Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di
ruang leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteroides atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa: 1,2
1.
2.
3.
4.
5.
abses peritonsil
abses retrofaring
abses parafaring
abses submandibula
angina Ludovici (Ludwigs Angina)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
lapisan superfisial
lapisan tengah
lapisan dalam.
ruang retrofaring
ruang prevertebra.
ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikor
ruang peritonsil
ruang temporalis.
Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal.
2.2. DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah
kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena
adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan
reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain
dari tubuh.
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus
infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus
terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis
(7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober
2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari
satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil
9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses
peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus,
abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.
Jumlah
77
%
43
21
12
Faringotonsilitis
12
6,7
Fraktur mandibula
10
5,6
Infeksi kulit
5,1
Tuberculosis
5,1
Benda asing
3,9
Peritonsil abses
3,4
Trauma
3,4
Sialolitiasis
2,8
Parotis
1,7
Lain-lain
10
5,6
Tidak diketahui
35
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya.
Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran nafas
atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan
kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen,
dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan
tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
stadium
permulaan
(stadium
infiltrat),
selain
pembengkakan
tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.
Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi
aspirasi ke paru.7
Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan
(odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot potato voice). Rasa
nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N. Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus). Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah
peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis
dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,9
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.7
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik
aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa
overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.7,10
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn kokain
4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.10
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 46 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil
9
mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian
lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi
penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan
abses otak.
Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat
menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.
ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.
12
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak
dan luas abses.
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda
13
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.
Setinggi C4
1,5.C
Setinggi C6
2,0.C
1-2
0,5.C
1,5.C
2-3
0,5.C
1,2.C
3-6
0,4.C
1,2.C
6-14
0,3.C
1,2.C
Dewasa
Lk
pr
0,3C 0,3C
C= corpus servikal
Lk
pr
0,7C 0,6C
15
BAB III
PENUTUP
3. RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasikomplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis,
dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat
menjadi ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam
meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat
perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1
Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari: repository.usu.ac.id pada
tanggal 14 November 2013.
Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of the Head
and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari: www.otohns.net pada
tanggal 14 November 2013
16
Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ, Jhonson
JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott
Company 2006.p.666-81
Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu
penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]
Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com
pada tanggal 16 Juli 2011
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:
Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A Challenging Diagnosis.
Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh dari: www.entjournal.com pada
tanggal 16 Juli 2011
10 Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, hal : 19-21.
17