Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
sedang menari di Surga. Mereka menari dengan busana indah dan memakai hiasan kepala dari
emas.
Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna memerintahkan kepeda Bendesa
Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa topeng dan menciptakan suatu tarian yang mirip
dengan impiannya. Tidak lama setelah itu, Bendesa Ketewel berhasil membuat sembilan buah
topengnya diragakan oleh dua orang penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai
koreografi yang pasti diduga telah diciptakan waktu itu.
Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok kesenian yang
dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukan tari Nandir yang gayanya hampir sama
dengan tari Sang Hyang Legong, kecuali penari dua anak laki-laki yang tidak memakai topeng.
I Dewa Agung Manggis segera memerintahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata
tari Nadir agar dapat diperagakan oleh anak-anak perempuan. Sejaka saat itulah tari Legong
Klasik diciptakan sampai sekarang.
Pada mulanya tari Legong merupakan kesenian feudal dari kaum triwangsa di Bali.
Legong dalam inspirasi dan kreasinya sama dengan Gmabuh, yaitu suatu kesenian dari istana.
Kesenian ini berkembang sesuai dengan pola kebangsawanan dan mendapat dorongan dari para
raja zaman dahulu. Para petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa untuk mendapatkan anak-anak
perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan penari Legong. Proses terjadinya tari
Legong sudah merupakan konsep dalam seni pertunjukan yang mampu berkreasi terutama
seniman-seniman, mengambil elemen dari kerakyatan yang dikembangkannya menjadi kesenian
yang tinggi mutunya.
Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari Legong diciptakan. I
Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba, mengatakan bahwa Legong telah dikenal
di desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai dengan Babad Dalem Sukawati.
Lakon yang biasa dipakai dalam Legong kebayakan bersumber pada:
1. Cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem.
2. Cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa).
3. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya
Siwa).
4. Kuntul (kisah burung).
BAB II
PENDAHULUAN
tiga jurusan. Adapun gamelan diletakkan pada satu sisi yang berlawanan dengan tampilnya
Legong itu. Meskipun kalangan tidak lagi dibuat di jeroan pura, tempat pertunjukannya perlu
dibersihkan dengan suatu upacara oleh seorang pemangku (penghulu agama) yang menghaturkan
sesajen dan doa-doa untuk keselamatan pementasan tari Legong.
Kalangan diatur sesuai dengan arah spiritual dalam agama Hindu, yaitu Legong tampil dari arah
utara yang menggambarkan lini sakral dari Gunung Agung. Gamelan pengiringnya yang terletak
di belakang penari-penari Legong berfungsi sebagai latar belakang pertunjukan tersebut.
3.3 Motif Gerak Pada Tari Legong
Pada motif gerak tari (karana) Legong memang bermuara kepada dasar gerak tari
Gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam lontar
Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang
tergantung dari perannya, ada banyak jenis agem. Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan
dari agem satu ke agem yang lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah
Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti
ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan
agem nyamir. Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh
dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada yang namanya dedeling, manis carengu,
kemudian gerakan leher ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak
bahu bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering, girah, nredeh dan termasuk pula aturan
menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput. Ciri yang sangat kuat dalam tari Legong
adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian tersebut menjadi hidup dengan ekspresi
yang sangat memukau oleh penarinya.
Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras, pepeson muanin
oleg, dan ngipuk. Sedangkan secara umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan
pakaad. Keterampilan dalam membawakan tari Legong, kesesuaiannya dengan penguasaan
jalinan wiraga, wirama dan wirasa yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan
tangkep.
3.4 Busana Tari Legong
Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun
dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran
bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih.
3.5 Perkembangan Tari Legong
Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah dari istana ke desa. Wanitawanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong
kepada generasi berikutnya. Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk, khususnya di daerah
Gianyar dang Badung. Guru-guru tari Legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa
Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan Sukawati. Murid-murid didatangkan dari seluruh Bali untuk
mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali ke desa-desa. Legong menjadi
bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.
Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana,
melainkan menjadi milik masyarakat umum. Pengaruh istana makin lama makin melemah sejak
jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908 M. Di desa, kini Legong dipergelarkan jika
diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan. Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan
berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu
Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong juga
berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini berhubungan dengan
agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler. Tari Legong masih ditarikan oleh anak gadis
dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang sudah diupacarai sehubungan dengan upacara
keagamaan. Kalangan sering-sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun
masih diorientasikan dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam
kepercayaan orang-orang Bali. Yang paling pokok adalah Legong dipersembahkan sebagai
hiburan
bagi
masyarakat
yang
berpartisipasi
dalam
upacara
keagamaan.
keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang
Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan
menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh
Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan
abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum
berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia
berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja
Daha.Awal tari Legong mulai muncul pada pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu Bali
dipelintah oleh beberapa Raja. Puri adalah salah satu tempat untuk menciptakan tabuh
dan tari baru dan mementaskannya pada Zaman itu. Menurut lontar Dewa Agung Karna,
putra raja pertama kerajaan Sukawati pada pertengahan abad ke-17, ia melihata bayangan
bidadari menari. Dari sinilah diciptakan tari Legong. Gaya tari Legong sekarang yang
seperti ditarikan oleh 2 atau 3 penari prempuan di pertunjukan dimana-mana setelah abad
ke-20. Cerita tari Legong diambil dari gambuh (drama tari yang mengambil tema dari
Malat, sastra klasik yang menceritakan tentang perjanjian Panji, pahlawan Jawa).
Legong Jobog
Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah
dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir
dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke
danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari,
keduanya beralih menjadi kera dan pertempuran tidak ada hasilnya.
Legong Kuntul
Legong ini menceritakan sepasang kuntul yang asyik bercengkerama.
Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas di pura Pajegan Agung
(Ketewel). Tari Legong asal Ketewel itu biasa disebut tari Legong topeng, karena
penarinya wajib menggunakan topeng yang disangga dengan gigi. Berbeda dengan tari
Legong keraton yang kini dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong
topeng jauh dari kesan mengentak.
3.7 Gerakan Tari Legong
Gerakan para penari Legong topeng terkesan sangat gemulai, kalem, tanpa satupun
gerakan cepat. Semua berirama teratur. Karena lakonnya bidadari, yang menggambarkan
gerakan bidadari di kahyangan, terang Mangku Widia. Mangku Widia menambahkan,
kemunculan Legong topeng bermula dari seorang Ksatria di Puri Sukawati bernama I Dewa
Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika bersemadi di Pura Payogan Agung Ketewel.
Sang ksatria kabarnya mendapat perintah dari Hyang Pasupati, untuk menciptakan sebuah tarian
dengan karakter topeng yang telah ada.
Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis
Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari
legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.
1. Alat musik gamelan yang dipakai mengiringi tari Legong dinamakan Gamelan Semar
Pagulingan. Lakon atau cerita yang biasa dipakai dalam Legong ini kebayakan bersumber
pada:
2. cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem,
3. cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa),
4. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa),
5. Kuntul (kisah burung),
6. Sudarsana (semacam Calonarang),
7. Palayon,
8. Chandrakanta dan lain sebagainya.
3.8 Struktur Tar Legongi
Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari:
1. Papeson
2. Pangawak
3. Pengecet, dan
4. Pakaad
3.9 Daerah Tari Legong
Daerah-daerah yang memiliki tari Legong yang khas :
1. Didesa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir).
2. Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng
dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.
3. Daerah - daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali adalah:
4. Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar),
5. Binoh dan Kuta (Badung),
6. Kelandis (Denpasar), dan
7. Tista (Tabanan).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fungsi Seni serta tujuannya bisa dibagi menjadi ; Fungsi Religi/Keagamaan, Fungsi
Pendidikan, Fungsi Komunikasi, Fungsi Rekreasi/Hiburan, Fungsi Artistik, Fungsi Guna (seni
terapan), dan Fungsi Kesehatan (terapi).
Jenis tari ditinjau dari bentuk penyajiannya terbagi tiga kelompok, yaitu: Tari
Tunggal, Tari Berpasangan, dan Tari Kelompok/Massal.
Peranan seni tari untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia adalah dengan melalui
stimulan individu, social dan komunikasi. Dengan demikian tari dalam memenuhi kebutuhan
individu dan social merupakan alat yang digunakan untuk penyampaian ekspresi jiwa dalam
kaitannya dengan kepentingan lingkungan. Oleh karena itu tari dapat berperan sebagai pemujaan,
sarana komunikasi, dan pernyataan batin manusia dalam kaitannya dengan ekspresi kehendak.
Secara garis besar fungsi tari ada 3 antara lain :tari sebagai upacara , tari sebagai sarana hiburan
dan tari sebagai sarana pertunjukkan
Dalam sebuah tarian antara tubuh, gerak komposisi tari tidak dapat dipisahkan.Dalam
sebuah tarian terdapat unsur-unsur yang membangunnya yakni unsur gerak, tenaga dan waktu.
Tari tradisional adalah tari yang telah melampaui perjalanan perkembangannya cukup
lama, dan senantiasa berfikir pada pola-pola yang telah mentradisi. Para ahli antropologi percaya
bahwa tarian di Indonesia berawal dari gerakan ritual dan upacara keagamaan dan juga alam.
Jenis Tari Tradisional ada dua : Tari keraton adalah tari yang semula berkembang dikalangan
kerajaan dan bangsawan. Tari Rakyat merupakan tari yang hidup dan berkembang dikalangan
rakyat. Setiap daerah provinsi di Indonesia masing-masing memiliki tarian tradisional.
3.2 Saran
Dengan mengenal lebih banyak Tarian adat di seluruh provinsi di indonesia mudah-mudahan
festival tertentu seperti Festival Kesenian Bali dikenal sebagai ajang ternama bagi seniman