You are on page 1of 6

Pendahuluan

Alergi makanan adalah penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen yang terdapat dalam
makanan. Alergi makanan sering ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada
bayi berusia beberapa bulan. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia di bawah
3 tahun karena belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna. Alergi makanan
pada anak dilaporkan bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%. Dari jumlah tersebut,
yang terbanyak ialah alergi terhadap susu sapi (2,5%), diikuti alergi telur (1,5%) dan
alergi kacang (0,5%). Jenis makanan yang sering menimbulkan reaksi alergi pada
anakadalah berbagai jenis protein, seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan,
kedelai, dan gandum (85%) (Christanto dan Oedono, 2011).
Gejala alergi makanan dapat mengenai banyak organ dan sistem tubuh. Hal ini
merupakan respons imunologis terhadap antigen makanan spesifik, sebagian besar reaksi
ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, dapat diklasifikasikan menjadi dengan
perantaraan IgE dan tanpa IgE. Reaksi yang timbul akibat alergi makanan dapat
bervariasi dan dapat mengenai berbagai sistem dalam tubuh, seperti kulit, hidung,
tenggorokan, telinga, gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai yang terberat, syok
anafilaktik.
Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan atau bahan
pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food hypersensitivity) perlu dibedakan
dengan intoleransi makanan (food intolerance atau food sensitivity). Alergi makanan
adalah reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi
imunologik abnormal. Di lain pihak, pada intoleransi makanan, terdapat faktor makanan
itu sendiri, seperti kontaminasi toksin bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin
yang terdapat pada keju yang telah lama), atau kelainan metabolik (seperti defisiensi
enzim laktase). Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis reaksi fisiologik
abnormal terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori
ini ialah reaksi idiosinkratik (misal intoleransi laktosa), keracunan makanan, dan reaksi
farmakologik (misal terhadap kafein, tiramin). Intoleransi makanan merupakan reaksi
terhadap makanan yang dapat berulang, tidak mengenakkan, bukan psikologis, dengan
latar belakang non-imunologik, seperti defisiensi enzim (misal defisiensi laktase),
farmakologis (misal reaksi terhadap kafein), pelepasan histamin non-imunologis (misal
sehabis makan sejenis kerang), dan iritasi langsung (oleh isi lambung pada esofagus
sehingga terjadi esofagitis).
Alergi makanan masih merupakan masalah bagi dunia kedokteran, khususnya dalam
penegakan diagnosis. Diagnosis alergi makanan sulit ditegakkan apabila terdapat reaksi
silang antara alergen dari makanan dan alergen dari udara. Diagnosis yang tidak sesuai
juga akan menimbulkan masalah, overdiagnosis dapat mengakibatkan malnutrisi
terutama pada anak-anak, tetapi underdiagnosis akan mengakibatkan serangan alergi
yang terus menerus. (Christanto dan Oedono, 2011).

Definisi
Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap makanan yang dipicu oleh sistem
imun tubuh. yang terjadi akibat pajanan dari makanan yang diberikan. Makanan
didefinisikan sebagai semua bahan makanan, baik diproses, semi-proses, ataupun mentah,
yang ditujukan untuk konsumsi manusia, termasuk berbagai jenis minuman, zat aditif,
dan suplemen makanan. Substansi yang digunakan sebagai obat, produk tembakau, dan
kosmetik yang mungkin dicerna tidak termasuk. Alergen makanan adalah komponen
spesifik dari makanan (biasanya protein dan hapten kimia) yang dikenal oleh sel imun
spesifik dan menimbulkan reaksi imun. Beberapa alergen dapat menimbulkan reaksi
alergi apabila dimakan mentah (buah dan sayuran), namun ada juga alergen yang tetap
dapat menimbulkan reaksi meskipun telah dimasak dan dicerna.
Epidemiologi
Etiologi
Pada bayi dan anak-anak, makanan yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah
telur, susu, kacang-kacangan, kedelai, gandum. Sedangkan, pada orang dewasa makanan
yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah kacang-kacangan, ikan, udang, dan
kepiting.
Alergi makanan dapat muncul pada saat awal kehidupan, misalnya alergi susu sapi pada
bayi. Namun, alergi makanan juga dapat muncul saat dewasa, misalnya alergi udang.
Alergi makanan yang muncul saat anak-anak biasanya dapat hilang. Namun, apabila
alergi didapat saat dewasa, maka pasien memiliki alergi seumur hidupnya. Makanan yang
dimakan secara rutin cenderung menyebabkan seseorang memiliki alergi terhadap
makanan tersebut. Contohnya, alergi nasi di jepang lebih banyak daripada di amerika.
Patofisiologi
Sebagian besar alergi makanan dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe III yang
diperankan oleh kompleks antigen-antibodi. Reaksi alergi makanan dapat timbul tanpa
keterlibatan IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi terhadap susu sapi yang
diperankan oleh reaksi antibodydependent cell-mediated cytotoxicity (reaksi
hipersensitivitas tipe II), dan reaksi kompleks antigen-antibodi (reaksi hipersensitivitas
tipe III) dan reaksi imunologik lain, seperti antibodi anti-IgA gliadin pada celiac disease.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV), gejalanya
timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan
gejala pada saluran cerna. Sampai saat ini, masih sulit membuktikan patogenesis alergi
makanan yang didasari reaksi hipersensitivitas tipe II dan IV. Diperkirakan sebagian besar
alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I (yang diperankan oleh Ig E ),
reaksi hipersensitivitas tipe III, atau kombinasi keduanya. Alergi makanan dibagi menjadi
dua jenis, dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE. Pada reaksi ini, terdapat
penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh dan merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini

tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan
yang kedua kali dengan alergen yang sama. Gell & Coomb mengklasifikasikan reaksi
alergi/hipersensitivitas ke dalam 4
kelas:
1. Reaksi alergi tipe I
Pada keadaan anafilaksis terhadap makanan, telah lama diketahui bahwa alergen
makanan, yang berikatan dengan IgE spesifik untuk kedua kalinya, akan memicu
degranulasi sel mast, mengakibatkan dilepaskannya mediatormediator kimia. Reaksi tipe
1 ini terdiri dari 2 fase, yaitu fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase cepat timbul
saat kontak dengan antigen sampai dengan 1 jam sesudahnya. Pada fase cepat ini, akan
dilepaskan mediator-mediator kimia karena degranulasi sel mast atau basofil. Mediator
tersebut ada yang telah terbentuk, seperti histamin dan beberapa enzim, ada pula yang
baru dibentuk, seperti prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, dan
platelet activating factor. Mediator-mediator ini selanjutnya menimbulkan efek lokal,
seperti diare dan kolik pada saluran cerna, serta meningkatkan absorpsi antigen makanan
sejenis atau antigen lain. Keadaan ini juga akan menimbulkan efek sistemik, seperti
bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan keluhan
urtikaria. Fase kedua adalah reaksi alergi fase lambat. Reaksi ini mulai berlangsung 2-4
jam pasca-pajanan, dengan puncak setelah 6-8 jam, dan dapat berlangsung sampai 24-48
jam. Reaksi alergi fase lambat akan melibatkan pelepasan mediator kimia, terutama
eosinofil (seperti eosinophilic cationic protein [ECP], eosinophilic-derived protein, major
basic 9 protein, dan eosinophilic peroxidase).
2. Reaksi alergi tipe II
Disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi ini terjadi akibat terbentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigenantibodi dapat pula
mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan fagositosis atau
menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ini ialah pada keadaan trombositopenia yang
berhubungan dengan alergi susu sapi.
3. Reaksi alergi tipe III
Disebut juga reaksi kompleks imun. Reaksi ini terjadi apabila ditemukan ikatan antigenantibodi dalam sirkulasi darah atau jaringan, yang mengaktifkan komplemen. Dalam
keadaan normal, ikatan antigen-antibodi ini secara cepat dimusnahkan oleh sistem
retikuloendotelial tanpa menimbulkan kondisi patologis. Namun, bila terdapat kompleks
imun dalam konsentrasi tinggi disertai ukuran kompleks imun yang kecil, kompleks
tersebut akan sulit dimusnahkan. Selanjutnya, kompleks imun ini akan mengendap pada
kapiler atau jaringan dan akan mengaktifkan komplemen untuk kemudian merangsang sel
mast dan basofil. Zat vasoaktif yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskuler, dan reaksi inflamasi. Kompleks imun ini akan
memberikan gejala sesuai dengan lokasi pengendapannya.
Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik abdominal atau diare. Apabila
kompleks ini mengendap di hidung, akan timbul gejala kongesti atau rinorea. Reaksi tipe
III ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada kasus alergi makanan.

Reaksi alergi tipe IV


Reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi imun seluler, karena tidak terdapat peran antibodi.
Pada reaksi ini, antigen yang datang dari luar akan dipresentasikan oleh sel APC ke sel
Th1 yang bergantung- MHC II. Sel Th1 yang diaktifkan akan melepas berbagai sitokin,
antara lain macrophage inhibitory factor (MIF), macrophage activating factor (MAF),
dan interferon (IFN), yang akan mengaktifkan makrofag dan merupakan sel efektor yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Respons yang timbul pada reaksi tipe IV ini berkisar
antara 24-48 jam setelah pajanan. Beberapa kasus alergi susu sapi tergolong reaksi tipe
IV ini, yang telah terbukti secara laboratoris.
Alergi makanan merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas gastrointestinal umum,
yakni hiperresponsivitas imunologik terhadap antigen spesifik, yang dapat berasal dari
makanan sehari-hari atau mikroorganisme patogen maupun produknya, atau terhadap
antigen milik sendiri (self-antigen) yang disajikan atau dipresentasikan tidak semestinya.
Pada alergi makanan, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang
merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan
antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang
sama. Umumnya, pajanan ulang oleh substansi antigenik/ alergen akan meninggikan
respons imun sekunder yang bersifat spesifik. Pada kasus hipersensitivitas/alergi, terjadi
reaksi imun berlebihan yang justru menimbulkan kerusakan jaringan atau gangguan
fungsional di dalam tubuh. Alergen makanan diabsorpsi dari mulut dan saluran cerna,
tetapi jumlah alergen yang diperlukan untuk dapat mencetuskan respons imun terutama
bergantung pada permeabilitas mukosa saluran cerna. Setiap kondisi yang mengakibatkan
peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna akan memudahkan reaksi alergi yang
lain untuk timbul. Target utamanya ialah pada epitelium, yang akan menimbulkan
perubahan sekresi asam lambung, transpor ion, produksi mukus, dan fungsi sawar
(barrier) fisik mukosa. Secara struktural, kerusakan mukosa usus ditunjukkan dengan
adanya edema, disrupsi enterosit, dan perubahan enzimatik. Pada pemeriksaan endoskopi,
kemungkinan ditemuk an gambaran mukosa hiperemis, edema, bercak-bercak
kemerahan, dan kadang-kadang ditemukan perdarahan submukosa. Pajanan
antigen/alergen di dalam lumen usus individu yang telah tersensitisasi akan menimbulkan
degranulasi sel mast, yang selanjutnya melepaskan mediator-mediator kimia yang
kemudian akan berpengaruh langsung pada epitelium, endotelium, dan otot polos, atau
memberi pengaruh tidak langsung melalui serabut saraf. Keadaan ini merupakan
manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe langsung atau cepat yang diperantarai oleh
antibodi IgE. Selain sel mast, sel lainnya (seperti neutrofil dan, khususnya, eosinofil) ikut
berperan dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas, baik secara langsung maupun tidak
langsung (berinteraksi dengan sel mast). Berdasarkan konsep penyakit alergi terbaru yang
menyatakan bahwa penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan manifestasi klinis
pada organ sasaran, tidak tertutup kemungkinan penyakit ini mempunyai manifestasi
klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Gangguan akibat reaksi
hipersensitivitas terhadap makanan pada saluran napas bagian atas dapat terjadi melalui 3
cara, yakni (1) alergen yang diserap di usus, atau mediator kimia yang mencetuskan
respons hipersensitivitas di usus, dibawa aliran darah hingga mencapai saluran napas atas,
(2) alergen terhirup ke dalam saluran napas sewaktu makan dan minum, (3) kontak faring

dengan alergen ketika menelan. Keadaan ini membuat diagnosis reaksi alergi makanan
pada saluran napas atas sulit ditegakkan. Tingginya kasus alergi makanan pada bayi dan
anak karena pada bayi baru lahir dan anak, terdapat peningkatan permeabilitas mukosa
saluran cerna.
Alergi makanan dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Alergi makanan yang diperantarai IgE
(tetap) dan (2) Alergi makanan yang tidak diperantarai IgE (Siklik).
1. Alergi makanan tetap
Alergi makanan jenis ini melibatkan respons IgE yang memberikan gejala dalam
waktu beberapa detik sampai beberapa jam setelah kontak dengan alergen.
Sensitivitas terhadap makanan menetap bertahun-tahun, bahkan dalam waktu
yang tak-terbatas. Reaksi yang timbul cepat, jelas, dan sering kali berat. Apabila
telah terjadi reaksi sensitisasi, gejala akan selalu timbul jika individu tersebut
terpajan alergen yang sama. Gejala yang timbul tidak ditentukan oleh kuantitas
makanan yang dikonsumsi; jumlah alergen yang minimal sekalipun dapat
menimbulkan gejala. Alergi makanan jenis tetap ini merupak an reaksi
hipersensitivitas tipe I yang diperantarai IgE. Alergi makanan jenis ini dapat
memberikan gejala klinis bermacam-macam, seperti flushing, dermatitis atopik,
eksema, asma, rinitis alergi, Konjungtivitis alergi, urtikaria, angioedema, oral
allergy syndrome, gangguan gastrointestinal, hingga reaksi anafilaktik.
2. Alergi makanan siklik
Pada alergi makanan siklik, gejala dapat timbul beberapa jam sampai beberapa hari
setelah mengonsumsi makanan. Jenis ini tidak melibatkan IgE dan mewakili 60-80% dari
seluruh kasus
alergi makanan yang ditemukan dalamklinik. Sementara itu, Boyles menyatakan bahwa
95% kasus alergi makanan tergolong jenis siklik dan sisanya jenis tetap. Reaksi alergi
makanan jenis siklik didugadiperantarai IgG dan merupakan reaksi kompleks imun (tipe
III). Tipe siklik ini dapat dibedakan dengan tipe tetap berdasarkan ketergantungannya
terhadap jumlah makanan yang dikonsumsi dan seberapa sering konsumsi tersebut. Pada
beberapa kasus, reaksi akan timbul apabila penderita mengonsumsi makanan dalam
jumlah banyak atau sering; dalam hal ini, reaksi hanya akan timbul dengan jumlah
alergen yang besar yang dapat membentuk kompleks imun.
TIpe siklik memiliki 9 stadium berdasarkan gejala yang ditimbulkannya :
1. Stadium 1 - sensitisasi tersamar
Pada stadium ini, pnderita tidak sadar bahwa ia alergi makanan yang dikonsumsi. Jika
makanan dikonsumsi terus menerus, maka akan terbentuk kompleks imun dan gejala
alergi berlangsung kronik. Pada fase ini, tidak muncul gejala apabila penderita
mengkonsumsi makanan dalam jumlah sedikit.
2. Stadium 2 - Omission
Apabila makanan tidak dikonsumsi dalam 4-5 hari, antigen dalam tubuh akan
dimusnahkan oleh sistem pencernaan dan aliran darah. Namun, namun masuk terdapat
titer antibodi IgG spesifik yang tinggi di dalam darah. Hal ini dapat menimbulkan
eksaserbasi gejala yang berat dan berlangsung hingga 4 hari akibat penurunan titer
antibodi dan ketidakseimbangan kompleks antigen-antibodi.
3. Stadium 3 - Hyperacute sensitization

Pada stadium ini, terdapat konsentrasi antibodi yang tinggi di dalam darah. Jika makanan
yang mengandung antigen masuk ke tubuh, maka akan terbentuk kompleks antigen
antibodi yang pada akhirnya akan menimbulkan gejala. Stadium ini berlangsung selama
4-12 hari.
4. Stadium 4 - Active sensitization
Pada stadium ini, gejala timbul apabila mengkonsumsi makanan yang mengandung
antigen namun gejala tidak begitu berat, kecuali jika terjadi pajanan berulang
5. Stadium 5 - Latent Sensitization
Pada stadium ini, terjadi penurunan konsentrasi antibodi sehingga terjadi toleransi. Jika
alergen dikonsumsi pada stadium ini, tidak akan menimbulkan gejala atau gejalanya
ringan, kecuali jika terjadi pajanan berulang.
6. Stadium 6-7 - Tolerance to food
Stadium ini timbul setelah tubuh 4-5 bulan tidak terpajan alergen. Konsentrasi antibodi
sangat rendah sehingga tidak memunculkan gejala. Pada stadium ini, makanan dapat
diberikan secara rotasi agar tidak memicu peningkatan antibodi.
7. Stadium 8-9 - sensitization
Jika pasien mengkonsumsi kembali makanan pencetusnya, terjadi peningkatan titer
antigen tersebut yang akan menstimulasi memori limfosit sehingga terbentuk antibodi
baru. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kompleks imun dan akhirnya menimbulkan
gejala.
Gambaran Klinis

You might also like