berkembang/miskin sangat dibutuhkan untuk menggalang
munculnya kebijakan publik dan program-program sosial-ekonomi berwawasan kesehatan
masayarakat.
Laporan penelitian ini tegas menyebutkan tingginya kesakitan dan kematian akibat penyakitpenyakit infeksi yang menular lewat air (water-borne diseases) di banyak negara misalnya bukan
terutama karena kelangkaan antibiotik, melainkan kelangkaan akses terhadap air bersih dan
akibat sistem sosial-politik dan ekonomi yang menghambat akses itu. Tingginya kesakitan dan
kematian akibat penyakit jantung bukan terutama karena kelangkaan perawatan jantung/koroner
di rumah-rumah sakit tetapi lebih karena faktor lingkungan dan pola hidup. Tingginya kejadian
gizi kurang dan gizi buruk bukan sekedar karena kekurangan produksi pangan, tetapi karena
sistem sosial-ekonomi yang menghambat akses terhadap pangan yang memadai dan memenuhi
syarat ketercukupan gizi. Tingginya kejadian infeksi HIV bukan sekedar karena perilaku seks
dan perilaku penyuntikan narkotika yang berisiko, namun juga oleh struktur sosial-ekonomi yang
menciptakan kerentanan-kerentanan (vulnerabilities) yang mendorong orang-orang melakukan
perilaku berisiko.
Penelitian WHO ini menekankan pula betapa kalangan perempuan, anak-anak dan anak-anak
muda (laki-laki maupun perempuan) selalu menjadi kalangan paling rentan menderita berbagai
macam penyakit dan terancam kematian yang seharusnya secara biologis bisa dicegah.
Kebijakan publik, program-program sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat yang dirancang
untuk mengurangi diskriminasi jender, ras maupun kelas sosial-ekonomi karena itu harus

menjadi prioritas. Laporan ini juga menegaskan pentingnya menekan kesenjangan ekonomi,
keterasingan sosial (social exclusion), kemiskinan, pengangguran, korupsi, konflik bersenjata,
fundamentalisme/konservatifisme, dan pelanggaran HAM yang
secara langsung maupun tidak langsung memperburuk derajat kesehatan.
Pemerintah Indonesia bisa belajar pada keberhasilan Kuba, Chile, Kosta Rika, Srilangka
ataupun negara bagian Kerala (India) dalam merancang kebijakan-kebijakan publik yang mampu
mengurangi kesenjangan kesehatan masyarakat. Pemerintah pusat maupun pemerintah provinsiprovincsi dan kabupaten/kota di Indonesia bahkan bisa belajar pada beberapa daerah/kota seperti
Surabaya, Solo ataupun Bantaeng yang mulai menunjukkan keberhasilan lebih dalam sejumlah
program sosial-ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakatnya di banding daerah-daerah lain
di Tanah Air.*
Oleh;
Sudirman Nasir
Pengajar/peneliti di Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Unhas

You might also like