You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap deklarasi A World Fit
for Children (WFC) dalam 27th United Nations General Assembly Special Session on
Children pada tahun 2001. Dengan demikian, Indonesia diharapkan menyusun suatu
program nasional bagi anak. Ada 4 bidang pokok yang mendapat perhatian khusus
dalam deklarasi WFC, yaitu promosi hidup sehat (promoting healthy lives), penyediaan
pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap
perlakuan salah (abuse), eksploitasi, dan kekerasan (protecting against abuse,
exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS).
Dokumen ini merupakan ringkasan dari Buku II, yang memuat Program Nasional bagi
Anak Indonesia, yang mencakup keempat bidang tersebut, dan dengan masa
pelaksanaan hingga tahun 2015.
Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 dikembangkan berlandaskan
pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b dan 28c; dan Undang-undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Penyusunan
PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-hak Anak (Convention
on the Rights of the Child), serta Millenium Development Goals (MDGs).
Mengenai batasan usia anak, berdasarkan UU PA, pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1
ayat 1, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2000, proporsi jumlah anak dan remaja berusia
0-14 tahun mencapai hampir 30 persen dari jumlah total penduduk, dan dengan
menambahkan jumlah anak yang berusia antara 15-18, jumlah anak secara keseluruhan
mencapai lebih dari 1/3 jumlah total penduduk Indonesia. Dengan jumlah yang
demikian besar, peran anak menjadi penting. Di satu pihak, anak merupakan tumpuan
masa depan bangsa. Di lain pihak, karena masih berusia muda, anak merupakan salah
satu kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah, seperti kesehatan, pendidikan,
hukum, ketenagakerjaan, dan lain-lain.

BAB II
ANALISIS SITUASI
2.1

KESEHATAN ANAK

A. Kematian, Kesakitan, dan Kecacatan


Angka Kematian Bayi (AKB) turun dari 68 per 1000 kelahiran hidup pada awal tahun
1990-an menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup pada pertengahan dekade (1992-1997).
Angka Kematian Balita juga menurun dari 97 menjadi 58 pada periode yang sama. Dua
penyebab utama kematian bayi adalah kematian perinatal (36 persen), diikuti oleh
pneumonia (28 persen). Dua penyebab kematian utama pada bayi baru lahir adalah
prematuritas disertai berat lahir rendah (29,2 persen) dan asfiksia lahir (27 persen).
Penyebab utama kematian balita adalah pneumonia (23 persen), sedangkan bagi anak
umur 5-14 tahun adalah tifus, kecelakaan, dan neoplasma. Untuk anak umur lebih dari
15 tahun penyebab utama kematian adalah kecelakaan, tuberkulosis, dan komplikasi
maternal (Susenas 2001).
Hasil menggembirakan dicapai dalam upaya eradikasi polio, karena sejak 1996 tidak
lagi ditemukan kasus baru. Angka kesakitan untuk penyakit campak pada anak umur
kurang dari 1 tahun, 1-4 tahun, dan 5-14 tahun mengalami penurunan yang bermakna
yaitu berturut-turut dari 20,5 menjadi 9 per 10.000 penduduk, dari 18,4 menjadi 7,4 dan
dari 8,4 menjadi 3,4. Data Susenas 2001 menunjukkan bahwa di antara anak umur 0-4
tahun ditemukan prevalensi panas sebesar 33,4 persen, batuk 28,7 persen, batuk dan
nafas cepat 17,0 persen dan diare 11,4 persen. Penyakit yang paling sering terjadi
adalah anemia, penyakit periodontal, infeksi akut saluran nafas atas, gangguan telinga
luar, dan tonsilitis kronik (SKRT 1995). Sedangkan untuk kecacatan, secara
keseluruhan 29,9 persen bayi umur kurang dari 1 tahun, 32,8 persen anak umur 1-4
tahun dan 30,1 persen anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis kecacatan atau lebih
(Susenas 2001).
Kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data Susenas 2001
menunjukkan Angka Kematian Ibu sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup, yang
sekilas berarti tidak ada perubahan selama 15 tahun terakhir. Penyebab utama kematian
ibu adalah perdarahan termasuk abortus (34,4 persen) dan eklampsia (23,7 persen).
B. Status Gizi
Data terakhir menurut SKRT 2001 menunjukkan bahwa prevalensi pendek pada balita
mencapai 34,3 persen dan pada anak usia sekolah 5-9 tahun sebesar 36 persen.
Prevalensi kurus pada balita 16 persen dan pada anak usia sekolah 0,5 persen.
Prevalensi balita dengan gizi kurang/gizi buruk (underweight) 31 persen. Bila ditinjau
dari jumlah penduduk dan proporsi balita, jumlah balita dengan gizi buruk pada tahun
2002 dapat dikatakan lebih tinggi daripada tahun 1989. Prevalensi gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY) pada anak usia sekolah telah menurun dari 30 persen pada
tahun 1980 menjadi 11,1 persen pada tahun 2003. Informasi untuk prevalensi anemia
sangat terbatas. Prevalensi anemia pada ibu hamil menurun, dari 50,9 persen pada tahun
1995 menjadi 40,1 persen pada tahun 2001 (SKRT 2001). Prevalensi anemia pada balita
tahun 1995 adalah 35,7 persen pada laki-laki dan 45,2 persen pada perempuan.
Prevalensi ini meningkat pada tahun 2001 menjadi 48,1 persen. Berdasarkan Susenas

1999 s/d 2003 prevalensi resiko kurang energi kronis pada wanita usia 15-19 tahun
adalah 41 persen pada tahun 1999 dan 35,1 persen pada tahun 2003.
C. Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Hidup Sehat
Menurut Susenas 1998 cakupan air bersih mencapai 73 persen dan kepemilikan jamban
saniter (jamban leher angsa) 38,9 persen. Prevalensi ASI eksklusif menurun dari 65,1
persen (Susenas 1998) menjadi 49,2 persen (Susenas 2001). Susenas 2001
menunjukkan bahwa dari penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan terakhir ada
sekitar 56,3 persen yang mengobati sendiri. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) belum
dimanfaatkan seperti yang diharapkan, karena hanya 40 persen balita dibawa ke
Posyandu dalam 1 bulan terakhir dan sekitar 28 persen balita tidak pernah dibawa
mengunjungi ke Posyandu.
Hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja (15-24 tahun) Indonesia tahun 2002-2003
menunjukkan bahwa 2,6 persen remaja perempuan dan 33,7 persen remaja laki-laki
telah mencoba minuman beralkohol. Dijumpai 0,2 persen remaja perempuan dan 0,8
persen remaja laki-laki telah mencoba menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat
adiksi lainnya (napza). Di kalangan penduduk berusia di atas 10 tahun, 27,7 persen
menyatakan merokok, dan 68 persen menyatakan bahwa mereka mulai merokok di
bawah usia 20 tahun.
D. Pelayanan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam upaya meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan sampai dengan tahun 2000
telah dibangun sarana kesehatan berupa Puskesmas Puskesmas Pembantu, Puskesmas
Keliling, dan rumah sakit umum, disertai penempatan tenaga kesehatan di berbagai
sarana tersebut dan bidan di desa. Namun demikian mutu pelayanan kesehatan masih
belum optimal disebabkan oleh lemahnya manajemen, belum mantapnya pelayanan
rujukan, kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional, serta penyebaran sarana
dan prasarana kesehatan belum merata.
Data Susenas 2001 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
mengalami peningkatan. Sebanyak 58,9 persen persalinan, penolong pertamanya adalah
tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan paramedis lain). Selain itu, masyarakat desa
berpartisipasi dalam penyediaan dan pengembangan Pondok Bersalin Desa (Polindes)
untuk pelayanan kebidanan dasar, persalinan, pelayanan ibu nifas, serta pelayanan
kesehatan bagi bayi baru lahir, bayi, balita dan anak pra-sekolah. Sampai saat ini telah
didirikan 33.083 Polindes.

2.2 PENDIDIKAN ANAK


A. Pendidikan Anak Usia Dini
Data tahun 2001 mengungkapkan bahwa dari sekitar 26,2 juta anak usia 0-6 tahun baru
sekitar 7,3 juta anak (28 persen), yang telah memperoleh layanan perawatan (care) dan
pendidikan anak usia dini (PAUD) melalui berbagai program. Dengan demikian masih
ada sekitar 18,8 juta anak yang belum memperoleh layanan PAUD. Sedangkan khusus
untuk kelompok anak usia 4-6 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8 persen) anak
yang belum terlayani oleh program pendidikan pra-sekolah.

Kontribusi layanan tertinggi PAUD justru melalui SD sebanyak 2.6 juta anak (10
persen), padahal SD tidak dirancang untuk PAUD. Kemudian diikuti oleh BKB (9,6
persen), TK (6,7 persen), dan RA (1,4 persen). Sedangkan TPA dan KB kontribusinya
masih sangat kecil, yaitu 0,1 persen dan 0,06 persen. Mengingat masih banyaknya
keluarga yang belum memahami bagaimana cara mendidik anak yang dapat membantu
tumbuh-kembang anak secara lebih optimal, maka diperlukan intervensi melalui
orangtua.
Walaupun 60 persen anak usia 0-6 tahun tinggal di pedesaan, ternyata prasarana dan
sarana PAUD umumnya di perkotaaan (Susenas 2000). Masih rendahnya anak usia dini
yang mendapatkan pendidikan dan perawatan disebabkan oleh: terbatasnya jumlah
lembaga layanan PAUD; tingkat kesadaran orang tua dan masyarakat tentang
pentingnya PADU masih sangat rendah; kemampuan ekonomi keluarga lemah; belum
adanya program layanan terpadu yang mencakup layanan pendidikan, kesehatan,
perawatan dan gizi; terbatasnya dukungan pemerintah guna pemerataan layanan PAUD;
dan belum intensifnya kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga
masyarakat dalam menyelenggarakan PAUD.
B. Pendidikan Dasar
Wajib belajar (Wajar) pendidikan dasar 9 tahun yang dicanangkan pada tahun 1994
direncanakan dituntaskan pada akhir tahun 2003/2004. Namun rencana penuntasan
wajar ini tidak tercapai sebagai akibat dampak krisis ekonomi dan berbagai tantangan
yang dihadapi.
B.1 Peningkatan Akses dan Perluasan Kesempatan Belajar
Peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar dapat digambarkan melalui
indikator-indikator berikut:
Angka Partisipasi. Pada tingkat sekolah dasar, angka partisipasi kasar (APK) pada
tahun 2001/2002 mencapai 113,52 persen sedangkan angka partisipasi murni (APM)
mencapai 94,31 persen. Akses pendidikan pada tingkat SMP/MTs belum sebaik tingkat
SD/MI. Pada tahun 2001/2002 angka partisipasi murni sekolah (APS) anak usia 13-15
tahun sudah mencapai 74,3 persen, yang berarti masih ada sekitar 25,7 persen anak usia
13-15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP/MTs. Sementara itu,
APK SMP/MTs pada tahun 2002/2003 meningkat menjadi 77,44 persen, sehingga
mengindikasikan banyak anak yang masih bersekolah di SMP/MTs.
Angka Mengulang Kelas. Pada tahun 2001/2002 angka mengulang SD/MI sebesar
5,40 persen, sedikit berkurang dibanding keadaan tahun 1997/98 yang mencapai 6,13
persen. Sedangkan angka mengulang kelas SMP/MTs dapat dikatakan sangat rendah,
yaitu 0,44 persen, 0,41 persen dan 0,05 persen untuk kelas I, II, dan III. Angka
mengulang kelas yang tinggi terutama pada kelas-kelas awal seringkali menjadi
penyebab anak putus sekolah.
Angka Putus Sekolah. Angka putus sekolah SD/MI pada tahun 2001/2002 sebesar
2,66 persen, sedikit berkurang dibanding keadaan tahun 1997/1998 sebesar 2,90 persen.
Untuk tingkat SMP/MTs, angka putus sekolah pada tahun 2001/2002 sebesar 3,50
persen. Walaupun dalam bentuk persentase tampak kecil, angka absolut putus sekolah
ternyata cukup besar, karena jumlah siswa SD/MI dan SMP/MTs sangat besar. Pada

tahun 2001/2002 terdapat sekitar 926.843 orang siswa pendidikan dasar (SD/MI dan
SMP/MTs) yang putus sekolah (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
Angka Kelulusan. Angka kelulusan untuk SD/MI pada tahun 2001/2002 sebesar 97,01
persen dan untuk SMP sebesar 95,00 persen. Kelulusan sebenarnya terkait erat dengan
mutu pembelajaran, karena anak dapat lulus jika daya serap mereka cukup bagus,
sehingga lulus ujian akhir yang diikuti. Dengan demikian angka kelulusan sangat erat
kaitannya dengan peningkatan mutu pembelajaran.
Angka Melanjutkan. Pada tahun 1994/1995, angka melanjutkan ke SMP/MTs sebesar
66,84 persen dan pada tahun 2001/2002 meningkat menjadi 70,52 persen, yang berarti
masih ada 29,48 persen lulusan SD/MI yang belum melanjutkan ke tingkat SMP/MTs.
Angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs terkait dengan faktor: (a) apakah lulusan
SD/MI dan orang tua mereka merasa pendidikan di SMP/MTs penting bagi mereka, (b)
apakah di sekitarnya terdapat SMP/MTs yang dapat dijangkau dari tempat tinggalnya,
(c) apakah mereka tidak kesulitan mendapatkan biaya sekolah, dan (d) apakah mereka
tidak terkendala oleh budaya setempat untuk melanjutkan ke SMP/MTs.
Angka Penyelesaian. Dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan angka
penyelesaian (graduation rates) pendidikan dasar sebesar 13,5 persen. Untuk siklus
1992/1993 sampai 2000/2001 tingkat penyelesaian pendidikan dasar meningkat
menjadi 45,6 persen. Dari seluruh siswa baru kelas I SD/MI pada tahun 1992/1993 s.d.
2000/2001, hanya 45,6 persen siswa yang berhasil menyelesaikan pendidikan (lulus)
SMP/MTs tepat waktu. Siswa yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar selama
9 tahun dapat disebabkan oleh tiga kemungkinan yaitu: mengulang kelas, putus
sekolah, dan lulusan SD/MI atau yang setara yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs atau
yang setara.
B.2. Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan mutu pendidikan digambarkan melalui indikator-indikator berikut:
Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN)/Nilai Ebtanas Murni (NEM). Rata-rata NEM
SD/MI tahun 1998/1999 adalah 5,99 yang berarti bahwa rata-rata siswa SD/MI hanya
mampu menyerap 59,9 persen bahan ajar yang dipelajari. Rerata NUAN SMP tahun
2002/2003 untuk seluruh mata pelajaran relatif cukup tinggi, yaitu 5,93 yang berarti
secara rerata, lulusan SMP menguasai 59,30 persen dari seluruh materi yang seharusnya
dikuasai. Berdasarkan hasil Ebtanas 2000/2001 hanya terdapat 0,03 persen SMP yang
masuk kategori baik sekali (NUAN > 7,5) dan 2,14 persen SMP masuk kategori baik
(NUAN 6,5 7,5).
Kelayakan mengajar guru. Dengan berdasarkan kualifikasi pendidikan guru SD
minimal D2, ternyata hanya sekitar 49,5 persen guru SD yang dapat dianggap layak
mengajar. Pada tingkat SMP, dengan berdasarkan kualifikasi pendidikan guru minimal
D3, hanya sekitar 66,3 persen guru yang dapat dianggap layak mengajar.
Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas. Walaupun rasio siswa-guru adalah 22 dan rasio
siswa-kelas adalah 26, yang berarti sudah melebihi standar, namun terjadi
ketidakmerataan guru di perkotaan dan perdesaan. Hal itu diduga akibat terjadinya
mutasi guru dari pedesaan ke kota secara sistematik. Selain itu yang perlu diperhatikan

pula adalah rasio Kelas-Ruang Kelas dan Laboratorium-Sekolah untuk peningkatan


mutu pendidikan.
Kondisi Gedung Sekolah. Hingga tahun 2002 gedung SD/MI yang berada dalam
kondisi baik hanya sekitar 42,8 persen, selebihnya rusak berat dan ringan. Untuk
gedung sekolah SMP, sebagian besar, yaitu sekitar 85,8 persen berada dalam kondisi
baik, sisanya rusak berat dan ringan. Kondisi gedung sekolah yang tidak aman dan
tidak nyaman baik bagi siswa maupun guru, dapat mengakibatkan penurunan
konsentrasi. Hal ini kemudian dapat berakibat pada penurunan prestasi siswa dan
penurunan kinerja mengajar guru.
B.3. Akses Pendidikan Bagi Anak Perempuan dan Berkelainan
Akses Pendidikan bagi Anak Perempuan. Akses terhadap pendidikan dasar pada
umumnya menunjukkan adanya tingkat keseimbangan antara perempuan dan laki-laki.
Pada tahun 1999/2000, APK siswa perempuan pada SD/MI sebesar 94,20 persen
sedangkan pada SMP/MTs sebesar 70,88 persen. Angka ini hanya sedikit berbeda
dengan siswa laki-laki yang mencapai angka 98,82 persen pada tingkat SD/MI dan
72,66 persen pada SMP/MTs.
Akses Pendidikan bagi Anak Berkelainan. Pada tahun 2000/2001 terdapat 1.287
lembaga Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang terdiri dari Sekolah luar Biasa (SLB), SD
Luar Biasa (SD LB) dan Sekolah Terpadu. Dari jumlah itu, hanya 32,56 persen milik
pemerintah, sehingga nampak peran aktif pihak swasta dalam penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkelainan. Adapun jumlah anak berkelainan yang mendapat
pelayanan dari ketiga jenis lembaga pendidikan tersebut sebanyak 49.647 orang anak.

2.3.PERLINDUNGAN ANAK
Di Indonesia, jenis-jenis kondisi dan situasi anak yang sangat menonjol untuk ditangani
segera adalah:
Pekerja anak. Pekerja anak sudah menjadi bagian dari tradisi, anak diharapkan
membantu orang tua. Namun yang memprihatinkan adalah bertambahnya jumlah anak
yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Berdasarkan data BPS
tahun 2000 persentase anak yang bekerja 5,60 persen dan yang mencari pekerjaan
hanya 0,36 persen dari jumlah anak umur (10-14 tahun). Sebenarnya pada dekade
terakhir, anak umur 10-14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun
kemudian terjadi peningkatan sebagai akibat krisis ekonomi. Persentase pekerja anak
umur 10-14 tahun dengan jam kerja normal (35 jam/minggu) hanya sekitar 16,89
persen, selebihnya bekerja lebih dari 35 jam/minggu. Jenis pekerjaan pekerja anak
antara lain di bidang pertanian (72,01 persen), industri manufaktur (11,62 persen), dan
jasa (16,37 persen). Persentase pemulung anak relatif kecil (0,37 persen), namun tetap
harus menjadi perhatian pemerintah karena termasuk dalam bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk bagi anak. Demikian pula dengan kategori anak yang bekerja pada orang/pihak
lain tanpa dibayar (4 persen), sebab merupakan eksploitasi ekonomi terhadap anak.
Pemerintah melalui Keppres No. 59 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Anak yang diekploitasi untuk seksual komersial. Walaupun belum ada data akurat
berapa jumlah anak yang diekploitasi untuk tujuan seksual komersial, namun data yang
terkumpul mengindikasikan bahwa sejumlah anak telah menjadi korban pelacuran. Hull
dkk (1997) dan Farid (1999) mengindikasikan jumlah anak yang dilacurkan
diperkirakan sekitar 30 persen dari total prostitusi yaitu sekitar 40.000 - 70.000 atau
bahkan lebih. Pemerintah melalui Keppres No. 87 Tahun 2002 telah menetapkan
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Gugus
Tugas untuk memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial anak.
Anak yang diperdagangkan (trafiking anak). Fakta yang ada menunjukkan korban
trafiking sering kali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual, bekerja dengan upah
yang sangat rendah seperti di perkebunan, jermal, pembantu rumah tangga (PRT),
pengemis jalanan, pelacur, dan lain-lain. Pada tahun 1999, dari sekitar 1.3 juta PRT di
Indonesia, sekitar 23 persen adalah anak umur 10-18 tahun (Indikator Kesejahteraan
Anak, 2000). Pekerja anak di jermal bekerja siang dan malam tanpa istirahat. Kajian
oleh ILO/IPEC (2001), menunjukkan bahwa pada 168 jermal dan tangkul terdapat ratarata 3 anak umur bawah 18 tahun pada setiap jermal. Menurut data kepolisian, sejumlah
bayi diperdagangkan ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Pemerintah Indonesia telah menyetujui berbagai kesepakatan dan instrumen
internasional di bidang trafiking dan melalui Keppres No. 88 Tahun 2002 telah
menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak serta
menetapkan Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus kejahatan trafiking.
Pengungsi Anak dan Anak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Latar belakang
pengungsi anak di Indonesia beragam, dari jenis pengungsi internal (internally
displaced person) sampai kepada pengungsi lintas batas negara (refugee). Pada tahun
2002, terdapat sebanyak 1.245.874 jiwa pengungsi di seluruh Indonesia, diperkirakan
38-43 persen pengungsi adalah anak-anak. Permasalahan yang dijumpai dalam
penanganan pengungsi, di samping terbatasnya tenaga lapangan, juga karena lemahnya
koordinasi dan kerjasama antara instansi terkait dengan pemerintah daerah yang telah
otonom, serta lembaga non pemerintah dan lembaga donor internasional.
Anak tanpa akta kelahiran. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia telah memberikan pengakuan legal terhadap hak anak atas suatu nama, status
kewarganegaraan, mengetahui dan sejauh mungkin diasuh oleh kedua orang tuanya.
Selain itu, UU PA menyatakan bahwa identitas anak yang menyangkut nama, jenis
kelamin, tanggal lahir, hubungan orang tua, kewarganegaraan harus diberikan sejak
lahir dan dituangkan dalam akta kelahiran. Pada tahun 2001, hanya sekitar 40 persen
anak yang memiliki akta kelahiran (Susenas 2001). Permasalahan dalam penyediaan
akta kelahiran adalah: terdapat hambatan struktural berupa sistem pencatatan teritorial
dalam bentuk Keterangan Surat Kelahiran (KSK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
versus sistem pencatatan kelahiran dalam bentuk Akta Kelahiran; masih digunakannya
Surat Keterangan Kenal Lahir (SKKL) dan Surat Kelahiran Desa/Kelurahan. Dahulu
SKKL dikeluarkan sebagai pengganti Akta Kelahiran; faktor-faktor penawaran seperti
kehilangan manfaat, kepedulian negara, kendala anggaran dan birokrasi yang tidak
bersahabat serta hambatan struktural lainnya; dan faktor-faktor permintaan seperti tidak
mengetahui manfaat, tingkat pengetahuan, hambatan geografis, biaya dan administratif.

Anak korban kekerasan (fisik dan/mental) dan perlakuan salah (Child Abuse).
Data yang akurat belum tersedia, karena tidak banyak kasus-kasus kekerasan pada anak
yang dilaporkan. Masalah ini dianggap masalah domestik keluarga yang tidak perlu
diketahui oleh orang lain. Jumlah kasus yang tercatat dalam laporan kepolisian untuk
tahun 2002 hanya 239 kasus dan tahun 2003 sebanyak 326 kasus. Sebagian besar kasus
tidak dapat diproses lebih lanjut secara hukum, karena bukti yang kurang memadai atau
pengaduan dicabut kembali oleh pelapor. Laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas PA) menyatakan bahwa 80 persen anak yang mengalami tindak kekerasan
adalah anak di bawah umur 15 tahun. Bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak
Indonesia ini meliputi fisik, emosional, sosial dan seksual. Pelaku child abuse ini
umumnya adalah orang yang dikenal anak (66 persen), termasuk orangtuanya sendiri
(7,2 persen).
Anak korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(napza). Jumlah kasus anak korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) cenderung meningkat dan semakin parah. Pada tahun 1995-1996
rawat inap kelompok umur remaja dan dibawah 15 tahun mencapai 2 persen dan 3
persen sedang rawat jalan berturut-turut sebanyak 8,8 persen dan 12,6 persen,
(Indikator dan Profil KPA 2002). YKAI mengestimasi pecandu napza di Indonesia
telah mencapai 1,5 juta orang dan di Jakarta saja diperkirakan sekitar 130.000 orang,
sebagian besar pecandu berumur di bawah 18 tahun. Angka sebenarnya diperkirakan 3
juta dengan jumlah pecandu anak di bawah 18 tahun mendekati 500.000-1.500.000
anak. Hal ini, dilatar belakangi kondisi kepribadian yang masih labil dan pengaruh
lingkungan di mana remaja tinggal dan bersosialisasi.
Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, kurang memberikan
perlindungan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Anak yang
menggunakan dan mengedarkan narkotika dan psikotropika dapat dikenai sanksi
sebagai offenders.
Anak jalanan. Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota besar
setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Secara nasional diperkirakan sebanyak
60.000-75.000 anak jalanan dan data dari Departemen Sosial mencatat bahwa 60 persen
putus sekolah. Umumnya anak jalanan sangat sulit mengakses pelayanan pendidikan,
kesehatan, bantuan sosial, dan perlindungan hukum. Selain itu, keberadaan mereka
ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penertiban (sweeping) oleh pemerintah
kota setempat karena alasan melanggar ketentraman dan ketertiban.
Anak jalanan berada dalam situasi yang buruk untuk kelangsungan hidup dan tumbuh
kembangnya. Dalam kondisi yang sudah parah anak jalanan cenderung melakukan
tindak kriminal yang dapat berakibat pada timbulnya gangguan keamanan yang lebih
luas, karena anak jalanan sering berada dalam lingkungan pelaku kejahatan kota.
Alasan ekonomi keluarga kelihatannya menjadi pendorong utama anak bekerja di jalan,
sehingga menjadi aset ekonomi keluarga. Ketergantungan ekonomi keluarga akan
mempersulit upaya-upaya menarik anak dari jalanan dan mengembalikan mereka ke
rumah dan ke dunia anak-anak.
Anak yang berkonflik dengan hukum. Setiap tahunnya terdapat lebih dari 4.000
perkara pelanggaran hukum yang dilakukan anak-anak di bawah usia 16 tahun. Dari
seluruh anak yang ditangkap sekitar separuhnya diajukan ke pengadilan dan 83 persen

dari mereka kemudian dipenjarakan. Hingga tahun 2002, terdapat 3,722 anak didik di
LAPAS Anak (Departemen Kehakiman dan HAM, Agustus 2002). Statistik kriminal
BPS memperlihatkan adanya penurunan jumlah narapidana anak dari tahun 1995 s/d
1997 secara berturut-turut sebagai berikut 5.234 anak, 4.479 anak dan 4.079 anak.
Kasus terbanyak anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah pencurian (60
persen) dan perkelahian (13 persen). Sebagian besar dari narapidana anak dijatuhi
hukuman kurang dari 1 tahun. Tidak ada narapidana anak yang dihukum seumur hidup
dan sebagian hakim lebih memilih memberikan putusan hukuman penjara dari pada
hukuman kurungan pengganti denda.
Anak yang berkonflik dengan hukum meliputi juga Anak Nakal yaitu anak yang
melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak. Hingga tahun 2002, jumlah Anak Nakal yang dikategorikan
sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial mencapai sekitar 193.155 orang
(Departemen Sosial, 2002).
Situasi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Anak yang
mengalami perlakuan salah (abuse) seperti kekerasan dalam rumah tangga memerlukan
perlindungan khusus sebab lingkungannya telah menjadi tidak aman bagi pertumbuhan
dan perkembangannya. Gerakan Nasional Perlindungan Anak (GNPA) dicanangkan
pada tahun 1997 sebagai upaya perlindungan khusus bagi anak, pada tahun itu juga
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Pembentukan
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Pusat dan pada tingkat propinsi di Indonesia
disahkan. LPA dimaksudkan sebagai lembaga non pemerintah yang memberikan
advokasi, perlindungan dan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi anak.
Yang juga termasuk dalam kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus
adalah anak berusia di bawah 5 tahun yang membutuhkan orang tua pengganti, yang
terpisah dari orang tuanya, serta anak terlantar, dan anak korban bencana alam. Anak
korban bencana alam pun perlu mendapatkan perlindungan khusus sebab proses
tumbuh kembangnya terganggu dengan adanya peristiwa bencana alam tersebut.
Anak dari kelompok minoritas. Anak-anak dari kelompok minoritas baik suku
bangsa, agama, dan bahasa berhak bermasyarakat dengan anggota lain dari
kelompoknya, serta dijamin haknya untuk menikmati kebudayaannya, melaksanakan
agamanya dan menggunakan bahasanya sendiri. Pada umumnya anak-anak yang berada
dalam kelompok komunitas adat terpencil (KAT) belum tersentuh pelayanan
pendidikan dasar, kesehatan, kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial lainnya. Tingkat
kesejahteraan keluarga KAT umumnya termasuk kategori sangat miskin. Diperkirakan
dari 233.858 KK atau 939.432 orang merupakan bagian dari KAT, dan 30 persen atau
sekitar 282.000 diantaranya adalah anak-anak (Departemen Sosial, 2002).
Anak penyandang cacat. Data menunjukkan bahwa anak penyandang cacat sebanyak
358.738 anak (Departemen Sosial, 2002). Masalah yang dihadapi adalah kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap deteksi dini kecacatan dan kehamilan yang tidak
diinginkan. Jenis kecacatan yang banyak terjadi yaitu cacat tubuh (35,8 persen), cacat
netra (17 persen), cacat rungu (14,27 persen), cacat mental (12,15 persen) dan lain-lain
kurang dari 7 persen (RIP KPA 2001). Kebijakan dan pelayanan bagi penyandang cacat
meliputi upaya-upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi melibatkan berbagai
sektor terkait antara lain pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Secara keseluruhan, dari isu-isu yang disebutkan di atas, dapat ditarik dua kesimpulan:
pertama, anak-anak Indonesia rentan terhadap berbagai perlakuan salah seperti
kekerasan fisik dan/atau mental, eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, dan
diskriminasi; dan kedua, perlakuan salah terhadap anak dapat dilakukan oleh orang
perorang, keluarga, masyarakat bahkan oleh negara sekalipun.
Partisipasi Anak. Suara anak masih belum menjadi pertimbangan pemerintah. Wadahwadah yang dapat mendengar dan menyuarakan pendapat dan harapan anak masih
sangat sedikit, sehingga partisipasi anak dalam berbagai proses pembangunan pun
sangat rendah. Hal ini turut menghambat pencapaian kesejahteraan dan perlindungan
anak.

2.4

Penanggulangan HIV/AIDS

Pada dasarnya besarnya masalah penyakit menular seksual (PMS) yang sebenarnya di
Indonesia sukar diketahui karena sekitar 30 50 persen penderita PMS tidak berobat.
Di samping itu, terkadang penderita PMS tidak menunjukkan gejala penyakitnya. Di
Indonesia, AIDS untuk pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Sampai pertengahan
dekade 1990-an penularan HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual yang
berisiko, tetapi bukti akhir-akhir ini menunjukkan penularan melalui penyalahgunaan
napza suntik semakin meningkat terutama pada usia remaja. Hampir semua propinsi di
Indonesia melaporkan adanya HIV/AIDS dan paling sedikit terdapat tiga kantong
epidemi dimana prevalensi HIV/AIDS sangat tinggi, yakni di Propinsi Papua
(Kabupaten Merauke), DKI Jakarta dan Propinsi Riau (Pulau Batam dan Karimun).
Jumlah sebenarnya orang yang terjangkit HIV/AIDS di Indonesia sangat sulit diukur
dan masih belum diketahui keadaan sesungguhnya secara tepat. Jumlah infeksi HIV dan
kasus AIDS yang dilaporkan oleh propinsi sampai dengan Desember 2003 masingmasing 2.720 dan 1.371. Namun estimasi yang dibuat pada tahun 2002 diperkirakan
terdapat sekitar 90.000 130.000 orang yang positif terinfeksi HIV. Menurut penelitian
empiris, kondisi positif terinfeksi HIV dapat berubah menjadi positif AIDS dalam kurun
waktu 8 tahun. Dengan demikian, pada tahun 2010 nanti diperkirakan akan terdapat
sekitar 90.000 130.000 penderita AIDS. Cara penularan HIV adalah melalui
hubungan seks berisiko, penggunaan jarum suntik dan alat medis yang tercemar virus,
transfusi darah dan transmisi dari ibu HIV positif kepada bayinya serta penularan
melalui transplantasi jaringan tubuh yang terinfeksi HIV.
Angka kesakitan HIV di Indonesia secara nasional masih tergolong low prevalence
country tetapi keadaan sebenarnya pada beberapa propinsi sudah mengarah kepada
concentrated level epidemic artinya pada kelompok tertentu prevalensi HIV sudah
mencapai 5 persen bahkan melebihi 5 persen paling tidak dalam 2 kali survai berurutan.
Cara penularan yang dilaporkan terutama adalah melalui hubungan seksual (60 persen),
50,6 persen diantaranya melalui hubungan seks heteroseksual dan 9,4 persen melalui
hubungan seks homoseksual. Sejak tahun 1999 penularan melalui penyalahgunaan
napza suntik meningkat secara drastis dan menempati urutan kedua (26,26 persen)
sesudah transmisi secara heteroseks.
Hasil surveilans prevalensi infeksi HIV pada wanita penjaja seks (WPS) bervariasi
antar propinsi dan antar kabupaten dengan kisaran prevalensi antara 0 26,5 persen. Di

10

beberapa tempat seperti di propinsi Riau dan Papua prevalensi berkisar antara 6 26,5
persen. Tingkat infeksi di antara penyalahguna napza suntik lebih tinggi misalnya di
DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali yang berkisar antara 24,5 - 53 persen. Studi
prevalensi pada ibu hamil di salah satu tempat di propinsi Riau pada tahun 1998/1999
menunjukkan bahwa 0,35 persen ibu hamil telah terinfeksi HIV, sedangkan di propinsi
Papua sebesar 0,25 persen. Di Jakarta Utara melalui program voluntary counselling and
testing (VCT) pada tahun 2000 diketahui bahwa prevalensi HIV pada ibu hamil adalah
1,5 persen, dan pada tahun 2001 adalah 2,7 persen. Hal ini menunjukkan telah
terjadinya penularan pada masyarakat umum melalui populasi perantara (bridging
population).
Di Indonesia anak yang terkena HIV/AIDS masih rendah, jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, kasus AIDS yang dilaporkan ditemukan pada kelompok 0 4 tahun
sebanyak 12 kasus (1,53 persen), kelompok umur 5 14 tahun sebanyak 4 kasus (0,3
persen), dan kelompok umur 15 19 tahun sebanyak 78 kasus (5,69 persen). Dari
laporan pasif sejak tahun 1996 s/d 2000 diketahui pula terdapat 26 orang ibu hamil
positif HIV dari propinsi: DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau.
Dilaporkan pula terdapat 13 bayi tertular HIV. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari
keadaan sesungguhnya oleh karena itu perlu diperkuat sistem survailans di setiap
tingkat administrasi pemerintahan.
Meskipun jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan pada kelompok anak masih rendah,
namun anak sangat rentan tertular HIV/AIDS antara lain karena kelompok anak
tersebut sudah mulai aktif secara seksual, penyalahgunaan narkotika suntik (napza
suntik), kekerasan seks, dan rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi termasuk
mengenai HIV/AIDS. Kecenderungan ini dapat dilihat antara lain dengan
meningkatnya anak terlantar, anak jalanan, anak nakal yang keseluruhannya berjumlah
sekitar 3 juta orang. Sementara itu jumlah Wanita Tuna Susila yang dilaporkan
berjumlah 73.037 orang diantaranya usia dibawah 18 tahun.

11

BAB III
VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN
Visi:
Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas-ceria, berakhlak mulia,
terlindungi, dan aktif berpartisipasi.
Misi:
1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata, dan berkualitas,
pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular termasuk HIV/AIDS,
pengembangan lingkungan dan perilaku hidup sehat.
2. Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan demokratis bagi
semua anak sejak usia dini.
3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap
kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, dan diskriminasi.
4. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat anak dan
memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap
perkembangan anak.
3.1.
KESEHATAN ANAK
Tujuan kesehatan anak adalah : a) Menurunkan angka kematian neonatal, bayi, dan
balita; b) Meningkatkan kesehatan ibu; c) Meningkatkan kesehatan neonatal bayi, balita
dan remaja; d) Meningkatkan status gizi, memasyarakatkan keluarga sadar gizi
(kadarzi), menurunkan prevalensi BBLR; e) Promosi perkembangan psikososial dan
kesehatan jiwa anak dan remaja; f) Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
dan penyakit lainnya yang terkait dengan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak; dan g) Meningkatkan kepemilikan sarana sanitasi dasar dan menjamin
kesinambungan lingkungan hidup yang sehat bagi kelangsungan hidup dan
tumbuhkembang anak.
Sasaran yang hendak dicapai untuk Kesehatan Anak adalah: a) Menurunnya AKB dan
AKBA pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi 2001; b) Menurunnya AKI pada tahun
2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001; c) Menurunnya masalah kurang gizi
pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001; d) Menurunnya proporsi
rumah tangga yang tidak memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas sanitasi dan air bersih
yang terjangkau pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari proporsi pada tahun 2001; e)
Penyelenggaraan program nasional perkembangan anak usia dini (early child
development); f) Penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja; dan g)
Penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi.
3.2.

PENDIDIKAN ANAK

Tujuan pendidikan anak adalah: a) Mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai
dengan tahap perkembangannya, agar memiliki kesiapan memasuki jenjang pendidikan
selanjutnya; dan b) Membekali anak dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar
memiliki kemampuan untuk kehidupan di masa depan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam hal pendidikan anak adalah: a) Sampai 2015, paling
tidak 75 persen anak usia 0-6 tahun menerima pelayanan perawatan dan pendidikan; b)
80 persen dari orang tua terlibat aktif dalam perawatan dan pendidikan anak usia dini;

12

c) Pembangunan Pusat Perkembangan Anak Usia Dini pada setiap sub-kabupaten; d)


Peningkatan jumlah institusi perawatan dan pendidikan anak usia dini; e) Sampai tahun
2008/2009 angka partisipasi kasar mencapai 95 persen pada jenjang SLTP/MTs; f)
Tercapainya kesetaraan gender pada tingkat pendidikan dasar, khususnya yang
berkaitan dengan aspek-aspek seperti akses terhadap pendidikan, kualitas belajar
termasuk isi kurikulum, dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan lanjut; g)
Peningkatan pada semua aspek yang mendukung kualitas dari pendidikan dasar,
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan individu, fasilitas dan media pendidikan,
serta hasil belajar siswa; h) Penyediaan satu macam atau lebih kecakapan vokasional
bagi siswa yang berpartisipasi dalam pendidikan dasar, sehingga mereka dapat
mengatasi kehidupan keseharian mereka di dalam masyarakat; dan i) Tujuan-tujuan
yang dicanangkan dalam Konvensi Dakar diperkirakan akan dicapai sebelum 2015.
3.3.

PERLINDUNGAN ANAK

Tujuan umum perlindungan bagi anak adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak
kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi anak. Adapun
tujuan khusus yang hendak dicapai adalah: a) Menjamin perlindungan khusus bagi anak
dari berbagai tindak perlakuan tidak patut, termasuk tindak kekerasan, penelantaran,
dan eksploitasi; b) Menjamin perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan dan
pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum agar hak-haknya tetap
terpenuhi, dan terlindungi dari tindak diskriminatif; dan c) Mengakui dan menjamin hak
anak dari komunitas minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan
melaksanakan ajaran agamanya.
Sasaran yang hendak dicapai dalam hal perlindungan anak adalah: a) Terlaksananya
sosialisasi hak-hak anak di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, baik di
kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, baik keluarga, masyarakat, maupun
dunia usaha; b) Terjaminnya hak-hak anak dalam situasi darurat meliputi pengungsian
dan konflik bersenjata, serta anak dalam kondisi tereksploitasi baik eksploitasi ekonomi
maupun non-ekonomi; c) Tercapainya perlindungan hukum yang ramah anak, baik pada
elemen pemerintah (polisi dan jaksa), yudikatif (hakim), pengacara, dan lembaga
perlindungan hukum non-pemerintah; d) Terselenggaranya upaya-upaya pelayanan
kesejahteraan bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi,
perlindungan dari eksploitasi media massa dan labelisasi, re-integrasi, penyediaan
sarana dan prasarana kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter, dan
pemudahan aksesibilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak; e) Terjadinya
peningkatan kepemilikan akte kelahiran bagi anak; dan f) Tersedianya wadah bagi
anak-anak dari Komunitas Adat Terpencil dan Kelompok Minoritas untuk menikmati
budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.
3.4.

PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Tujuan penanggulangan HIV/AIDS adalah: a) Menyediakan atau menyebarluaskan


informasi pencegahan infeksi HIV pada bayi, anak dan remaja; b) Menyediakan
perawatan, akses terhadap pengobatan dan dukungan pada anak dengan HIV/AIDS; c)
Meningkatkan peran serta keluarga, remaja, masyarakat dalam penanggulangan
HIV/AIDS pada bayi, anak dan remaja; d) Meningkatkan kemitraan antara pemerintah,
swasta, LSM dan organisasi masyarakat, profesional dan lembaga internasional dalam
merespon Program Nasional bagi Anak Indonesia dalam penanggulangan HIV/AIDS;
13

dan e) Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah yang bersinergi dalam
penanggulangan HIV/AIDS pada bayi, anak dan remaja.
Sasaran yang dicapai hendak dicapai penanggulangan HIV/AIDS adalah: a) Remaja
dan pemuda yang memperoleh KIE untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
perilaku positif dalam mencegah penularan HIV meningkat berturut-turut dari 50
persen pada tahun 2005, 70 persen tahun 2010 dan 90 persen tahun 2015; b) Orang
mampu melindungi dirinya dari penularan IMS dan HIV/AIDS meningkat berturutturut dari 50 persen tahun 2005, 70 persen tahun 2010 dan 90 persen tahun 2015; c)
Keluarga yang mempunyai anak dan remaja mendapat informasi penanggulangan
HIV/AIDS meningkat berturut-turut dari 50 persen tahun 2005, 70 persen tahun 2010
dan 90 persen tahun 2015; d) 95 persen darah donor, produk darah dan jaringan
transplantasi bebas dari pencemaran HIV/AIDS; e) 80 persen ibu hamil yang datang ke
klinik ante-natal care mendapat informasi dan konseling dan pelayanan pencegahan
HIV, termasuk PMTCT; dan f) 100 persen ODHA yang datang ke sarana kesehatan
memperoleh pelayanan pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan mulai
tahun 2005.

14

BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Untuk mencapai visi dan misi yang telah dirumuskan diatas, maka disusunlah
kebijakan-kebijakan dasar, sebagai berikut:
1. Mewujudkan anak yang sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal melalui
pemberdayaan masyarakat, peningkatan kerjasama lintas sektor, perbaikan
lingkungan, peningkatan kualitas serta jangkauan upaya kesehatan, peningkatan
sumberdaya, pembiayaan dan manajemen kesehatan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
2. Mewujudkan anak yang cerdas-ceria dan berakhlak mulia melalui upaya perluasan
aksesibilitas dan peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan, dan partisipasi
masyarakat
3. Mewujudkan perlindungan dan partisipasi aktif anak melalui perbaikan mutu
pranata sosial termasuk hukum, pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan
terutama bagi anak yang berada dalam keadaan darurat/sulit, dan jejaring kerja
internasional sampai dengan lokal.
Strategi untuk mencapai visi dan misi tersebut adalah:
1. Penegakan hukum secara komprehensif dalam upaya perlindungan terhadap anak.
2. Pemberdayaan keluarga, orang tua, dan wali anak serta masyarakat dan dunia usaha
secara keseluruhan.
3. Kerjasama lintas sektor dan kemitraan internasional, regional, dan lokal.
4. Penyediaan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan sosial bagi anak yang relevan,
komprehensif, terintegrasi, merata, bermutu dan dapat dijangkau.
5. Meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender.
6. Memberi kesempatan dan mendorong anak untuk berpartisipasi dalam upaya
pemenuhan hak-hak anak.
7. Upaya mendekatkan anak dengan lingkungan dan budayanya.
4.1.

KESEHATAN ANAK

Adapun persoalan strategis dalam kesehatan anak adalah: a) masih tingginya angka
kematian bayi terutama komponen neonatal, angka kematian balita dan angka kematian
ibu. Selain itu kesenjangan angka kematian bayi, balita, dan ibu antardesa dan
antarkota serta antarpropinsi di Indonesia masih besar dan sangat bervariasi; b) masih
tingginya prevalensi gizi kurang pada balita dan kesenjangan antardesa dan antarkota;
c) masih tingginya angka kesakitan karena penyakit-penyakit menular seperti campak,
tetanus neonatorum, pneumonia, diare, tuberculosis, malaria, demam berdarah dengue,
dan infeksi parasit perut; d) terbatasnya ketersediaan sarana sanitasi dasar; e)
kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan serta gangguan perilaku pada anak
dan remaja, korban kekerasan terhadap anak; dan f) terbatasnya akses anak termasuk
remaja terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu baik ditingkat pelayanan dasar
maupun rujukan.
Berbagai isu strategis tersebut mengarahkan fokus pembangunan kesehatan di masa
mendatang pada: (1) peningkatan kesehatan ibu dan neonatal, (2) peningkatan status
gizi, terutama pada balita, (3) pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, (4)
15

pencegahan dan penanggulangan kecelakaan dan kekerasan, (5) penurunan ancaman


lingkungan, (6) peningkatan kesehatan bayi, balita dan remaja, dan (7) promosi
perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak dan remaja.
Kebijakan Kesehatan Anak
Kebijakan PNBAI Bidang Kesehatan mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan
dalan rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 yang meliputi: a)
pemantapan kerjasama lintas sektor dalam rangka optimalisasi hasil pembangunan
berwawasan kesehatan; b) peningkatan perilaku, kemandirian masyarakat dan
kemitraan swasta dalam upaya kesehatan bagi anak; c) peningkatan kesehatan
lingkungan dalam rangka mewujudkan lingkungan sehat bagi anak Indonesia; d)
peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi anak; e) peningkatan
sumberdaya kesehatan; f) peningkatan kebijakan dan pembangunan kesehatan; g)
peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi,
makanan, dan alat kesehatan; dan h) peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan.
Strategi kesehatan anak adalah: a) Peningkatan mutu, distribusi dan keterjangkauan
upaya kesehatan termasuk pelayanan, pembiayaan, sumberdaya dan manajemen
kesehatan; b) Peningkatan kerjasama lintas sektor termasuk dengan dukungan lembaga
eksekutif dan legislatif di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota; c) Pemberdayaan
keluarga, orang tua dan/atau wali anak; d) Pemberdayaan masyarakat termasuk LSM,
organisasi profesi, dan kemitraan swasta; dan e) Penelitian dan pengembangan untuk
mendukung program kesehatan dan kesejahteraan anak.
4.2.

PENDIDIKAN ANAK

Berbagai persoalan strategis adalah: a) masih rendahnya kesadaran masyarakat akan arti
pentingnya pendidikan anak usia dini; b) masih terbatasnya lembaga layanan perawatan
dan pendidikan bagi anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang masih di bawah usia
empat tahun; c) sangat terpencarnya keberadaan anak-anak usia dini yang harus
dilayani, terutama yang ada di daerah-daerah yang sulit dijangkau karena kendala
geografis dan transportasi; d) masih relatif terbatasnya dukungan anggaran Pemerintah
dan Pemerintah Daerah terhadap perawatan dan pendidikan anak usia dini; e) masih
sangat terbatasnya tenaga pendidik dan kependidikan pada pendidikan anak usia dini,
baik secara kualitas maupun kuantitas; f) belum adanya sistem yang menjamin
keterpaduan dalam penanganan anak usia dini yang bersifat holistik; dan g) masih
terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus untuk pendidikan
anak usia dini serta terbatasnya penelitian di bidang pendidikan dini.
Selain itu, pendidikan dasar 9 tahun masih menghadapi tantangan-tantangan lama,
seperti aksesibilitas, efisiensi internal, dan perbaikan mutu proses belajar-mengajar.
Persoalan jumlah fasilitas belajar dan besarnya biaya di luar biaya administrasi sekolah
seperti seragam, sepatu, dan buku pelajaran serta transportasi merupakan kendala yang
amat serius dan perlu dicari jalan keluarnya segera. Tingkat literasi orang dewasa jelas
merupakan sarana sosial yang sangat penting untuk mempertahankan anak di sekolah.
Oleh karena itu, program keaksaraan fungsional perlu dikembangkan terus. Kualitas
guru juga merupakan tantangan yang perlu dijawab segera. Investasi yang memadai

16

untuk menunjang isu-isu besar ini akan membantu penyelesaian persoalan-persoalan


mendasar di dalam penyelanggaraan pendidikan dasar sembilan tahun.
Kebijakan yang perlu diambil untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut adalah: a)
Pelaksanaan desentralisasi dan demokratisasi pembangunan pendidikan melalui
penyusunan kewenangan wajib dari setiap tingkatan pemerintahan sampai ke tingkat
kabupaten, pengelolaan sumberdaya (personel, pembiayaan, dll.) yang efisien, dan
pengembangan kelembagaan; b) Peningkatan akses terhadap perawatan dan pendidikan
usia dini, serta pendidikan dasar, khususnya di daerah perdesaan, daerah terpencil dan
terisolir, terutama daerah di luar Pulau Jawa; c) Peningkatan kualitas pelayanan
pendidikan dasar, perawatan dan pendidikan usia dini melalui partisipasi masyarakat,
organisasi masyarakat, dan dunia usaha; d) Peningkatan akses terhadap pendidikan
dasar 9 tahun, khususnya bagi anak-anak yang kebutuhannya belum terpenuhi; e)
Peningkatan kualitas proses belajar mengajar serta memperlengkapi anak dengan
kecakapan hidup yang diperlukan; f) Peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini
dan pendidikan dasar sehingga setiap anak memiliki kompetensi dasar yang dapat
digunakan untuk hidup dalam bermasyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi; dan g) Peningkatan efisiensi manajemen pendayagunaan sumber daya
pendidikan agar semua lembaga pendidikan dapat melaksanakan fungsinya secara lebih
efesien dan efektif.
Strategi pendidikan anak adalah: a) Pemberdayaan otoritas lokal/daerah sebagai faktor
penting dalam pembangunan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; b)
Pemberdayaan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengembangan
pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; c) Pemanfaatan dan optimalisasi
prasarana dan sarana yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan pendidikan anak usia
dini dan pendidikan dasar; d) Mobilisasi sumberdaya, khususnya masyarakat dan dunia
usaha untuk berkontribusi menyediakan prasarana, pendidikan dan pelatihan bagi guru,
dan bahan belajar yang diperlukan; e) Peningkatan sosialisasi pendidikan anak usia dini
dan pendidikan dasar melalui berbagai media yang dapat diakses oleh seluruh
masyarakat; f) Peningkatan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan tenaga
pendidik anak usia dini dan pendidikan dasar; g) Pengembangan sistem monitoring
kualitas pendidikan; h) Pengintegrasian layanan pendidikan anak dengan layanan
kesehatan dan peningkatan gizi secara holistik; i) Perbaikan sistem dan kualitas data/
informasi mengenai pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; dan g)
Pengembangan pusat-pusat rujukan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar di
semua wilayah, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Pendidikan Anak
yang diselenggarakan masyarakat dan unit-unit pelaksana teknis.
4.3.

PERLINDUNGAN ANAK

Persoalan strategis yang perlu segera diupayakan penanggulangannya adalah:


rendahnya perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum; rendahnya
upaya pencegahan terhadap tindak pelecehan, penelantaran, eksploitasi, trafiking,
diskriminatif, dan kekerasan terhadap anak; terus meningkatnya jumlah pekerja anak;
masih terabaikannya perlindungan bagi pengungsi anak; dan masih rendahnya jumlah
anak yang memiliki akte kelahiran.
Kebijakan perlindungan anak adalah: a) Memperkuat sistem pelayanan kesejahteraan
bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, perlindungan dari

17

eksploitasi media massa dan labelisasi, re-integrasi, penyediaan sarana dan prasarana
kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter, dan pemudahan
aksesibilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak; b) Mewujudkan
perlindungan hukum yang optimal bagi anak; c) Menciptakan ketahanan dan
responsivitas keluarga dan masyarakat yang dapat melindungi anak dari segala bentuk
perlakuan salah termasuk pelecehan, penelantaran, eksploitasi, trafiking, kekerasan, dan
diskriminasi; dan d) Mewujudkan mekanisme partisipasi anak dalam pembangunan
yang mencerminkan pemikiran dan harapan anak.
Strategi perlindungan anak adalah: a) Penegakan hukum secara komprehensif dalam
upaya perlindungan terhadap anak; b) Peningkatan upaya penegakan hukum dan
pemantauan berbasis masyarakat; c) Kerjasama lintas sektor dan kemitraan
internasional, regional dan lokal; d) Revitalisasi institusi-institusi yang berkaitan
langsung dengan penanganan masalah-masalah perlindungan anak; e) Pemberdayaan
keluarga, orang tua dan wali anak serta masyarakat secara keseluruhan; f) Penyediaan
pelayanan bagi anak yang relevan, komprehensif, terintegrasi, merata, bermutu dan
dapat dijangkau; g) Peningkatan kesetaraan gender; h) Pendekatan perlindungan anak
melalui partisipasi anak; i ) Pengembangan sistem informasi mengenai perlindungan
anak.
4.3.

PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Persoalan strategis dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah: a) terdapat kebutuhan


yang mendesak untuk intensifikasi sistem surveilens penyakit di semua jenjang
pemerintahan dalam rangka mendeteksi keberadaan penyakit dan penanggulangannya;
dan b) diperlukan upaya pengembangan organisasi dan sistem yang mendukung upaya
penderita HIV/AIDS dan keluarga untuk penyembuhan termasuk memperkuat sistem
pelayanan kesehatan, pengembangan infrastruktur dan sumberdaya manusia.
Kebijakan penanggulangan HIV/AIDS adalah: a) Perbaikan suasana/lingkungan yang
kondusif guna memudahkan diselenggarakannya upaya pencegahan, pengobatan serta
perawatan yang komprehensif terhadap pengidap HIV/AIDS; b) Peningkatan kerjasama
lintas sektor dengan melibatkan organisasi-organisasi LSM, organisasi profesi,
masyarakat bisnis, media masa, pemuka agama, keluarga dan para ODHA; c)
Pencegahan merupakan prioritas upaya penanggulangan yang diintegrasikan dengan
perawatan, dukungan dan pengobatan; d) Pemberdayaan masyarakat, keluarga dan anak
khususnya anak perempuan; e) Pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
dan keluarganya; f) Peningkatan akses obat ARV (Anti Retro Viral) yang murah dan
dapat dijangkau; g) Pengintegrasian pendidikan pencegahan HIV/AIDS ke dalam
kurikulum baik ekstra maupun intra kurikuler.
Strategi penanggulangan HIV/AIDS adalah: a) Penggalangan komitmen politik yang
tinggi; b) Mengembangkan dan menerapkan strategi nasional multipihak dalam upaya
penanggulangan HIV/AIDS; c) Mengintegrasikan kegiatan pencegahan dengan
kegiatan pelayanan, dukungan dan pengobatan; d) Mengintegrasikan program VCT
bagi ibu hamil yang berisiko; e) Meningkatkan akses terhadap pelayanan, dukungan
dan pengobatan; f) Mengembangkan program perawatan, pengobatan dan dukungan
bagi ODHA pada program community/family based care penanggulangan HIV/AIDS;
g) Meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender; dan h) Sosialisasi hak asasi dalam
penyediaan pelayanan dan pengobatan ODHA.

18

BAB V
KEGIATAN-KEGIATAN POKOK
Program Nasional bagi Anak Indonesia memuat sejumlah kegiatan-kegiatan pokok baik
di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, maupun penanggulangan
HIV/AIDS. Perumusan kegiatan-kegiatan pokok ini dilakukan dengan mengacu pada
Repenas Transisi Tahun 2005, kerangka pikir Perencanaan Jangka Menengah (PJM)
untuk tahun 2006-2010 dan Perencanaan Jangka Panjang (PJP) 2025.
Kegiatan pokok bidang kesehatan anak adalah: a) Meningkatkan upaya kesehatan ibu,
neonatal, bayi, balita, anak pra sekolah dan usia sekolah serta remaja yang mencakup
aspek promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi, termasuk upaya pembinaan
perkembangan anak usia dini dan kesehatan reproduksi. Upaya kesehatan tersebut
diatas mencakup pelayanan kesehatan, pembiayaan, sumberdaya, dan manajemen
kesehatan; b) Melakukan perbaikan gizi berupa pemantauan dan promosi pertumbuhan
balita, pendidikan gizi, suplemen zat gizi (vit A, Fe, Yod), pelayanan gizi (tatalaksana
gizi buruk) dan fortifikasi bahan makanan; c) Melakukan pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular dan imunisasi; d) Menyediakan pelayanan kesehatan
jiwa anak dan remaja, termasuk gangguan perkembangan anak, serta pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan napza; e) Menyediakan air bersih dan jamban saniter;
f) Melakukan promosi perilaku hidup bersih dan sehat, promosi kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak, pencegahan kecelakaan dan cedera pada anak; g)
Peningkatan kerjasama lintas sektor termasuk lembaga eksekutif dan legistlatif di
semua tingkatan administrasi; h) Melakukan pemberdayaan keluarga; i) Melakukan
pemberdayaan masyarakat; j) Melakukan penelitian dan pengembangan ilmu dan
teknologi kesehatan, metode pengelolaan pelayanan kesehatan yang efisien, prinsip
perencanaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang ramah anak, serta
pengembangan sistem informasi kesehatan dan manajemen kesehatan; dan k) Mengkaji
dan menyerasikan peraturan perundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan
kesehatan khususnya kesehatan anak.
Kegiatan pokok bidang pendidikan anak adalah: a) Menyediakan dan meningkatkan
pemanfaatan berbagai prasarana dan sarana pelayanan perawatan (care) dan pendidikan
anak usia dini (PAUD); b) Melakukan kajian dan pengembangan kebijakan dan model
layanan PAUD, termasuk rintisan program TK Kecil, TK alternatif, Kelompok
Bermain, Taman Penitipan Anak, Pendidikan terpadu Posyandu, Pusat PAUD; c)
Melakukan sosialisasi dan promosi mengenai pentingnya PAUD kepada orangtua,
masyarakat, lembaga keagamaan, dan dunia usaha; d) Melakukan sosialisasi dan
promosi kepada masyarakat, termasuk lembaga keagamaan, dan dunia usaha mengenai
pentingnya PAUD; e) Mengembangkan pedoman, kurikulum, dan bahan ajar bagi
penyelenggaraan PAUD; f) Meningkatkan keterampilan manajemen penyelenggara
PAUD; g) Melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan jumlah dan kualitas
tenaga PAUD; h) Meningkatkan jaringan kerja antara penyelenggara PAUD; i)
Melakukan pembinaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PAUD; j) Menyediakan
dan meningkatkan mutu prasarana dan sarana pendidikan termasuk tenaga pendidikan
dan tenaga kependidikan lainnya secara memadai termasuk bagi daerah yang terpencil
dan terisolasi; k) Mengembangkan kurikulum yang mengacu pada standar nasional
pendidikan, mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan jaman,
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengembangkan model-model pembelajaran
untuk mewujudkan tujuan pendidikan dasar; l) Memudahkan akses terhadap pendidikan
19

bagi peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, anak dari daerah terpencil,
daerah kumuh, anak jalanan, dan kelompok anak lainnya yang masih sulit menjangkau
pelayanan pendidikan dasar, baik melalui beasiswa maupun bentuk-bentuk kemudahan
lainnya; m) Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan untuk anak usia 7
15 tahun kepada masyarakat dan orangtua; n) Mengembangkan kebijakan
pembangunan pendidikan dasar serta melakukan perencanaan, pemeriksanaan,
monitoring, dan evaluasi pelaksanaan pembangunan pendidikan dasar; o) Melakukan
upaya penarikan kembali anak yang putus sekolah agar kembali melanjutkan
pendidikan dasar, dan upaya pemantapan pendidikan dasar dalam rangka mengurangi
angka mengulang kelas dan angka putus sekolah; p) Meningkatkan mutu pendidikan
dasar baik formal, informal, maupun non-formal, termasuk sekolah terbuka, sekolah
terpadu, pendidikan pesantren salafiyah, pendidikan luar sekolah, dan lain-lain; q)
Melakukan upaya perbaikan rasio buku:siswa dan siswa:guru dalam rangka
mengoptimalkan penyerapan ilmu; r) Melakukan pendidikan dan pelatihan bagi
peningkatan jumlah, kualitas, dan profesionalisme tenaga kependidikan, khususnya
guru agar memenuhi standar kualifikasi nasional dan internasional; s) Meningkatkan
manajemen pendidikan sekolah dasar baik melalui peningkatan kapasitas manajemen
pengelola sekolah, maupun pembentukan dan pemberdayaan Dewan Pendidikan, serta
perbaikan sistem administrasi dan manajemen sekolah; t) Membangun dukungan dan
komitmen bersama antara pemerintah pusat dan daerah dalam menuntaskan Wajib
Belajar 9 tahun; dan u) Melakukan pembinaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pendidikan dasar.
Kegiatan pokok perlindungan anak, yaitu: a) Melakukan penyerasian kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan perlindungan
bagi anak di berbagai bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah; b)
Melakukan penyerasian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemenuhan hak-hak anak dan terutama hak terhadap perlindungan, termasuk hak
pengasuhan dan perwalian; c) Melakukan kampanye, advokasi, komunikasi, informasi,
dan edukasi, serta konseling mengenai anti perlakuan salah terhadap anak, termasuk
pelecehan, penelantaran, eksploitasi, trafiking, kekerasan, dan diskriminasi secara
nasional maupun lokal; d) Melakukan sosialisasi dan advokasi kepada lembagalembaga legislatif, eksekutif dari sektor terkait, dan tenaga profesional agar senantiasa
mengutamakan pemenuhan hak-hak anak; e) Mengembangkan pelayanan,
perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi bagi anak korban perlakuan salah terutama
penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan; f) Memberdayakan keluarga pekerja anak dan
melakukan penindakan hukum yang tegas terhadap pihak yang mempekerjakan anak
pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; g) Mengembangkan mekanisme perlindungan
bagi anak dalam kondisi khusus seperti pengungsian, konflik bersenjata, dan konflik
sosial; h) Meningkatkan upaya-upaya penyediaan akte kelahiran bagi setiap anak,
termasuk anak dari komunitas terpencil, daerah pengungsian, dan anak tanpa orang tua;
i) Mengembangkan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak, termasuk
peningkatan upaya perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, konflik
dengan hukum, eksploitasi, trafiking dan perlakuan salah lainnya.; j) Melakukan
peningkatan kemampuan (capacity building) bagi petugas pelayanan, aparatur penegak
hukum, dan pekerja sosial (orsos dan LSM) agar mampu melaksanakan upaya
pelayanan dan perlindungan yang ramah anak; k) Mengembangkan sistem data dan
informasi khusus anak di tingkat nasional dan daerah, menyusun data profil anak, serta
mengintegrasikan data ke dalam survai dan sensus nasional; l) Membentuk wadahwadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai

20

bentuk partisipasi anak dalam berbagai proses pembangunan; m) Meningkatkan peran


aktif keluarga dan masyarakat dan mengembangkan jaringan kerja antara pemerintah,
LSM, dan dunia usaha, termasuk media informasi, dalam mendukung upaya-upaya
perlindungan bagi anak terhadap segala bentuk perlakuan salah, serta upaya
perwujudan lingkungan yang aman bagi anak; dan n) Meningkatkan kelembagaan dan
infrastruktur yang jelas dan mapan khusus untuk penanganan masalah-masalah
perlindungan anak, termasuk bagi anak penyandang cacat.
Kegiatan pokok bidang penanggulangan HIV/AIDS yaitu: a) Melakukan advokasi
mengenai penanggulangan HIV/AIDS pada pengambil kebijakan dan pembentuk opini
baik di tiap tingkat administrasi pemerintahan; b) Meningkatkan kerjasama antara
pemerintah dengan dunia usaha untuk penyediaan obat Anti Retro Viral (ARV) murah
dan terjangkau; c) Meningkatkan pengetahuan siswa, warga belajar maupun mahasiswa
mengenai bahaya HIV/AIDS; d) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para
tenaga pendidik; e) Melakukan promosi dan KIE peningkatan pengetahuan, sikap dan
perilaku positif remaja dan keluarganya dalam penanggulangan HIV/AIDS ; f)
Melakukan promosi perilaku seksual aman; g) Menyediakan darah transfusi yang aman;
h) Mengurangi dampak buruk akibat napza suntik; i) Menyediakan layanan VCT bagi
mereka yang berisiko; j) Melaksanakan pengobatan dalam rangka pencegahan
penularan infeksi HIV dari ibu kepada bayinya; k) Meningkatkan pelayanan, dukungan,
dan pengobatan ODHA; l) Meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi; m)
Melakukan pelatihan bagi petugas kesehatan khusus mengenai penanggulangan kasus
HIV/AIDS; n) Meningkatkan kerjasama lintas sektor antara instansi pemerintah terkait
dan LSM terkait dalam penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif; o) Menggalang
kerjasama internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
lintas region; p) Memperkuat perawatan keluarga dan masyarakat termasuk yang
disediakan oleh sektor informal dan pelayanan kesehatan baik medis, paliatif dan psikososial dan monitor pengobatan ODHA termasuk anak; dan q) Menyerasikan peraturan
perundangan agar dapat menjamin perlindungan hukum atas perlakuan diskriminasi
terhadap ODHA.

21

BAB VI
PENUTUP
Program Nasional bagi Anak Indonesia 2015 merupakan dokumen yang disusun secara
bersama-sama oleh lintas Departemen/Lembaga Pemerintah dengan masukan dari
berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, serta perwakilan anak. PNBAI
2015 sangat diperlukan sebagai pedoman bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan
terlibat dalam upaya memperjuangkan kesejahteraan, perlindungan, dan kemaslahatan
anak. Ada 4 bidang pokok yang mendapat perhatian khusus dalam PNBAI 2015 ini,
yaitu promosi hidup sehat (promoting health lives), penyediaan pendidikan yang
berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap perlakuan salah,
ekploitasi dan kekerasan (protecting againts abuse, exploitation and violence), dan
penanggulangan HIV/ AIDS (combating HIV/AIDS).
Dalam pelaksanaan PNBAI perlu diperhatikan keterpaduan dan sinkronisasi kebijakan
dan kegiatan pemerintah pusat (antarinstansi), propinsi, dan kabupaten/kota, dengan
memperhatikan peran dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perlu pula ditingkatkan partisipasi
masyarakat, dunia usaha, dan komunitas pendidikan dalam mewujudkan dunia yang
layak bagi anak.
Pendanaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dengan
memperhatikan kebijakan dan strategi dalam bab IV dan kegiatan-kegiatan pokok
dalam bab V, serta diutamakan untuk pengembangan sarana dan prasarana pelayanan
bagi anak, pengembangan kelembagaan, serta pengembangan SDM dan teknologi.
Keterbatasan kemampuan fiskal pemerintah dalam melakukan investasi dan pelayanan
bagi anak memerlukan mobilisasi dana baik dengan meningkatkan peran serta
masyarakat maupun kerjasama dengan lembaga internasional.

22

DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja, K. Prof. Dr. MA, Harry Hikmat, Ir., 2001, Modul Latihan PRA, Humaniora
Utama Press, Bandung.
UNICEF, 2002, A World Fit for Children, New York.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, 2002, Survai Kesehatan
Nasional 2001. Laporan Data Susenas 2001: Status Kesehatan, Pelayanan Kesehatan,
Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2002, Survai Kesehatan Nasional 2001. Laporan Studi
Mortalitas 2001: Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Jakarta
Badan Pusat Statistik, 2001, Susenas 2001, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2000, Indikator Kesejahteraan Anak 2000, Jakarta.
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 2002, Bulletin Anak, Jakarta.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, 2000, Profil Kesehatan Indonesia
2000, Jakarta.
Departemen Kesehatan, 1999, Indonesia Sehat 2010, Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2002, Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Jakarta.
Farid, M., 1999, Pencatatan Kelahiran Upaya Meningkatkan Hak Pertama Anak Nama dan Kewarganegaraan - di Indonesia, Jakarta.
Hikmat Harry, Ir. Msi., 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung.
--------------------------, 2001, Strategi Meningkatkan Investasi Bidang Kesejahteraan
Anak dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta.
--------------------------, 2001, Kewajiban Negara Dalam Pemenuhan Hak Anak, Jakarta.
--------------------------, 2001, Dampak Pelayanan Program Jaring Perlindungan Sosial
melalui Rumah Singgah bagi Kehidupan Anak Jalanan, Jakarta.
Irwanto, Ph.D, M. Farid, Jeffry Anwar, 1998, Ringkasan Analisa Situasi Anak yang
Membutuhkan Perlindungan Khusus, Jakarta.
Irwanto, Ph.D, Fentiny Nugroho, Johanna Debora Imelda, 2001, Perdagangan Anak di
Indonesia, ILO/IPEC Jakarta.
Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Departemen Kesehatan dan World Health Organization, 2001, Penilaian

23

Situasi Kesehatan Anak Usia Sekolah termasuk Remaja di Indonesia. Jakarta.


Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Jakarta.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Indikator dan Profil Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak, Jakarta.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2001, Rencana Induk Pembangunan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (RIP-KPA), Jakarta.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Trafiking Perempuan dan Anak, Jakarta.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF, 2001, 5th East Asia and Pacific
Ministerial Consultation on Shaping the Future Agenda for Children.
Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF, 2001, National Report on Follow-up to
the World Summit for Children (1990-2000).
Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF, The Situation of Children and Women in
Indonesia 2000, 2000, Jakarta.
Plan International, Terre des homes Netherands,
Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus, Jakarta.

2000,

Laporan

Seminar

Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,


Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Jakarta.
World Health Organization (2001). Strategic Directions for Improving the Health and
Development of Children and Adolescents.

24

You might also like