Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antaratumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di
daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Hampir 60 % tumor ganas
kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring.
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan, karenanasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan
terletak di bawah dasar tenggorok serta berhubungan dengan banyak banyak
daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.
Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli,seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke
leher sering ditemukansebagai gejala pertama.
Penanggulangan karsinoma nasofaring samapai saat ini masih merupakan
suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis
sering terlambat
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan dengan radioterapi.
1.2Epidemiologi
Insidens terjadinya karsinoma nasofaring pada penduduk daratan cina
bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi yaitu dengan 2500 kasus baru
pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39.84/100.000
penduduk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak dan akan
terbuka pada saat respirasi.
Fungsi Nasofaring :
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Secret dari nasofaring dapat bergerak ke bawah karena :
Gaya gravitasi
Gerakan menelan
Gerakan silia ( kinosilia )
Gerakan usapan palatum molle
2.3 Etiologi
Berkaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan
sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Karena pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi
dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ
tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun. Virus tersebut dapat
masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini
dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara
terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang
dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
Ada beberapa mediator yang dianggap berpengaruh untuk menimbulkan
terjadinya karsinoma nasofaring :
1. Zat nitrosamin
Didalam ikan asin terdapat zat nitrosamin yang merupakan mediator
penting. Zat nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang
diawetkan di Greenland. Juga pada Qualid yaitu daging kambing
yang dikeringkan di Tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan )
serta taoco di Cina
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya
di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus Karsinoma
Nasofaring. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga
dianggap berperan dalam menimbulkan Karsinoma Nasofaring.
nasofaring.7,24
2. Gejala Hidung
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga iritasi ringan saja dapat
mengakibatkan perdarahan. Keluarnya darah biasanya berulang-ulang ,
jumlahnya sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
b. Sumbatan Hidung
10
11
anterior yang terkena, biasanya melalui foramen laserum yang akan mengenai
saraf kranial N. III, IV, VI dan dapat pula N. V, sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke dokter mata.
Tanda lainnya adalah:
-
neuralgia trigeminal
optalmolpegia unilateral
Perluasan ke belakang:
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior,
disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena saraf grup posterior yaitu
saraf kranial N.VII-XII serta saraf simpatikus servikalis. Sindroma
retroparotidian (Jackson) terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.
Terjadi pada kasus yang sudah lanjut yang penyebarannya melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Dapat pula
disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk.7
Tumor dapat menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga dapat
menyebabkan trismus.
Manifestasi keluhan ialah:23
-
12
13
c. Dugaan karsinoma nasofaring itu hampir pasti, bila ada gejala lengkap.7
Sel secara normal mengalmi pembelahan secara mitosis dalam suatu siklus
yang dinamakan siklus sel, berfungsi untuk menghasilkan sel-sel yang baru yang
berguna untuk regenerasi dan untuk memperbaiki kerusakan, rangkaian ini diatur
oleh suatu rangkaian DNA pada setiap sel, pada masing- masing sel mempunyai gen
yang mengatur proliferasi sel yang disebut protoonkologen seperti gen KI-67 dan gen
yang berfungsi untuk mengatur penghentian atau penghambatan proliferasi sel yang
disebut supresor gen seperti P-53, gen-gen ini berfungsi sebagai control.
14
Pada proses pertumbuhan sel ini, dimana gen-gen control tersebut bekerja pada
proses interfase sel, interfase sel terdiri dari beberapa tahapan seperti :
1. tahap G1
Lamanya sangat bervariasi dai beberapa jam sampi tahapan. Pada fase G1
sl anak yang baru terbentuk setelah tumbuh menjadi dewasa, membentuk protein,
enzim. Dan kromosomnya hanya mengandung rantai tunggal DNA (haploid). Sel
dewasa masuk zona perbatasan (restriction zone) yang menentukan apakah sel itu
berhenti tumbuh atau tumbuh terus.
15
hormon
tiroid
beta1
(TR
beta1)
merupakan
16
4. progresi tumor.18
b. N1
dapat digerakkan
c. N2
dapat digerakkan
d. N3
17
18
19
20
21
1. Stadium I
: T1, N0, M0
4. Stadium III
2.7 Diagnosis
Diagnosis dan pengobatan dini memegang peranan penting dalam
keberhasilan terapi karsinoma nasofaring. Perlu perhatian pada orang resiko tinggi
yaitu usia diatas 40 th yang kita curigai menderita karsinoma nasofaring.
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor:
1
Pemeriksaan fisik
Biopsi nasofaring
Biopsi merupakan diagnosis pasti dalam menegakkan karsinoma nasofaring.
Beberapa ini merupakan teknik biopsi:
22
7,25
Jaringan biopsi dimasukkan ke dalam botol kecil yang bersih berisi larutan
formalin 4%.7
b. Biopsi Buta Terpimpin (Guided Biopsy)
Sebenarnya sama dengan biopsi buta, akan tetapi pada waktu mencari
tumor atau fossa Rosenmulleri dibantu dengan rinoskopi posterior atau
nasofaringoskopi indirekta. Bila dibandingkan dengan biopsi buta
sepenuhnya, cara ini seharusnya lebih baik atau lebih akurat. Kesulitan
yang sering dihadapi adalah melakukan dua pekerjaan sekaligus, sehingga
membutuhkan ketrampilan khusus.7
c. Biopsi dengan Nasofaringoskopi Direkta
Biopsi ini biasanya transoral.
Caranya:
23
melihat
tumor
melalui
kaca
tersebut
atau
memakai
24
Pemeriksaan radiologi23
a. Foto Schedel
Untuk melihat invasi tumor, ditandai dengan adanya tanda-tanda
kerusakan dasar tengkorak.
b. Foto Thorax
Untuk melihat adanya penyebaran tumor. Dalam hal ini paru adalah organ
yang paling sering sebagai tempat metastase tumor.
c. CT Scan
Untuk melihat tumor primer yang tersembunyi. Dapat juga digunakan
untuk melihat perluasan tumor, erosi dasar tengkorak.
d. MRI
Membantu melihat kanker yang menyebar di sekitar kepala.
e. USG Hepar
Untuk melihat metastase tumor ke hepar.
f. Bone Scintigraphy
Untuk melihat perluasan tumor ke tulang.
Pemeriksaan laboratorium23
a. Pemeriksaan serologi
Berupa IgA untuk EA dan IgA anti VCA untuk virus Ebstein-Barre.
Pemeriksaan neuro-oftalmologi2
Untuk melihat fungsi saraf dan mata.
25
Rinoskopi posterior
Skema Penatalaksanaan
CT Scan/MRI
Biopsi NF Multipel
(anastesi lokal)
Radioterapi dan Terapi Paliatif
Nasofaringoskopi Biopsi
26
2.8 Penatalaksanaan
2.7.1. Terapi
Prinsip Pengobatan Karsinoma Nasofaring
Prinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi terapi sbb :9,10
1
Radioterapi
Kemoterapi
Kombinasi
Operasi
Imunoterapi
Terapi paliatif
27
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6cm : Kemoterapi dosis penuh
dilanjutkan kemoradiasi.
28
leukemia
limfoma maligna
myeloma
choriocharsinoma
kanker testis
Radiosensitif:
Tumor yang dapat dihancurkan dengan dosis 3500-6000 rads dalam 3-4
minggu
-
Lymphoma maligna
Myeloma
Retinoblastoma
Seminoma
Basalioma
Kanker laring T1
b. Responsif
Kemoresponsif:
-
Radioresponsif:
-
c. Resisten
Kemoresisten:
-
Tumor besar
29
Tumor yang baru bisa dihancurkan dengan dosis lebih dari 8000 rads.
Contoh: Melanoma maligna, adenokarsinoma, kanker otak, sarkoma
jaringan lunak.
Radiosensitivitas tumor tergantung dari banyak faktor, antara lain:
a
Besar tumor
Vaskularisasi Tumor
Perubahan absorbsi
-
Perubahan distribusi
-
Perubahan metabolisme
-
Penyakit hati
Pengurangan ekskresi
-
Penyakit hati
30
Penyakit ginjal
total
terhadap
karsinoma
nasofaring
apabila
hanya
31
32
radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok
ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang
dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.19,21
5. Penentuan Batas-batas Lapangan Radiasi
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin
berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer
dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah
bening regional.14,19
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari:
a. Seluruh nasofaring
b. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
c. Sinus kavernosus
d. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus
dan foramen jugularis lateral
e. Setengah belakang kavum nasi
f. Sinus etmoid posterior
g. 1/3 posterior orbit
h. 1/3 posterior sinus maksila
i. Fossa pterygoidea
j. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
k. Kelenjar retrofaringeal
l. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.19
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring (T3) seluruh kavum
nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan
melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan
radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada
sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari.
Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali
apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase
ke kelenjar sub maksila.19
33
34
Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat
menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang
menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.16
Radioisotop
a. Caecium137 ! sinar gamma
b. Cobalt60 ! sinar gamma
c. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.
7. Efek Samping Terapi Radiasi:10
a. Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan
ngilu pada gigi
b. Xerostomia, trismus, otitis media
c. Pendengaran menurun
d. Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis
e. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum
tulang dan gangguan gastrointestinal
f. Lhermitte syndrome karena radiasi myelitis
g. Hypothyroidism, dsb.
8. Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem Imun
Secara luas dilaporkan bahwa segera setelah pemberian radiasi terjadi
gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan timbulnya
berbagai macam infeksi.13 Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase
limfatiknya juga di leher, setelah diberikan radiasi mengakibatkan berkurangnya
limfosit darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih
bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat
radiasi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga
mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi dibuktikan
dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek jumlah
35
dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radiasi dapat reversibel?
Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T
CD4+ setelah 3-4 minggu pasca radiasi.13
9. Jenis Pemberian Terapi Radiasi
Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai:10
a. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai:
1) Pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah
bening
2) Pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
3) Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
4) Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
b. Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau
intracavitary barchytherapy.
Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk:
1) Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk
menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
2) Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
3) Pengobatan kasus kambuh.
2.7.1.2 Kemoterapi pada Karsinoma Nasofaring
36
1. Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.14
2. Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor
ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan
juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana
vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima
kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya
sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.
Methotrexate,
5-fluorouracil,
Bleomycin,
Hydroxyurea,
37
38
39
40
umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll),
status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis,
faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya.11
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif
tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ
penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek
samping terhadap organ tersebut lebih minimal.11 Efek Samping secara spesifik
untuk masing-masing obat dapat dilihat pada lampiran 2.
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh: 18
1
Dosis.
Jadwal pemberian.
41
42
2. Manfaat Kemoradioterapi
Manfaat Kemoradioterapi adalah:19
a. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
b. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
c. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.14
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum
radioterapi.
Pemberian
kemoterapi
neoadjuvan
didasari
atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).11
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi
perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan
Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap
radiasi.14
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi
(concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi
manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
43
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi
lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya
bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker
yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
3. Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain
mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat
begitu besar sehingga berakibat fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara
bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan
jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen
kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.14
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan
kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan
khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi
(radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.11
2.7.2 Operasi
Untuk operasi tumor sudah lama dilakukan, baik operasi transpalatal
(Diefenbach, Welson) maupun operasi transmaksiler paranasal (Moure Ferguson),
tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, hasilnya kurang efektif dibanding
tindakannya. Terapi bedah juga dilakukan pada anak sebar, yaitu membuang
kelenjar limfe leher. Operasi ini membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit
untuk membuang kelenjar di daerah para dan retrofaring.7
2.7.3 Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan imunoterapi telah banyak dilakukan di
klinik Onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan penelitian
44
dan trial. Untuk beberapa pakar menggunakan bahan sederhana seperti BCG,
PPD, dan Livamisol. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penyelidikan
antara lain dengan menggunakan Interferon dan Poly ICLC.7
2.7.4 Penilaian Hasil Terapi Kanker
Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun
kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4
minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya
kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari
aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang
lazim dipakai yaitu:11,17
1. Sembuh ( cured )
2. Respon komplit (complete response/ CR): semua tumor menghilang untuk
jangka waktu sedikitnya 4 minggu
3. Respons parsial (partial response/ PR): semua tumor mengecil sedikitnya
50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4
minggu.
4. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 % atau
membesar kurang dari 25 %.
5. Penyakit Progresif (progresive disese/PD): tumor makin membesar 25 %
atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya.
6. Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya
(disease free survival).
Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat
dipantau berdasarkan kadar tumor markers.
45
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Seperti pada
keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan
sehingga pencegahan relative sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha
menuju diagnosis dini, dimana diagnosis dini sulit untuk ditegakkan. Yang
terutama menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk berobat.
Sebagian besar datang ketika sudah dalam stadium lanjut, dengan
demikian kanker sudah meluas ke jaringan sekitar atau kelenjar leher. Hal
ini merupakan penyakit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
sempurna.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhuwael, FG. 2006. Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher.
Dexa Media No 3 Vol 19, Juli-September
2. Asroel, HA. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma
nasofaring. USU Digital Library
47
3. WIqoyah,N [et al]. 2005. Antibodi IgA Spesifik terhadap Viral Capsid
Antigen (VCA) Epstein barr Virus (EBV) sebagai Tumor Marker
Karsinoma Nasofaring. The Indonesian Journal of Public Health Vol 1
No 3
4. Lin HS, Fee WE. 2007. Malignant Nasopharygeal Tumors. From
http://www.emedicine.com.
5. Mansjoer, Arif [etal]. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid
Pertama. Media Aeusculapius: Jakarta
6. Adam, George L, Boies, Higler. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit
Telinga, hidung, tenggorok; Editor Harjanto Effendi. Edisi 6. Penerbit
EGC: Jakarta
7. Bambang, S. 1992. Diagnosis dan Pengelolaan Kanker THT dan Kepala
Leher. Balai Penerbit UNDIP: Semarang
8. Paulino,AC.
2006.
Nasopharygeal
Cancer.
From
http://www.emedicine.com.
9. Roezin, Aferdi, Syafril.2001.Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala
Leher edisi V.FKUI: Jakarta
10. Donoseputro, M. 2006. Anti EBV VCA Ig A dan Anti EBV EA Ig A.
From http://www.Prodia.co.id
11. Soedijono, Zaman. Tehnik Biopsi Tumor Nasofaring melalui Mulut
dengan bantuan Kateter Nelaton dan Rhinoscopia Posterior. Bagian
Penyakit THT RSUD dr.Soetomo FK UNAIR: Surabaya
12. Mulyarjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok- Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr.
Soetomo, Surabaya 2005: 63-67
13. Arina, Aria. 2004. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma
Nasofaring. Sumatera Utara: USU Repository
14. Kartikawati, H.2002.Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring Menuju
Terapi Kombinasi/Kemoterapi.
48
15. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Binarupa Aksara, Edisi 13, Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI,
Indonesia 1994 : 839-54
16. Kentjono WA, Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher
Pendidikan