You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di
ruang leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteroides atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa: 1,2
1.
2.
3.
4.
5.

abses peritonsil
abses retrofaring
abses parafaring
abses submandibula
angina Ludovici (Ludwigs Angina)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LEHER


Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal.
Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini
dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah
inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk
berinsersi di bagian inferior mandibula.3,4

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring

Gambar 2. Potongan oblik leher

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem muskuloapenouretik,


yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian dari
daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:3
-

lapisan superfisial
lapisan tengah
lapisan dalam.

Ruang potensial leher dalam


Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang
leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.
Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

ruang retrofaring

ruang bahaya (danger space)


3

ruang prevertebra.

Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula

ruang parafaring

ruang parotis

ruang mastikor

ruang peritonsil

ruang temporalis.

Ruang infrahioid:

ruang pretrakeal.

Gambar 3. Potongan Sagital Leher

2.2. DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah
kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena
adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan
reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain
dari tubuh.
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.

2.3. EPIDEMIOLOGI
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus
infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus
terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis
(7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober
2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari
satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil
9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses
peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus,
abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

2.4. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh.
Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung
maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian
tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya.
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob,
anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan
kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari
daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob
yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri
aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.
Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui
foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid
menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan
molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah
submaksila.
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat
diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh puluh enam
persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula 61% disebabkan oleh
infeksi gigi.
Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat
diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi
orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma,
tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.


Penyebab
Gigi

Jumlah
77

%
43

Penyalahgunaan obat suntik

21

12

Faringotonsilitis

12

6,7

Fraktur mandibula

10

5,6

Infeksi kulit

5,1

Tuberculosis

5,1

Benda asing

3,9

Peritonsil abses

3,4

Trauma

3,4

Sialolitiasis

2,8

Parotis

1,7

Lain-lain

10

5,6

Tidak diketahui

35

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya.
Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran nafas
atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan
kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen,
dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan
tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

2.5. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS


Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada umumnya
yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Abshirini H, dkk melaporkan gejala
klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%,
disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala
spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7
2.5.1 Abses peritonsil
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di luar
kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.8
Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya
merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di
kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob.7,8
Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak.7
Pada

stadium

permulaan

(stadium

infiltrat),

selain

pembengkakan

tampak

permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.
Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi
aspirasi ke paru.7

Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan
(odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot potato voice). Rasa
nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N. Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus). Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah
peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis
dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,9
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.7
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik
aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa
overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.7,10
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn kokain
4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.10
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 46 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil
9

mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian
lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi
penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan
abses otak.

2.5.2 Abses retrofaring


Etiologi dan Patologi
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi atau anak
di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Kelenjar getah
bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi
mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat
pada daerah retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma
tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di samping
juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas
timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila
peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika
pada bayi atau anak kecil terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan
bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan
kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.
10

Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat
menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.

2.5.3 Abses Parafaring


Etiologi dan patologi
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau
kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher
dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun
mastikator.
Gejala dan tanda
Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan
disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan
dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang
mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.6,9
Terapi
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan bila
tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.
Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada 2 jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus
11

ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.

2.5.4 Abses Submandibula


Etiologi dan patologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher dalam lain.
Gejala dan tanda
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif. Trismus sering
ditemukan. Pada aspirasi didapatkan pus.
Terapi
Antibiotic dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral.
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas.

12

Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak
dan luas abses.
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda

2.5.5 Angina Ludovici (Ludwigs Angina)


Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang potensial ini
berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan ototmilohioideus.
Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi,
tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang submaksilaris.
Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri,
disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Kekerasan
yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong lidah ke atas dan ke belakang dan dengan
demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak
napas.7,8
Terapi
Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan
diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan insisi melalui
garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada
dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum
insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi
karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi
pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.

13

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.6.1. Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah
prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels, erosi dari korpus
vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan
setinggi servikal VI yang lebih 14mm pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai
suatu abses retrofaring.
Tabel 5. Tebal jaringan lunak posterior faring berdasarkan umur pada Rontgen servikal lateral
Umur
0-1

Setinggi C4
1,5.C

Setinggi C6
2,0.C

1-2

0,5.C

1,5.C

2-3

0,5.C

1,2.C

3-6

0,4.C

1,2.C

6-14

0,3.C

1,2.C

Dewasa

Lk

pr

0,3C 0,3C
C= corpus servikal

Lk

pr

0,7C 0,6C

2.6.2. Rontgen Panoramiks


Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.
2.6.3. Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran
nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.
14

2.6.4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)


Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses
leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti dikutip Murray AD dkk, bahwa dengan
hanya pemeriksaan klinis tanpa tomografi komputer mengakibatkan estimasi terhadap luasnya
abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. TK memberikan gambaran abses berupa lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse dan
Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses dengan adanya pus
pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses
ke mediastinum.
2.6.5. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus meliputi biakan
metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum
aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora
normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah
yang sehat dan dilakukan lebih dalam.

15

BAB III
PENUTUP

3. RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasikomplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis,
dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat
menjadi ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam
meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat
perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA
1

Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari: repository.usu.ac.id pada
tanggal 14 November 2013.

Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a transnasal


approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317, 2009. Diunduh dari:
www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 14 November 2013.

Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001, Volume 2,


Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 14
November 2013

Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of the Head
and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari: www.otohns.net pada
tanggal 14 November 2013

16

Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ, Jhonson
JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott
Company 2006.p.666-81

Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu
penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8

Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]
Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com
pada tanggal 16 Juli 2011

Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:
Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.

Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A Challenging Diagnosis.
Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh dari: www.entjournal.com pada
tanggal 16 Juli 2011

10 Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, hal : 19-21.

17

You might also like