You are on page 1of 6

Pengobatan Terkini Hepatitis Kronik B dan C

Rino A Gani, Dr, SpPD-KGEH


Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN Cipto Mangunkusumo

RS. Internasional Bintaro


Jl. MH Thamrin No.1
Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang
Phn. (021) 745 5500 / 600
Fax. (021) 745 5800

Created on 3/17/2005 at 8:48:54 AM

Pendahuluan
Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun yang
terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain dapat
memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis dibedakan
dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh karena sifat
hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis)
adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase
(ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati.
Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda
peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat
menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE)
sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan
C.
Infeksi virus-virus hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di Indonesia. Hepatitis
akut walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis C, dapat menyebabkan
penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk jangka waktu yang cukup panjang. Hepatitis
kronik selain juga dapat menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien, lebih lanjut dapat
menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati dan kanker hati.
Pengelolaan yang baik pasien hepatitis akibat virus sejak awal infeksi sangat penting untuk
mencegah berlanjutnya penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul. Akhir-akhir
ini beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak yang berubah dengan cepat
sehingga perlu dicermati agar dapat memberikan pengobatan yang tepat.

Created on 3/17/2005 at 8:48:54 AM

Hepatitis B
Tujuan pengobatan pada hepatitis kronik karena infeksi VHB adalah menekan replikasi
VHB sebelum terjadi kerusakan hati yang ireversibel. Saat ini, hanya interferon-alfa (IFN-) dan
nukleosida analog yang mempunyai bukti cukup banyak untuk keberhasilan terapi. Respon
pengobatan ditandai dengan menetapnya perubahan dari HBeAg positif menjadi HBeAg negatif
dengan atau tanpa adanya anti-HBe. Hal ini disertai dengan tidak terdeteksinya DNA-VHB
(dengan metode non-amplifikasi) dan perbaikan penyakit hati (normalisasi nilai ALT dan
perbaikan gambaran histopatologi apabila dilakukan biopsi hati). Umumnya pengobatan hepatitis
B dibedakan antara pasien dengan HBeAg positif dengan pasien dengan HBeAg negatif karena
berbeda dalam respon terhadap terapi dan manajemen pasien. Pengobatan antivirus hanya
diindikasikan pada kasus-kasus dengan peningkatan ALT.
Interferon mempunyai efek antivirus, antiproliferasi dan immunomodulator. Cara kerja
interferon dalam pengobatan hepatitis belum diketahui dengan pasti. Pada pasien dengan HBeAg
positif, pemberian IFN- 3 juta unit, 3 kali seminggu selama 6-12 bulan dapat memberi
keberhasilan terapi (hilangnya HBeAg yang menetap) pada 30 40 % pasien. Pasien dengan
HBeAg negatif, respon terapi dengan melihat perubahan HBeAg tidak bisa digunakan. Untuk
pasien dalam kelompok ini, respon terapi ditandai dengan tidak terdeteksinya DNA-VHB
(dengan metode non-amplifikasi) dan normalisasi ALT yang menetap setelah terapi dihentikan.
Respon menetap dapat dicapai pada 15 25% pasien.

Penggunaan interferon juga dapat

menghilangkan HBsAg pada 7.8% pada pasien dengan HBeAg positif dan 2 8% pada pasien
dengan HBeAg negatif. Hilangnya HBsAg tidak tercapai pada penggunaan lamivudin.
Penggunaan pegylated-interferon alfa 2a selama 48 minggu pada pasien hepatitis B
kronik dengan HBe-Ag negatif setelah 24 minggu follow-up 59 % pasien menunjukkan

Created on 3/17/2005 at 8:48:54 AM

transaminase normal dan 43 % dengan DNA VHB yang rendah (< 20.000 copy/mL)
dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan lamivudine saja (44 % dengan transaminase
normal dan 29 % dengan DNA VHB rendah).
Lamivudin lebih kurang menimbulkan efek samping dibandingkan dengan inteferon dan
dapat digunakan per oral sehingga lebih praktis untuk pasien. Lamivudin digunakan dengan dosis
100 mg per hari, minimal selama 1 tahun. Kebehasilan terapi dengan menghilangnya HBeAg
dicapai 16-18% pasien. Angka keberhasilan terapi dapat lebih besar bila jangka waktu
pengobatan ditambahkan namun bersamaan dengan itu, timbulnya VHB mutan juga menjadi
lebih besar yang dapat menghambat keberhasilan terapi.
Studi jangka panjang penggunaan lamivudin menunjukkan obat ini dapat menurunkan
angka kejadian komplikasi akibat hepatitis kronik berat atau sirosis. Studi semacam ini belum ada
pada interferon walaupun angka keberhasilan serokonversi lebih besar dari pada lamivudin
Nukleosida analog lain seperti adefovir memberikan angka keberhasil terapi yang lebih
kurang sama dengan lamivudin tetapi kurang menimbulkan mutan sehingga dapat digunakan
apabila ditakutkan akan timbulnya virus mutan atau apabila pada penggunaan lamivudin sudah
timbul virus mutan. Entecavir memberikan angka keberhasilan serokonversi yang hampir sama
dengan lamivudin.
Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C kronik pada dasarnya adalah dengan menggunakan inteferon dan
ribavirin. Inteferon monoterapi saja tidak dianjurkan karena relatif rendahnya angka keberhasilan
terapi. Keputusan pemberian interferon harus didasari dengan adanya peningkatan ALT dan RNA
VHC yang positif dalam serum. Konsensus penanganan hepatitis C di Eropa dan Amerika
menekankan untuk perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronik
bisa sangat fluktuatif dan adanya fibrosis yang signifikan tidak bisa diketahui tanpa dilakukan
Created on 3/17/2005 at 8:48:54 AM

biopsi. Fibrosis pada pasien hepatitis C kronik sangat menentukan terjadinya sirosis hati dan
komplikasi penyakit hati lanjut.
Penggunaan inteferon alfa konvensional 3 5 juta U yang diberikan 3 kali seminggu
disertai ribavirin setiap hari pada pemberian selama 6 bulan, menghasilkan keberhasilan terapi
(RNA VHC yang tetap menghilang setelah 6 bulan pengobatan diselesaikan) pada .% pasien.
Keberhasilan terapi dengan interferon akan lebih baik pada mereka yang terinfeksi VHC dengan
genotip 2 dan 3 dibandingkan dengan genotip 1 dan 4. Lama terapi juga berpengaruh dimana
pemberian inteferon dan ribavirin selama 48 minggu, akan menghasilkan angka keberhasilan
terapi yang lebih baik dari pada 24 minggu.
Fried MW et al, membandingkan pemberian interferon (IFN) alfa-2b dan ribavirin dengan
pegylated interferon (peg-IFN) alfa-2a (40KD) dan pegylated interferon (peg-IFN) alfa-2b
(40KD) plus ribavirin pada suatu multicentered clinical trial. Mereka mendapatkan keberhasilan
terapi yang menetap (sustain response) pada 56 % pasien yang diberikan peg-IFN alfa2-b +
ribavirin dibandingkan dengan 44 % pada pasien yang mendapat terapi standar IFN-alfa 2b +
ribavirin dan 29 % pada pasien yang mendapat peg-IFN alfa 2a saja.
Walaupun dalam konsensus beberapa asosiasi hepatologi dunia indikasi pengobatan untuk
hepatitis C kronik adalah adanya peningkatan ALT namun disadari bahwa perubahan ALT pada
keadaan ini bersifat fluktuatif sehingga pada beberapa kasus dapat ditemukan ALT yang normal
pada saat pemeriksaan sedangkan diluar saat pemeriksaan mungkin terjadi peningkatan ALT
yang tidak diketahui. Jacobson IM et al, mencoba memberikan inteferon alfa-2b konvensional
dan ribavirin pada pasien hepatitis C dengan ALT normal namun terbukti hepatitis kronik pada
biopsi hati. Mereka mendapatkan angka keberhasilan yang menetap (sustain response) hilangnya
RNA VHC pada 32 % pasien. Tingkat keberhasilan ini lebih kurang sama dengan pasien hepatitis
kronikn C yang mendapat terapi inteferon atas dasar meningkatnya ALT.
Created on 3/17/2005 at 8:48:54 AM

Kesimpulan
Pengobatan hepatitis akut dan kronik pada dewasa, mengalami perubahan dan kemajuan
yang pesat sehingga harus senantiasa dicermati perubahannya agar dapat memberi pelayanan
yang terbaik pada pasien dengan hepatitis kronik.

Kepustakaan

Viral Hepatitis in : Disease of the Liver, E Keefe

Jaeckel E, Cornberg M, Wedemeyer H, Santantonio T, Mayer J, Zankel M, et al.


Treatment of acute hepatitis C with interferon Alfa-2b. N Engl J Med October 2001,
Available in www.nejm.org

Rocca P, Bailly F, Chevallier M, Chevallier P, Zoulim F, Trepo C. Gastroenterol Clin


Biol 2003;27:294-9.

Nomura H, Sou S, Tanimoto H, Nagahama T, Kimura Y, Hayashi J, et al. Hepatology


2004

Marcellin P, Lau G K, Boninio F, Farci P, Handziyanis S, Jin R, et al. Peginterferon alfa2a alone, lamivudine alone, and the in combination in patients with HBeAg-negative
hepatitis B. N Engl J Med 2004;351:1206-17.

Fried MW et al. N Engl J Med 2002;347(13):975-82.

Jacobson IM, Ahmed F, Russo MW, Lebovics E, Dieterich DT, Esposito S et al. Inteferon
alfa-2b and ribavirin for patients with chronic hepatitis C and normal ALT. Am J
Gastroenterol 2004;99;1700-5.

Created on 3/17/2005 at 8:48:54 AM

You might also like