Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772,
walaupun sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai
dengan onset edema setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan
terbakar yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang
dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran, kaligata.2
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25%
populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik.
Urtikaria akut adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari
pengobatan di unit gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit
paling umum yang dirawat di UGD.1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama
lebih dari 6 minggu dapat mengganggu kualitas hidup seseorang.3
Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun,
ketika urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter
yang merawat.4 Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah
ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil
seperti yang diharapkan.2 Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah
umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.
Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line therapy, second-line
therapy, dan third-line therapy.3
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan
urtikaria.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat
dikelilingi halo.2
B. Anatomi dan Fisiologi Kulit
1. Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar
kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium.5
forces dan respon inflamasi. Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke
dermis untuk regenerasi.5
semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden
urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria
berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak
dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita
setengah baya.4
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%)
daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis,
atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota
dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang
secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari
500.000.8
D. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2
1.
Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,
kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2
3.
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).2
4.
Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2
6.
Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan,
dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non
imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa
menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau
fenomena Darier.2
8.
Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
Penyakit sistemik
1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang
dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan
atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau
rekuren.3
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,
pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6
minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat
mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat
di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak
dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgEindependen).3
4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan
merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang
tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism
tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang
sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi,
kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9
b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul
eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering
disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.
Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk
pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan
dengan tangan.9
paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata
durasi episode adalah 12 jam.9
9
Gambar 7. Local Heat Urticaria. 12
h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadangkadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar
matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil
dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A
(UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9
10
j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang
terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran
norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus
seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria
dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa
antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil
yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10
4. Sindrom Khusus
a. Schnitzler syndrome
Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh
pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau
radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan
monoclonal IgM gammopathy. 3,15
b. Muckle-Wells syndrome
Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan
autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural
yang progresif, dan amiloidosis.3,16
c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal
yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP).
Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari
dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.9
11
d. Urticarial vasculitis
Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis.
Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan
lebih lama dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini
juga digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena
garukan.3
C. Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast
atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang
nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang
peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan
amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan
beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin,
dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung
dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya
panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel
mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat
merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas.2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi
degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak
12
pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga
ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif
menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast
dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
FAKTOR
NON IMUNOLOGIK
Ikatan
dengan komplemen
FAKTOR
IMUNOLOGIK
juga terjadi pada urtikaria akibat
reaksi
sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat
kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga,
Bahan kimia pelepas mediator
bahan
kosmetik, dan
(morfin,kodein)
Pengaruh komplemen
SEL MAS
BASOFIL
Efek kolinergik
Aktivasi komplemen
klasik alternatif
(Ag-Ab, venom, toksin)
Reaksi tipe II
Faktor genetik
(defisiensi C1 esterase inhibitor)
PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin,
kinin, PEG, PAF)
Alkohol
Emosi
Demam
VASODILATASI
PERMEABILITAS KAPILER
Idiopatik?
URTIKARIA
13
Gambar 10. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2
Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4
a.
b.
c.
Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul
seterusnya.
d.
Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare,
muntah dan nyeri kepala.
14
2.
Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4
a.
Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang
bagian tengah tampak lebih pucat.
b.
c.
d.
Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan,
maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan
perubahan pigmentasi.
e.
f.
Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
E. Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan
submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat
disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada
angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.
Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan
yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang
nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran
nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat),
serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.9
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.
Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang
15
sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat
tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi
berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir
tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang
lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon
cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,
berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.17
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan,
tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula
coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat
juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.17
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat
atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis
alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti
belum diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya
penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor
dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2
5. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap
suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat
terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas
16
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas.2,17
F. Diagnosis
1.
Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal
dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik.
9
Pemeriksaan Fisik
a.
17
b.
Dermographism.
3.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. 2 Pemeriksaan darah
rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit
penyerta.
Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti
komplemen,
autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan
membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C 1 inhibitor dan C4
komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.19
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2
b.
18
Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik
(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai
tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor
vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20
d.
Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes
alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes
provokasi
ini
dipertimbangkan
secara
hati-hati
untuk
menjamin
keamanannya.18
e.
f.
g.
h.
Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai
adanya alergi pada suhu tertentu. 2
i.
Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2
Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat
perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak
antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain
itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh
19
limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik
perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya
pada kulit yang bersangkutan.10
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik.
Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran
limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon
alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau
urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi
berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan)
sampai ke vaskulitik (parah).4
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line
therapy, dan third-line therapy.3
1.
First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4
a.
Menjelaskan
kepada
pasien
tentang
penyakit
urtikaria
dengan
b.
20
c.
2.
Second-line therapy
21
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line
therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a.
Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus
UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi
tidak untuk urtikaria kronis.
b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai
efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang
bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan
untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan
efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayedpressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah.
Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan
menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan
kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis,
vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis,
yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari
kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa
tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan
22
obat
kortikosteroid
adalah
prednison,
prednisolone,
23
immunomodulatori,
yang
meliputi
cyclosporine,
tacrolimus,
methotrexate,
Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
corticosteroid-
dependent urticaria.3
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen
pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme
yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi
anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1
dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3
b.
Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk
mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan
harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant
pharmacotherapy.3
c.
Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola
24
dan
telah
dikaitkan
dengan
respon
yang
baik
pada
URTIKARIA
First-line Therapy
Edukasi
Langkah non-medis
Antihistamin
Second-line Therapy
Third-line Therapy
Farmakologi
Immunomodulatory
Non-farmakologi
agent
PUVA
Cyclosporine
Antidepresan
Tacrolimus
Identifikasi dan
menghilangkan
penyebab.
Kortikosteroid
Plasmapheresis
Leukotriene receptor
Obat lain:
antagonist
Colchicine
CCB yang memperberat vasodilatasiDapsone
Mengurangi faktor non spesifik
kulit
Hydroxychloroquine
(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)
Terbutaline
Ringan
Sedang-Berat
Gambar 11. Alur Penatalaksanaan
Berat
(Distress pernapasan, asma, edema
Urtikaria.
laring)
Epinefrin subkutan
Kortikosteroid sistemik
(oral atau IV)
Antihistamin H1 (IM)
NAC
Antihistamin H1 +
kostikosteroid oral jangka
pendek +
pencarian/penanganan untuk
urtikaria karena vaskulitis,
faktor tekanan, dan lain-lain
+ dicoba obat lain
NAC: not adequately controlled
26
Gambar 13. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Kronik.20
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu
dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi
penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif.
Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur,
antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1
mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek dengan
harapan dapat memotong siklus penyakit.20
H. Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2
27
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
C. Kesimpulan
1. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan nonimunologik.
2. Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk
mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.
3. Edukasi kepada pasien dan antagonis reseptor histamine H1 merupakan firstline therapy urtikaria.
D. Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember
2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria a review. Am J Clin Dermatol; 10(1):
9-21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember
2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit.
Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari
29
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-danpenyembuhan.html
6. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember
2009, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg
7. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember
2009,
dari
http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiolo
gy.gif
8. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in
Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220
9. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 15 desember 2009,
dari http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc
10. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember
2009, dari http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html
11. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari
http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jp
g
12. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17
Desember
2009,
dari
http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg
13. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember
2009, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg
14. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study.
Cfkeep,
Gambar.
Diakses
tanggal
17
Desember
2009,
dari
http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
15. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17
Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
16. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal
17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
17. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
18. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari
http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html
30
31