You are on page 1of 3

Moral Kerja

Yang dimaksud dengan moral adalah suasana batiniah seseorang yang mempengaruhi
perilaku individu dan perilaku organisasi. Suasana batiniah itu terwujud di dalam aktivitas
individu pada saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Suasana batin dimaksud
berupa perasaan senang atau tidak senang, bergairah atau tidak bergairah dan bersemangat
atau tidak bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan. Proses manajemen
dan leadership yang efektif memerlukan moral kerja yang positif dalam arti suasana batin
yang menyenangkan hingga memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pekerjaan.
Moral kerja yang tinggi merupakan dorongan bagi terciptanya usaha berpartisipasi secara
maksimal dalam kegiatan organisasi/kelompok, guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya moral kerja seseorang. Dalam
kegiatan manajemen dan leadership pendidikan, moral kerja yang tinggi dari setiap SDM
yang terlibat di dalamnya, merupakan faktor yang menentukan bagi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Berbagai faktor itu di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Sebagian orang memandang bahwa minat/perhatian terhadap pekerjaan berpengaruh
terhadap moral kerja. Bilamana seseorang merasa bahwa minat/perhatiannya seusai
dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan maka akan memiliki moral kerja yang
tinggi.
2. Sebagian lainnya menempatkan faktor upah atau gaji penting dalam meningkatkan moral
kerja. Upah atau gaji yang tinggi dipandang sebagai faktor yang dapat mempertinggi
moral kerja.
3. Disamping itu ada kelompok orang yang memandang faktor status sosial dari pekerjaan
dapat mempengaruhi moral kerja. Pekerjaan yang dapat memberikan status sosial atau
posisi yang tinggi/baik (misalnya, sebagai kepala, staf pimpinan, kepala bagian dan
sebagainya) menurut kelompok ini akan mempertinggi moral kerja.
4. Sekolompok lain memandang tujuan yang mulia atau pekerjaan yang mengandung
pengabdian merupakan faktor yang dapat mempertinggi moral kerja. Tujuan dan sifat
pengabdian diri dalam suatu pekerjaan mengakibatkan seseorang bersedia mendertia,
berkorban harta benda dan bahkan jiwanya demi terwujudnya pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya.
5. Kelompok terakhir memandang faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang
baik, sehingga setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat
mempertinggi moral kerja.
Moral ditinjau dari motivasi dalam pekerjaan
Seseorang bekerja karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana
kebutuhan dasar manusia itu banyak ragamnya. Menurut Maslow dalam Maratkebutuhan
dasar manusia ini ada beberapa tingkatan :
1. Kebutuhan fisik (physical needs) yang meliputi kebutuhan sehari-hari untuk makan,
minum, berpakaian, bertempat tinggal, berrumahtangga dan sejenisnya.
2. Kebutuhan keamanan (safety needs) yang meliputi kebutuhan untuk memperoleh
keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari ancaman-ancaman yang
membahayakan kelangsungan hidupnya.
3. Kebutuhan Sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk disukai dan menyukai, dicintai
dan mencintai, bergaul, bermasyarakat dan sejenisnya.
4. Kebutuhan pengakuan (the needs of esteems) adalah kebutuhan untuk memperoleh
kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan.

5. Kebutuhan mengaktualisasikan diri .(the needs for self actualization) adalah kebutuhan
untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang
yang memiliki kemampuan dan keberhasilan dalam mewujudkan potensi bakatnya
dengan hasil prestasi yang luar biasa.
Selain itu dalam melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan yang bersifat sadar, seseorang
selalu didorong oleh maksud atau motif tertentu, baik yang obyektif maupun subyektif. Motif
atau dorongan dalam melakukan sesuatu pekerjaan itu sangat besar pengaruhnya terhadap
moral kerja dan hasil kerja. Seseorang bersedia melakukan sesuatu pekerjaan bilamana motif
yang mendorongnya cukup kuat yang pada dasarnya tidak mendapat saingan atau tantangan
dari motif lain yang berlawanan. Demikian pula sebaliknya orang lain yang tidak didorong
oleh motif yang kuat akan meninggalkan atau sekurang-kurangnya tidak bergairah dalam
melakukan sesuatu pekerjaan. Semua faktor yang telah disebutkan di atas pada dasarnya
merupakan bentuk-bentuk motif yang mendorong seseorang melakukan pekerjaannya secara
bersunguh-sungguh.
Dalam hubungan itu dapat dibedakan dua jenis motif yakni :
1. Motif intrinsik, yakni dorongan yang terdapat dalam pekerjaan yang dilakukan. Misalnya :
bekerja karena pekerjaan itu sesuai dengan bakat dan minat, dapat diselesaikan dengan
baik karena memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menyelesaikannya dan lainlain.
2. Motif ekstrinsik, yakni dorongan yang berasal dari luar pekerjaan yang sedang dilakukan.
Misalnya : bekerja karena upah atau gaji yang tinggi mempertahankan kedudukan yang
baik, merasa mulia karena pengabdian dan sebagainya.
Hubungan Moral Kerja dan Produktivitas
Harrison menjelaskan bahwa semenjak moral dilibatkan kedalam sikap-sikap karyawan,
adalah penting untuk meninjau akibat dari moral tinggi (dipersepsi dengan kepuasan tinggi)
dan moral rendah (persepsi kepuasan rendah). Drafke & Kossendalam Harrisson mengatakan
bahwa hubungan langsung antara moral kerja dan produktivitas adalah moral yang tinggi
akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Demikian pula jika moral rendah akan
mengurangi produktivitas. SedangkanGellerman (dalam Harrison) meringkaskan berbagai
penelitian yang dipublikasikan mengenai efek moral kerja terhadap produktivitas sebagai
berikut: Dari seluruh survey yang dilaporkan, 54% menunjukkan bahwa moral yang tinggi
berkaitan dengan produktivitas yang tinggi; sementara 35% lainnya menunjukkan bahwa
moral tidak berhubungan dengan produktivitas; dan 11% lainnya menyebutkan moral tinggi
berhubungan dengan produktivitas yang rendah. Hubungan itu tidak mutlak, tetapi terdapat
cukup banyak data yang mendukung bahwa memberi perhatian pada karyawan berpengaruh
terhadap meningkatnya keluaran karyawan. Korelasi yang rendah itu berarti bahwa selain
sikap kerja tentu banyak faktor lainnya yang juga mempengaruhi produktivitas.
Selanjutnya Harrison mengatakan bahwa kemungkinan gejala hubungan antara produktivitas
dengan tingkat moral harus dipertimbangkan dari tiga persepsi yang mempengaruhi tingkat
moral seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu:
1. Persepsi karyawan terhadap keadaan organisasi yang tidak dapat dikendalikannya, seperti
pengawasan, kerja sama dengan rekan sekerja, dan kebijakan organisasi terhadap
pekerja. Bila faktor tersebut dipandang menyenangkan bagi karyawan, moral kerja akan
cenderung tinggi
2. Persepsi karyawan terhadap tingkat kepuasan yang diperoleh dari imbalan yang diterima
3. Persepsi karyawan terhadap kemungkinan untuk mendapatkan imbalan dan masa depan
serta kesempatan untuk maju.

Penutup
Bedasarkan kajian teori diatas menjelaskan bahwa apabila persepsi mengarah pada
keadaan moral tinggi, efek positif lain akan dihasilkan, dan semua aktivitas dilakukan secara
sukarela. Dengan moral tinggi, pegawai cenderung menunjukkan kemauan untuk dibawa
kerjasama, lebih puas dengan kondisi yang ada, mau mematuhi peraturan, berhati-hati dalam
menggunakan peralatan milik perusahaan, menunjukkan loyalitas dan hormat terhadap
perusahaan, dapat bekerjasama dengan harmonis, dan bekerja tanpa keluhan. Moral tinggi
juga cenderung mengurangi absen, mangkir dan pergantian pegawai. Dan tentu saja
sebaliknya jika moral rendah, maka berbagai efek kebalikan dari hal di atas akan terjadi.
Pemeliharaan moral kerja yang tinggi harus dianggap sebagai tanggung jawab manajemen
yang permanen, karena sekali moral kerja merosot, maka dibutuhkan waktu lama untuk
memperbaikinya kembali. Moral kerja yang jelek dapat menimbulkan pemogokan,
pemerkerjaan karyawan yang berlebihan, kepurapuraan, dan berbagai reaksi lainnya.
Selanjutnya moral kerja yang rendah dapat mempunyai akibat jangka panjang dan jauh lebih
merusak organisasi dari pada hilangnya produktivitas temporal. Bakat manajerial dan
profesional kiranya akan jauh lebih berkembang bila moral kerja dipertahankan pada suatu
tingkat yang tinggi, dan gambaran yang diberikan perusahaan terhadap karyawan baru yang
prospektif dapat sangat menunjang kondisi moral kerja intern secara luas. Oleh karena itu
perlu untuk terus menerus menganalisa kekuatan yang mempengaruhi moral kerja dan
mengambil langkah-langkah yang tepat guna memeliharanya sebelum muncul tindakan
negatip yang lebih serius.
Moril kerja bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun keberadaannya berhubungan
dengan variabel yang lain. Salah satu variabel yang diduga berhubungan adalah kepuasan
kerja, sebab kepuasan kerja adalah terpenuhinya kebutuhan internal dan eksternal terhadap
keadaan kerja, hasil kerja dan kerja itu sendiri, dengan aspek internal ditandai adanya
kebahagiaan, kesejahteraan, keamanan, kecocokan, kecukupan dan kesesuaian, sedangkan
aspek eksternal ditandai dengan promosi, penghargaan, pengakuan, pengawasan, dan
kesempatan untuk mengembangkan diri. Sedang moril kerja adalah semangat kerja yang
ditandai adanya gairah kerja yang tinggi, hasrat, kecenderungan, kebanggaan, dan
kedisiplinan.
Kepuasan kerja dengan moril kerja merupakan dua istilah yang sering digunakan secara
bersamaan. Dalam buku literatur, keduanya sering disamakan, tetapi jarang didefinisikan. Hal
itu mengandung dua pertanyaan: Pertama, apakah penyamaan itu menunjukkan arti adanya
hubungan antara kepuasan kerja dengan moril kerja atau keduanya saling berhubungan?
Kedua, atau salah satu diantara kepuasan kerja dan moril kerja ada yang dipengaruhi dan
yang lain mempengaruhi? Untuk memperoleh jawabannya, perlu dipahami terlebih dahulu
hakikat moril kerja dan kepuasan kerja.

You might also like