You are on page 1of 10

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar belakang

Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa
Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari sudut
antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya
dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya
agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang
berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial
budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Proses Islamisasi
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang
bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa,
Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang
datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk
agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama
Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan
dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang yang hidup di bawah
kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam
memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim.
Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah
derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan
lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat
menempati kedudukan bawahan.

Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak:
orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat
Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan
sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat
yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang
muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya
yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling
pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan
penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang
sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk
berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran
dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah islami di Jembrana?
1.3.Tujuan
Agar kita mengetahui sejarah islam di Jembrana

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Sejara Islam di Jembrana Bali
Hari masih pagi, tetapi sinar mentari sudah terang benderang menyinari bumi. Tetapi di
sepagi itu saya dkk sudah sampai di wilayah Loloan, tempat komunitas Islam yang telah
sangat lama keberadaannya. Sangat tepat jika eksistensi kampung itu disebut sebagai
kampung kuno saja.

Sejarah keberadaan komunitas muslim


Loloan merupakan keturunan dari tanah Melayu (Kuala Trengganu) dan kaum Bugis yang
sudah beberapa abad lalu masuk Bali. Eksistensi mereka ini juga menjadi bukti historis
bahwa Islam telah lama masuk di wilayah Jembrana ini. Hingga kini mereka bertahan
dengan agama Islam dan adat-istiadat Melayu. Bahkan, berbeda dengan komunitas muslim
yang juga tergolong kuno di lokasi lainnya yang umumnya memakai bahasa Bali sebagai alat
komunikasi sehar-hari, komunitas di tempat ini ternyata tetap menggunakan bahasa melayu
sebagai bahasa keseharian di kalangan mereka.
Daerah Lolohan terbagi menjadi tiga wilayah: Lolohan Selatan, Timur, dan Barat.
Masyarakat setempat biasa menyebut Lolohan Selatan dengan Markesari. Penduduk
Markesari 95 persennya memeluk agama Hindu. Adapun Lolohan Barat dihuni penduduk
Muslim dan non Muslim. Dengan perbandingan 50 persen Muslim dan 50 persen lainnya non
Muslim, campuran antarai: Hindu, Budha, Kristen dan lainnya
Dengan dibatasi sebuah sungai yang membentang dan atau membelah wilayah, di sebelah
timur lokasi ini membentang wilayah yang disebut Loloan Timur. Sungai itu dahulu banyak
sekali buayanya, kata sesepuh kampung yang sempat kami jumpai. Lolohan Timur adalah
sebuah kawasan penduduk di pulau Bali yang hampir 96 persen penduduknya memeluk
agama Islam. Lolohan Timur masuk wilayah Negara (baca: Negare), Kabupaten Jembrana,
Bali. Tempat ini berada kurang lebih 25 km. dari Pelabuhan Gilimanuk, dan berjarak sekitar
84 km. dari Kota Denpasar. Lolohan Timur merupakan desa yang hijau. Bermacam-macam
tanaman tumbuh subur disana. Penduduk Lolohan Timur sebagian besar bekerja sebagai
3

nelayan yang tidak mencari ikan di laut, tetapi di pengambengan. Pengambengan menyerupai
danau kecil yang banyak dihuni ikan. Pengambengan mungkin lebih tepat disebut rawa. (Ali
Romdhoni,, Mengintip Aktifitas Masyarakat Muslim Lolohan Timur Bali, AMANAT,
Edisi 101/ Agustus 2004).
Di Loloan Timur yang dominan Muslim inilah terdapat beberapa pesantren, termasuk Pondok
Pesantren Manbaul Ulum. Usia pesantren ini tergolong paling tua. Pondok ini didirikan KH
Ahmad Dahlan (tahun 1935) yang asal-usulnya dari Semarang. Pondok ini pernah besar dan
santrinya mencapai ribuan orang. Namun sejak terjadi gempa tahun 1976, yang meruntuhkan
seluruh bangunan pondok, jumlah santri tersisa 11 orang. Selang beberapa waktu dari
peristiwa gempa itu, KH Ahmad Dahlan wafat. Kemudian tampuk pimpinan pondok
diteruskan menantunya, KH Zaki Abdurrahman, suami Hj Musyarofah, putri tertua dari istri
ke-2 KH Ahmad Dahlan.
Masyarakat Muslim Lolohan timur mendapat perlakukan istimewa termasuk dalam hal
mendirikan tempat ibadah. Bagi masyarakat Muslim Bali, mendirikan bangunan rumah
ibadah (mushola apalagi masjid) tidaklah mudah. Namun, khusus untuk Lolohan Timur hal
itu tidak lagi menjadi masalah. Khusus daerah ini, mendirikan masjid tidak perlu melalui
prosedur yang berbelit-belit sebagai mana yang terjadi di daerah lainnya.
Hingga sekarang, Loloan dikenal sebagai daerah muslim terbesar di Bali. Menariknya,
peninggalan Islam tersebut masih terpelihara dengan baik. Seperti prasasti dari ukiran kayu
dan Al-Quran hasil tulisan tangan yang saat ini disimpan di Masjid Jami Baitul Qadim,
Loloan Timur. Al Quran dan ukiran kayu yang berusia lebih dari dua ratus tahun, berbunyi,
Hijrah Nabi S.A.W 1268 tahun Wau (arab) kepada tahun Ha (Arab) sehari bulan Zulhijah hari
Senin. Masjid di Loloan Timur usianya juga sama tuanya dengan keberadaan
masyarakatnya. Hanya saja bangunannya sama sekali sudah tidak meninggalkan bekas-bekas
aslinya, karena semua sudah dirubuhkan diganti total dengan bangunan modern. Namun,
beberapa sisa kayu belandar masih tersimpan di lantai dua, kata seorang pengurus masjid
yang saya temui, sekaligus mengantarkan ke atas untuk menunjukkan sisa-sisa kayu blandar
yang ada.
Tapi apalah artinya sisa onggokan kayu yang digeletakkan begitu saja. Pasti tak akan lama
lagi kayu itu akan terbuang juga, kata hatiku menyayangkan pembongkaran ini. Sekali
lagi, inilah bukti bahwa bangsa kita dimanapun lokasinya, apapun pangkat dan derajadnya,
rakyat ataupun pejabat, tampak kurang menghargai segala hal berbau sejarah. Mereka
umumnya silau terhadap imitasi kemodernan termasuk dalam segi bangunan. Hanya ketika
mereka melancong ke mancanegara dan memperhatikan bangunan-bangunan kuno yang
terawat baik, mereka berdecak kagum tanpa kesadaran mendalam untuk merawat koleksi
sejarah yang ada di negaranya.
Selain Loloan, saya dkk diantarkan pula ke komunitas Muslim tua lainnya yakni di Desa Air
Kuning. Desa Air Kuning ini bersebelahan dengan Desa Yeh Kuning yang juga berarti air
kuning. Bedanya, jika Air Kuning komunitas penghuninya adalah muslim, maka Yeh
Kuning ditempati oleh komunitas Hindu. Pada masa perjuangan 1945 desa Air Kuning ini
dijadikan tempat persinggahan pejuang yang tergabung dalam Pasukan Sunda Kecil yang
dipimpin Kol (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai, yang sekarang namanya diabadikan sebagai
nama Bandara Internasional di Bali.

Komunitas Muslim Loloan dan Air Kuning di Jembrana alias Jimbarwana ini yang pertama
ada berasal dari Bugis. Mereka datang dalam dua tahap, pertama tahun 1653-1655, dan
kedua tahun 1660-1661 menyusul berakhirnya perang Makasar antara kerajaan Gowa vs.
VOC. Kaum Bugis/Makasar ini umumnya merupakan pelarian menyusul perjanjian
Bungaya setelah kekalahan Gowa oleh Belanda. Kaum pelarian ini sempat beberapa kali
pindah tempat, sebab mereka memang dikejar-kejar Belanda. Mereka nomaden di sekitar
daerah pantai timur dan utara Sumatera, pantai barat dan selatan Kalimantan (disebut orang
Bugis Pegatan), Jawa Barat (Banten), Pasuruan (Jawa Timur), dan terakhir Badung dan Air
Kuning -Jembrana (Bali).
Pelarian asal Sulawesi Selatan itu memang terus dikejar-kejar serdadu VOC (pasukan
Spelman) dan Arung Palaka karena sebagian perahu sisa sekuadron Bugis/Makassar itu masih
memiliki senjata meriam. Kala itu VOC kepada masyarakat sengaja membangun image
negatif bahwa kaum pelarian itu adalah perompak, karena mereka memang kerap melakukan
serangan terhadap kapal-kapal VOC. Bahkan, setelah Makassar jatuh di tahun 1667 Belanda
membuat sayembara bahwa siapapun yang dapat menangkap sekuadron perahu-perahu
keturunan sultan Wajo (berjumlah 4 buah) yang disebut Iinun alias perompak ini akan diberi
hadiah sepuluh ribu ringgit.
Sebelum ke Bali pelarian dari Gowa itu sempat bersembunyi di teluk Panggang Blambangan,
dan bertahan hidup sebagai nelayan. Sebagian dari mereka berikutnya kemudian pindah ke
Buleleng (pantai Lingga), namun ada pula yang ke Jembrana. Kala itu, baik Blambangan
maupun Jembrana memang berada di bawah pengaruh kekuasaan Buleleng. Daeng Nachoda
misalnya, tertarik untuk pindah ke Jembrana tahun 1669. Semula mereka mendarat di Air
Kuning dan memasuki Kuala Perancak, serta tinggal untuk sementara di lokasi yang disebut
kampung Bali. Peninggalannya sampai kini masih ada berupa sumur yang jernih, yang oleh
warga disebut sumur Bajo. Akhirnya mereka diberi ijin penguasa Jembrana, yakni marga
Arya Pancoran (Gusti Ngurah Pancoran), untuk menetap. Tempat mereka itu kini dikenal
sebagai pelabuhan Bandar Pancoran (pelabuhan lama di Loloan Barat) (Saleh Saidi & Yahya
Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
Eksistensi kaum pengungsi ini dalam kenyataannya tidak menjadi beban melainkan justru
menjadi berkah bagi Jembrana dan wilayah-wilayah Bali lainnya. Untuk di wilayah lain,
saya telah menguraikan bahwa mereka akhirnya menjadi kekuatan keamanan utama. Khusus
untuk di Jembrana ada manfaat khusus yang didapatkannya, yakni: masyarakat muslim asal
Sulawesi Selatan itu akhirnya berhasil membangun simpul ekonomi baru berupa pelabuhan.
Berkat perahu-perahu pedagang jelmaan sekuadron keturunan Sultan Wajo itu, Jembrana
akhirnya menjadi wilayah yang tak lagi terisolir dari dunia luar. Realitas ini menyebabkan
hubungan antara kaum Bugis/Makasar dan keraton menjadi akrab. Apalagi, Daeng Nachoda
dan penembak-penembak meriam Bugis/Makasar ini akhirnya menjadi tulang punggung
kekuatan Jembrana, terutama ketika I Gusti Ngurah Panji Sakti (1660) raja Den Bukit,
Singaraja (Buleleng) menyerang Jembrana. Jembrana memang kalah, dan menjadi kerajaan
vasal Buleleng, namun dukungan kaum Muslim ini tetap tertancap kuat dalam benak
keraton.
Di era penguasaan Buleleng ini, kaum Muslim memanfaatkan situasi untuk memperlebar
jaringan dagang sekaligus penyebaran Islam. Daeng Nachoda dan anak buahnya misalkan,
utuk memperlebar sayap perniagaan ke Buleleng, sekaligus untuk menyebarkan Islam.
Perahu-perahu yang mereka miliki dijadikan penghubung logistik (perekononian) yang
5

penting antara Buleleng-Jembrana. Walhasil, meski secara politik berada di bawah


kekuasaan Buleleng, tetapi Jembrana kala itu justru berkembang maju terutama dalam
konteks pelabuhan dan atau perniagaan.
Ketika I Gusti Ngurah Panji Sakti (raja Buleleng) melepaskan pengaruh kekuasaannya atas
Blambangan, sehingga dilepaskan pula pengaruhnya atas Jembrana yang kala itu di bawah
kendali Dhalem Dewa Agung Jambe (yang sangat fanatik Hindu bahkan feodalistik). Kala
itulah raja Mengwi mengambil alih Jembrana, mengingat Mengwi memang ikut berjasa
dalam penaklukan Blambangan. Apalagi raja Mengwi adalah pula ipar Panji Sakti sendiri.
Tahun 1697 terjadi banjir bandang, Sungai Ijo Gading meluap, menghancurkan keraton
Brambang (pusat kerajaan Jembrana) termasuk keluarga raja I Gusti Ngurah Putu Tapa dan
rakyatnya. Meski ikut keterjang banjir, tetapi perkampungan Bugis di Bandar Pancoran
selamat. Wakil Raja (I Gusti Ngurah Made Yasa) juga selamat, karena kala banjir bandang ia
sedang berkunjung ke Mengwi untuk mengundang Ngeluwur (Pengabenan Besar). Mengwi
sebagai negara atasan membantu patih untuk membangun kembali kerajaan Jembrana,
yang akhirnya dipindahkan dari Brambang ke Jembrana. Ketika membangun istana yang
diberi nama Jero Andol ini kaum pelarian asal Blambangan yang terdesak oleh
perkembangan Islam ikut membantu juga.
I Gusti Ngurah Putu Yasa dinilai tak mampu memimpin negeri, oleh karena itu akhirnya
diambilkan raja pengganti, yakni putra bungsu raja Mengwi I Gusti Agung Alit Takmung
dengan gelar Anak Agung Ngurah Jembrana. Namun raja baru ini masih kecil, sehingga ia
didampingi ibu (I Gusti Ayu Ler Pacekan) dan kakeknya ( I Gusti Ngurah Takmung) sebagai
patih yang membangun puri Jeroan Pasekan. Khusus kepada keluarga Marga Arya Pancoran
(penguasa lama) diberi jabatan sebagai kepala pasukan perang dengan dibantu Arya Bengkel
dan Arya Kelaladian yang datang dari Mengwi bersama raja. Umat Islam Jembrana menjadi
inti dalam pasukan Marga Arya Pancoran ini.
Kala itu para Arya dan umat Islam hidup rukun, dan Jembrana mencapai puncak
kemasyhuran, terutama berkat pelayaran perdagangan kaum Bugis hingga ke Palembang.
Bandar Pancoran menjadi pelabuhan perniagaan, di tengah realitas Jembrana yang masih
tertutup hutan belantara.. Oleh karena itu, perahu-perahu Bugis pun membawa kuda dari
Sumbawa untuk keperluan transportasi darat di Jembrana.
Di era raja ketiga (Anak Agung Putu Handul), yakni putra I Gusti Agung Lebar, kerajaan
Jembrana diserang raja Cokorde Tabanan. Namun, serangan ini berhasil dihadang pasukan
dan atau para pendekar Islam. Tahun 1670 Raja Badung, Cokorde Pemecutan juga
menyerang dari arah selatan desa Perancak, tetapi juga gagal karena banyak yang dimakan
buaya.
Ketika Anak Agung Putu Handul digantikan putranya, Anak Agung Putu Sloka (sebagai raja
keempat) dan adiknya Anak Agung Nyoman Madangan (wakil raja) perlakuan kerajaan
terhadap umat Islam kian baik. Bahkan, untuk kian mendekatkan diri dengan komunitas
Islam, maka di tahun 1798 raja membangun puri baru di sebelah utara Bandar
perkampungan Islam, di sebelah barat sungai Ijo Gading, yang diberi nama Negeri (Negara).
Di era itulah datang lagi beberapa perahu dari Sulawesi Selatan serta minta ijin tinggal di
Air Kuning. Mereka dipimpin para mubaligh seperti : H. Sihabuddin dan H. Yasin (Bugis
asal Buleleng), Tuan Lebai (Melayu asal Serawak) dan Datuk Guru Syekh (0rang arab).

Selain perahu Bugis, datang juga iring-iringan perahu pimpinan Syarif Abdullah Al Qodri
yang tak lain adik Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodery. Kala itu Sultan
Pontianak takluk pada Belanda (1799). Karena, sang adik (Syarif Abdullah Al Qodery)
tidak terima realitas itu, ia meneruskan perlawanan di Lautan, serta berpetualag dengan
membawa sekuadron bersenjata meriam. Satu perahu menetap di Lombok Timur, sisanya
sampai di Air Kuning Jembrana. Syarif Abdullah Al Qodri mengadakan kesepakatan dengan
umat Islam di Jembrana. Ketika menyusuri Sungai Ijo Gading ke utara menuju Shah
Bandar, Syarif Abdullah memberi aba-aba pada anak buah dengan bahasa kalimantan Liloan
(tikungan), sehingga kampung di sekitarnya lantas diberi nama Loloan hingga sekarang.
Dua ekspedisi (Bugis dan Pontianak) tadi merupakan gelombang kedua kedatangan Islam di
Jembrana. Kedatangan dua kelompok muslim ini disambut baik raja. Ada alasan mendasar
kenapa dua kelompok umat Islam ini diterima dengan tangan terbuka: Pertama, eksistensi
umat Islam di Jembrana yang telah ada ternyata mampu menjalin hubungan baik dengan
komunitas Hindu. Kedua, umat Islam yang telah ada di Jembrana terbukti mampu menjadi
tenaga pasukan yang sangat diandalkan serta mempunyai loyalitas tinggi. Terbukti, ketika
keraton Jembrana hancur dan keluarga raja tumpas oleh banjir bandang, komunitas Islam tak
lantas membangun sebuah kerajaan tersendiri. Mereka bahkan membantu pembentukan
keraton baru yang dilakukan Patih atas bantuan raja Mengwi. Ketiga, kenyataannya umat
Islam memiliki jasa luar biasa dalam pengembangan pelabuhan perniagaan yang memiliki
pengaruh sangat positif bagi kemajuan kerajaan. Keempat, kala itu Blambangan telah dikuasi
Belanda, sehingga dapat mengancam pula keamanan bahkan masa depan Jembrana.
Walhasil, kehadiran para pelarian asal Kalimantan dan Sulawesi yang semuanya bekas
pasukan kerajaan ini tentu dapat menampah kekuatan kerajaan.
Menurut aturan kerajaan seluruh meriam sebenarnya harus diserahkan ke raja, seperti telah
dilakukan kaum Bugis yang telah datang duluan pasca perang Makasar. Tetapi, Syarif
Abdullah menawarkan cara lain, yakni: meriam tetap dikuasai sendiri, tetapi akan
digunakan untuk membela Jembrana. Kesepakatan dicapai dan kepada kaum Islam asal
Kalimantan ini dipersilahkan tinggal di kanan kiri tebing sungai Loloan seluas 80 hektar.
Lokasinya ada di sebelah utara Bandar Pancoran.
Syarif Abdullah membuat perkampungan darurat di sebelah timur sungai yang kini disebut
Loloan Timur. Perahu perang yang dimiliki diubah menjadi kapal perniagaan, bahkan
akhirnya menjelajah hingga Singapura. Kala itu Loloan Timur dan Loloan Barat akhirnya
menjadi desa administratif konsesi untuk umat Islam di Jembrana. Sedangkan, desa
administratif yang berbentuk desa adat Hindu adalah desa Mertasari, Lelaleng, Banjar
Tengah, dan Baler Bale Ageng. Loloan Barat dan Timur akhirnya menarik minat umat
Islam dari Jawa dan Madura untuk ikut menetap.
Seiring dengan adanya komunitas Islam yang baru tadi, Jembrana kian mengalami kemajuan
terutama dalam perekonomian. Raja Buleleng (Anak Agung Gde Karangasem) tertarik pada
kemakmuran Jembrana, sehingga di tahun 1828 Buleleng menyerang: ingin menaklukkan
Jembrana untuk kedua kalinya. Raja Jembrana, Anak Agung Putu Seloka dan adiknya (yang
tak lain wakil raja) diungsikan dengan perahu Bugis ke Banyuwangi. Pada penyerangan
pertama, pasukan Jembrana yang diperkuat pasukan Bugis-Pontianak ini berhasil
mengalahkan Buleleng, bahkan panglima Buleleng Anak Agung Gde Karang tewas. Namun,
pada penyerangan yang kedua, pasukan Jembrana dapat dikalahkan, meskipun perang
gerilya tetap berlanjut (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam
di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
7

Umat Islam Jembrana kembali memperlihatkan kesetiaan, tetap memegang teguh janji
persahabatan dengan kerajaan Jembrana. Terbukti, meskipun sampai tahun 1832 selama 4
tahun ada kekosongan (karena raja dan wakil raja mengungsi), umat Islam tak lantas
melepaskan diri (apalagi mengambil alih kekuasaan) dari Jembrana. Mereka bahkan terus
membantu rakyat Hindu yang susah karena perang. Baru pada tahun 1835 terjadi
kesepakatan damai antara Jembrana Buleleng, menyusul penguasaan Buleleng atas
Jembrana untuk kedua kalinya. Intinya: raja Jembrana tetap diberi hak memerintah, tetapi
dibawah pengaruh/supremasi Buleleng.
Di era ini hubungan harmonis umat Islam-Hindu (termasuk dengan kerajaan) tetap berlanjut.
Itulah realitas seluk beluk Kerajaan Jembrana (Negara) yang sangat erat hubungannya dengan
umat Islam. Hingga kini panji-panji Islam bertuliskan kalimat La Illaha Ilallah misalnya,
masih disimpan di Puri Negara, sebagai penghargaan atas perjuangan pengikut Syekh Syarif
Al Qodri (pemuka Islam) menghadang serangan dari kerajaan lain
Kebersamaan kaum Hindu dengan komunitas lama kampung Islam ini juga terjalin hingga
pada sektor sosial dan ekonomi. Orang Islam ada yang menggarap tanah pemeluk agama
Hindu, begitu juga sebaliknya. Bahkan, diantara dua komunitas juga terbangun sebuah
akulturasi. Bentuk lain akulturasi umat Islam dengan masyarakat Hindu di lokasi ini dapat
dilihat melalui kesenian Rebana. Kesenian ini dimainkan oleh beberapa orang yang semuanya
mahir memainkan Rebana besar. Lirik dan syairnya bernafaskan Islam menggunakan bahasa
Arab ataupun bahasa Melayu. Namun, agar mudah diterima masyarakat sekitar, para seniman
Rebana ini mengaransemen lagu-lagu yang mereka mainkan dengan irama khas Bali. Dengan
begitu, masyarakat akan lebih menyukai kesenian ini dan makna syiar yang menjadi tujuan
utama dapat tersampaikan dengan efektif.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Loloan merupakan keturunan dari tanah Melayu (Kuala Trengganu) dan kaum Bugis yang
sudah beberapa abad lalu masuk Bali. Eksistensi mereka ini juga menjadi bukti historis
bahwa Islam telah lama masuk di wilayah Jembrana ini. Hingga kini mereka bertahan
dengan agama Islam dan adat-istiadat Melayu. Bahkan, berbeda dengan komunitas muslim
yang juga tergolong kuno di lokasi lainnya yang umumnya memakai bahasa Bali sebagai alat
komunikasi sehar-hari, komunitas di tempat ini ternyata tetap menggunakan bahasa melayu
sebagai bahasa keseharian di kalangan mereka.
Daerah Lolohan terbagi menjadi tiga wilayah: Lolohan Selatan, Timur, dan Barat.
Masyarakat setempat biasa menyebut Lolohan Selatan dengan Markesari. Penduduk
Markesari 95 persennya memeluk agama Hindu. Adapun Lolohan Barat dihuni penduduk
Muslim dan non Muslim. Dengan perbandingan 50 persen Muslim dan 50 persen lainnya non
Muslim, campuran antarai: Hindu, Budha, Kristen dan lainnya

Daftar Pustaka
.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991),
him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)
hlm.20-21
] P.A. Hosein Djadjadiningrat, Islam di Indonesia, dalam Kennet Morgan, ed., Islam
Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia Prof Kong Yuanzhi

10

You might also like