You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit diare hingga kini masih merupakan penyebab kedua
morbiditas dan mortalitas pada anak usia kurang dari dua tahun di seluruh
dunia terutama di negara-negara berkembang. Jumlahnya mendekati satu
dalam lima orang, sehingga penyakit diare ini menyebabkan kematian pada
anak-anak melebihi AIDS dan malaria. Hampir satu triliun dan 2,5 milyar
kematian karena diare dalam dua tahun pertama kehidupan. Diare juga
menyebabkan 17% kematian anak balita di dunia. Tercatat 1,8 milyar orang
meninggal setiap tahun karena penyakit diare (termasuk kolera), banyak yang
mendapat komplikasi seperti malnutrisi, retardasi pertumbuhan, dan kelainan
imun.Rata-rata 8 sampai 10 juta balita meninggal tiap tahun, atau 23
balita meninggal setiap harinya. Di negara-negara miskin seperti Afrika
angka

kematian

balita akibat penyakit diare senantiasa

meningkat

jumlahnya tiap tahun (Depkes RI,2013)


Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Menurut Riskesdas 2013, insiden diare berdasarkan
gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi
1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi
3,3%-10,2%). Sedangkan period prevalence diare pada seluruh kelompok

umur (>2 minggu-1 bulan terakhir sebelum wawancara) berdasarkan gejala


sebesar 7% dan pada balita sebesar 10,2%. Jumlah penderita pada KLB diare
tahun 2013 menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2012 dari 1.654
kasus menjadi 646 kasus pada tahun 2013. KLB diare pada tahun 2013 terjadi
di enam provinsi dengan penderita terbanyak terjadi di Jawa Tengah yang
mencapai 294 kasus. Sedangkan angka kematian (CFR) akibat KLB diare
tertinggi terjadi di Sumatera Utara yaitu sebesar 11,76%. Secara nasional
angka kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2013 sebesar 1,08%.
Sedangkan target CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian
secara nasional, CFR KLB diare hampir memenuhi target program (Depkes
RI,2013).
Kejadian diare di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 perkiraan
diare sebanyak 178.519 kasus, adapun diare yang ditangani sebanyak 243.669
kasus (136,49%). Dengan kejadian terbesar di Kabupaten Takalar dengan
jumlah yang ditangani dilaporkan sebanyak 15.272 kasus dari seluruh jumlah
penduduk sebanyak 293.331 jiwa (Profil Dinkes Prov.Sulsel,2014)
Jumlah perkiraan kasus diare di Kabupaten Maros pada tahun 2013
adalah sebesar 10.177 kasus dari 331.800 jiwa penduduk pada tahun yang
sama. Jumlah kasus diare yang ditangani adalah sebesar 5.174 kasus atau
50,84 % (Profil Dinkes Kab.Maros ,2014)
Berdasarkan data pada Profil Puskesmas Tahun 2012 angka kejadian
diare di Kecamatan Tanralili sebesar 509 kasus dari 24.375 jiwa penduduk
atau sekitar 2,09 %. Kemudian pada tahun 2013 kasus diare menjadi 438 dari

24.702 jiwa penduduk atau sekitar 1.77 %. Pada tahun 2014 terjadi
peningkatan angka kejadian diare sebesar 494 kasus. Jumlah penduduk
Kecamatan Tanralili pada tahun 2014 adalah 25.704 jiwa. Atau 1.92 % dari
jumlah penduduk (Profil Puskesmas Tanralili, 2015).
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak
memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana
kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan perorangan
dan lingkungan yang jelek, rumah yang tidak sehat,penyiapan makanan
kurang matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang
tidak semestinya (Sander, 2005).
Prevalensi diare yang tinggi berkaitan dengan akses berkelanjutan
terhadap air minum berkualitas layak. Berdasarkan Profil Puskesmas Tanralili
tahun 2014, data penduduk dengan akses berkelanjutan terhadap air minum
berkualitas layak di Kecamatan Tanralili tahun 2014 sebesar 42.99 % hanya
mampu mengakses sumber air minum yang berasal dari air sumur gali
terbuka/ tidak terlindung. Akses air bersih menurut perpipaan atau ledeng
sebesar 20 % yang mencakup tiga desa namun belum menyeluruh di semua
dusun. Di samping itu terdapat tujuh penyelenggara air minum kemasan yang
terdapat di Kecamatan tanralili tahun 2014 dan setelah diperiksa sampelnya
85.71 % memenuhi syarat air minum yang sehat. Namun kondisi ini harus
terus dipantau agar kualitasnya tetap terjaga setiap saat.

Jumlah penduduk dengan akses sarana jamban sehat adalah 4286 atau
sekitar 17,1 %. Dari delapan desa yang ada hanya dua desa atau 25 % desa
yang telah melaksanakan sanitasi total berbasis masyarakat dan stop buang air
besar di sembarang tempat.
Data profil Puskesmas Tanralili tahun 2014 menunjukkan bahwa dari
100 KK yang disurveil di setiap desa, cakupan kepemilikan tempat sampah
sekitar 18,47 %. Dengan demikian sampah menjadi salah satu tempat yang
menarik bagi perkembang-biakan vektor lalat rumah atau musca domestica.
Lalat rumah ini berpotensi sebagai penyebab timbulnya diare pada manusia
melalui menempelnya mikroorganisme kuman dari sampah yang dibiarkan
pada bagian-bagian tubuh lalat.
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi
pendorong terjadinya diare yaitu faktor agent, penjamu, lingkungan dan
perilaku. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling dominan yaitu
sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor berinteraksi
bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta terakumulasi dengan perilaku manusia
yang tidak sehat, maka penularan diare dengan mudah dapat terjadi
(Hapsari,dkk,2013).
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Juariah (2000),
diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara kesakitan diare dengan
sumber air bersih, kepemilikan jamban, jenis lantai, pencahayaan rumah dan
ventilasi rumah. Rahadi (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

kepemilikan jamban, jarak SPAL, jenis lantai dengan kejadian diare.


Berdasarkan hasil penelitian Wibowo et al (2004) diketahui bahwa ada
hubungan yang bermakna antara terjadinya diare dengan pembuangan tinja
dan jenis sumber air minum.
Atas dasar uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai hubungan antara sarana sanitasi dasar dengan kejadian
diare pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
B. Batasan Masalah
Penulis ingin meneliti faktor yang berhubungan dengan kejadian diare
pada balita, ditinjau dari

tiga faktor yakni kualitas sumber air minum,

pengelolaan sampah, dan kepemilikan jamban. Dibatasinya hanya pada faktor


tersebut disebabkan oleh keterbatasan biaya, waktu dan tenaga yang dimiliki
oleh peneliti.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu Bagaimanakah hubungan

antara sanitasi dasar

rumah dengan kejadian diare di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros?


D. Tujuan Penelitian
1.

Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Kecamatan
Tanralili.

2.

Tujuan Khusus

a.

Mengetahui hubungan antara kualitas sumber air minum dengan


kejadian diare pada balita di Kecamatan Tanralili

b.

Mengetahui hubungan antara pengelolaan sampah dengan kejadian


diare pada balita di Kecamatan Tanralili

c.

Mengetahui hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian


diare pada balita di Kecamatan Tanralili

E. Manfaat Penelitian
1.

Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan tentang hubungan


antara sanitasi lingkungan dengan kejadian penyakit diare sehingga dapat
meningkatkan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat luas

2.

Menambah pengetahuan tentang hubungan antara sanitasi lingkungan


dengan kejadian penyakit diare sehingga masyarakat dapat lebih
meningkatkan sanitasi lingkungannya.

3.

Sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang
hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian penyakit diare.

4.

Menambah pengetahuan dan memberi pengalaman langsung dalam


mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Diare


1.

Definisi Diare
Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi
tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja,
2007). Menurut WHO (2008), diare didefinisikan sebagai berak cair tiga
kali atau lebih dalam sehari semalam. Berdasarkan waktu serangannya
terbagi menjadi dua, yaitu diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik ( 2
minggu) (Widoyono, 2008).

2.

Klasifikasi Diare
Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:
a.

Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari


(umumnya kurang dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi,
sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi
penderita diare.

b.

Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat


disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa.

c.

Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari


secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat
badan dan gangguan metabolisme.

d.

Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare
akut dan diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit
lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi dua yaitu:


a.

Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan
anak yang sebelumnya sehat.

b.

Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau
lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak
bertambah selama masa diare tersebut.

3.

Etiologi Diare
Menurut Widoyono (2008), penyebab diare dapat dikelompokan
menjadi:
a.

Virus: Rotavirus.

b.

Bakteri: Escherichia coli, Shigella sp dan Vibrio cholerae.

c.

Parasit: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan


Cryptosporidium.

d.

Makanan (makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak


lemak, sayuran mentah dan kurang matang).

e.

Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, dan protein.

f.

Alergi: makanan, susu sapi.

g.
4.

Imunodefisiensi.

Gejala diare
Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:

5.

a.

Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun

b.

meninggi.

c.

Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.

d.

Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.

e.

Anusnya lecet.

f.

Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.

g.

Muntah sebelum atau sesudah diare.

h.

Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).

i.

Dehidrasi.

Epidemiologi diare
Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut (Depkes RI,
2005).
a.

Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar


melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman
enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak
memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4/6 bulan pada
pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar,

tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar atau
sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi
anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
b.

Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare.


Beberapa faktor pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa
penyakit dan lamanya diare yaitu tidak memberikan ASI sampai dua
tahun,

kurang gizi,

campak,

immunodefisiensi,

dan

secara

proporsional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.


c.

Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu


penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu
sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan
tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman,
maka dapat menimbulkan kejadian diare.

6.

Distribusi penyakit diare


Distribusi penyakit diare berdasarkan orang (umur) sekitar 80%
kematian diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data
Tahun 2004 menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0-11
bulan, dan 450 juta anak usia 1-4 tahun yang tinggal di negara
berkembang, total episode diare pada balita sekitar 1,4 milyar kali per
tahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi usia di bawah

10

0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anak usia 1-4 tahun sekitar 925 juta
kali per tahun (Amiruddin, 2007).
7.

Penularan diare
Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh virus dan
bakteri.Penularan penyakit diare melalui fekal oral yang terjadi karena:
a.

Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya,


tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar
pada saat disimpan di rumah. Pencemaran ini terjadi bila tempat
penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.

b.

Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi,


mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja
tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut
hinggap dimakanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke
orang yang memakannya (Widoyono, 2008). Sedangkan menurut
(Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya menyebar
melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman
enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, yaitu: tidak
memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4-6 bulan pada
pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar,

11

tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar, tidak
mencuci tangan sesudah membuang tinja anak, tidak mencuci tangan
sebelum atau sesudah menyuapi anak dan tidak membuang tinja
termasuk tinja bayi dengan benar.
8.

Penanggulangan diare
Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare antara lain:
a.

Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan


Dini) Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang
jumlah penderita dan kematian serta penderita baru yang belum
dilaporkan dengan melakukan pengumpulan data secara harian pada
daerah focus dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai
risiko tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangakan pelaksanaan
SKD merupakan salah satu kegiatan dari surveilance epidemiologi
yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB
(Kejadian Luar Biasa) diare.

b.

Penemuan kasus secara aktif


Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena
diare pada saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di
masyarakat.

c.

Pembentukan pusat rehidrasi


Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan
perawatan dan pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi
KLB jauh dari puskesmas atau rumah sakit.

12

d.

Penyediaan logistik saat KLB


Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat
terjadinya KLB diare.

e.

Penyelidikan terjadinya KLB


Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan
pengamatan intensif baik terhadap penderita maupun terhadap faktor
risiko.

f.

Pemutusan rantai penularan penyebab KLB


Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB
diare meliputi peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan
penyuluhan kesehatan.

9.

Pencegahan diare
Menurut Depkes RI (2000), penyakit diare dapat dicegah melalui
promosi kesehatan antara lain:
a.

Meningkatkan penggunaan ASI (Air Susu Ibu).

b.

Memperbaiki praktek pemberian makanan pendamping ASI.

c.

Penggunaan air bersih yang cukup.

d.

Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

e.

Penggunaan jamban yang benar.

f.

Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak dan bayi


yang benar.

g.

Memberikan imunisasi campak.

13

B. Tinjauan Umum Tentang Sanitasi Dasar


Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks,
yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu
sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan
individu maupun kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Menurut model
segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat interaksi satu sama lain
yaitu antara faktor lingkungan, agent dan host (Timmreck, 2004).
Faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi
penentu pendorong terjadinya diare. Faktor lingkungan merupakan faktor
yang paling penting, sehingga untuk penanggulangan diare diperlukan upaya
perbaikan sanitasi lingkungan (Zubir, 2006). Seseorang yang daya tahan
tubuhnya kurang, maka akan mudah terserang penyakit. Penyakit tersebut
antara lain diare, kolera, campak, tifus, malaria, demam berdarah dan
influensa (Slamet, 2002). Masalah-masalah kesehatan lingkungan antara lain
pada sanitasi (jamban), penyediaan air minum, perumahan, pembuangan
sampah dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).
C. Tinjauan Umum Tentang Kualitas Sumber Air Minum
Air merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Kebutuhan
manusia akan air sangat komplek antara lain untuk minum, masak, mencuci,
mandi dan sebagainya. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat
penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan
minum (termasuk untuk memasak) air harus mempunyai persyaratan khusus
agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia termasuk diare.

14

Menurut

Peraturan

Menteri

Kesehatan

nomor

492/Menkes/Per/IV/2010 tanggal 19 April 2010 tentang Persyaratan Kualitas


Air Minum, ada beberapa persyaratan terkait air minum sebagai berikut :
1.

Parameter Wajib
a. Parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan :
1) Parameter mikrobiologi
a) E.Coli, kadar maksimum yang diperbolehkan dalam jumlah
per 100 sampel adalah nol
b) Total bakteri Koliform, kadar maksimum yang diperbolehkan
dalam jumlah per 100 sampel adalah nol
2) Kimia anorganik, batas maksimum yang diperbolehkan dalam
satuan mg/l adalah
a) Arsen

: 0.01

b) Fluorida

: 1.5

c) Total kromium

: 0.05

d) Kadmium

: 0.003

e) Nitrit

:3

f) Nitrat

: 50

g) Sianida

: 0.07

h) Selenium

: 0.01

b. Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan


1) Fisik
a) Bau

: tidak berbau

15

b) Warna

: maksimal 5 TCU

c) Total Sat Padat Terlarut : maklsimal 500 mg/l


d) Kekeruhan

: 5 NTU

e) Rasa

; tidak berasa

f) Suhu

:30C

2) Kimiawi ; kadar maksimum yang diperbolehkan tiap mg/l adalah:

2.

a) Aluminium

: 0.2

b) Besi

: 0.3

c) Kesadahan

: 500

d) Klorida

: 250

e) Mangan

: 0.4

f) Ph

: 6.5-8.5

g) Seng

:3

h) Sulfat

: 250

i) Tembaga

:2

j) Amonia

: 1.5

Parameter Tambahan :
a. Kimiawi
1) Bahan Anorganik yaitu air raksa maksimum 0.001 mg/l,
antimon 0,02 mg/l, barium 0.7 mg/l, boron 0,5 mg/l,timbal
0,01 mg/l
2) Bahan organik seperti deterjen maksimum 0,05 mg/l
3) Pestisida seperti DDT maksimum 0.001 mg/l

16

4) Desinfektan

dan

hasil

sampingannya

seperti

klorin

maksimum 5 mg/l.
b.

Radioaktifitas yaitu gross alfa activity maksimum 0,1 Bq/l, dan


Gross Beta Activity maksimum 1 Bq/l

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah:


1) Mengambil air dari sumber air yang bersih.
2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup,
serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang,
anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum
dengan sumber pengotoran (tangki septik), tempat pembuangan sampah
dan air limbah harus lebih dari 10 meter.
4) Menggunakan air yang direbus.
5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan
cukup (Depkes RI, 2000).
Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari, maka
masyarakat menggunakan berbagai macam sumber air bersih menjadi air
minum. Sumber-sumber air minum tersebut seperti :
1) Air hujan atau Penampungan Air Hujan (PAH)
Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Tetapi air
hujan ini tidak mengandung kalsium. Oleh karena itu, agar dapat
dijadikan air minum yang sehat perlu ditambahkan kalsium di dalamnya.

17

2) Air sungai dan danau


Menurut asalnya sebagian dari air sungai dan air danau ini juga dari air
hujan yang mengalir melalui saluran-saluran ke dalam sungai atau danau.
Kedua sumber air ini sering disebut air permukaan.
3) Mata air
Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah yang
muncul secara alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air ini, bila belum
tercemar oleh kotoran sudah dapat dijadikan air minum langsung, tetapi
karena belum yakin apakah betul belum tercemar, maka sebaiknya air
tersebut direbus terlebih dahulu sebelum diminum.
4) Air sumur dangkal
Air ini keluar dari dalam tanah, maka juga disebut air tanah. Dalamnya
lapisan air ini dari permukaan tanah dari tempat yang satu ke tempat
yang lain berbeda-beda. Biasanya berkisar antara 5 sampai dengan 15
meter dari permukaan tanah.
5) Air sumur dalam
Air ini berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya dari
permukaan tanah biasanya di atas 15 meter. Oleh karena itu, sebagian
besar air minum dalam ini sudah cukup sehat untuk dijadikan air minum
yang langsung (tanpa melalui proses pengolahan).
Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004) kelompok kasus
sebesar 68,25% keluarga menggunakan sumber air minum yang
memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%) menggunakan

18

sumur terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat


sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak
balita sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan keluarga yang menggunakan
sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi.
Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa
dan tidak berbau. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat-syarat air minum yang
sehat adalah sebagai berikut:
1.

Syarat Fisik
Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak
berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu dibawah suhu udara di
luarnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari cara mengenal air yang
memenuhi persyaratan fisik tidak sukar.

2. Syarat Bakteriologis
Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala
bakteri, terutama bakteri patogen. Cara untuk mengetahui apakah air
minum terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah dengan memeriksa
sampel air tersebut. Bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari
empat bakteri E. coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat
kesehatan.
3. Syarat Kimia
Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di
dalam jumlah tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat
kimia di dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia

19

seperti flour (1-1,5 mg/l), chlor (250 mg/l), arsen (0,05 mg/l), tembaga
(1,0 mg/l), besi (0,3 mg/l), zat organik (10 mg/l), pH (6,5-9,6 mg/l), dan
CO2 (0 mg/l).
Berdasarkan hasil penelitian Rahadi (2005) bahwa air mempunyai
peranan besar dalam penyebaran beberapa penyakit menular. Besarnya
peranan air dalam penularan penyakit disebabkan keadaan air itu sendiri
sangat membantu dan sangat baik untuk kehidupan mikroorganisme. Hal
ini dikarenakan sumur penduduk tidak diplester dan tercemar oleh tinja.
Banyaknya sarana air bersih berupa sumur gali yang digunakan
masyarakat mempunyai tingkat pencemaran terhadap kualitas air bersih
dengan kategori tinggi dan amat tinggi.
Kondisi fisik sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat
kesehatan berdasarkan penilaian inspeksi sanitasi dengan kategori tinggi
dan amat tinggi dapat mempengaruhi kualitas air bersih dengan adanya
pencemaran air kotor yang merembes ke dalam air sumur.
D. Tinjauan Umum Tentang Sampah
1.

Pengertian Sampah
Sampah merupakan material sisa baik dari hewan, manusia,
maupun tumbuhan yang tidak terpakai lagi dan dilepaskan ke alam dalam
bentuk padatan, cair ataupun gas. Sampah adalah istilah umum yang
sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Sedangkan limbah itu
sendiri pada dasarnya berarti suatu bahan yang terbuang atau dibuang
dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak

20

atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai


ekonomi yang negatif. Sampah dikatakan mempunyai nilai negatif karena
penanganan untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya
yang cukup besar, disamping juga dapat mencemari lingkungan
(Najmulmunir, 2000).
Sampah dalam pengertian ilmu kesehatan lingkungan, sebenarnya
hanya sebagian dari benda yang dipandang tidak digunakan, tidak
dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga
tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup (Azrul, 1983).
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses
alam yang berbentuk padat. Para Ahli Kesehatan Masyarakat Amerika,
membuat

batasan,

sampah

(waste)

adalah

sesuatu

yang tidak

digunakan,tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang


berasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya.
2.

Jenis-Jenis Sampah :
a.

Berdasarkan sumbernya terdiri dari sampah alam, sampah manusia,


sampah konsumsi, sampah nuklir, sampah industri, dan sampah
pertambangan.

b.

Berdasarkan sifatnya, terdiri dari :


1) Sampah organik yaitu sampah yang dapat diurai atau mudah
membususk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering.
Sampah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos.

21

2) Sampah anorganik yaitu sampah yang tidak mudah membusuk,


seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan,
botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah ini
dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk
dijadikan produk laiannya. Beberapa sampah anorganik yang dapat
dijual adalah plastik wadah pembungkus makanan, botol dan gelas
bekas minuman, kaleng, kaca, dan kertas, baik kertas koran, HVS,
maupun karton.
c.

Berdasarkan bentuknya terdiri dari :


1)

Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia,


urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga: sampah
dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain-lain. Menurut
bahannya sampah ini dikelompokkan menjadi sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah organik Merupakan sampah yang berasal
dari barang yang mengandung bahan-bahan organik, seperti sisa-sisa
sayuran, hewan, kertas, potongan-potongan kayu dari peralatan
rumah tangga, potongan-potongan ranting, rumput pada waktu
pembersihan kebun dan sebagainya.

2)

Sampah cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak
diperlukan kembali dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.

3.

Pengelolaan sampah
Pengelolaan

sampah

adalah

pengumpulan,

pengangkutan,

pemrosesan, pendaurulangan, atau pembuangan dari material sampah.


Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari

22

kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya


terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah juga
dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa
melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian
khusus untuk masing-masing jenis zat.
Praktik pengelolaan sampah berbeda beda antara negara maju dan
negara berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah
pedesaan, berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri.
Pengelolaan sampah yang tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di
area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,
sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani
oleh perusahaan pengolah sampah. Metode pengelolaan sampah berbedabeda tergantung banyak hal, di antaranya tipe zat sampah, tanah yang
digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.
a. Tujuan Pengelolaan sampah
b.

mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis (Lihat:


Pemanfaatan sampah), atau

c.

mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi


lingkungan hidup.

Metode Pembuangan
Penimbunan darat
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penimbunan darat

Penimbunan darat sampah di Hawaii.

23

Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk


membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia.
Penimbunan ini biasanya dilakukan di tanah yang tidak terpakai, lubang
bekas

pertambangan,

atau

lubang-lubang

dalam.

Sebuah

lahan

penimbunan darat yang dirancang dan dikelola dengan baik akan menjadi
tempat penimbunan sampah yang higienis dan murah. Sedangkan
penimbunan darat yang tidak dirancang dan tidak dikelola dengan baik akan
menyebabkan berbagai masalah lingkungan, di antaranya angin berbau
sampah, menarik berkumpulnya Hama, dan adanya genangan air sampah.
Efek samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang
juga sangat berbahaya. (di Bandung kandungan gas methan ini meledak dan
melongsorkan gunung sampah)

Kendaraan pemadat sampah penimbunan darat.


Karakteristik desain dari penimbunan darat yang modern di antaranya adalah
metode pengumpulan air sampah menggunakan bahan tanah liat atau
pelapis plastik. Sampah biasanya dipadatkan untuk menambah kepadatan
dan kestabilannya, dan ditutup untuk tidak menarik hama (biasanya tikus).
Banyak penimbunan sampah mempunyai sistem pengekstrasi gas yang
dipasang untuk mengambil gas yang terjadi. Gas yang terkumpul akan

24

dialirkan keluar dari tempat penimbunan dan dibakar di menara pembakar


atau dibakar di mesin berbahan bakar gas untuk membangkitkan listrik.
Metode Daur Ulang
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daur-ulang
Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk
digunakan kembali disebut sebagai daur ulang. Ada beberapa cara daur
ulang, pertama adalah mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi
atau mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar untuk membangkitkan
listrik. Metode-metode baru dari daur ulang terus ditemukan dan akan
dijelaskan di bawah.
Pengolahan kembali secara fisik

Baja dibuang, dan kelengkapan dilaporkan dipilih pada kemudahan Central


European Waste Management (Eropa).
Metode ini adalah aktivitas paling populer dari daur ulang, yaitu mengumpulkan
dan menggunakan kembali sampah yang dibuang, contohnya botol bekas
pakai yang dikumpulkan untuk digunakan kembali. Pengumpulan bisa
dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak
sampah/kendaraan sampah khusus), atau dari sampah yang sudah
tercampur.

25

Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminium, kaleng baja
makanan/minuman, Botol HDPE dan PET, botol kaca, kertas karton, koran,
majalah, dan kardus. Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga
bisa didaur ulang. Daur ulang dari produk yang kompleks seperti komputer
atau mobil lebih susah, karena bagian-bagiannya harus diurai dan
dikelompokkan menurut jenis bahannya.
Pengolahan biologis
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pengkomposan

Pengkomposan.
Material sampah ((organik)), seperti zat tanaman, sisa makanan atau kertas, bisa
diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal
dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan
sebagai pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan
listrik.
Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah
Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto, Kanada, di mana

26

sampah organik rumah tangga, seperti sampah dapur dan potongan


tanaman dikumpulkan di kantong khusus untuk dikomposkan.
Pemulihan energi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sampah menjadi energi (Waste-toenergy)

Komponen pencernaan Anaerobik di pabrik Lbeck mechanical biological


treatment di Jerman, 2007
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan
cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara
mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur ulang melalui cara
"perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebagai bahan
bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk
memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbingenerator. Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakuan panas yang
berhubungan, ketika sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan
miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada
Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi
produk berzat padat, gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk
menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa
selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif. Gasifikasi
dan Gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi

27

material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara karbon


monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan
listrik dan uap.
Metode penghindaran dan pengurangan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Minimalisasi sampah
Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat
sampah terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah".
Metode pencegahan termasuk penggunaan kembali barang bekas pakai,
memperbaiki barang yang rusak, mendesain produk supaya bisa diisi ulang
atau bisa digunakan kembali (seperti tas belanja katun menggantikan tas
plastik), mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan barang sekali
pakai (contohnya kertas tisu), dan mendesain produk yang menggunakan
bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama (contoh, pengurangan
bobot kaleng minuman).
Konsep pengelolaan sampah
Terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan sampah yang berbeda dalam
penggunaannya, antara negara-negara atau daerah. Beberapa yang paling
umum, multikonsep yang digunakan adalah:

Diagram dari hirarki limbah.

28

Hierarki Sampah - hierarki limbah merujuk kepada " 3 M " mengurangi sampah,
menggunakan kembali sampah dan daur ulang, yang mengklasifikasikan strategi
pengelolaan sampah sesuai dengan keinginan dari segi minimalisasi sampah. Hierarki
limbah yang tetap menjadi dasar dari sebagian besar strategi minimalisasi sampah.
Tujuan limbah hierarki adalah untuk mengambil keuntungan maksimum dari produkproduk praktis dan untuk menghasilkan jumlah minimum limbah.

Perpanjangan tanggung jawab penghasil sampah/Extended Producer Responsibility


(EPR).(EPR) adalah suatu strategi yang dirancang untuk mempromosikan integrasi semua
biaya yang berkaitan dengan produk-produk mereka di seluruh siklus hidup (termasuk
akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam pasar harga produk. Tanggung jawab
produser diperpanjang dimaksudkan untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh
Lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar. Ini berarti perusahaan yang
manufaktur, impor dan/atau menjual produk diminta untuk bertanggung jawab atas
produk mereka berguna setelah kehidupan serta selama manufaktur.

prinsip pengotor membayar - prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak
pencemar membayar dampak akibatnya ke lingkungan. Sehubungan dengan
pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar
sesuai dari pembuangan
Pendidikan dan Kesadaran
Pendidikan dan kesadaran di bidang pengelolaan limbah dan sampah yang
semakin penting dari perspektif global dari manajemen sumber daya.
Pernyataan yang Talloires merupakan deklarasi untuk kesinambungan
khawatir dengan skala dan belum pernah terjadi sebelumnya kecepatan
dan degradasi lingkungan, dan penipisan sumber daya alam. Lokal, regional,

29

dan global polusi udara; akumulasi dan distribusi limbah beracun, penipisan
dan kerusakan hutan, tanah, dan air; dari penipisan lapisan ozon dan emisi
dari "rumah hijau" gas mengancam kelangsungan hidup manusia dan
ribuan lainnya hidup spesies, integritas bumi dan keanekaragaman hayati,
keamanan negara, dan warisan dari generasi masa depan. Beberapa
perguruan tinggi telah menerapkan Talloires oleh Deklarasi pembentukan
pengelolaan lingkungan hidup dan program pengelolaan sampah, misalnya
pengelolaan sampah di universitas proyek. Universitas pendidikan kejuruan
dan dipromosikan oleh berbagai organisasi, misalnya WAMITAB Chartered
dan Lembaga Manajemen dari limbah.
Bencana sampah yang tidak dikelola dengan baik
1. Longsor tumpukan sampah
2. Sumber penyakit
3. Pencemaran lingkungan
4. Menyebabkan banjir

3.

Pengelolaan Sampah

E. Tinjauan Umum tentang Kepemilikan Jamban


Jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai
tempat buang air besar. Sehingga sebagai tempat pembuangan tinja, jamban
sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi
masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa
gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2003),

30

suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila memenuhi


persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1.

Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut.

2.

Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.

3.

Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.

4.

Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan


binatang-binatang lainnya.

5.

Tidak menimbulkan bau.

6.

Mudah digunakan dan dipelihara.

7.

Sederhana desainnya.

8.

Murah.

9.

Dapat diterima oleh pemakainya.


Menurut

Entjang

(2000),

macam-macam

kakus

atau

tempat

pembuangan tinja, yaitu:


4. Pit-privy (Cubluk)
Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah
dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat
dengan batu atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak agar tidak
mudah ambruk. Lama pemakaiannya antara 5-15 tahun. Bila permukaan
penampungan tinja sudah mencapai kurang lebih 50 cm dari permukaan
tanah, dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk yang penuh ditimbun
dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan. Isinya digali kembali untuk pupuk,
sedangkan lubangnya dapat dipergunakan kembali.

31

5. qua-privy (Cubluk berair)


Terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai
tempat pembuangan tinja. Proses pembusukannya sama seperti halnya
pembusukan tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar berfungsi dengan
baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik sedang dipergunakan atau
tidak
6. Watersealed latrine (Angsa-trine)
Jamban jenis ini merupakan cara yang paling memenuhi
persyaratan, oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang
dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga
akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat, sehingga
bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus.
7. Bored hole latrine
Sama dengan cubluk, hanya ukurannya lebih kecil karena untuk
pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.

32

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti


Secara umum faktor risiko diare pada dewasa yang sangat
berpengaruh terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air
bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah),
perilaku hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan,
alergi, malabsorpsi, keracunan, immune defisiensi serta sebab-sebab lain.
Pada balita faktor risiko terjadinya diare selain faktor intrinsik dan
ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan perilaku ibu atau
pengusaha balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan
sangat tergantung pada lingkunganya, jadi apabila ibu balita atau pengasuh
balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian diare
pada balita tidak dapat dihindari.
1.

Sumber Air Minum


Penyediaan air untuk rumah tangga bisa tergolong penyediaan
air bersih dan bisa juga penyediaan air minum. Rumah tangga yang
mencukupi kebutuhan airnya dari sumur atau sumber-sumber lainya
termasuk penyediaan air bersih. Tetapi untuk perumahan/pemukiman
yang kebutuhan airnya dicukupi dari perusahan air minum yang
diusahakan baik pemerintah maupun badan hukum yang lain, maka

33

termasuk penyediaan air minum, karena kualitas air yang distribusikan


telah memenuhi syarat sebagai air minum (Sarudji, 2006).
Persyaratan untuk penyediaan air bersih yang mengusahakan
dari sumur sendiri perlu memperhatikan kualitas air sumurnya dengan
selalu memperhatikan kontruksi sumur, sumber pencemar dan cara
pengolahan sebelum dikonsumsi. Sedangkan untuk yang sumbernya dari
PDAM, perlu diperhatikan back siphonage dan cross conection. (Sarudji,
2006).
Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004) kelompok kasus
sebesar 68,25% keluarga menggunakan sumber air minum yang
memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%) menggunakan
sumur terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak
balita sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan keluarga yang menggunakan
sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi.
2.

Kualitas Fisik Air Bersih


Menurut Sarudji (2006) erikut ini kita membahas tentang kualitas air
yang baik secara fisik. Kualitas air yang baik secara fisik adalah :
a.

Rasa
Kualitas air bersih yang baik adalah tidak berasa. Rasa dapat
ditimbulkan karena adanya zat organik atau bakteri.usur lain yang
masuk kedalam badan air

34

b.

Bau
Kualitas air bersih yang baik adalah tidak berbau, karena bau
ini dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri
serta kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran
lingkungan, terutama sistem sanitasi.

c.

Suhu
Secara umum, kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan
kenaikan aktifitas biologi sehingga akan membentuk O2 lebih
banyak lagi. Kenaikan suhu perairan secara alamiah biasanya
disebabkan oleh aktifitas penebangan vegetasi di sekitar sumber air
tersebut, sehingga menyebabkan banyaknya cahaya matahari yang
masuk tersebut mempengaruhi akuifer yang ada secara langsung atau
tidak langsung.

d.

Kekeruhan
Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan
organik dan anorganik, kekeruhan juga dapat mewakili warna.
Sedang dari segi estetika kekeruhan air dihubungkan dengan
kemungkinan hadirnya pencemaran melalui buangan sedang warna
air tergantung pada warna buangan yang memasuki badan air.

e.

TDS atau jumlah zat padat terlarut (total dissolved solids)


Adalah bahan padat yang tertinggal sebagai residu pada
penguapan dan pengeringan pada suhu 103 C 105 C dalam
portable water kebanyakan bahan bakar terdapat dalam bentuk

35

terlarut yang terdiri dari garam anorganik selain itu juga gas-gas
yang terlarut.Kandungan total solids pada portable water biasanya
berkisaran antara 20 sampai dengan 1000 mg/l dan sebagai suatu
pedoman kekerasan dari air akan meningkatnya total solids,
disamping itu pada semua bahan cair jumlah koloit yang tidak
terlarut dan bahan yang tersuspensi akan meningkat sesuai derajat
dari pencemaran
Zat padat selalu terdapat dalam air dan kalau jumlahnya
terlalu banyak tidak baik sebagai air minum, banyaknya zat padat
yang diisyaratkan untuk air minum adalah kurang dari 500 mg/l.
Pengaruh

yang

menyangkut

aspek

kesehatan

dari

pada

penyimpangan kualias air minum dalam hal total solids ini yaitu
bahwa air akan memberikan rasa tidak enak pada lidah dan rasa mual
3.

Pemanfaatan Jamban
Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya
memiliki beberapa pilihan akses yang digunakan secara bergantian,
sebelum dialirkan ke sungai. Khusus bagi masyarakat , meski memiliki
toilet dirumah, mereka juga masih memanfaatkan toilet terbuka
seperti sungai atau empang. Masyarakat menjadikan kepraktisan dan
norma umum (semua orang melakukanya) sebagai alasan utama untuk
menyalurkan

kotorannya kesungai. tidak heran, sungai-sungai di

Indonesia bisa disebut sebagai jamban raksasa karena masyarakat


Indonesia umumnya menggunakan sungai untuk buang air. Masyarakat

36

urban diperkotaan yang tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah


petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan besar untuk
membangun septic tank karena itu, mereka biasanya tak memiliki
jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi
pembatas semen. Kala hujan tiba, kotoran yang ada ditanah terbawa air
hujan masuk ke dalam sumur. Air yang sudah terkontaminasi inilah
yang memudahkan terjadinya diare (Hiswani, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004) jenis tempat
pembuangan tinja yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus
adalah jenis leher angsa (68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis
plengsengan dan 23,8% tidak memiliki jamban.
B. Skema Kerangka Konsep

Sumber Air Minum


Kualitas Fisik Air Bersih

Kejadian Diare
Pada balita

Kepemilikan Jamban

Keterangan :
Variable independen
Variable dependen

37

C. Definisi Operasional Variabel


1.

Variabel Independen
a.

Sumber air minum adalah asal atau jenis air yang digunakan untuk
minum bagi keperluan hidup sehari-hari terdiri dari :
1) Skala pengukuran : Nominal
2) Kategori :
a) Air terlindung
(1) PDAM
(2) Air mineral
b) Air tidak terlindung
(1) Sungai
(2) Sumur

b.

Kualitas Fisik Air Bersih adalah

kondisi fisik air minum yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.


1) Skala pengukuran : Nominal
2) Kategori :
a) Memenuhi syarat, jika tidak keruh, tidak berwarna, tidak
berbau, dan tidak berasa.
b) Tidak memenuhi syarat, jika keruh, berwarna, berbau dan
berasa.
c.

Kepemilikan jamban adalah sarana yang digunakan untuk buang air


besar yang dimiliki oleh responden.
1) Skala pengukuran : Nominal

38

2) Kategori :
a) Memiliki jamban, jika ada lubang leher angsa/tangki septik,
bersih dan tertutup.
b) Tidak memiliki jamban, jika tidak ada lubang leher
angsa/tangki septik, kotor dan tidak tertutup.
2.

Variabel Dependen
Kejadian diare adalah balita yang menderita diare dengan buang air besar
lembek, cair dan bahkan dapat berupa air saja lebih dari tiga kali sehari
dalam 6 bulan terakhir.
a.

Skala ukur : Nominal

b.

Kategori :
1) Diare, jika mengalami diare dalam satu tahun terakhir.
2) Tidak diare, jika tidak mengalami diare dalam satu tahun
terakhir.

D. Hipotesis Penelitian
1.

Hipotesis Null (Ho)


1.

Tidak ada hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare
pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

2.

Tidak ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian
diare pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

3.

Tidak ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian


diare pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

39

2.

Hipotesis Alternatif (Ha)


1.

Ada hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada
balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

2.

Ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare
pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

3.

Ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare


pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

40

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat
observasional dengan metode pendekatan cross-sectional, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam suatu
periode waktu tertentu dan setiap subjek studi hanya dilakukan satu kali
pengamatan selama penelitian (Machfoedz, 2007).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan pada sebagian rumah yang mempunyai
balita dan pernah menderita diare di Kecamatan Tanrali pada bulan Maret
2015.
C. Populasi dan Sampel
1.

Populasi
Keseluruhan keluarga yang mempunyai anggota keluarga balita
di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh rumah yang mempunyai balita dan pernah menderita diare
pada tahun 2014 yang bertempat tinggal di Kecamatan Tanralili sebanyak
354 kasus.

2.

Sampel Besar
Besar sampel dapat dihitung dengan rumus Khotari dalam Murti
(2006) sebagai berikut :

41

N.Z12 - /2 p.q
n

d2 (N-1) + Z12 - /2.p.q

Keterangan:
n

: Besar sampel

: Besar populasi

: Perkiraan proporsi (prevalensi) variabel dependen pada


populasi (95%)

:1p

Z1 /2 : statistik Z (Z = 1,96 untuk = 0,05)


d

: Data presisi absolut atau largin of error yang diinginkan


diketahui sisi proporsi (5%)

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel pada penelitian ini


adalah
:

354 (1,96)2 . 0,95 . 0,05


0,05 2 (354-1) + 1,962.0,95 . 0,05

= 1359,9264 . 0,0475
0,8825 + 0,182476
= 64.596504
1.064976
= 60.65536125
= 61
Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 61 balita.
3.

Responden
Responden dalam penelitian ini adalah ibu balita yang pernah menderita
diare pada tahun 2014 di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

42

4.

Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah

menggunakan

Simple

Random

Sampling,

yaitu

metode

pengambilan sampel secara acak di mana masing-masing populasi


mempunyai peluang yang sama besar untuk terpilih sebagai sampel
(Murti, 2006).
D. Metode Pengumpulan Data
1.

Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif, yang
diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner dan observasi secara
langsung mengenai sumber air minum, kualitas fisik air bersih, dan
kepemilikkan jamban.

2.

Sumber Data
a.

Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Maros, Puskesmas tanralili dan instansi terkait. Selain itu data juga
diperoleh melalui studi pustaka dan data berbasis elektronik Data
Primer

b.

Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara
menggunakan kuesioner dan observasi oleh peneliti secara langsung
kepada responden mengenai sumber air minum, kualitas fisik air
bersih, dan kepemilikkan jamban.

43

3.

Cara pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan
kuesioner dan observasi oleh peneliti secara langsung kepada responden
pada sumber air minum, kualitas fisik air bersih, dan kepemilikan
jamban.

E. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.

Kuesioner

b.

Alat tulis

c.

Kamera digital
Kuesioner diuji dengan uji validitas dan reliabilitas. Sifat valid

memberikan pengertian bahwa alat ukur yang digunakan mampu memberikan


nilai yang sesungguhnya dari nilai yang diinginkan. Uji validitas instrumen
menggunakan uji korelasi product moment person. Uji realiabilitas dengan
rumus Alfa Cronbach. Rumus korelasi product moment person adalah
sebagai berikut:

Keterangan :
rxy

: Korelasi antara variabel x dan y

: Banyaknya subjek

: Skor ganjil

: Skor genap

44

X dan Y : Skor masing-masing skala


F. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah (editing, coding,
entry, dan tabulating data).
1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban,
konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.
2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses
pengolahan data dengan memberikan angka nol atau satu.
3. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.
4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan
diteliti guna memudahkan analisis data.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.

Analisis univariat
Analisis

univariat

yaitu

analisis

yang

digunakan

untuk

menggambarkan atau mendiskripsikan dari masing-masing variabel, baik


variabel bebas dan variabel terikat dan karakteristik responden.
2.

Analisis bivariat
Dilakukan untuk menguji hubungan variabel bebas dan variable
terikat dengan uji statistik chi square (2) untuk mengetahi hubungan
yang signifikan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel
terikat. Uji chi square dilakukan dengan mengunakan bantuan perangkat
lunak berbentuk komputer dengan tingkat signifikan p>0,05 (taraf

45

kepercayaan 95%). Dasar pengambilan keputusan dengan tingkat


kepercayaan 95% :
a. Jika nilai sig p>0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.
b. Jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis penelitian diterima (Budiarto,
2001).
G. Personalia Penelitian
1.

Pembimbing I

: Prof.Dr.H.Indar,SH,MPH

2.

Pembimbing II

: Idris,SKM,M.Kes

3.

Peneliti

a.

Nama

: Jumiati

b.

NIM

: 1320011

46

You might also like