Acetaminophen (N-acetyl-p-aminophenol) adalah satu-satunya derivat
aniline yang masih digunakan secara klinis. Jenis obat ini merupakan antipiretik analgesik pilihan ketika aspirin tidak dapat digunakan akibat masalah lambung atau kontraindikasi lain. Selama beberapa tahun, phenacetin (analog acetaminophen) merupakan pengganti preparasi analgesik yang sering digunakan, termasuk beberapa kombinasi aspirin-phenacetin-caffeine. Phenacetin telah dihentikan pemakaiannya di US karena beberapa penelitian menunjukkan pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Phenacetin juga dapat menyebabkan efek SSP (misalnya sedasi), anemia hemolitik, dan methemoglobinemia. (Yagiela, 2011) Klasifikasi dan Struktur Kimia Sejarah acetaminophen berawal pada sekitar tahun 1800an, ketika aktivitas antipiretik derivat aniline ditemukan dan beberapa obat sejenis, termasuk acetaminophen, disintesis. Derivat aniline lainnya, acetanilid dan phenacetin, mulai dikenal, dan penggunaan acetaminophen dikesampingkan.
Gambar 1. Struktur dan jalur metabolik mayor acetaminophen, phenacetin, dan
acetanilid. Konjugasi R*, Glucuronide (major), dan sulfat (minor). N-acetylbenzoquinoneimine, diproduksi dalam jumlah tinggi ketika overdosis acetaminophen, membentuk konjugasi dengan glutathione yang menghasilkan pengurangan glutathione. (Yagiela, 2011. Pharmacology and Therapeutics for Dentistry ed. 6 hal. 346)
(DILANJUT SAMA YG FARMAKOKINETIK
FARMAKODINAMIK INDIKASI & KONTRAINDIKASI DLL DULU) Penggunaan Terapeutik Umum Walaupun hampir equipotent dengan aspirin sebagai analgesik dan antipiretik, acetaminophen tidak benar-benar termasuk ke dalam obat anti inflamasi, sedangkan aspirin dan OAINS lain lebih ditujukan untuk kasus superior seperti rheumatoid arthritis. Untuk pasien yang kontraindikasi terhadap aspirin dan OAINS lain, biasanya acetaminophen adalah druf of choice. (Yagiela, 2011) Efek samping dan potensi interaksi obat yang ditimbulkan dari konsumsi aspirin atau OAINS lain menyebabkan acetaminophen lebih dipilih sebagai antipiretik analgesik. Walaupun tidak digunakan untuk mengurangi inflamasi, acetaminophen efektif untuk mengatasi rasa sakit yang ditimbulkan akibat inflamasi. (Yagiela, 2011) Karena toksisitasnya yang rendah pada dosis terapeutik (4 g/hari), acetaminophen dijadikan opsi pertama untuk terapi osteoarthritis walaupun faktanya OAINS lebih efficacious. (Yagiela, 2011) Acetaminophen merupakan pilihan antipiretik bagi pasien anak atau remaja karena tidak berhubungan dengan perkembangan Reyes syndrome. (Yagiela, 2011)
Penggunaan Terapeutik di Kedokteran Gigi
Publisitas luas yang dihasilkan dari adverse effect aspirin membuat kebanyakan dokter gigi mengganti aspirin menjadi acetaminophen untuk pilihan perawatan postoperative, meskipun efek anti inflamasi yang dihasilkan dari acetaminophen minor. Dalam penelitian klinis, aspirin dan acetaminophen memiliki efektivitas yang sama dalam menghilangkan rasa sakit pasca ekstraksi M3. (Yagiela, 2011) Acetaminophen memiliki kurva efek-dosis positif untuk analgesia mencapai 1000 mg. Berdasar penemuan ini, kebanyakan peneliti merekomendasikan penggunaan 1000 mg acetaminophen daripada 650 mg. Kebalikannya, jika mempertimbangkan tentang toksisitas hati sebaiknya dosis digunakan seminimal/seefektif mungkin. Untuk nyeri gigi pascaoperasi, acetaminophen paling sering digunakan sebagai kombinasi dengan agen analgesik opiat. Tidak seperti OAINS, acetaminophen tidak terbukti berperan sebagai agen analgesik preemptive karena tidak memblokir sensitisasi jalur nyeri dari kerusakan jaringan. (Yagiela, 2011)
Sumber: Yagiela, John A., dkk. 2011. Pharmacology and Therapeutics for Dentistry. Mosby Elsevier: St. Louis