You are on page 1of 5

2.1.1.

Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan yang
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing
tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
caninum, dan Ancylostoma ceylanicum (Aisah, 2010). Selama beberapa dekade, istilah CLM dan
creeping eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom,
sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis
diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang
bermigrasi dalam pola yang tidak teratur (Caumes, 2006). Penyakit yang menimbulkan gejala
berupa creeping eruption tapi tidak disebabkan oleh parasit non-larva tidak disebut sebagai
CLM, misalnya seperti pada dracunculiasis, loiasis, skabies, schistosomiasis, ataupun
onchocerciasis (Kourilova, 2004; Caumes, 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
2.1.2. Epidemiologi
CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di daerah yang lembab
dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini sebagian besar terjadi di negara
bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat juga ditemukan secara sporadik di negara bagian
lain (Donaldson et al, 1950 dalam Gutirrez, 2000). Kasus CLM telah dilaporkan di Jerman,
Prancis, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Feldmeier dan Schuster, 2011). CLM
endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang, seperti Brazil, India, dan Hindia
Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan prevalensi CLM pada anak-anak selama
musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah perkumuhan di Timur Laut Brazil, didapati lebih dari 4%
dari Universitas Sumatera Utara5 keseluruhan populasi dan 15% pada anak-anak menderita
CLM (Feldmeier dan Schuster, 2011). Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi
secara sporadis atau dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan
dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang.
Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan antihelmintes
secara teratur (Heukelbach et al, 2008). Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan
distribusi geografi Ancylostoma braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah
wisatawan yang sering berkunjung ke daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada
anjing dan kucing, sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara bagian

tenggara, Teluk Meksiko, Laut Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan, Somalia, Republik
Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia. Penyakit ini tidak muncul setelah terpapar pantai
yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense, misalnya Pantai Pasifik Amerika Serikat dan
Meksiko (Soo et al, 2003).
2.1.3. Faktor Risiko
1. Faktor perilaku Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung
dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit
sehingga menyebabkan CLM (Abdulla dan Selim, 1998).
b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing Penyebab utama CLM adalah larva cacing
tambang yang berasal dari anjing dan kucing (Aisah, 2010). Perawatan rutin anjing dan kucing,
termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan
larva cacing tambang (CDC, 2012).
c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab
menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis (Brenner dan Patel,
2003). Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan
sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian
CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Sebuah
penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di
bandara menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai
selama liburannya (Heukelbach et al, 2007).
2. Faktor lingkungan Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Keberadaan anjing dan kucing Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja anjing dan
kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva
yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing
tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM
(Supali et al, 2009).

b) Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan
puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah yang basah
dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras. Selain
itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan
kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan risiko infeksi
pada manusia (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab Telur Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja
anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas
menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform
inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM (CDC, 2012)
3. Faktor demografis Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a) Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia 4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak
pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah.
b) Pekerjaan Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab. Orang
yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat meningkatkan risiko
terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya
petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak
dengan tanah atau pasir (Aisah, 2010).
c) Tingkat pendidikan Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil
menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk dengan
tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada penduduk dengan tingkat
pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita CLM (Heukelbach et al,2008).
2.1.4. Etiologi
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan Strongyloides. Penyebab
lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus
(Eckert, 2005). Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan

kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar
(Aisah, 2010). Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan
CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma
caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan
menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik. (CDC, 2012)
2.1.5. Patogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang
menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan hidup selama
beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat
dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah
menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai.
Universitas Sumatera Utara11 Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva
infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia
(Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan
membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya (Shulmann et al, 1994
dalam Palgunadi, 2010). Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus
hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva
tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva
terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir (Juzych, 2012;
Palgunadi, 2010).
Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa menit
setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam
kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian
bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang
sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari
setelah infeksi (Africa, 1932 dalam Gutirrez, 2000). CLM biasanya ditemukan pada bagian
tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir (CDC, 2012). Tempat predileksi antara
lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha (Aisah, 2010). Pada kondisi sistemik,
gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar

migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui (VanoGalvan et al, 2009).
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan disertai dengan
riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi
tidak diperlukan (Vano-Galvan et al, 2009). Prosedur invasif jarang digunakan untuk
mengindentifikasi parasit pada CLM. Hal ini disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu
menunjukkan Universitas Sumatera Utara13 tempat dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab,
eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada
wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun,
peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi
ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). CLM yang
disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA (Enzyme-linked
immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop epiluminesens telah digunakan untuk
memvisualisasikan pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui
(Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
2.1.7. Diagnosis Banding
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada
skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila dilihat dari
bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada
stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila
invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes
zoster stadium awal (Aisah, 2010). Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak
alergi, dermatitis fotoalergi (Robson dan Othman, 2008), loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea
korporis (Heukelbach dan Feldmeier, 2008), dan ganglion kista serpiginius (Friedli et al, 2002).
Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut
secara horizontal di kulit (Sakai et.al, 2006).

You might also like