You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Penyakit refluks gastro esofageal (GERD) didefinisikan sebagai gejala dan atau

kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lambung ke dalam
esofagus

. Terjadinya GERD dapat menimbulkan gejala esofagus maupun

(1)

ekstraesofagus. Manifestasi klinis GERD di luar esofagus disebut refluks ekstra


esofagus (REE). Refleks laringo faring (RLF) merupakan REE yang memberikan
manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring, dan paru-paru.(1,3)
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Berbagai survei
menunjukkan bahwa 20 40 % populasi dewasa menderita suatu keluhan klasik GERD
yaitu heart burn (rasa panas membakar didaerah retrosternal).(4) GERD terjadi di negaranegara barat akibat pola diet tinggi lemak dan alkohol. Prevalensi di Amerika dan Eropa
sebesar 20 % sementera di Asia sebesar 3-5 %, keculai di Jepang dan Taiwan 13-15 %.
Sedangkan di Indonesia belum ada dapat epidemiologi mengenai penyakit ini. Namun,
data dari Divisi Gastroeterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang
menjalni pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.(1,4)
GERD dapat menimbulkan komplikasi berat seperti striktur esofagus, Barretts

esophagus dan adenokarsinoma di kardia dan esofagus. Oleh sebab itu, pemyakit ini
berdamapak pada kualitas hidup pasien dan sering dihubungkan dengan morbiditas
yang bermakna. (1)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


ANATOMI ESOFAGUS
Gambar 2.1 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan salah satu organ silindris berongga dengan panjang sekitar
25 cm dan berdiameter 2 cm, terbentang dari hipofaring sampai cardia lambung, kirakira 2-3 cm di bawah diafragma. Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan
trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang diafragma tepat anterior
terhadap aorta.(1)
Pada kedua ujung esofagus, terdapat otot-otot spingter, diantaranya :
1. Krikofaringeal
Membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut
otot rangka. Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik, atau kontraksi

kecuali waktu menelan.


2. Sfingter Esofagus bagian bawah
Bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal, sfingter ini menutup kecuali bila
makanan masuk ke dalam lambung atau waktu muntah. Dinding esofagus terdiri dari 4
lapisan yaitu mukosa, sub mukosa, muskularis dan lapisan bagian luar (serosa).
Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut parasimpatis dibawa oleh nervus
vagus yang dianggap merupakan saraf motorik. Selain persarafan ekstrinsik tersebut,
terdapat juga jala-jala longitudinal (Pleksus Allerbach) dan berperan untuk mengatur
peristaltik esofagus normal.(1)
Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental, bagian atas disuplai oleh
cabang-cabang arteria tiroide inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh
cabang-cabang segmental aorta dan artetia bronkiales, sedangkan bagian sub
diafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior.(9)
Peranan esofagus adalah menghantarkan makanan dan minuman dari faring ke
lambung. Pada keadaan istirahat antara 2 proses menelan, esofagus tertutup kedua
ujungnya oleh sfingter esofagus atas dan bawah. Sfingter esofagus atas berguna
mencegah aliran balik cairan lambung ke esofagus (Refluks).(6)
ANATOMI LAMBUNG

Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak antara


esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum
dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan
mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam organ
didekatnya, bergantung pada letak tukak.(10)

Gambar 2.2 Anatomi Gaster


Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat
proksimal yang terdiri atas fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan
yang ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan seperempat
distal atau antrum bekerja mencampur makanan dan mendorongnya ke duodenum serta
memproduksi gastrin.(6)
Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran darahnya
yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi besar dipinggir
kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Dibelakang dan tepi media
5

duodenum, juga ditemukan arteri besar (A. gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa
terjadi karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik lambung atau duodenum.(7)
Vena dari lambung dan duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini
kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional dengan
lambung dan duodenum. Pada hipertensi portal hampir selalu terjadi varises esofagus,
sedangkan varises lambung sering tidak menimbulkan masalah sehingga tidak dibahas.
(11)

Gambar 2.3 Lapisan Gaster

Saluran limfe dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di
kelenjar para aorta dan preaorta dipangkal mesentrium embrional. Antara lambung dan
pangkal embrional itu terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar dimana mana
akibat putaran embrional. Oleh karena itu, anak sebar karsinoma lambung mungkin
6

menyebar ke kelenjar limfe di kurvatura mayor, kurvatura minor,

hilus limfa,

ligamentum hepatoduodenale, pinggir atas pankreas, dan berbagai tempat lain diretro
peritoneal. Ini sangat mempersulit pengobatan kuratif kangker lambung.(4)
Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui selaput saraf yang menyertai
arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui selaput eferen saraf simpatis. Serabut para
simpatis berasal dari n. vagus dan mengurus sel pariental di fundus dan korpus
lambung. Sel ini berfungsi menghasilkan asam lambung. N.vagus anterior (sinister)
memberikan cabang ke kandung empedu, hati, dan antrum sebagai saraf Laterjet
anterior, sedangkan n.vagus posterior ( dekster) memberikan cabang ke ganglion
seliakus untuk viceralain di perut dan ke antrum sebagai saraf Laterjet posterior.(13)
FISIOLOGI
MOTILITAS ESOFAGUS
Menelan merupakan suatu aksi fisologi kompleks, dimana makanan atau
cairan berjalan dari mulut ke lambung. (1)

Gambar 2.4 Fase Esofagus


Fase Menelan :
1. Fase Oral
Makanan yang dikunyah oleh mulut (bolus) didorong ke belakang mengenai dinding
posterior faring oleh gerakan volunter lidah.
2. Fase Faringeal
Palatum mole & uvula menutup rongga hidung, laring terangkat dan menutup glotis,
mencegah makanan masuk trakea. Kemudian bolus melewati epiglotis menuju faring
bagian bawah dan memasuki esofagus.
3. Fase Esofageal
Terjadi gelombang peristaltik pada esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus
bagian distal, kemudian menuju lambung.

MOTILITAS LAMBUNG
Ketika makanan masuk kedalam lambung maka lambung berespons terhadap
gerakan peristaltik. Pada saat gelombang konstraksi mencapai ujung bawah lambung
yang disebut antrum, kontraksi semakin cepat untuk mencampur makanan. Gelombang
konstraksi ini juga menyebabkan penutupan taut antara ujung distal di lambung dan
bagian atas duodenum yang disebut spingter pilorik. Spingter pilorik adalah spingter
sejati dan normalnya bereaksasi saat makanan tidak masuk ke lambung.(1)
Gelombang peristaltic terjadi sebagai akibat dari depolarisasi sel otot polos
lambung. Sel pemacu di otot polos lambung berdepolarisasi secara berkesinambungan
pada laju yang inheren,yang disebut dengan irama elektrik dasar yang terlalu rendah
untuk menyebabkan otot lambung mencapai ambang dan oleh karenanya tidak
menyebabkan kontraksi. Dengan meningkatnya peregangan lambung atau dengan
stimulasi saraf dan hormon, otot polos tidak berdepolarisasi mencapai ambangnya dan
kekuatan peristaltic lambung meningkat.(4)
Pada saat gelombang peristaltic diteruskan ke lambung, sejumlah kecil materi
didorong melewati spingter pilorik kedalam duodenum. Makin banyak isi dalam
lambung, makin cepat laju pengosongan lambung. Pada akhirnya, semua isi lambung
dikosongkan masuk kedalam usus halus.(4)

B. DEFINISI
9

Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis


sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Refluks
Esofageal (GERD) adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu
waktu. Pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks
sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala
dan oleh karena itu dinamakan Refluks fisiologis.(3,10) Keadaan ini baru dikatakan
patologis dan disebut suatu penyakit, yaitu penyakit refluks gastro esofageal (GERD),
bila refluk terjadi berulang ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh
isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus
akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamus esofagus.(6)
C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyakit GERD bersifat multifaktorial

(2,3)

fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%)

. GERD dapat merupakan gangguan


. Gangguan fungsional lebih pada

(8)

disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus (8). Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan
bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi

10

yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak
terlalu lama(3). Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena
coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya
refluks(3,7).
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau
sendawa) (3,4) .
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah(2,3). Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah(2).
Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg

. Sedangkan pada orang

(3)

normal 25-35 mmHg(8).


Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau
sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus
bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut

11

tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung.


Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring(3,10).
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme (3) :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan
refluksat(3,9).
Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
a. Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus
SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan
tekanan intraabdomen (3,9).
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang
dapat menurunkan tonus SEB antara lain (3,8) :
1.
2.
3.
4.

Adanya hiatus hernia


Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus

SEB.
5. Makanan berlemak dan alkohol.

12

Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada


kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya
transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan
berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui
bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui
adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung (3,10).

Gambar 2.5 Hiatus Hernia

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien
GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD
yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB(3).
b. Bersihan asam dari lumen esofagus

13

Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
saliva dan kelenjar esofagus (3) .
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin
besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki
waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah
peristaltik esofagus yang minimal(3).
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus,
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif(3).
c. Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus (3).
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari(3) :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2

14

4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan Cl- intrasel
dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang
dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan
lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya
rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas(3).
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin
dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak
tinggi(3).
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung
atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan
Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung
oleh data yang ada (3).
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD .
Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga
banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang
meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB
15

akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks(5).

Gambar 2.6. GERD


d. Peran Sfingter Atas Esofagus(8)
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA
menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.
Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(8)
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan
SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme
bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.
D. MANIFESTASI KLINIS

16

Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak
di dada atau epigastrium

. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar

(1,3,9)

atau heartburn. Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water
brash(1,3,9). Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai
esofagus atau faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa
asam atau pahit(1,3). Pada beberapa kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit
menelan saat memakan makanan padat. Hal ini mungkin sudah terjadi striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus. Odinofagia mungkin bisa
terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi esofagus yang berat.(3)
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma (3). Manifestasi non
esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay) (5).
Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.(3,9)
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai
contoh, jika isi lambung berlebihan, tekanan abdomen dapat meningkat secara
bermakna. Kondisi ini dapat disebabkan porsi makanan yang besar, kehamilan, atau

17

obesitas. Tekanan abdomen yang sangat tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus
kerongga toraks; hal ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga
abdomen. Posisi berbaring terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks.
(3,9)

E. DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkann diagnosis GERD, yaitu :
a. Endoskopi saluran cerna bagian atas(2,3,5)
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus,
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala
GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang
khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau
regurgutasi memang karena GERD.
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
a. Klasifikasi Los Angeles(3)

18

Derajat

Endoskopi

kerusakan
A

Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm

Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa


saling berhubungan

Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi seuruh


lumen

Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/ mengelilingi


seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller(3,4)

GRADE

Deskripsi endoskopi

Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus

II

Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus. Erosi dapat


bergabung

III

Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal

IV

Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus

Barretts ephitelium

19

b. Esofagografi dengan Barium(2,3)


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang
lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus
atau peneympitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari
endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus henia.
c. Pemantauan pH 24 jam.(2,3)
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada
tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal(2,3).
d. Tes Bernstein(3,5).
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang
dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan
gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri
dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak
menutup kemungkinan adanya gangguan pada esofagus(3).
e. Pemeriksaan manometri (2,3).

20

Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi
yang normal.
f. Scintigrafi Gastroesofageal (2,3).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal
akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan
spesifisitas tes ini masih diragukan.
g. Tes supresi asam(3,4)
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD.
Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang
terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri
tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala
yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam
algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang
tidak memiliki alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia,
odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas
40 tahun.
Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
21

Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai riwayat


penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes diagnosis.
Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1
probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video
stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap
refluks ekstraesofagus(7).

F. PENATALAKSANAAN
Walau keadaan ini jarang menyebabkan kematian, mengingat kemungkinan
timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun
esofagus Baretts yang merupakan keadaan premalignan, maka seyogyanya penyakit ini
mendapat penatalaksaan yang adekuat.(9)
Target penatalaksanaan GERD adalah : a). menyembuhkan lesi esofagus b).
menghilangkan gejala / keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. (14)
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
(13)

1. Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya adalah salah satu bagian penatalaksanaan namun bukan merupakan

22

pengobatan primer. Usaha ini didasarkan pada tujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mengurangi kekambuhan.(13)
Hal hal yang dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut :
a. Posisi kepala / tempat tidur ditinggikan 6-8 inch serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esofagus.

Gambar 2.7 Modifikasi gaya hidup


b. Berhenti merokok dan menkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus
dari LES.
c. Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan karena dapat
menimbulkan distensi lambung.
d. Menurunkan berat badan..
e. Menghindari makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi sekresi asam.
f. Menghindari obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin,
diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron.
2. Terapi Medikamentosa

23

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step
down. Pendekatan step up dimulai dengan obat obatan yang tergolong kurang kuat
dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H 2) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
yang lebih lama (penghambat pompa proton / PPI). (12) Sedangkan pada pendekatan step
down, pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H 2
atau prokinetik atau bahkan antasid.(13)
Menurut Genval Statement (1999) disepakati untuk terapi lini pertama terhadap
GERD adalah golongan PPI dengan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD(14) :
i. Antasid
Obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer HCl, obat ini memperkuat tekanan
sfingter esofagus bagian bawah (LES).
ii. Antagonis reseptor H2

Sebagai penekan sekresi asam obat ini efektif bila diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus. Hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang tanpa komplikasi
g. Obat obatan prokinetik

24

Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk GERD .


h. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung dan aman karena bekerja
secara topical.
i. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor / PPI)
Obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, efektif menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagitis. Umumnya pengobatan diberikan selama 6
8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaaan selama 4
bulan atau on demand teraphy . Efektifitas golongan obat ini semakin bertambah jika
digabung dengan golongan prokinetik.
3. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa, yaitu :
1). Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala gejala lain seperti
rasa kembung, cepat kenyang dan mual mual yang sering tidak memberikan respon
denganpengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala refluksnya; 3). Pada beberapa
pasien memerlukan waktu lama untuk penyembuhan esofagitisnya; 4). Kadang Barrets
Esofagus tidak memberikan respon terhadap terapi PPI; 5). Terdapat stiktur; 6).
Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES.(1)
Terapi bedah merupakan terapi alternatif bila medikamentosa gagal atau pada
GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah

25

fundoplikasi.(10)
Fundoplikasi Nissen (4,5)

26

Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit


GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada
Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini
dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus
bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian

bawah esofagus dengan bagian lambung atas.


Gambar 2.8. Fundoplikasi Nissen

27

Indikasi Fundoplikasi:
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang
yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang
tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk
pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret.
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan
energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan
menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya
menjadi lebih kecil(3).
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien
suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi
medik(7).
G. KOMPLIKASI
28

Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura
esofagus dan esofagus Barret (2,3).

a. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50% pasien
GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esofagus(3,8).
b. Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks (3,8). Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur
timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia
pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura
berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari
13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi (3).
c. Barretts Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik

(3,8)

. Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma

29

esofagus(3,8). Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma
timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi. Pada
1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas
epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen
yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui gastroesophageal junction dan tampak kontras sekali dengan epitel
skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana
dengan medikamentosa(3).

Gambar

2.9.

Komplikasi GERD

Gambar 2.9. Komplikasi GERD

30

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis


sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien
yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD
seringkali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika asam yang
normalnya ada dilambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti
terbakar di esophagus. Gejala-gejalanya dapat mencakup prosis (sensasi terbakar pada

31

esofagus), dispepsia, regurgitasi, disfagia, atau osinofagia (kesulitan menelan / nyeri


saat menelan), hipersalivasi, atau esofagitis.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan
endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang
di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
4. Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease
(GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol.
38 no. 7 / November 2011.
5. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.
June

2011

[cited

August

18

2015].

Available:

http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
32

6. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta


7. Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
Jakarta : FKUI.
8. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2007.
9. Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara
Klinis.PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September November 2009.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
11. Pusat Penerbitan Departemen IPD, FKUI : Jakarta
12. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta
13. Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
14. Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks
Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.

33

You might also like