You are on page 1of 19

IDENTITAS BUKU:

JUDUL: KUNCI IBADAH DAN TUTUNAN SHALAT LENGKAP


PENULIS: ACHMAD SUNARTO
PENERBIT: SETIA KAWAN PRESS
KOTA TERBIT: JAKARTA
TAHUN: 2005
IDENTITAS MAHASISWA:
NAMA: HENTY TRI AGUSTINA
NIM: F1C114058
PRODI: KIMIA (B)

BAB I SUMBER HUKUM ISLAM


Fiqih

islam

itu

berupa

himpunan

hukum-hukum

syariat

yang

diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya supaya dilaksanakan. Hukumhukum ini seluruhnya berpangkal kepada empat sumber sebagai berikut: yaitu Al
Quranul Karim, As Sunnah Asy Syarifah, Ijma dan Qiyas.
1. Al Quranul Karim
Al Quran ialah firman Allah Taala, yang telah Dia turunkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw., untuk mengeluarkan umat manusia dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang, yaitu firman yang termaktub
dalam Mushhaf. Al Quran adalah sumber dan rujukan utama bagi hukum-hukum
Fiqih Islam. Jadi, apabila timbul suatu masalah, terlebih dahulu merujuk kepada
Kitab Allah Taala ini. Jika kita peroleh hukumnya disana, maka kita ambil, dan
tidak perlu kita merujuk kepada yang lain.
Kalau kita bertanya tentang hukum minuman khamar, berjudi, memuja batubatu, dan mengundi nasib umpanya, kita merujuk kepada Kitab Allah Azza Wa
Jalla, niscaya kita dapati firman Allah Taala.
Demikianlah, Al Quranul Karim merupakan sumber utama dari hukumhukum dalam Fiqih Islam. Namun demikian, Al Quranul Karim dengan ayatayatnyatidak bermaksud menerangkan berbagai masalah serinci-rincinya dan
menjelaskan hukum-hukumnya dengan memberi nash atas masing-masing. Hanya
akidah-akidah sajalah yang oleh Al Quranul Karim dinyatakan nashnya secara
rinci. Soal ibadah dan muamalah, hanya diberikan garis-garis umum kehidupan
kaum muslimin, sedang rinciannya diserahkan kepada Sunnah Nabi untuk
menjelaskannya. Contohnya, Al Quran menyuruh shalat, namun tidak
menjelaskan cara-cara maupun bilangan rakaat-rakaatnya.
Oleh sebab itu, AL Quran erat hubungannya dengan Sunnah Nabi yang
bertugas menerangkan garis-garis umum tersebut, dan menjelaskan masalahmasalah global yang ada dalam Al Quran.

2. As Sunnah Asy Syarifah


As Sunnah ialah segala yang diberitakan oleh Nabi Saw., baik berupa
perkataan, perbuatan, atau persetujuan beliau. Contoh dari As Sunnah yang berupa

perkatan, ialah berita yang pernah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
dari Nabi, beliau bersabda yang artinya Mencela orang Islam adalah fasiq, dan
membunuhnya adalah kafir.
Contoh As Sunnah yang berupa perbuatan ialah apa yang pernah
diriwayatkan oleh Al Bukhari, dan Aisyah ra. ketika ditanya, yang

artinya

Apakah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah Saw. di rumahnya? Maka


jawab Aisyah, Beliau senantiasa membantu keluarganya. Dan apabila waktu
shalat tiba, maka beliau pun melakukannya..
Adapun contoh persetujuan Nabi, ialah yang pernah diriwayatkan oleh Abu
Dawud, bahwa Nabi Saw. melihat seorang lelaki melakukan shalat dua rakaat
sesudah shalat Shubuh. Beliau bersabda, Shalat Shubuh itu hanya dua rakaat.
Laki-laki itu menjawab, Sesungguhnya aku belum melakukan shalat dua rakaat,
sebelum shalat Shubuh yang dua rakaat itu. Dan sekarang inilah aku
melakukannya. Melihat itu, Rasulullah Saw. diam saja. Diamnya itu dianggap
sebagai persetujuan beliau, atas shalat Sunnah Qabliyah boleh dilakukan sesudah
shalat fardlu, bagi orang yang tidak sempat melakukan sebelumnya.
a. Kedudukan As Sunnah
Sebagai rujukan hukum, As Sunnah menempati tempat kedua sesudah Al
Quranul Karim. Apabila hukum itu kita dapati, maka kita laksanakan
sepertihalnya bila kita dapati hukum itu dalam Al Quranul Karim, dengan syarat
As Sunnah itu benar-benar datang dari Rasulullah Saw. dengan sanad yang shahih.
b. Tugas As Sunnah
Tugas As Sunnah tak lain adalah menjelaskan dan menerangkan hal-hak
yang telah ada dalam Al Quran Karim. Al Quran itu menetapkan kewajiban
shalat secara garis besar saja, datanglah As Sunnah menerangkan secara rinci
cara-cara shalat, baik yang berupa ucapan-ucapan, maupun perbuatan-perbuatan.
Ringkasnya, bahwa As Sunnah adalah sumber kedua sesudah Al Quranul
Karim, dan melaksnakannya adalah wajib. As Sunnah itu merupakan keharusan
yang tidak bisa dihindari dalam rangka memahami dan melaksanakan Al Quran.
3. Ijma
Ijma artinya kesepakatan semua ulama mujtahidin dari ummat Muhammad
Saw. pada suatu masa, atas suatu hukum syariat . jadi, apabila para ulama itu telah

sepakat baik di masa sahabat maupun sesudahnya- atas salah satu hukum syariat,
maka kesepakatan mereka adalah merupakan ijma, sedangkan melaksanakan apa
yang mereka sepakati adalah wajib. Dalilnya, Nabi Saw. telah memberitakan,
bahwa para ulama kaum muslimin takkan sepakat atas suatu kesepakatan. Jadi
kesepakatan mereka adalah merupakan suatu kebenaran.
Kedudukan Ijma
Sebagai rujukan hukum, ijma menempati urutan ketiga. Artinya, apabila
kita tidak mendapatkan hukum dalam AL Quran maupun dalam As Sunnah, maka
kita tinjau apakah para ulama kaum muslimin telah ijma. Apabila ternyata
demikian, maka ijma mereka kita ambil dan kita laksanakan.
4. Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu perkara, dengan perkara lain yang ada nash
hukumnya, karena adanya kesamaan illat diantara keduanya, sementara hukum
syaranya tidak ada.
a. Kedudukan Qiyas
Sebagai rujukan hukum, Qiyas menempati urutan keempat.
b. Rukun-rukun Qiyas
Rukun Qiyas ada empat, asal (pokok) yang merupakan standar qiyas, fara
(cabang) yang diqiyaskan, hukum asal yang ada nashnya, dan illat (alasan) yang
mempersamakan antara asal dengan fara.
c. Contoh Qiyas
Contoh Qiyas ialah, Allah telah mengharamkan khamar dengan nash dalam
Al Quranul Karim, illat dari pengharamannya ialah karena khamar itu
memabukkan dan menghilangkan akal. Dengan demikian, bila kita menemukan
minuman apa pun, sekali pun namanya bukan khamar, namun bila minuman itu
memabukkan, maka hukum minuman itu haram, karena diqiyaskan kepada
khamar. Dengan demikian, hukum haram seperti halnya khamar.

Demikian tadi sumber-sumber tasyri yang merupakan rujukan hukumhukum Fiqih Islam. Keterangan lebih lanjut dapat kita peroleh dalam kitab-kitab
Ushul Fiqih Islam.
BAB II DEFINISI PERISTILAHAN FIQIH
1. Fardlu
Fardlu ialah sesuatu yang secara tegas dituntut oleh Syara supaya
dilaksanakan, yang apabila dilaksanakan maka mendapat pahala, dan bila
ditinggalkan maka berdosa.
2. Wajib
Dalam madzhab Asy Syafii, wajib sama persis dengan fardlu tidak ada
perbedaan sama sekali antara keduanya, selain dalam masalah haji.
Dalam masalah haji, wajib ialah amalan yang tidak menentukan sahnya haji.
Dengan kata lain, bila amalan itu ditinggalkan maka tidak berarti hajinya itu batal
dan tidak sah. Dengan kata lain, bila amalan itu ditinggalkan maka tidak berarti
hajinya itu batal dan tidak sah.
3. Fardlu Ain
Fardlu ain ialah fardlu yang dituntut secara tegas agar dilaksanakan oleh
setiap orang mukallaf, seperti shalat, puasa, dan haji bagi orang yang mampu.
Ibadat-ibadat ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf, tanpa terkecuali.

4. Fardlu Kifayah
Fardlu kifayah ialah fardlu yang untuk dilaksanakan oleh setiap umat
islam. Maksudnya, apabila telah dilaksanakan oleh sebagian mereka, maka
cukuplah, sedang yang lain tidak berdosa lagi. Apabila tidak ada seorangpun yang
melaksanakannya, maka seluruhnya berdosa dan durhaka.
5. Rukun
Rukun ialah apa yang wajib dilakukan, karena merupakan bagian dari
kewajiban yang sesungguhnya. Contoh membaca surat Al Fatihah, ruku dan
sujud dalam shalat. Semua iini disebut rukun.

6. Syarat
Syarat yaitu sesuatu yang wajib dilakukan, tetapi tidak termasuk bagian
dari

pekerjaan

yang

sebenarnya,

jadi

hanya

termasuk

pendahuluan-

pendahuluannya saja. Contohnya ialah wudlu, masuknya waktu shalat, dan


menghadap kiblat.
7. Mandub
Mandub ialah sesuatu yang dituntut oleh syara melakukannya, tetapi
dengan tuntutan yang tidak tegas, sehingga akan diperolah pahala apabila
dilakukan, tetapi tidak mengakibatkan dosa apabila ditinggalkan.
Mandub disebut pula sunnah, mustabah, tathawwu, dan nafiah.
8. Mubah
Mubah yakni sesuatu yang dikerjakan atau pun tidak, sama saja. Syara
tidak menyuruh untuk meninggalkan, dan tidak pula menyuruh melakukan,
bahkan memberi kebebasan untuk meninggalkan atau melakukan. Oleh karena itu,
apabila perkara mubah dilakukan atau ditinggalkan, tidak menyebabkan
diperolehnya pahala maupun dosa.

9. Haram
Haram

ialah

sesuatu

yang

secara

tegas,

syara menuntut

kita

meninggalkannya. Dengan demikian, apabila ditinggalkan, karena patuh kepada


perintah Allah, maka akan diperoleh pahala, sedang bila dilakukan maka berdosa.
Jadi, apabila seseorang melakukan sesuatu di antara hal-hal yang
diharamkan tersebut, adalah berdosa dan patut dihukum. Apabila meninggalkan,
karena menginginkan kedekatan di sisi Allah, sehingga meninggalkannya, akan
memperoleh pahala.
Haram disebut pula mahzhur, maksiat dan dosa.
10. Makruh
Makruh ada dua macam, Makruh Tahrim dan Makruh Tanzih.
Makruh tahrim, ialah makruh yang secara tegas dituntut oleh syara
untuk meninggalkan, tetapi tuntutan itu tidak setegas haram. Dengan demikian,
apabila makruh jenis ini ditinggalkan, karena mematuhi perintah Allah Taala, akan
diperoleh pahala, sedang bila dilakukan, diancam hukuman, meskipun tidak
seberat hukuman atas melakukan perkara haram.

Makruh tanzih, ialah makruh yang secara tidak tegas syara menuntut
supaya ditinggalkan, dengan demikian apabila ditinggalkan, karena mematuhi
perintah Allah, maka mendapat pahala, sedang apabila dilakukan, tidak diancam
hukuman.
11. Ada
Ada yaitu melakukan ibadat tepat pada waktunya, yang telah ditentukan
oleh syara.
12. Qadla
Qadla adalah melakukan hal yang diwajibkan di luar waktu yang telah
ditentukan oleh Syara, seperti orang yang berpuasa Ramadhan selain pada bulan
Ramadhan, karena pada bulan itu terlanjur tidak melakukannya; atau melakukan
shalat Zhuhur selain waktu yang telah ditentukan oleh syara, karena telah
terlewat.
13. Iadah
Yang dimaksud mengulang ialah, melakukan ibadah sekali lagi, masih
dalam waktunya, karena mengharap diperolehnya tambahan keutamaan. Seperti
orang yang melakukan shalat Zhuhur sendirian, kemudian menyaksikan jamaah.
Disunnahkan mengulangi shalat Zhuhurnya, supaya memperoleh pahala jamaah.
BAB II HUKUM THAHARAH (BERSUCI)
1. Arti Thaharah
Thaharah menurut bahasa, artinya bersih dan suci. Menurut istilah (ahli
Fiqih) berarti memberishkan (diri dari) hadats atau najis, seperti mandi, berwudlu
atau bertayammum.
2. Perhatian Islam terhadap Kebersihan dan Kesucian
Sesungguhnya agama Islam sangat memperhatikan kebersihan dan
kesucian. Hal itu bisa kita lihat pada hal-hal sebagai berikut.
(1) Islam menyuruh berwudlu demi sahnya shalat, berkali-kali dalam sehari.
(2) Islam menyuruh mandi dalam berbagai peristiwa.
3. Macan dan Pembagian Air
a. Air yang Digunakan untuk Bersuci
Air yang digunakan untuk bersuci itu ada 7 macam, yaitu, (1) air hujan,
(2) air laut, (3) air sungai, (4) air sumur, (5) air mata air (sumber), (6) air es
(salju), (7) air embun.

b. Pembagian Air
Air dibagi menjadi 4 macam, (1) air mutlak, (2) air musyammas, (3) air
mustakmal, (4) air yang najis (kena najis).
1) Air Mutlak, ialah air yang suci lagi mensucikan, dan tidak makruh untuk
bersuci. Air mutlak ini bisa untuk menghilangkan hadats dan najis.
2) Air Musyammas, ialah air yang berada di dalam bejana yang terbuat dari
logam (selain emas dan perak), dan terkena panas matahari. Dimakruhkan
karena ada yang mengatakan, bahwa air tersebut dapat menyebabkan
kerusakan kulit. Kemakruhan ini hanya berlaku bila dipakai untuk badan,
serta di daerah-daerah yang beriklim panas, seperti negeri Arab. Air ini
suci dan mensucikan, sebab tidak terkena najis.
3) Air Mustakmal ialah air yang telah dipakai untuk bersuci. Air ini suci
tetapi tidak mensucikan, tidak boleh dipakai untuk bersuci. Kalau belum
berubah rasa dan baunya, masih tetap suci.
4) Air najis, yaitu air yang sedikit (atau banyak) terkena najis sehingga
berubah rasa atau baunya. Kalau air itu sedikit, menjadi sebab bercampur
dengan najis, baik keadaan berubah atau tidak. Tetapi kalau air itu banyak,
menjadi najis, sebab bercampur dengan najis sampai berubah rasa atau
bau. Yang dimaksud air sedikit ialah air yang kurang dari dua kulah, dan
air banyak ialah kalau sudah sampai dua kulah. Ukuran dua kulah kurang
lebih 500 pon Irak atau 200 liter.
4. Macam dan Tingkatan Najis
Najis (najasah) menurut bahasa, apa saja yang kotor. Sedang menurut
syara berarti kotoran yang mengakibatkan shalat tidak sah seperti darah dan air
kencing.
Najis dapat dibagi menjadi tiga bagian,
1) Najis Mughallazhah (Berat), yaitu najisnya anjing dan babi. Adapun
dalil yang menunjukkan najis anjing dan babi itu mughallazhah, ialah
karena tidak cukup dicuci dengan air sekali saja , seperti halnya najisnajis yang lain, tetapi harus dicuci tujuh kali, salah satunya dicampur
dengan tanah.
2) Najis Mukhaffafah (Ringan), yaitu kencingnya bayi laki-laki yang
belum memakan selain susu, sedang umurnya belum lagi smapai dua
tahun. Dalil yang menunjukkan najis ini mukhaffafah, adalah karena

cukup diperciki air. Asal percikan itu merata pada seluruh yang terkena
najis, maka cukuplah, sekali pun tidak mengalir.
3) Najis Mutawassithah (Pertengahan), yaitu najis selain anjing dan babi,
dan selain kencing bayi laki-laki yang belum makan selain susu.
Contoh untuk hal ini seperti kencing manusia, tahi binatang dan darah.
Najis mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, (1) najis
ainiyah, (2) najis hukmiyah.
a. Najis Ainiyah, ialah tiap-tiap najis yang berujud dan bisa dilihat
mata, atau mempunyai sifat yang nyata, seperti warna atau bau.
Umpamanya tahi, kencing, dan darah.
b. Naji Hukmiyah, ialah tiap-tiap najis yang telah kering, bekasnya
sudah tidak ada lagi, sudah hilang warna dan baunya. Contoh untuk
hal indah adalah, kencing yang mengenai baju, kemudian kering,
sedang bekasnya tidak nampak.
a. Barang-barang Najis
Ada banyak barang-barang najis. Disebutkan di sini, ada tujuh macam yang
penting.
1)
2)
3)
4)
5)

Khamar dan benda cair apa pun yang memabukkan.


Anjing dan babi.
Darah yang mengalir, termasuk di antaranya nanah.
Kencing dan tahi manusia maupun binatang.
Tiap bagian tubuh yang terlepas dari binatang dalam keadaan hidup,

adalah najis.
6) Susu binatang yang haram dimakan dagingnya, seperti keledai dan
semisalnya.
7) Bangkai, yaitu tiap-tiap binatang yang mati tanpa disembelih secara syari.
b. Beberapa Najis yang Dimaafkan
Islam adalah agama yang menyukai kebersihan. Oleh karena itu, diwajibkan
membersihkan najis di mana saja, agar orang menghindar diri darinya. Begitu
pula, Islam menganggap bersuci dari najis sebagai salah satu syarat bagi sahnya
shalat, baik najis yang menempel pada pakaian, tubuh, maupun tempat shalat.
Berikut ini adalah beberapa najis yang dimaafkan,

1) Percikan kencing yang amat sedikit, yang tidak bisa ditangkap oleh mata
telanjang, manakala percikan itu mengenai pakaian maupun tubuh.
2) Sedikit darah, nanah, darah kutu, dan tahi lalat atau najisnya, selagi hal
itu tidak diakibatkan oleh perbuatan dan kesengajaan orang itu sendiri.
3) Darah dan nanah dari luka, sekali pun banyak, dengan syarat berasal dari
orang itu sendiri, dan bukan atas perbuatan dan kesengajaan, sedang
najis itu tidak melampaui dari tempatnya yang biasa.
4) Tahi binatang yang mengenai biji-bijian ketika ditebah, dan tahi
binatang ternak yang mengenai susu kala diperah, selagi tidak terlalu
banyak, sehingga merubah sifat susu itu.
5) Tahi ikan dalam air apabila tidak sampai merubahnya, dan tahi burungburung di tempat yang sering mereka datangi seperti Masjid Haram di
Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid Umawi. Hal itu karena
tahi binatang itu telah menyebar kemana-mana, sehingga sulit
dihindarkan.
6) Darah yang mengenai baju tukang jagal, apabila tidak terlalu banyak.
7) Darah yang masih ada pada daging.
8) Mulut anak kecil yang terkena najis muntahannya sendiri, apabila
menyusu ibunya.
9) Debu di jalan-jalan yang mengenai orang.
10) Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir.
c. Mensucikan Kulit Bangkai Selain Anjing dan Babi
Kulit bangkai binatang selain anjing dan babi, bisa menjadi suci dengan cara
disamak. Maksudnya, kulit itu cairan yang dapat merusakkan dihilangkan, dengan
menggunakan bahan yang pedas, sehingga kalau kulit itu direndam dalam air,
maka tak lagi busuk dan rusak.
5. Istinja
Istinja artinya membersihkan kubul atau dubur sesudah buang air besar
atau kecil.
Istinja (membersihkan kubul-dubur sesudah buang air) yang lebih baik
dengan batu, kemudian diteruskan dengan air. Batu dapat menghilangkan ujud
najis, air yang digunakan sesudah itu dapat menghilangkan ujud najis, air yang
digunakan sesudah itu dapat menghilangkan bekasnya tanpa tercampur najis.

Namun demikian, kalau hendak menggunakan salah satu di antara keduanya, tentu
airlah yang lebih afdhal, karena menghilangkan ujud najis dan bekasnya
sekaligus, lain halnya selain batu. Adapun kalau hanya menggunakan batu dan
yang lain misalnya, maka dipersyaratkan benda yang digunakan itu cukup kering
hendaklah digunakan selagi yang keluar dari qubul atau dubur itu belum kering;
kotoran yang keluar itu jangan sampai melampaui kepada permukaan pantat, atau
permukaan kepala zakar, atau daerah sekitar liang kencing pada wanita; kotoran
itu jangan sampai berpindah dari tempat yang dikenainya sewaktu keluar.
Demikian pula dipersyaratkan, benda yang dijadikan alat pengusap itu tidak
kurang dari tiga batu, atau tiga benda lain penggantinya. Kalau dengan tiga benda
itu belum juga bersih, maka boleh ditambah, dan disunnatkan jumlahnya ganjil,
lima, tujuh dan seterusnya, umpamanya.
Benda-benda yang Tidak Boleh untuk Beristinja
Istinja tidak sah bila menggunakan benda-benda najis atau yang terkena
najis. Benda-benda itu bukannya menipiskan najis, bahkan barangkali menambah
bekas najis itu.
Istinja juga haram dilakukan dengan menggunakan makanan manusia,
seperti roti dan lain sebagainya, atau makanan jin seperti tulang.
Istinja juga haram dengan menggunakan benda apa saja yang terhormat,
seperti bagian tubuh dari binatang yang belum terpisah tangan atau kaki,
umpamanya. Dan lebih-lebih lagi bagian tubuh manusia. Jika bagian tubuh
binatang itu telah terpisah, sedang ia suci, seperti rambut binatang yang halal
dimakan dagingnya, dan kulit bangkai yang disamak, maka bolehlah untuk
beristinja.
6. Adab Buang Hajat
Adab buang hajat yaitu,
1) Tidak menghadap atau membelakangi kiblat, apabila buang hajat (air) di
tempat yang terbuka.
2) Tidak pada air menggenang, lebih-lebih air yang dipergunakan untuk
mandi.

3) Tidak dibawah pohon yang sedang berbuah. Hal ini menjaga buahnya saat
4)
5)
6)
7)
8)

jatuh, agar tidak menjadi najis.


Tidak di jalan (tepi jalan).
Tidak di lobang.
Tidak di tempat yang teduh (yang bisa dilalui orang).
Tidak bercakap-cakap.
Tidak menghadap atau membelakangi bulan dan matahari.

7. Mandi
a. Pengertian mandi
Menurut bahasa, mandi berarti mengalirkan air pada apa saja. Menurut
syara, artinya mengalirkan air pada tubuh dengan niat tertentu.
Mandi memang telah diisyaratkan agama, baik untuk kebersihan maupun
menghilangkan hadats, sebagai syarat suatu ibadah atau pun bukan.
Adapun mengenai ijma yang berkenaan dengan mandi, maka sesungguhnya
para Imam Mujtahidin telah sepakat, bahwa mandi demi kebersihan adalah
mustahab, sedang mandi untuk sahnya ibadah adalah wajib. Dalam hal ini tak
pernah diketahui adanya seseorang yang berlainan pendapat.
b. Sebab-sebab yang mewajibkan mandi
Sebab-sebab yang mewajibkan mandi itu ada enam, tiga diantaranya
menyangkut pada laki-laki dan perempuan, dan tiga lainnya hanya pada
perempuan.
Yang menyangkut laki-laki dan perempuan ialah, (1) bersetubuh, (2) keluar
mani (sprema), (3) mati.
Tiga yang lain, yang khusus untuk perempuan, yaitu, (1) haid (menstruasi),
(2) nifas (berhenti keluar darah sesudah bersalin), dan (3) wiladah (habis bersalin)

c. Fardlu/rukun mandi
Fardlu mandi ada tiga, yaitu (1) niat, (2) menghilangkan najis, jika terdapat
dalam tubuhnya, (3) meratakan air ke seluruh rambut dan kulit.

d. Sunnah mandi
Adapun sunnah-sunnah mandi yaitu,
1)
2)
3)
4)

Membaca basmalah.
Membasuh kedua tangan, sebelum dimasukkan kedalam bejana.
Berwudlu sebelum mandi.
Menyela-nyela rambut kepala dengan air, kemudian membasuh kepala

tiga kali.
5) Membasuh bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu, baru kemudian
sebelah kiri.
6) Menggosok tubuh secara berturut-turut tanpa disela dengan pekerjaan
lain, ketika membasuh di antara satu anggota dengan anggota yang lain.
7) Memperhatikan lekuk-lekuk tubuh ketika membasuh.
8) Membasuh setiap bagian sebanyak tiga kali, karena dikiaskan kepada
berwudlu.
e. Mandi sunnah
Yang dimaksud mandi ini ialah mandi-mandi yang disunnatkan, yaitu
apabila tidk dilakukan, maka shalat kita tetap sah. Hanya saja, syariat
menganjurkannya, karena berbagai alasan. Mandi-mandi yang disunnahkan itu
ialah sebagai berikut.
1) Mandi pada hari Jumah
2) Mandi Hari Raya Fitrah dan Adlha
3) Mandi untuk shalat gerhana matahari dan bulan
4) Mandi untuk shalat Istisqa (minta hujan)
5) Mandi sesudah memandikan mayit
6) Mandi orang kafir ketika masuk Islam
7) Mandinya orang gila dan orang pingsan ketika sadar/siuman
8) Mandi ketika ihram
9) Mandi untuk memasuki Makkah
10) Mandi untuk wuquf di Arafah
11) Mandi untuk bermalam di Muzdalifah
12) Mandi untuk melempar tiga jumrah
13) Mandi untuk memasuki Madinatur Rasul Saw.
f. Hal-hal yang Makruh dalam Mandi
Hal-hal yang makruh dalam manadi yaitu,
1) Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, karena hal itu bertentangan
dengan praktek yang dilakukan oleh Nabi Saw.
2) Mandi dalam air tergenang.

g. Hikmah Syariat Mandi


Mandi memuat hikmah dan keagungan yang banyak dan bermacam-macam,
antara lain:
1) Diperoleh pahala
2) Diperoleh kebersihan
3) Bertambah semangat
8. Haidl
a. Pembagian darah yang keluar dari seorang wanita
Sebenarnya darah yang keluar dari seorang wanita, ada dua macam,
(1) Darah merah, dan
(2) Darah putih
b. Darah Haidl
1) Definisi
a. Menurut bahasa, haidl adalah mengalir.
b. Menurut istilah adalah, darah yang bisa keluar dari puncak rahim
perempuan, bukan darah penyakit, keluar dalam waktu-waktu tertentu,
bukan karena melahirkan.

9. Istihadhah
Istihadhah,yaitu darah yang keluar dari bukan pada masa-masa haidl atau
nifas. Dalam salah satu kitabmutabar disebutkan, bahwa darah istihadhah adalah
darah yang keluar dengan tidak mengikuti ketentuan istiqamah, artinya tidak
keluar pada usia haidl yaitu sembilan tahun, tidak kurang dari masa paling
sedikitnya haidl, dan tidak pula melampaui batas maksimal keluarnya haidl.
Macam-macam mustahadhah
Dalam masalah mustahadlah ini, wanita terbagi menjadi empat macam.
1)
2)
3)
4)

Mubtadiah Mumayyizah
Mubtadiah Ghairu Mumayyizah
Mutaadah Mumayyizah
Mutaadah ghairu mumayyizah

10. Nifas

Nifas merupakan salah satu darah yang keluar dari rahim, hanya ada
ketentuan sendiri. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut.
a. Menurut bahasa adalah melahirkan anak.
b. Menurut syara darah yang kelaur setelah kosongnya kandungan dari
bayi, dan sebelum lewat masa paling sedikitnya suci (yaitu 15 hari).
a. Lama masa nifas
Seperti halnya haidl, nifas pun bila ditilik masa waktunya berbeda-beda,
tinggal melihat kadar kesuburan seseorang. Kenyataan yang dijumpai dalam
penelitian yang dilakukan oleh ulama ahli fiqih menyebutkan bahwa sedikitnya
nifas adalah satu kali tetesan, sedangkan sebanyak-banyaknya nifas adalah 60
hari, umumnya adalah 40 hari 40 malam. Dengan demikian apabila ternyata darah
nifas melebihi masa 60 hari 60 malam, maka darahnya tidak dikatakan darah
nifas, teteapi darahnya adalah darah istihadhah. Dan baginya berlaku hukum
wanita mustahadhah.

b. Larangan coitus selama nifas


Selama 40 hari setelah bersalin (melahirkan anak) muslimat itu junub,
artinya dalam keadaan janabah. Baginya berlaku semua peraturan yang
diberlakukan atas wanita yang sedang mengalami haidl. Kohabitasi dalam 40 hari
itupun terlarang bagi perempuan dalam nifas. Ada tiga bahaya yang mungkin
timbul jika melakukan coitus (hubungan kelamin) dalam masa itu.
a) Kena hama.
b) Pendarahan.
c) Luka yang baru sembuh terbuka kembali, sebab vulnerabiliteit genitalia
perempuan dalam masa nifas itu besar sekali. (DR. Ahmad Ramli. 1951.
Peraturan-peraturan untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum
Islam. Hal. 173-174. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka)
11. Wudhu
a. Arti Wudhu
Menurut bahasa, al Wudhu berasal dari kata Al wadhaah, yang artinya
keindahan dan kecerahan. Menurut syara, berarti nama pekerjaan yang

menggunakan air untuk anggota-anggota tubuh tertentu, disertai niat. Al Wadhu


adalah air yang digunakan untuk berwudhu. Disebut demikian, karena
mempengaruhi anggota-anggota wudhu, yakni membuatnya cerah sesudah
dibasuh dan dibersihkan.
b. Fardhu Wudhu
Fardhu wudhu ada enam, yaitu niat membasuh muka, membasuh kedua
tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala, membasuh dua kaki sampai mata
kaki dan tertib.
1)
2)
3)
4)

Niat
Membasuh seluruh wajah
Membasuh dua tangan sampai siku
Mengusap sebagian kepala, mesukipun hanya seutas rambut, selagi

masih berada dalam batas-batas kepala


5) Membasuh dua kaki beserta kedua mata kaki
6) Tertib menurut aturan
c. Sunnah-sunnah Wudhu
Di dalam wudhu juga terdapat amalan-amalan sunnah yang banyak. Di sini
disebutkan yang terpenting di antaranya, yaitu,
1) Dimulai dengan membaca Basmalah.
2) Membasuh kedua telapak tangan, sebelum dimasukkan kedalam bejana
tiga kali.
3) Bersiwak.
4) Dan
5) Berkumur dan menghirup air dalam hidung (istinsyaq) dengan tangan
6)
7)
8)
9)

kanan, lalu menyemprotkan (istintsar) dengan tangan kiri.


Menyela-nyela janggut yang tebal.
Mengusap seluruh kepala.
Menyela-nyela di antara jari-jari tangan dan kaki dengan air.
Mengusap dua telinga luar-dalam, dengan air yang baru, bukan bekas air

mengusap kepala.
10) Menigakalikan basuhan pada seluruh anggota wudhu
11) Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri, ketika membasuh kedua
tangan dan kedua kaki.
12) Menggosok, yakni melewatkantangan pada anggota wudhu ketika
membasuh.
13) Berturut-turut.

14) Memperpanjang ghurrah dan tahjil.


15) Menghemat air tanpa berlebih-lebihan dan jangan pula terlalu kikir.
16) Menghadap kiblat ketika berwudhu, karena kiblat adalah arah yang
paling mulia
17) Tidak berbicara ketika berwudhu, karena mencontoh kepada Rasulullah
Saw.
18) Membaca tasyahud dan berdoa, sesudah selesai berwudhu.

d. Hal-hal yang makruh dalam berwudhu


Ada beberapa perkara yang makruh dilakukan ketika berwudhu, yaitu
sebagai berikut.
1) Berlebih-lebihan atau pelit dalam menggunakan air.
2) Mendahulukan tangan dan kaki selain dari yang sebelah kanan.
3) Menyeka air dengan sapu tangan, kecuali karena uzur, seperti hawa
sangat dingin atau panas yang menyiksa, manakala air lama berada pada
tubuh, atau karena khawatir terhadap najis atau debu.
4) Memukulkan air pada wajah.
5) Menambah atau mengurangi tiga kali basuhan atau usapan dengan
yakin.
6) Meminta bantuan orang lain membasuhkan anggota-anggota wudhunya
tanpa uzur.
7) Bersangatan dalam berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, bagi
orang yang sedang berpuasa.
e. Hal-hal yang membatalkan wudhu
Wudhu menjadi batal karena lima perkara:
1) Ada sesuatu yang keluar dari salah satu di antara dua jalan, seperti
kencing, tahi, darah, atau angin.
2) Tidur yang tidak mantap.
3) Hilang akal, karena mabuk, pingsan, sakit, atau gila.
4) Bersentuhan antara laki-laki dengan isteri atau wanita asing, tanpa ada
penghalang.
5) Menyentuh farji sendiri atau farji orang lain, baik yang depan maupun
yang belakang, dengan perut telapat tangan, atau jari-jari, tanpa adanya
penghalang.

12. Siwak
Siwak ialah membersihkan mulut dan gigi.
Siwak sangat perlu pada setiap waktu, kecuali bagi orang yang sedang
berpuasa, sesudah matahari condong kearah barat. Lebih-lebih dalam tiga keadaan
berikut (siwak sangat diutamakan).
1) Sewaktu bangun tidur
2) Ketika akan shalat (berwudlu)
3) Ketika mulut berbau (baik karena makan)
13. Mengusap sepatu
a. Hukum mengusap sepatu
Mengusap

sepatu

tinggi

merupakan

keringanan

(rukhshah)

yang

diperbolehkan bagi laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan apa pun, di


musim dingin maupun di musim panas, ketika bepergian maupun di rumah
sendiri, di kala sehat maupun sakit.
14. Tayammum
Tayammum menurut bahasa, artinya bermaksud, sedangkan menurut istilah,
artinya menyampaikan (meratakan) debu ke muka dan kedua tangan dengan
syarat tertentu.
a. Syarat-syarat tayammum
1) Adanya halangan, seperti tidak mendapatkan air, sakit, dan lain-lain.
2) Sudah masuk waktu shalat, tidak mendapat air.
3) Debu (yang dipakai) harus suci.
b. Rukun tayammum
Rukun tayammum itu ada 4, yaitu:
1) Niat
2) Mengusap muka
3) Mengusap kedua tangan sampai siku
4) Tertib
c. Sunnat tayammum
Sunnat dalam tayammum itu ada 3, yaitu,
1) Membaca basmalah
2) Mendahulukan anggota kanan dari yang kiri
3) Berurutan (tidak diselingi apa pun)
d. Hal yang membatalkan tayammum
Hal yn=ang membatalkan tayammum ada 3, yaitu:
1) Semua yang membatalkan wudlu

2) Melihat air
3) Riddah
e. Penggunaan tayammum
Tayammum hanya bisa untuk shalat wajib sekali, sedang untuk shalat
sunnah boleh beberapa kali.

You might also like