Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Penyakit refluks gastro esofageal (GERD) didefinisikan sebagai gejala dan atau
kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lambung ke dalam
esofagus
(1)
esophagus dan adenokarsinoma di kardia dan esofagus. Oleh sebab itu, pemyakit ini
berdamapak pada kualitas hidup pasien dan sering dihubungkan dengan morbiditas
yang bermakna. (1)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Esofagus merupakan salah satu organ silindris berongga dengan panjang sekitar
25 cm dan berdiameter 2 cm, terbentang dari hipofaring sampai cardia lambung, kirakira 2-3 cm di bawah diafragma. Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan
trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang diafragma tepat anterior
terhadap aorta.(1)
Pada kedua ujung esofagus, terdapat otot-otot spingter, diantaranya :
1. Krikofaringeal
Membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut
otot rangka. Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik, atau kontraksi
duodenum, juga ditemukan arteri besar (A. gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa
terjadi karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik lambung atau duodenum.(7)
Vena dari lambung dan duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini
kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional dengan
lambung dan duodenum. Pada hipertensi portal hampir selalu terjadi varises esofagus,
sedangkan varises lambung sering tidak menimbulkan masalah sehingga tidak dibahas.
(11)
Saluran limfe dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di
kelenjar para aorta dan preaorta dipangkal mesentrium embrional. Antara lambung dan
pangkal embrional itu terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar dimana mana
akibat putaran embrional. Oleh karena itu, anak sebar karsinoma lambung mungkin
6
hilus limfa,
ligamentum hepatoduodenale, pinggir atas pankreas, dan berbagai tempat lain diretro
peritoneal. Ini sangat mempersulit pengobatan kuratif kangker lambung.(4)
Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui selaput saraf yang menyertai
arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui selaput eferen saraf simpatis. Serabut para
simpatis berasal dari n. vagus dan mengurus sel pariental di fundus dan korpus
lambung. Sel ini berfungsi menghasilkan asam lambung. N.vagus anterior (sinister)
memberikan cabang ke kandung empedu, hati, dan antrum sebagai saraf Laterjet
anterior, sedangkan n.vagus posterior ( dekster) memberikan cabang ke ganglion
seliakus untuk viceralain di perut dan ke antrum sebagai saraf Laterjet posterior.(13)
FISIOLOGI
MOTILITAS ESOFAGUS
Menelan merupakan suatu aksi fisologi kompleks, dimana makanan atau
cairan berjalan dari mulut ke lambung. (1)
MOTILITAS LAMBUNG
Ketika makanan masuk kedalam lambung maka lambung berespons terhadap
gerakan peristaltik. Pada saat gelombang konstraksi mencapai ujung bawah lambung
yang disebut antrum, kontraksi semakin cepat untuk mencampur makanan. Gelombang
konstraksi ini juga menyebabkan penutupan taut antara ujung distal di lambung dan
bagian atas duodenum yang disebut spingter pilorik. Spingter pilorik adalah spingter
sejati dan normalnya bereaksasi saat makanan tidak masuk ke lambung.(1)
Gelombang peristaltic terjadi sebagai akibat dari depolarisasi sel otot polos
lambung. Sel pemacu di otot polos lambung berdepolarisasi secara berkesinambungan
pada laju yang inheren,yang disebut dengan irama elektrik dasar yang terlalu rendah
untuk menyebabkan otot lambung mencapai ambang dan oleh karenanya tidak
menyebabkan kontraksi. Dengan meningkatnya peregangan lambung atau dengan
stimulasi saraf dan hormon, otot polos tidak berdepolarisasi mencapai ambangnya dan
kekuatan peristaltic lambung meningkat.(4)
Pada saat gelombang peristaltic diteruskan ke lambung, sejumlah kecil materi
didorong melewati spingter pilorik kedalam duodenum. Makin banyak isi dalam
lambung, makin cepat laju pengosongan lambung. Pada akhirnya, semua isi lambung
dikosongkan masuk kedalam usus halus.(4)
B. DEFINISI
9
(2,3)
(8)
disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus (8). Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan
bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi
10
yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak
terlalu lama(3). Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena
coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya
refluks(3,7).
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau
sendawa) (3,4) .
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah(2,3). Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah(2).
Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg
(3)
11
SEB.
5. Makanan berlemak dan alkohol.
12
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien
GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD
yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB(3).
b. Bersihan asam dari lumen esofagus
13
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
saliva dan kelenjar esofagus (3) .
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin
besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki
waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah
peristaltik esofagus yang minimal(3).
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus,
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif(3).
c. Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus (3).
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari(3) :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
14
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan Cl- intrasel
dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang
dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan
lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya
rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas(3).
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin
dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak
tinggi(3).
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung
atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan
Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung
oleh data yang ada (3).
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD .
Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga
banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang
meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB
15
16
Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak
di dada atau epigastrium
(1,3,9)
atau heartburn. Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water
brash(1,3,9). Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai
esofagus atau faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa
asam atau pahit(1,3). Pada beberapa kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit
menelan saat memakan makanan padat. Hal ini mungkin sudah terjadi striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus. Odinofagia mungkin bisa
terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi esofagus yang berat.(3)
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma (3). Manifestasi non
esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay) (5).
Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.(3,9)
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai
contoh, jika isi lambung berlebihan, tekanan abdomen dapat meningkat secara
bermakna. Kondisi ini dapat disebabkan porsi makanan yang besar, kehamilan, atau
17
obesitas. Tekanan abdomen yang sangat tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus
kerongga toraks; hal ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga
abdomen. Posisi berbaring terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks.
(3,9)
E. DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkann diagnosis GERD, yaitu :
a. Endoskopi saluran cerna bagian atas(2,3,5)
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus,
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala
GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang
khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau
regurgutasi memang karena GERD.
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
a. Klasifikasi Los Angeles(3)
18
Derajat
Endoskopi
kerusakan
A
b. Klasifikasi Savary-Miller(3,4)
GRADE
Deskripsi endoskopi
II
III
IV
Barretts ephitelium
19
20
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi
yang normal.
f. Scintigrafi Gastroesofageal (2,3).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal
akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan
spesifisitas tes ini masih diragukan.
g. Tes supresi asam(3,4)
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD.
Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang
terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri
tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala
yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam
algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang
tidak memiliki alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia,
odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas
40 tahun.
Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
21
F. PENATALAKSANAAN
Walau keadaan ini jarang menyebabkan kematian, mengingat kemungkinan
timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun
esofagus Baretts yang merupakan keadaan premalignan, maka seyogyanya penyakit ini
mendapat penatalaksaan yang adekuat.(9)
Target penatalaksanaan GERD adalah : a). menyembuhkan lesi esofagus b).
menghilangkan gejala / keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. (14)
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
(13)
22
pengobatan primer. Usaha ini didasarkan pada tujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mengurangi kekambuhan.(13)
Hal hal yang dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut :
a. Posisi kepala / tempat tidur ditinggikan 6-8 inch serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esofagus.
23
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step
down. Pendekatan step up dimulai dengan obat obatan yang tergolong kurang kuat
dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H 2) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
yang lebih lama (penghambat pompa proton / PPI). (12) Sedangkan pada pendekatan step
down, pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H 2
atau prokinetik atau bahkan antasid.(13)
Menurut Genval Statement (1999) disepakati untuk terapi lini pertama terhadap
GERD adalah golongan PPI dengan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD(14) :
i. Antasid
Obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer HCl, obat ini memperkuat tekanan
sfingter esofagus bagian bawah (LES).
ii. Antagonis reseptor H2
Sebagai penekan sekresi asam obat ini efektif bila diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus. Hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang tanpa komplikasi
g. Obat obatan prokinetik
24
25
fundoplikasi.(10)
Fundoplikasi Nissen (4,5)
26
27
Indikasi Fundoplikasi:
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang
yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang
tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk
pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret.
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan
energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan
menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya
menjadi lebih kecil(3).
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien
suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi
medik(7).
G. KOMPLIKASI
28
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura
esofagus dan esofagus Barret (2,3).
a. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50% pasien
GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esofagus(3,8).
b. Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks (3,8). Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur
timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia
pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura
berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari
13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi (3).
c. Barretts Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik
(3,8)
29
esofagus(3,8). Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma
timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi. Pada
1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas
epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen
yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui gastroesophageal junction dan tampak kontras sekali dengan epitel
skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana
dengan medikamentosa(3).
Gambar
2.9.
Komplikasi GERD
30
BAB III
KESIMPULAN
31
1. Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan
endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang
di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
4. Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease
(GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol.
38 no. 7 / November 2011.
5. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.
June
2011
[cited
August
18
2015].
Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
32
33